Terima kasih sudah me-review KNG 5 chapter 3: Rise Star, qeqey krum, widy, ochan malfoy, atacchan, SeiraAiren, YaotomeShinju, dricca, bluish3107, Putri, Kira, megu takuma, zean's malfoy, yanchan, DarkBlueSong, Last-Heir Black:D

Selamat Membaca KNG 5 chapter 4 dan review (apa saja), ya!


Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1, 2, 3, 4

KISAH NEXT GENERATION 5: PACAR KONTRAK

Chapter 4

Tanggal: Sabtu, 10 Oktober 2022

Lokasi: Shrieking Shack

Waktu: 10.13 pm.

Aku muncul di ruang keluarga berdebu dengan masih mencengkram lengan Lyra.

"Lepaskan aku!" Lyra menyentakkan tangannya, kemudian bergerak menjauhiku sambil mencabut tongkat sihirnya.

James, Rose dan Al muncul beberapa detik kemudian.

"Siapa kalian?" dia mengacungkan tongkat sihirnya padaku, wajahnya pucat dan sedikit ketakutan. "Jangan coba-coba mendekatiku atau aku akan mengutuk kalian semua!"

Mengabaikan tongkat sihirnya, aku segera melepaskan topeng dan mengenyakkan diri di kursi.

"Sial!" James mengumpat, melepaskan topengnya juga, melemparkannya di meja dan mendelik padaku "Apa yang kau lakukan, Fred?"

Rose dan Al mengenyakkan diri di kursi lain sambil melepaskan topeng masing-masing.

"Mereka akan melaporkan kita pada Auror," kata Rose cemas.

"Kalian?" Lyra memandang kami satu persatu, tercengang,

"Kau seharusnya tidak memantrainya, Fred," kata James gusar. "Benar kata Rose, mereka akan langsung melaporkan kita," dia berjalan mondar-mandir di depan perapian kotor.

Mengabaikan kata-kata James dan Rose, aku bersandar di kursiku, memejamkan mata, dan menarik nafas untuk menenangkan diri. Tubuh dan hatiku benar-benar lelah. Semuanya terasa salah, hati dan pikiranku mengatakan hal itu. Aku tidak mendapatkan apa-apa dari apa yang telah kulakukan, Lyra tetaplah Lyra yang sama. Sebaliknya, aku malah terlibat dalam masalah besar, menyerang seseorang tanpa sebab yang jelas. Aku telah dengan susah payah menahan diri, tapi tadi kesabaranku benar-benar habis, dan aku berubah menjadi monster pemarah yang mungkin bisa membunuh orang dalam sekejap.

Membuka mata, aku mendapati Lyra, yang masih berdiri, juga masih tampak tercengang dengan tongkat sihir teracung. Dengan sedikit heran, aku mengamatinya. Dia bukanlah gadis yang sangat cantik, dia tidak ada apa-apa dibandingkan dengan Florence, Zoe dan gadis-gadis lain. Dia juga bukanlah cewek feminin yang lembut, yang menggantungkan diri pada cowok. Dia adalah gadis yang menjalani kehidupan keras bersama ibunya; berjuang untuk hidup dan menganggap Galleon adalah hal yang paling utama di dunia ini. Karena itulah, dia tampak kuat dan tegar, tidak ingin mengikatkan diri dan tidak ingin terlibat dengan orang lain. Dan aku sendiri tidak tahu mengapa akhirnya aku bisa menyukainya, padahal aku tidak pernah menganggapnya ada sebelumnya. Awalnya dia hanyalah salah satu dari tenaga kerja yang membantuku untuk mencoba barang-barang lelucon. Sekarang dia menjadi sesuatu dari sedikit orang yang akan selalu ada di dalam hati dan pikiranku.

"Kita hanya bisa berharap Sean Ogbourne baik-baik saja, kalau tidak, kita semua akan dikirim ke Azkaban," kata James, sudah berhenti mondar-mandir dan mendelik lagi.

"Tidak mungkin, mereka tidak mengenal kita," kata Al, menenangkan. "Kita memakai topeng..."

"Auror tahu cara-cara untuk menemukan pelaku kejahatan, meskipun itu akan memakan waktu," kata James. "Kecuali kita pergi pada Sean Ogbourne, meminta maaf secara pribadi padanya dan memintanya untuk tidak memperpanjang masalah ini."

"Ya, kau memang harus minta maaf padanya!" gertak Lyra, dia telah menemukan suaranya. "Apa yang dia lakukan padamu sehingga kau memantrainya? Kau juga membawaku ke—" dia memandang berkeliling, "—tempat apa ini—padahal aku masih ingin bersama Sean."

"Aku tiba-tiba saja sangat membencinya," kataku, memandang James dan mengabaikan Lyra. "benar-benar membencinya—"

James mendelik.

Lalu gelombang penyesalan menghantamku dan hampir saja membuatku terjatuh dalam keputus-asaan dan ketakutan, tetapi aku segera menegarkan diri. Seorang Weasley yang sudah berani melakukan kesalahan harus berani mengakuinya, itulah yang selalu diajarkan pada kami. Kami tidak boleh takut mengakui kesalahan karena apa pun konsekuensinya aku tidak akan pernah sendiri, keluargaku ada di belakangku dan akan selalu bersamaku apa pun yang akan terjadi.

"Aku akan kembali ke Merlin Dome," kataku, lalu berdiri.

"Apa?" James, Rose dan Al terkejut.

"Aku harus minta maaf pada Sean Ogbourne..." kataku agak panik, dan mondar-mandir di depan perapian kotor. "Dia tidak bersalah apa-apa, tapi aku malah menyerangnya hanya karena kebencian sesaat."

"Tenang..." kata James. "Kita tidak akan menemuinya malam ini... Semua orang sedang panik dan cemas saat ini. Kita tidak boleh menambah kepanikan, muncul secara tiba-tiba dan mengaku salah. Kita akan menemui Sean Ogbourne besok."

Aku berhenti mondar-mandir, menatap James, kemudian mengangguk.

"Kau benar, James," kataku. "Aku mungkin akan langsung dikirim ke Azkban kalau aku mengaku sekarang. Aku harus menunggu situasi tenang dan berbicara berdua saja dengan Sean Ogbourne... Apakah menurutmu aku menulis dulu padanya?"

"Kurasa kau memang harus menulis dulu..." kata Rose. "Orang terkenal seperti dia pasti sibuk dan pastikan dia memang mau bertemu denganmu secara pribadi."

Aku mengangguk pada Rose dan kembali mengenyakkan diri di kursi. Dari sana, aku menatap Lyra yang masih berdiri dengan tongkat sihir di tangan dan memandang kami bergantian. Aku telah memutuskan bahwa aku tidak bisa begini selamanya; harus menahan diri setiap waktu dan bisa saja suatu saat nanti aku akan terlibat dalam masalah lagi. Mengakhiri semua ini adalah jalan terbaik, Lyra harus segera menjauh dariku. Meskipun aku akan merasa sedih dan merana, aku harus tetap bisa melepaskannya. Demi kebaikanku sendiri dan kebaikannya.

James mengenyakkan diri di sebelahku.

"Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanya James, mengangguk ke arah Lyra. Dia berbicara sangat pelan, sehingga hanya aku yang bisa mendengarkannya.

Aku menggeleng.

"Kau tidak boleh menyakitinya, baik secara fisik maupun verbal," kata James tegas. "Ingat Fred, kita diajarkan untuk tidak menyakiti seorang perempuan betapa pun marah dan bencinya kita padanya."

"Aku tidak membencinya dan tidak marah padanya," kataku pelan, agar Rose, Al dan Lyra tidak mendengarnya. "Aku juga tidak akan menyakitinya... tidak akan pernah!"

"Yah, kupikir karena kau telah menyerang Sean Ogbourne, kau juga akan menyerang Lyra."

"Sean Ogbourne adalah kesalahan," kataku menyesal. "Dan aku sangat menyesal telah memantrainya."

"Dia kelihatannya adalah orang baik, kurasa dia akan memaafkanmu," katanya menenangkan, kemudian memandang Lyra lagi. "Bagaimana dengannya?"

Aku juga memandang Lyra, yang memandang kami dengan ingin tahu.

"Yah, aku sudah memutuskan untuk melepaskannya," kataku. "Melepaskannya adalah keputusan terbaik untuk membuat hidupku kembali normal."

"Normal dengan Florence yang selalu mengikutimu ke mana-mana dan memaksamu untuk membuat barang lelucon yang memakai namanya," kata James, lalu tertawa kecil.

Aku memaksakan diri tersenyum.

"Setidaknya, bersama Florence aku tidak akan sakit hati" kataku. "Aku tidak perlu menahan diri dari rasa marah... Aku akan jadi aku yang dulu lagi... Aku hanya perlu membuat angket analisis pasar dan semuanya akan kembali normal."

"Aku senang kau sudah membuat keputusan, Fred," kata James, tersenyum "Dan aku senang kau sudah kembali... Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah sendirian, kami selalu ada bersamamu."

"Aku tahu..." kataku.

"Kalau begitu aku akan meninggalkanmu, bicaralah dengannya!"

"Ya," kataku.

James berdiri, memberi isyarat pada Rose dan Al untuk mengikutinya. Mereka berjalan keluar dan tidak menghiraukan Lyra yang masih berdiri memandang mereka dengan ingin tahu.

Keheningan memenuhi tempat itu, Lyra mendelik padaku dan aku memandangnya dengan penuh perhatian, mungkin untuk terakhir kalinya, pada rambut hitamnya, mata cokelatnya yang bulat indah dan bibirnya yang lembut. Tidak ada gunanya memandang bibir itu berlama-lama, karena pemiliknya akan pergi dariku selamanya.

"Apakah kau selalu melakukan hal-hal yang membuat orang lain tidak nyaman?" dia bertanya masih mendelik.

Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah padam.

"Apakah kau tahu apa yang kau lakukan padaku?" nada suaranya naik beberapa oktaf. "Kau merusak kesempatanku untuk mendapatkan pekerjaan, bekerja pada The Shadow Men... Aku pergi ke sana berharap mendapatkan pekerjaan sebagai backing vocal, tapi kau—" dia menunjukku dengan dramatis. "Kau merusak semuanya!"

"Christian Alexander..." kataku, mengabaikannya.

"Kenapa dia?" gertaknya.

"Apakah kau berhubungan dengannya?"

"Kalau iya kenapa? Itu bukan urusanmu, kan?"

"Bukan urusanku, ya, tapi kau masih terikat kontrak denganku... kau seharusnya tidak boleh berhubungan dengan orang lain."

"Kau ini," dia tampak sebal. "Christian dan aku sedang berbisnis... aku memberikan seluruh tabunganku padanya karena aku ingin dia memberitahu ayahnya agar mengijinkanku bernyanyi bersama Sean. Aku ingin Sean mendengarku bernyanyi dan, kalau beruntung, dia bisa menerimaku bekerja sebagai backing vocal-nya..." dia mengenyakkan diri di kursi di depanku. "Sekarang semua Galleon-ku terbuang percuma..."

"Jadi kau tidak menerima tiket pemberianku karena kau sudah mendapatkannya dari Christian Alexander?"

"Kesimpulan yang bagus sekali, Fred," katanya sinis. "Orang bodoh juga bisa menarik kesimpulan seperti itu dari fakta-fakta yang sudah kukatakan sebelumnya."

"Lalu bagaimana cara kalian ke Merlin Dome, kalian tidak melewati kami?"

"Pernahkah kau mendengar tentang peri-rumah yang bisa ber-Apparate keluar masuk Hogwarts? Atau kau ingin aku membuka Peri-Rumah dan Kebencian Diri,lalu membacakannya untukmu?"

"Peri-rumah milik Christian Alexander?"

"Siapa lagi?" gertaknya lagi. "Orang miskin sepertiku tidak pantas memiliki peri-rumah..."

"Mengapa kau selalu bicara tentang kemiskinan?" tanyaku jengkel. Dia sudah sering sekali berbicara tentang kemiskinan membuatku bosan dan sedikit merasa bersalah.

"Itu kenyataan hidupku, jadi aku mengucapkannya."

Aku ingin berkomentar tajam, tapi tidak ada gunanya karena membahas tentang masalah kemiskinan yang ada di dunia tidak akan ada akhirnya. Kami terdiam dan bertatapan selama beberapa saat, mencoba membaca apa yang ada di pikiran masing-masing.

"Tadi saat menyerangnya, aku membayangkan kau akan dijadikan teman tidur kelima personil The Shadow Men," kataku jujur, mengalihkan wajah darinya. "Aku pikir kau telah menjual diri pada mereka karena merasa getir dengan kemiskinan yang kau alami."

"Kau—" dia berdiri dan mendelik. "Aku memang miskin dan sangat butuh Galleon, tapi aku tidak akan tidur dengan siapa pun hanya untuk mendapatkan Galleon."

"Maaf," kataku.

"Yah, sudah seharusnya kau minta maaf..."

Aku terdiam, sementara dia kembali duduk.

"Bagaimana dengan Owen Cauldwell?" tanyaku.

"Aku tidak bisa memberitahumu tentang Owen Cauldwell karena urusanku dengannya adalah sesuatu yang sangat pribadi," jawabnya tegas.

"Aku mengerti..." kataku, memandangnya lagi dengan serius. "Boleh aku bertanya satu hal?"

"Ya, tapi aku akan menjawabmu, kalau apa yang kau tanyakan bukan masalah pribadi."

"Siapa yang kau pikirkan saat aku menciummu?"

Wajahnya berubah menjadi sangat merah.

"Aku tidak akan menjawab pertanyaan ini karena itu bisa dikategorikan sebagai pertanyaan yang sangat pribadi."

Aku mengangguk, menarik nafas berat. Saatnya bagiku untuk mengakhirinya.

"Kurasa aku tidak ingin lagi kau bekerja padaku," kataku. "Kontrak kerja kita batal... sekarang kau bebas."

"Apa?" dia duduk tegak di kursinya, tampak terkejut dan shock. "Mengapa? Aku sama sekali tidak melanggar kontrak... aku selalu melakukan pekerjaanku dengan baik."

"Bukan kau yang salah, tapi aku," kataku, memejamkan mata, tidak ingin memandangnya, "Aku sedang jatuh cinta."

"Cinta?" dia terdengar lebih terkejut.

Aku membuka mata dan memandangnya.

"Ya, aku jatuh cinta... dan aku tidak ingin mengikatmu lagi dengan kontrak itu."

"Oh..." dia mengalihkan pandangan. "Aku memang harus pergi kalau kau jatuh cinta, begitulah isi persyaratan nomor empat dalam kontrak kerja."

"Jika pihak kedua jatuh cinta, kontrak kerja ini batal, tapi pihak pertama tetap akan menerima sisa pembayaran," kataku, mengutip persyaratan nomor empat dalam lembar kontrak kerja.

"Tidak usah..." katanya, menggeleng. "Kau tidak perlu memberikan sisa pembayarannya padaku."

"Tidak usah?" tanyaku heran. "Mengapa?"

"Karena aku tidak layak menerima 500 Galleon itu," katanya. "Maksudku aku hanya melakukan pekerjaanku selama sebulan, kurasa lima ratus Galleon sudah cukup."

"Tidak," kataku tegas. "Aku tetap akan memberikan 500 Galleon sisa itu padamu... Kita bekerja sesuai kontrak, kan? Selama ini aku selalu menahan diri untuk tidak melanggar kontrak nomor dua: tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing pihak; dan aku tidak akan melanggar kontrak nomor empat sekarang."

Dia ingin membantah, tapi aku menggeleng.

"Jangan membantah Lyra..." kataku. "Aku tahu kau memerlukan Galleon itu."

"Aku tidak ingin kau berbelas kasihan padaku," gertaknya.

"Ini bukan belas kasihan," aku membantah. "Ini adalah hasil perjanjian kita."

Dia menunduk memandang pangkuannya, tak ada yang berbicara selama beberapa detik.

"Baiklah," katanya setelah terdiam cukup lama. "Kurasa kita harus mengakhirnya di sini," dia berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. "Aku senang bekerja denganmu, Fred," dia tersenyum.

Aku balas tersenyum dengan terpaksa dan menjabat tangannya.

"Aku juga senang bekerja denganmu, Lyra," kataku. "Aku akan memberikan sisa pembayaran besok."

Dia melepaskan tangannya dan tersenyum lagi. Aku juga tersenyum, berusaha tampak bahagia.

Kami bertatapan selama beberapa saat, kemudian dia berkata, "Saatnya untuk kembali ke Hogwarts!"


Tanggal: Minggu, 11 Oktober 2022

Lokasi: Kamar anak Laki-laki kelas tujuh Gryffindor – Ruang rekreasi Gryffindor, Hogwarts.

Waktu: 9. 48 am

Mataku silau oleh cahaya matahari pagi yang masuk lewat jendela yang terbuka. Mengerjap, aku memandang ke tempat tidur sebelah dan melihat bahwa James juga sudah bangun. Dia sedang duduk bersandar di bantalnya dan memandangku.

"Aku menunggumu," kata James. "Aku ingin tahu apa yang terjadi semalam..."

Aku mengangkat diriku ke dalam posisi duduk dan memandang tiga tempat tidur lain yang kosong.

"Louis?" aku bertanya.

"Sudah turun sejak tadi..." jawab James. "Lalu apa yang terjadi?"

"Kontrak kerja Lyra dan aku berakhir semalam, aku tidak bisa lagi menciumnya atau sekedar memegang tangannya."

"Begitu saja?" tanya James

"Ya, begitu saja," jawabku. "Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya."

James memandangku dengan prihatin.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Lebih baik," kataku tersenyum. "Aku sudah tidak perlu tersiksa menahan amarah."

"Bagus, dan kau akan menjadi Fred yang dulu..." kata James, melemparkan sebuah bantal padaku.

Aku menangkap bantal itu.

"Ya..." kataku, lalu melemparkan bantal itu padanya. "Sekarang yang harus kulakukan adalah meminta maaf pada Sean Ogbourne, setelah itu aku akan bisa memikirkan angket analisis pasar."

"Benar, kurasa sudah saatnya kau menulis surat..." kata James, mengayunkan tongkat sihirnya dan mengambil perkamen dan peta bulu dari tasnya.

Setelah benda-benda itu ada di tangannya, dia segera melemparkannya padaku. Aku menangkapnya dan mulai menulis.

Dear Mr Ougborne

Saya tahu anda adalah orang yang sibuk, dan saya minta maaf karena mengganggu kesibukan anda. Saya bukanlah penggemar yang ingin meminta tandangan atau hanya sekedar melihat wajah anda. Saya adalah orang yang ingin bicara serius dengan anda. Ada pun hal yang ingin saya bicarakan ini melibatkan sahabat saya, Lyra Morris.

Bisakah saya bicara dengan anda malam ini sekitar jam sembilan atau jam sepuluh malam, anda bisa menentukan tempatnya. Kalau anda setuju, tolong balas surat ini secepatnya.

Anonim

Aku menyerahkan perkamen itu pada James, dia membacanya dan mengangkat alis.

"Mengapa kau tidak mengatakan tujuanmu yang sebenarnya?" tanya James.

"Aku tidak ingin dia memanggil Auror dan langsung menangkap kita," jawabku.

"Apakah menurutmu surat ini tidak mencurigakan?" tanya James lagi.

"Tidak," kataku, mengulurkan tangan mengambil surat, lalu membacanya lagi. "Kurasa surat ini sudah cukup sopan, tidak ada keterangan apa pun tentang kita."

"Mengapa kau tidak menulis namamu? Kurasa Sean Ogbourne akan lebih percaya padamu kalau kau menulis namamu."

"Aku tidak ingin dia tahu siapa kita kalau ternyata dia tidak memaafkan kita," jawabku.

"Kurasa kalau kita menemuinya, dia akan langsung tahu siapa kita," kata James. "Atau kalau pun dia tidak tahu siapa kita, bodyguard-nya, pelayannya atau orang-orang yang bersamanya akan tahu siapa kita, tapi tak apalah, kurasa surat ini sudah bagus..."

Aku mempertimbangkan kata-katanya, tapi memutuskan untuk tetap memakai kata anonim di bawah surat.

"Yuk, kita ke kandang burung hantu!" kata James, bergerak turun dan segera berganti pakaian.

Aku melakukan hal yang sama dan sepuluh menit kemudian kami sudah tiba di ruang rekreasi yang kosong, hanya ada Rose dan Al yang sedang duduk di sebuah kursi yang jauh dari pintu.

"Fred, James, kemarilah!" panggil Rose.

Wajahnya tampak cemas, sementara Al sedang memandang Daily Prophet. Kecurigaanku bahwa penyerangan Sean Ogbourne akan menjadi berita utama Daily Prophet menjadi kenyataan. Aku bergegas mendekati mereka dan Al menyerahkan Prophet padaku.

"Bacalah!" katanya.

Aku segera duduk di sampingnya dan memandang halaman pertama, yang berbicara tentang kesuksesan konser Melody of Heart, The Shadow Men. Namun, sebuah artikel kecil di bawah berita itu membuatku tersentak dan agak gugup.

Penyerangan di Belakang Panggung Melody of Heart

Panitia konser The Shadow Men dikejutkan oleh penyerangan terhadap vokalist The Shadow Men, Sean Ogbourne, oleh tiga orang pemuda dan seorang gadis tak dikenal.

"Kami sudah menghubungi kantor Auror," kata Arin Alexander, penyelenggara konser. "Kami tidak tahu apa motif di balik penyerangan ini, tapi mungkin ini ada hubungannya dengan kecemburuan."

Menurut beberapa saksi, penyerangan ini ada hubungannya dengan Lyra Morris, Shadower yang menyanyi bersama Sean Ogbourne di lagu terakhir sebelum konser berakhir. Tetapi, Arin Alexander tidak memberi keterangan rinci tentang hal ini, dia mengelak ketika di tanya tentang siapa Lyra Morris.

"Aku tidak bisa memberi kejelasan tentang ini sekarang, karena aku memang tidak tahu, tapi aku akan memastikan bahwa para Auror akan dilibatkan!" ***

"Mereka akan menghubungi Auror," kataku, memandang James.

"Sudah kuduga," kata James. "Kita tidak bisa mengelak hal ini, Sean Ogbourne adalah orang terkenal."

"Baca arikel lain di bawahnya!" perintah Rose, mengangguk pada Prophet di tanganku.

Aku memandang Prophet lagi dan melihat artikel yang dimaksud Rose.

Mungkin ini adalah Penculikan

Sean Ogbourne yang ditemui di kamar hotelnya di London mengatakan bahwa dia mencemaskan Lyra Morris.

"Aku lebih mencemaskan gadis itu," katanya. "Orang-orang bertopeng itu mungkin menculiknya."

Tetapi saat dikatakan bahwa orang yang menyerangnya mungkin adalah pacar Lyra Morris, vokalist The Shadow Men ini tampak terkejut.

"Aku belum pernah memikirkan hal itu," katanya, tertawa. "Mungkin saja..."

Sean Ogbourne tidak begitu mempermasalahkan penyerangan ini, dia menyerahkan semua masalah ini pada pihak penyelenggara, tapi dia hanya berharap untuk bisa bertemu Lyra Morris lagi dan memastikan sendiri bahwa gadis itu baik-baik saja.

"Tampaknya Sean Ogbourne adalah orang yang santai," kataku, lalu menyerahkan Daily Prophet pada James, yang langsung membacanya.

"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Rose cemas. "Mereka akan menghubungi kantor Auror dan kita akan berada dalam masalah besar, kita bisa dikirim ke Azkaban."

"Benar..." kata James, melemparkan Prophet yang sudah dibacanya di atas meja. "Tetapi kita bisa mencegahnya dengan menemui Sean Ogbourne... Dan kami memang akan menemuinya, Fred sudah menulis padanya."

"Coba baca ini!" kataku, menyerahkan surat untuk Sean Ogbourne pada Rose, yang langsung membacanya bersama Al.

"Kau yakin dia akan menemuimu?" tanya Rose.

"Tidak," jawabku. "Aku hanya bisa berharap semoga dia mau menemuiku..." aku menunjuk Prophet "Lagi pula, kelihatannya dia mencemaskan Lyra."

Rose dan Al saling pandang, tapi tidak berkata apa-apa.

"Kalau dia memang mau menemui kami, kalian berdua tidak usah ikut," kata James. "Kurasa Fred dan aku sudah cukup."

"Ya," kata Rose, menyerahkan surat untuk Sean Ogbourne padaku.

"Menurut kalian dia menginap di mana?" tanyaku, memasukkan surat Sean Ogbourne ke balik jubah.

"Satu-satunya hotel penyihir yang terkenal adalah Canary Wings," kata Rose. "Pasti dia di sana... tidak mungkin dia di Leaky Chauldron."

"Kau benar, Rose, aku juga memikirkan Canary Wings..." kata James.

Kami terdiam, sementara Rose sudah mulai membuka Daily Prohet lagi.

"Bagaimana dengan Lyra?" tanyaku tiba-tiba.

"Kata Roxy, McGonagall memanggilnya sebelum sarapan, dan aku belum melihatnya lagi," kata Rose, mengangkat bahu.

"Kalau tidak didetensi, dia mungkin diskors karena menyusup keluar Hogwarts," kata James.

Aku mengangguk, pada saat yang sama pintu ruang rekreasi terbuka dan Lyra masuk. Dia terkejut memandang kami.

"Hai," katanya tersenyum.

Aku segera berdiri dan mendekatinya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku.

"Aku baik-baik saja," jawabnya. "Tenang saja, aku tidak memberitahu McGonagall tentang kalian..." dia tersenyum pada James, Rose dan Al.

"Terima kasih," kata James.

"Lalu bagaimana denganmu, apakah kau didetensi?" tanyaku lagi.

"McGonagall memang ingin memberiku detensi selama sebulan, tapi aku mengatakan padanya bahwa aku mengundurkan diri dari Hogwarts..."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Aku memutuskan untuk meninggalkan pendidikan dan mulai mencari pekerjaan," katanya bersemangat. "Kau mungkin tidak mengerti bagaimana perasaanku, Fred, tapi aku merasa bebas... Aku tidak terikat lagi dan aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan... Aku memang sudah tidak ingin kembali ke Hogwarts di awal tahun ajaran, tapi Mom memaksaku untuk menyelesaikan pendidikan. Dan sekarang aku punya alasan untuk meninggalkan Hogwarts."

Dia tersenyum dan aku hanya menggelengkan kepala.

"Kau ingin kerja apa?" tanyaku.

Sebuah keraguan muncul di hatiku, aku tidak yakin ada yang mau menerima Lyra bekerja. Dia tidak memiliki keahlian khusus, kecuali mungkin sebagai penjaga toko di Diagon Alley.

"Entahlah, aku akan memikirkannya nanti..." katanya tersenyum. "Fred, terima kasih karena sudah menjadi pacarku selama sebulan ini... Yeah, aku senang. Ini akan menjadi kenang-kenangan yang berharga untukku... selamat tinggal!" dia hendak melangkah pergi.

"Tunggu!" seruku, mengeluarkan kantong uang dari balik jubahku dan memberikannya padanya. "Ini sisa Galleon-mu... terima kasih untuk segalanya..."

"Ya..." dia menerima kantong uang itu dan menatapku.

Kami bertatapan sekian detik.

"Er, yeah," katanya. "Aku pergi dulu..."

Dia berjalan menuju kamar anak-anak perempuan meninggalkanku berdiri bengong di tengah ruang rekreasi.

"Fred," panggil James.

Aku tersadar dan segera berjalan perlahan ke arah mereka.

"Kau baik-baik saja?" tanya James.

"Ya, aku baik-baik saja," kataku, mengenyakkan diri di sebelahnya. "Aku hanya merasa bahwa aku mungkin tidak akan bertemu dengannya lagi selamanya dan itu—itu membuatku sangat merana."

James, Rose dan Al bertukar pandang, tapi tidak berkata apa-apa.

"Sudahlah," kataku, memaksakan diri tersenyum. "Aku akan baik-baik saja."

Mereka juga tersenyum.

"Dia hebat," kata Rose, memandang pintu yang menuju ke kamar anak-anak perempuan.

"Ya," kata Al. "Gadis yang tegas dan tidak pernah ragu-ragu saat mengambil keputusan."

Benar kata Al, Lyra adalah gadis yang tegas, sangat tegas malah, tidak ada yang bisa menghalanginya saat dia sedang ingin mencapai impiannya yaitu bekerja. Meskipun aku sangat mencemaskannya, tapi aku tidak boleh peduli lagi. Dia sudah berada di luar batas jangkauanku, kontrak telah berakhir, dan dia adalah orang bebas, yang bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.


Tanggal: Minggu, 11 Oktober 2022

Lokasi: Shrieking Shack, Hogsmeade.

Waktu: 8. 50 pm

James sedang mengganti jubah hitam Hogwartsnya dengan kaos dan jeans, sementara aku sedang duduk di kursi butut, ruang keluarga Shrieking Shack dan membaca ulang surat singkat dari Sean Ogbourne.

Dear Anonim,

Aku bersedia menemuimu, datanglah ke hotel Canary Wings kamar nomor 106, jam 9 malam ini.

Sean Ogbourne

Surat ini tidak berisi informasi apa pun, kecuali penegasan bahwa Sean Ogbourne menginap di Canary Wings. James yang sudah selesai berganti pakaian duduk di sampingku.

"Walaupun dibaca seratus kali pun, surat itu tetap tidak memberikan petunjuk apa pun," katanya.

"Aku tahu," kataku, memasukkan surat itu ke saku jaket.

"Kalau dia memang menyiapkan bodyguard untuk menangkap kita, kita bisa memakai Bubuk Kegelapan Instan lagi dan segera ber-Disapparate," katanya. "Mereka tidak akan tahu posisi kita dalam gelap, jadi mereka tidak akan mencengkram jaket kita untuk ber-Apparate bersama."

"Kau benar," kataku. "Tetapi apakah kita bisa langsung ber-Apparate di dalam hotel itu?"

"Bisa," jawabnya. "Rose sudah mengeceknya untuk kita, tapi tentu saja kita tidak bisa langsung ber-Apparate di dalam kamarnya, itu kan tidak sopan."

"Aku tahu," kataku. "Siap berangkat?"

"Ya," kata James, menghilang bersama bunyi pop pelan.

Beberapa detik kemudian aku menyusulnya.


Tanggal: Minggu, 11 Oktober 2022

Lokasi: Hotel Canary Wings, London.

Waktu: 9 pm

James dan aku ber-Apparate di depan hotel Canary Wings, sebuah hotel megah di London, letaknya tidak jauh dari Merlin Dome. Hotel bertingkat sepuluh ini, dibangun oleh pemilik Zabini Groups Interprise karena merasa Leaky Chauldron bukanlah tempat layak bagi tamu-tamu VIP. Hotel ini memang jadi tempat tujuan tamu-tamu kaya yang sedang berkunjung ke Inggris. Hotel ini terdiri dari kamar-kamar mewah, kolam renang, lapangan Quidditch mini, bar dan segala kenyamanan yang hanya bisa didapatkan oleh sebuah hotel kelas atas.

Kami masuk ke sebuah aula luas dan megah, dengan interior yang sangat mewah bernuansa hijau. Sofa hijau mewah diletakkan setengah melingkar di tengah aula di atas karpet berwarna hijau gelap. Sebuah lampu gantung besar tergantung di atas langit-langit tinggi yang juga bercat hijau. Di ujung aula tampak lift-lift besar dan mewah yang membawa tamu ke tingkat atas. Di sudut aula sebelah kiri ada sebuah meja resepsionis dengan seorang penyihir wanita berjubah hijau sedang duduk di balik meja dan membaca Witch Weekly. Dia mengangkat muka dan memandang kami dengan curiga saat kami lewat menuju lift.

"Apakah kita tidak terlihat mencurigakan?" tanyaku, saat kami sudah berada di dalam lift.

"Tidak, bersikaplah santai," kata James, terlihat sedikit gugup. "Tidak akan ada Auror yang menghadang di depan lift."

Aku mempersiapkan tongkat sihirku dalam jaket saat kami berhenti di lantai sepuluh dan keluar di koridor. Dua penyihir berbadan tinggi besar dalam jubah hitam mengkilat sedang berdiri di pintu nomor 106, mereka menatap kami dengan curiga.

"Lyra Morris?" tanya salah satu dari bodyguard itu.

"Ya," jawabku serak.

Dia membuka pintu dan kami masuk di sebuah suit mewah yang luas, dan Sean Ogbourne sedang duduk salah satu kursi empuk berbantal. Dia lebih tampan dilihat secara langsung dan tanpa melupuk mata yang diwarnai hitam.

"Duduklah," katanya, mengangguk pada kursi di depan kami, kemudian memberi isyarat pada bodyguard-nya untuk keluar.

Aku merasa lega saat bodyguard itu keluar. Rasanya tidak enak berbicara secara terbuka dengan Sean Ogbourne jika bodyguard-nya berdiri di sebelahnya.

"Mau minum apa?" tanya Sean Ogbourne.

"Er, Butterbeer saja," jawabku, sementara James memperhatikan seluruh ruangan dengan seksama. Mungkin sedang mencari cela untuk bisa kabur kalau keadaan mendesak.

Sean Ogbourne mengayunkan tongkat sihirnya dan memanggil dua kaleng Butterbeer dan segelas minuman berwarna emas. Minuman itu diletakkan di depan kami.

"Jadi?" dia bertanya setelah meneguk minumannya. Dia memandang kami dengan tajam di balik gelasnya. "Di mana Lyra Morris?"

"Dia di Hogwarts dan baik-baik saja," jawabku cepat. "Sebenarnya maksud kedatangan saya—"

"Hogwarts?" dia memandang kami dengan terheran-heran. "Dia masih bersekolah?"

"Begitulah," jawabku. "Mr Ogbourne sebenarnya—"

"Kalian juga kelihatannya masih murid Hogwarts," dia memperhatikan kami dengan cermat. "Siapa di antara kalian berdua yang merupakan pacar Lyra Morris?"

"Saya... tapi kami sudah putus," kataku. "Mr Ogbourne maaf mengganggu kesibukan anda, saya—"

"Mengapa kau putus dengannya?" tanya Sean Ogbourne, sama sekali tidak menghiraukanku.

"Masalah pribadi... Mr Ogbourne—"

"Bagus..." kata Sean Ogbourne. "Kau tidak cocok dengannya, dia terlalu cantik untukmu."

Aku ingin tertawa, tapi tidak jadi karena tidak ada yang cukup lucu dalam situasi ini, sementara James menunduk memandang pangkuannya, mungkin sedang menahan diri untuk tidak mengikik.

"Maksud kedatangan saya ke tempat ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Lyra Morris," kataku cepat sebelum dia menyelaku lagi.

"Apa?" Sean Ogbourne terkejut. "Lalu mengapa kau datang menemuiku?"

"Er—" aku segera meneguk Butterbeer-ku untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba kering. "Aku datang untuk minta maaf, aku—akulah yang memantrai anda semalam."

Nah, aku sudah mengatakannya, tinggal mempersiapkan diri untuk ber-Disapparate jika dia mulai memanggil dua bodyguard di depan pintu. Tetapi, Sean Ogbourne tidak memanggil bodyguard-nya, dia memandangku dengan penuh perhatian.

"Mengapa kau menyerangku?" dia bertanya, ekspresinya datar. "Apakah aku pernah melakukan kesalahan padamu?"

"Tidak," jawabku cepat. "Anda tidak melakukan apa-apa... Er, ini ada hubungannya dengan kecemburuan seseorang yang jatuh cinta pada seseorang."

Dia memandangku lagi dengan tatapan penuh pengertian.

"Apakah kau tidak melihat bahwa aku lebih tua kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun darinya?" dia bertanya.

"Yeah, tapi banyak pasangan beda usia sekarang ini," kataku membela diri.

Dia kemudian tertawa keras, mengagetkan James dan aku.

"Baiklah, aku tidak bisa menyalahkanmu anak muda... Aku juga pernah remaja dan aku tahu bagaimana rasanya cemburu..."

"Er—" aku tidak tahu harus berkomentar apa terhadap pernyataan ini.

"Lalu mengapa kau datang padaku? Kau tidak takut aku akan menyerahkanmu pada Auror?"

"Anda tidak akan melakukannya, anda orang baik," jawabku yakin, tapi aku sudah mempersiapkan tongkat sihir di tanganku.

"Orang baik?" ulangnya tidak yakin.

"Ini karena aku menyukai anda..." kataku. "Lagu-lagu anda semuanya bagus dan saya benar-benar menyesal akan apa yang telah saya lakukan pada anda... Anda tidak bersalah apa-apa pada saya, tapi saya telah menyerang anda... saya benar-benar minta maaf."

"Baiklah," katanya. "Aku memaafkanmu dan aku akan menghubungi pihak penyelenggara agar tidak memperpanjang masalah ini."

"Benarkah?" aku tersenyum. "Saya sungguh-sungguh berterima kasih, Mr Ogbourne, anda—"

"Tapi ada syaratnya," kata Mr Ogbourne cepat.

James dan aku saling berpandangan. Dari wajahnya, dia, sama sepertiku, tahu bahwa sesuatu seperti ini pasti akan terjadi kalau kita sedang melakukan sesuatu yang benar.

"Aku ingin tahu semua tentang Lyra Morris," katanya.

"Buat apa anda ingin tahu tentang Lyra Morris?" tanyaku curiga.

"Itu bukan urusanmu, kau hanya perlu menjawab pertanyaanku," jawabnya dengan gaya Lyra saat dia melarangku mencampuri urusan pribadinya.

"Baik," kataku tiba-tiba jadi jengkel. "Lyra Morris tinggal bersama ibunya yang membenci sihir—"

"Benci sihir?"

"Ya... tinggal di London dan hidup sangat menderita," kataku. "Ibunya harus bekerja sebagai pelayan restoran di Baker Street dan Lyra harus menjadi seorang penyapu jalan."

"Apa?" Sean Ogbourne, sekarang sudah bangkit dan berjalan mondar-mandir tengah kamar.

James dan aku berpandangan, kebingungan.

"Dan Lyra sudah tidak bersekolah di Hogwarts lagi," lanjutku. "Dia ingin mencari pekerjaan untuk membantu ibunya."

"Apa?"

Wajah Sean Ogbourne berubah pucat, James dan aku berpandangan lagi.

"Bisakah kalian mengantar aku ke tempat tinggal mereka?" dia bertanya memandangku penuh harap.

Aku memandang James, yang mengangguk.

"Baiklah," kataku.

Sean Ogbourne melangkah ke pintu suit, berbicara sebentar dengan para bodyguard dan kembali pada kami.

"Ayo," katanya.

Dia memegang tanganku, tangan James di lenganku, dan aku membawa mereka ber-Disapparate ke Hillingdon nomor 9, London. Aku berharap dalam hati semoga alamat yang ada di lembar kontrak kerja kami adalah alamat yang sebenarnya, bukan alamat palsu.


Tanggal: Minggu, 11 Oktober 2022

Lokasi: Hillingdon nomor 9, London.

Waktu: 9.39 pm

Hillingdon adalah sebuah wilayah kumuh, semacam tempat pembuangan sampah para Muggle. Di mana-mana terdapat tumpukan sampah; rumah-rumah yang kumuh dengan cat terkelupas dan jendela retak; dan ada sebuah gunung sampah yang baunya sangat menyengat di ujung jalan. Sedangkan Hillington nomor sembilan adalah sebuah gedung bobrok bertingkat tiga, dengan flat-flat murah yang disewakan. Di pintu depan gedung duduk seorang Muggle tua yang sedikit tuli, dan kami harus berbicara keras padanya agar dia bisa mendengar kami.

"Keluarga Mould? Tidak ada yang bernama keluarga Mould di sini," kata si Muggle.

"Kaluarga Morris!" aku menaikkan nada suaraku.

"Morris? Oh, Arlena Morris? Ya, ditingkat tiga, nomor 8," kata si Muggle.

"Terima kasih," jawabku dan kami langsung meninggalkan si Muggle tua yang memandang kami dengan curiga.

Kami menaiki tangga sempit dan curam menuju koridor atas. Keadaan di sini sama kotor dan kusamnya seperti di bawah; banyak sekali debu di karpet yang sudah menipis; pintu-pintu kamar yang berderet di koridor tidak bisa dibilang pintu, tapi papan.

"Mereka tinggal di sini?" tanya Sean Ogbourne sangat terkejut.

James dan aku tidak menjawab, tapi terus berjalan menyusuri koridor dan berhenti di pintu yang nomornya sudah lepas. Nomor yang tergeletak di lantai itu bertuliskan 8 dengan huruf emas kusam. Aku mengetuk pintu.

"Mrs Willtons, andakah itu?" terdengar suara Lyra dari dalam.

Aku tak menduga bahwa dia sudah berada di sini. Rupanya, dia memang ingin cepat-cepat meninggalkan Hogwarts.

"Er—" aku baru saja akan menjawab, tapi Lyra berkata lagi,

"Masuklah, Mrs Willtons, anda membawa obat Mom, kan?"

Aku mendorong pintu papan dan masuk ke dalam sebuah ruangan kusam dan sempit. Tidak ada perabotan, yang ada hanyalah sebuah sebuah kursi, sebuah lemari dan sebuah tempat tidur di ujung ruangan, tempat seorang wanita berwajah pucat yang mirip Lyra sedang terbaring memejamkan mata. Dan Lyra sedang duduk di sisi tempat tidur mencoba membangunkan wanita itu.

"Mom, bangunlah, Mrs Willtons sudah datang," kata Lyra, sedikit mengguncang tubuh ibunya.

Arlena Morris membuka matanya dan Lyra membantunya duduk. Lyra yang duduk membelakangi pintu belum melihat kami, tapi ibunya sudah melihat kami dan sekarang duduk tegak, tampak sangat terkejut dan wajahnya perlahan menjadi semakin putih tak berdarah.

"Mrs Willtons—" Lyra berpaling dan melihat kami sedang berdiri di tengah ruangan.

Wajah Lyra sama pucatnya seperti ibunya.

"Lyra," kataku, memandangnya dan merasa ingin sekali memeluknya.

"Fred, apa yang kau lakukan di sini?" kata Lyra, berdiri, bergerak ke arahku dan hendak menyeretku keluar.

"Arlena," kata Sean Ogbourne pelan, dan Lyra langsung menghentikan gerakannya.

Sean Ogbourne sekarang berdiri terpaku di tempatnya, menatap Arlena Morris.

"Seharusnya kau tidak boleh ada di sini, Sean," kata Arlena Morris tegas. "Pergilah!"

"Tidak," kata Sean Ogbourne. "Aku tidak akan pergi sekarang... kau tidak bisa menipuku lagi seperti delapan belas tahun lalu..." dia berjalan perlahan mendekati tempat tidur.

"Semua itu demi kebaikanmu, Sean..." kata Arlena Morris serak, airmata mengalir di pipinya. "Aku dan bayi akan menghambat perjalanan karirmu, karena itulah aku pergi... kupikir kau mengerti, tapi mengapa kau kembali sekarang?"

"Karena aku sangat merindukanmu," bisik Sean Ogbourne, duduk di tepi tempat tidur dan menyentuh pipi Arlena Morris. "Aku hanya mencintaimu, aku tidak bisa mencintai orang lain."

"Sean..." bisik Arlena Morris.

Sedetik kemudian, keduanya sudah berciuman.

"Ayo," kata Lyra, menyeretku keluar dan James mengikuti kami.

Lyra bersandar di pintu papan dan memejamkan mata.

"Mom sedang sakit," katanya, memandang kami lagi. "Aku tidak tahu penyakit apa yang diderita Mom, tapi para dokter Muggle mengatakan bahwa dia terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Aku tidak percaya, aku takut Mom mungkin terkena penyakit sihir karena terlalu memaksakan diri menjadi Muggle, dan karena tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya sejak aku lahir. Mom benar-benar ingin melupakan bahwa dia adalah penyihir—"

"Mengapa?" tanyaku agak heran.

"Dia ingin melupakan semua tentang dirinya saat masih di Hogwarts... dia ingin melupakan Sean... Dia ingin menjadi dirinya yang lama, sebelum mengenal Hogwarts, tapi kekuatan sihir dalam dirinya tidak bisa hilang. Mungkin karena itulah, tubuhnya melemah... Dan aku tidak bisa membiarkan Mom melemah seperti itu..." dia memandang James dan aku, matanya bercahaya. "Mom adalah segalanya bagiku, jadi aku mencari segala hal yang berhubungan dengan metode pengobatan sihir dan tumbuh-tumbuhan yang bisa diramu untuk membangkitkan semangatnya... Mom harus sehat!"

"Owen Cauldwell," kataku, teringat bagaimana dia dan Owen Cauldwell suka berbisik-bisik di rak Herbologi.

"Ya, Owen, dialah yang membantuku selama... aku tidak akan pernah bisa berhenti berterima kasih."

"Lalu Sean Ogbourne?" tanyaku.

"Kau tentu sudah bisa menebaknya dengan benar..." katanya. "Mom hamil saat mereka masih di Hogwarts, karena itu umurku hanya berbeda delapan belas tahun dari orangtuaku... Mom tidak mengatakan siapa ayahku, tapi aku menemukan banyak sekali foto Sean Ogbourne di dalam barang-barang lama Mom... Aku tidak bertanya, aku tidak ingin membangkitkan kenangan lama. Jadi, aku mencaritahunya sendiri... Aku berusaha untuk mengesankan Sean dengan bernyanyi bersamanya. Dengan harapan, dia akan menerimaku sebagai salah satu dari backing vocal-nya. Dan nanti, setelah aku dekat dengannya, aku bermaksud mencaritahu apa hubungannya dengan Mom..." dia memandangku. "Sekarang kau mengerti, kan, bahwa menyanyi di konser itu sangat penting bagiku."

"Maafkan aku..." kataku.

"Tidak perlu minta maaf," kata Lyra tersenyum. "Kau sudah membawa dia kembali pada Mom, kan?"

"Bukan aku yang membawanya ke sini," kataku. "Dia sudah mengenalmu saat pertama kali melihatmu malam itu... Dia sudah tahu bahwa kau mungkin ada hubungannya dengan Arlena Morris."

Dia mengangguk.

"Aku harap dia dan Mom bahagia."

"Ya, kukira semangat ibumu telah kembali, dia akan bahagia," kataku, menyemangatinya.

Dia tersenyum.

"Lyra!" terdengar panggilan dari dalam.

"Ya, Mom..." jawabnya, membuka pintu dan masuk ke dalam.

James dan aku berpandangan.

"Aku tidak menduga kejadiannya akan seperti ini," kata James.

"Ya," kataku. "Aku senang Lyra akhirnya bisa bertemu ayahnya... aku senang dia akhirnya bahagia."

"Sean Ogbourne mungkin akan membawa mereka ke Amerika."

"Apa?" aku tersentak.

Sebenarnya ini tidak terlalu mengejutkan karena aku sudah menduganya. Sean Ogbourne adalah warga negara Amerika, dia pasti ingin agar keluarganya tinggal bersamanya. Dan Lyra, dia pasti akan pergi ke Amerika juga, lalu aku, aku akan benar-benar berpisah dengannya selamanya.

Pintu terbuka lagi dan Lyra keluar dengan wajah ceria.

"Mom dan Dad mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah kalian lakukan," katanya. "Terima kasih untuk segalanya."

James mengangguk, aku menggeleng.

"Apakah kau akan pergi ke Amerika?" tanyaku.

"Begitulah," katanya tersenyum. "Besok kami akan berangkat ke Los Angeles dengan Portkey."

"Besok?" Aku merasa semangat hidupku seperti telah disedot habis oleh sesuatu yang tak terlihat.

"Ya," dia mengalihkan pandangan dan dengan sedih memandang tembok retak di depannya. "Aku mungkin tidak akan bertemu dengan kalian lagi selamanya dan aku—" dia memandangku. "Aku ingin kalian menyampaikan salam sayangku pada Alice..."

"Baiklah," kata James, sementara aku hanya memandangnya.

"Fred, terima kasih untuk segalanya," katanya, kemudian memelukku. "Aku mungkin akan sangat merindukanmu."

"Aku juga akan sangat merindukanmu," kataku, membelai rambutnya. "Ya, aku akan sangat merindukanmu."

Dia melepaskan diri dan kami bertatapan.

"Kalau begitu, kami harus kembali ke Hogwarts," kata James.

"Bye!" kata Lyra.

Aku ingin mengucapkan selamat tinggal, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.

James menyambar lenganku dan kami ber-Disapparate meninggalkan Hillingdon nomor sembilan dan Lyra.

Di sinilah catatan harian ini berakhir, bukan sebuah kisah yang sempurna, tapi aku telah berusaha untuk menulis catatan ini sehingga aku bisa membagi kisah ini dengan kalian semua. Aku telah salah mengawali semuanya. Sebuah lembar kontrak kerja tidak berarti apa-apa kalau seseorang sudah jatuh cinta, dan hidup seseorang tidak akan berarti apa-apa kalau orang yang dia cintai meninggalkannya.


REVIEW, PLEASE!

Riwa Rambu :D