Terima kasih sudah me-review Aku Bukan Gay: YaotomeShinju, DarkBlueSong, ochan malfoy, Irma Nasution, CN Bluetory, Putri, zean's malfoy, widy, Rise, yanchan, bluish3107, Alia Yunara, SeiraAiren, Vallerina lovegood, megu takuma, SpiritSky, atacchan, Devia Purwanti, Qeqey TerMinique Krum:D

Ttg typo: q kan cek2 lg; ttg Cho: q ru tau skrg klo dy nikah ma Muggle. Sbnarnya pilihanx bkn Cho, tp nggak da nama cewe Ravenclaw yg q ingat selain dy; ttg panggilan: panggil aja Riwa :D

Selamat Membaca KNG 5 chapter 1 dan review (apa saja), ya!


Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1, 2, 3, 4

KISAH NEXT GENERATION 5: PACAR KONTRAK

Chapter 1

PERHATIAN!

Catatan Harian ini adalah milik:

Nama: Fred George Weasley

Tempat Tanggal Lahir: London, 3 Januari 2005

Jenis Kelamin: Laki-laki

Status Darah: Darah-Murni

Warna rambut: Merah

Warna mata: Biru

Warna kulit: Terang

Tinggi: 178 cm

Berat: 65 kg

Alamat: Waltham Forest 36, London.

Tongkat sihir: Ash 28 cm, rambut ekor unicorn.

Anggota Keluarga: George dan Angelina (Orangtua), Roxanne (Kembar)

Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu

Tanggal: Senin, 16 Agustus 2022

Lokasi: Waltham Forest 36, London

Waktu: 5. 23 pm.


Aku Fred Weasley, seorang pemuda penyihir biasa yang tinggal bersama ibu yang selalu memberikan perhatian yang berlebihan, dan ayah yang santai dan mengasyikkan. Punya seorang saudara kembar yang terlalu bersemangat dan pemarah, juga punya banyak sepupu yang saling peduli satu sama lain dan kadang sangat menyebalkan. Orang-orang sering menganggapku sebagai si pelanggar peraturan, namun aku bukanlah si pelanggar peraturan. Aku hanyalah seorang remaja yang cepat sekali merasa bosan dengan keadaan yang itu-itu saja atau keadaan yang monoton. Itu terjadi saat aku masih remaja. Seiring berjalannya usia, aku telah semakin dewasa, sudah bisa berpikir jauh ke depan dan agak mengekang diri. Aku lebih memfokuskan perhatian pada apa yang menjadi tujuanku setelah lulus Hogwarts.

Mengembangkan toko lelucon, Weasleys' Wizarding Wheezes, milik Dad adalah impianku. Toko itu adalah satu-satunya hal nyata di dunia ini. Dad juga telah mengisyaratkan bahwa toko itu akan diwariskannya padaku suatu saat nanti. Dibandingkan Roxy, aku memang lebih mirip Dad. Kami sama-sama mencintai toko lelucon, sama-sama mencintai barang-barang lelucon dan juga sama-sama menanggapi segala hal dengan santai dan sedikit tak peduli. Aku tidak terlalu mempedulikan pendidikanku, nilai OWL-ku pas-pasan dan itu tidak membuatku merasa menyesal. Aku senang dengan apapun yang telah kucapai.

Di tahun terakhirku ini, aku akan memanfaatkan waktuku untuk menganalisis pasar. Aku ingin mencaritahu apa saja yang diinginkan oleh anak-anak Hogwarts untuk sebuah barang lelucon karena barang-barang lelucon buatanku adalah barang-barang yang memang sering dibutuhkan oleh para remaja. Selain itu, aku masih harus mengujicoba beberapa barang lelucon yang belum dijual ke pasaran; seperti kue kenari yang benar-benar membuatmu berubah menjadi burung kenari selama sekitar lima belas menit, bukan hanya berbulu seperti kue kenari buatan Dad; eliksir otak yang benar-benar akan membuatmu pintar; dan kotak Hantu—kotak yang bisa mengeluarkan hantu dan membuatmu sangat ketakutan. Aku tahu dengan sangat yakin bahwa Prefek Rose dan Prefek Al tidak akan menerima kalau anak-anak Hogwarts dijadikan kelinci percobaan, namun beberapa anak tentu menginginkan Galleon ekstra.

Hogwarts memang adalah sekolah elite, anak-anak penyihir kaya dan anak-anak pegawai Kementrian, semua bersekolah di sini. Namun, ada beberapa anak penyihir yang kehidupannya pas-pasan dan bahkan ada yang mendapat bantuan dana dari Hogwarts. Jadi, aku merasa perlu membuka lapangan kerja baru untuk mereka yang sangat membutuhkan Galleon, sepuluh Galleon untuk sekali ujicoba barang lelucon. Anak-anak yang menjadi kelinci percobaan biasanya adalah mereka yang memakai jubah bekas, dan yang barang-barang mereka dibeli di toko barang bekas Diagon Alley. Selain itu, ada juga anak-anak penyihir kaya yang telah kehabisan Galleon karena taruhan atau yang tidak mendapat Galleon dari orangtuanya karena telah melanggar peraturan atau apa pun. Jadi, pekerjaan yang kuberikan ini sangatlah membantu.

Sementara itu, Mom dengan tegas menolak apa pun yang kulakukan. Dia mengatakan bahwa aku harus memperhatikan pendidikanku. Dia ingin aku lulus NEWT dengan nilai top, tapi tentu saja aku tidak tertarik. Dad tidak terlalu peduli dan hanya tertawa, itulah yang kusukai dari Dad, dia tidak terlalu mementingkan pencapaian akademis. Pengalaman di luar lebih penting dari apa pun, begitulah kata Dad dan aku setuju. Tetapi Mom dengan dibantu oleh Roxy, yang kelihatannya sedang cari muka pada Mom, telah membuat peraturan baru; aku tidak boleh lagi membawa barang-barang lelucon ke Hogwarts. Mom telah membersihkan kamarku dari barang-barang lelucon dan aku menonton di sudut kamar saat Mom mengambil Topi Pengubah-Bentuk, Eliksir Otak, Bubuk Gatal dan semua barang-barang leluconku yang lain.

"Kau yang melaporkan tempat persembunyianku pada, Mom," desisku pada Roxy setelah menyeretnya ke sudut kamar, menjauh dari Mom yang sedang menggumamkan accio di udara.

Roxy menyeringai jahat.

"Aku dendam padamu," gertaknya.

"Apa?" balasku. "Apa yang kulakukan?"

"Kau mengambil semua kartu tiga dimensi pemain-pemain Quidditch tahun 1974 milikku," desisnya.

"Oh itu," aku agak merasa sedikit bersalah. "Saat itu aku sangat membutuhkan Galleon, aku kalah 90 Galleon saat bertaruh dengan James, lalu aku menjual kartu-kartu pada Scamander dengan harga 200 Galleon."

"Lorcan Scamander," jerit Roxy tertahan, kemudian mengumpat pelan agar Mom tidak mendengar. "Kau benar-benar keterlaluan, tahu tidak? Itu adalah kartu-kartu yang telah kukoleksi sejak berumur lima tahun dan kau malah menjualnya pada Scamander dan—"

"Aku tahu," selaku cepat. "Waktu itu aku sudah minta maaf, kan?"

"Aku tidak akan memaafkanmu sampai kau mendapatkan kembali kartu-kartuku," katanya.

"Kau kan sudah memberitahu Mom tempat persembunyian barang-barang lelucon buatanku, jadi kita impas."

"Oh, begitu," katanya tersenyum licik, kemudian berteriak keras, "Mom, dia menyimpan Kotak Berhantu-nya di sana!" dia menunjuk dinding kosong dekat lemari. Dinding itu akan membuka saat kita menekan tonjolan kecil di dekat lemari, dan sebuah ruang kecil tempatku menyimpan barang-barang lelucon akan muncul di baliknya.

"Tidak, Mom," teriakku, segera mendekati dinding itu. "Tidak ada apa-apa di sana!"

"Kotak itu telah membuat empat anak Gryffindor kelas dua pingsan semester lalu," lanjut Roxy.

"Mom, kau tidak bisa melakukan ini," kataku cepat. "Aku 17 tahun, aku berhak melakukan apa yang ingin kulakukan."

"Tidak, Fred," kata Mom tegas. "Selama kau masih bersekolah, kau akan tetap berada dalam pengawasanku."

Setelah berkata begitu, Mom membuka lemari dinding rahasia itu dan mengeluarkan Kotak Hantu berhargaku yang telah kubuat dengan sudah payah dan menghabiskan banyak Galleon. Aku memandang dengan sedih, ketika kotak itu menghilang dalam karung sampah, sementara Roxy menyeringai padaku dengan senang.

Kurasa tahun ketujuhku akan menjadi tahun yang membosankan karena semua barang-barang leluconku sudah disita.


Tanggal: Selasa, 27 Agustus 2022

Lokasi: Godric's Hollow nomor 23, West Country.

Waktu: 11.25 am

Godric's Hollow 23 adalah rumah mungil bertingkat tiga yang nyaman. Aunt Ginny telah menanam beberapa tanaman hias di depan rumah sehingga rumah tampak indah dan asri. Di sebelah kiri rumah tampak sebuah pohon besar dan sebuah bangku panjang melengkung di bawahnya. Louis, James dan aku duduk di bangku itu sambil memandang tanaman hias di depan rumah, sementara Rose, Al, Lily dan Hugo sedang melompat-lompat di depan kami sambil memainkan permainan aneh Muggle yang melibatkan batu pipih dan tanah yang digambar. Keempatnya membuat keributan yang tidak wajar dengan cekikikan yang keras dan teriakan bersemangat.

"Woi, apakah kalian tidak bisa diam?" tanya James jengkel.

Rose, Al, Lily dan Hugo semakin keras cekikikan dan mengabaikan James.

"Mana Roxy?" tanya Louis.

"Dia di The Burrow sedang memamerkan lencana kapten Quidditch-nya pada semua orang," jawabku.

Roxy memang semakin sangat menyebalkan selama seminggu ini sejak lencana Kapten datang bersama surat dari Hogwarts yang biasa. Tak henti-hentinya dia bicara tentang Quidditch dan dia menggunakan sisa liburan musim panasnya untuk memamerkan lencananya pada semua orang karena berhasil mengalahkan kandidat lain termasuk James dan aku.

"Kupikir lencana kapten akan jatuh ke tanganmu, James," kata Louis, memandang James.

"Tidak, aku tidak begitu terobsesi pada Quidditch, seperti Roxy," jawab James. "Aku ingin menjadi Auror seperti Dad."

James tampak sedikit stress dan pendiam. Ini sudah terjadi sejak awal liburan musim panas, entah apa yang menjadi beban pikirannya.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku, memperhatikannya.

"Sebenarnya tidak, ada beberapa hal yang aku pikirkan," katanya.

"Kukira ini tidak ada hubungannya dengan keluarga," kataku. "Bukankah kita sudah sepakat untuk merestui Lucy dan Dustin Wood?"

"Tidak, bukan keluarga," kata James.

"Apakah ini karena Gemma Farley, cewek Ravenclaw itu?" tanya Louis.

"Tidak, aku sudah putus dengannya," kata James.

"Mengapa kalian—" Louis mulai.

"James!" jerit Lily, melengking nyaring menyela perkataan Louis, kemudian mendekati James dan langsung duduk di antara James dan aku, sementara Rose, Al dan Hugo segera bergabung dengan kami. "Bagus, aku suka kau putus dengannya," Lily tampak bersemangat, dan merangkul pundak James.

"Aku juga tidak suka Gemma Farley," kata Rose.

"Kejutan, Rosie Posie, kulihat kau memang tidak menyukai semua cewek yang kencan dengan Louis, Al dan aku," kata James mendelik.

"Jangan memanggilku begitu, James," kata Rose balas mendelik. "Dan, aku bisa melihat bahwa cewek-cewek itu tidak mencintai kalian dengan tulus. Mereka hanya ingin terlihat hebat karena bersama cowok-cowok tampan dan terkenal."

"Aku tidak suka Gemma Farley karena dia memanggilku Lily Luna, aku benci panggilan itu," Lily nimbrung dengan sebal.

"Mungkin dia ada hubungannya dengan Scamander," kata Hugo. "Lysander juga memanggilmu begitu, kan?"

"Dan Lysander..." Lily mengepalkan tangannya dengan kuat sampai aku berpikir bahwa kulit telapak tangannya mungkin akan berdarah karena tertusuk kuku-kuku jarinya. "Aku sangat... sangat... sangat membencinya."

"Kau ingin kami melakukan sesuatu padanya?" tanyaku. "Masih ada sisi bubuk Wartcap—"

"TIDAK!" jerit Lily langsung berdiri, tampak cemas dan sedikit ketakutan.

"Mengapa kau takut padanya?" tanya James, memandang Lily dengan heran.

"Tidak," Lily tampak cemas lagi. "Aku hanya—"

"Bagaimana denganmu, Fred, siapa teman kencanmu?" tanya Rose, tiba-tiba mengubah topik, jelas sekali dia ingin agar kami tidak tahu apa yang terjadi antara Lily dan Lysander.

Lily memberikan senyuman terima kasih pada Rose, duduk kembali di antara James dan aku, lalu berkata, "Benar, aku belum pernah mendengar kau berciuman atau berkencan, Fred."

"Dia tidak punya teman kencan," jawab Louis sukarela.

"Fred!" Rose tampak shock, atau pura-pura shock agar terlihat dramatis aku tidak tahu. Rose kan sama seperti Lucy, Ratu Drama.

"Kau belum pernah berciuman Fred?" tanya Lily tak percaya.

"Aku tidak memikirkan hal itu," jawabku.

"Ya, dia tidak tertarik dengan lawan jenis," kata James cekikikan.

"Jadi kau tertarik dengan sejenis?" tanya Al, tampak shock, sementara James dan Louis tertawa.

"Hentikan James, Lou!" gertakku. "Dan, Al, aku bukan gay..." aku memandang Rose dan Lily, kemudian melanjutkan, "Aku tidak berkencan karena memang tidak ingin berkencan."

"Tetapi, tetapi kau pernah berciuman, kan?" tanya Lily.

"Tidak..." jawabku.

"Hore!" kata Lily senang. "Akhirnya ada juga yang belum pernah berciuman dalam keluarga ini..." dia merangkul pundakku, "Fred, kita sama, aku juga belum pernah berciuman."

"Dan kau memang tidak boleh berciuman dengan siapa pun sebelum kau lulus Hogwarts," gertak James, sementara Lily mendengus.

Aku memandangnya, kemudian memandang Rose dan Hugo, bertanya-tanya siapa yang telah mencium mereka.

"Hugo berciuman dengan Nerissa waktu kelas satu, Rose berciuman dengan Malfoy," Lily berkata seakan membaca pikiranku.

"APA?" James sudah berdiri dari bangkunya, dan memandang Rose. "Rosie Posie, siapa yang menyuruhmu mencium Malfoy?"

"Terima kasih, Lily," Rose mendelik pada Lily, lalu memandang James, "Aku tidak menciumnya, dia yang menciumku dan itu terjadi dua tahun yang lalu dan aku sudah melupakannya."

"Mengapa kalian baru memberitahuku sekarang?" tanya James.

"Karena itu tidak penting..."

"Apakah kau ingin kami melakukan sesuatu pada Malfoy, Rose?" tanyaku.

Sama seperti James, aku juga tidak setuju kalau ada cowok-cowok brengsek seperti Malfoy yang mendekati cewek-cewek kami.

"Itu sudah lama terjadi dan aku sudah melupakannya," kata Rose tegas.

"Lalu, apa itu di punggung tanganmu?" tanya Hugo, tak percaya.

"Ya, apa di punggung tanganmu, Rosie Posie?" tanya James jengkel.

Kami semua memandang tato kalajengking—scorpion—Rose di punggung tangan kirinya.

"Er, ini—"

"Jadi, Fred, ada rencana punya cewek tahun ini?" tanya Al, mengubah topik untuk menyelamatkan Rose dari rasa malu dan dari pandangan menyelidik James. "Kau kan kelas tujuh pasti kau ingin punya pacar sebelum meninggalkan Hogwarts."

Mengapa aku yang selalu jadi topik pembicaraan?

"Tidak," jawabku tak peduli.

"Aku kan sudah bilang, Fred tidak tertarik pada lawan jenis," kata James, kemudian cekikikan bersama Louis.

Aku mendelik pada mereka berdua.

"Fred, kau harus punya pacar," kata Al. "Aku akan memperkenalkanmu pada seorang cewek Hufflepuff yang manis."

"Mengapa Fred boleh punya pacar, sedangkan Rose dan aku tidak boleh punya pacar?" tanya Lily jengkel.

"Kau dan Rose baru boleh punya pacar setelah lulus Hogwarts," jawab James tegas. "Roxy juga, dan kami sudah membuatnya berjanji untuk tidak pacaran sebelum lulus Hogwarts."

"Bagaimana kalian membuatnya berjanji?" tanya Rose penasaran.

"James dan aku berjanji untuk tetap menjadi bagian dari tim Quidditch Gryffindor setelah dia jadi kaptennya, asal dia berjanji untuk tidak berpacaran sebelum lulus Hogwarts."

"Kalian tidak akan membuatku berjanji, aku akan berciuman saat aku kelas lima," kata Lily tegas. "Dan kau tidak akan tahu, kau sudah meninggalkan Hogwarts," dia mendelik pada James.

"Al, Hugo, awasi dia!" kata James. "Ya, dan aku juga akan meminta Lysander mengawasimu!"

"Tidak... Kau tidak akan meminta Lysander mengawasiku!" Lily sekarang sudah berdiri dan memelototi James.

"Aku bisa melakukannya," kata James, menyeringai. "Dan kau Rose, aku tidak mau mendengar kau berciuman atau pun berpegangan tangan dengan Malfoy karena Uncle Ron akan tahu dan kau akan mendapat masalah besar."

"Tanpa kau suruh pun, aku tidak akan akan melakukannya," kata Rose tegas. "Tato di punggung tanganku tidak ada hubungannya dengan si Muka Mayat itu."

"Bagus," kata James.

"Jadi, Fred, kau mau aku memperkenalkanmu dengan seorang cewek Hufflepuff?" tanya Al, memandangku.

"Terima kasih, Al," kataku. "Aku tidak tertarik."

"Aku tetap akan melakukannya," kata Al. "Mana boleh kau belum pernah berciuman, kau laki-laki dan tujuh belas tahun."

"Aku sibuk, Al, masih banyak yang harus kulakukan sehubungan dengan toko lelucon dan aku tidak punya waktu untuk berkencan."

"Kurasa Al benar," kata James, memandangku. "Kau harus segera punya pacar, Freddy."

"Aku sama sekali tidak tertarik, Jamie..."

"Tidak?" Louis sekarang sudah bergabung dengan James dan Al. "Florence Flume sangat menarik dan seksi, bagaimana kalau dia?"

"Sekali lagi kubilang tidak!"

Tetapi, James dan Louis sudah saling mendekatkan kepala dan membandingkan beberapa cewek cantik yang menurut mereka cocok untukku. Aku mendengus dan mengalihkan pandangan pada Rose, Al, Lily dan Hugo yang juga sudah saling mendekatkan kepala dan berbicara tentang cewek-cewek menarik menurut mereka baik hati.

"Baiklah," kata James setelah beberapa menit. "Sekarang kita memisahkan diri dalam kelompok. Rose dan Al, Lily dan Hugo, Louis dan aku. Setiap kelompok mencari satu cewek menarik dan seksi yang akan menjadi pacar Fred. Kelompok, yang cewek pilihannya berhasil dipilih Fred akan mendapat 80 Galleon dari dari dua kelompok yang kalah, bagaimana?" dia memandang Rose, Al, Lily dan Hugo.

"James!" kataku mendelik, aku tidak ingin kehidupan pribadiku menjadi bahan taruhan.

"Setuju," kata Al, tampak tertarik. "80 Galleon kurasa cukup, satu orang 40 Galleon, tapi kita harus menentukan batas waktu."

"Bagaimana kalau sampai liburan Natal?" kata Louis.

"Ya," kata James. "Sampai liburan Natal."

"Setuju!" kata Lily dan Hugo bersemangat, Rose dan Al mengangguk.

"Fred, kami akan mencarikanmu seorang cewek Slytherin yang benar-benar seksi," tambah Lily, mengedip padaku.

"Tidak... aku tidak ingin terlibat," kataku, menghindar.

"Ini demi kebaikanmu," kata Louis sok.

"Kebaikanku?" ulangku, mendelik. "Aku akan merasa sangat baik kalau kalian meninggalkanku sendiri."

"Tidak, Freddy, kami tidak akan meninggalkanmu sendiri," kata James.

"Dengar, aku tidak mau ke mana-mana diikuti cewek-cewek," kataku jengkel.

"Kau hanya perlu memilih salah satu dari mereka," kata Al tersenyum.

Aku memandang mereka semua dengan tidak percaya. Tahun ketujuhku tampaknya bukan hanya membosankan, tapi akan menjadi tahun yang mengerikan. Aku tahu sepupu-sepupuku tidak akan membiarkanku lulus Hogwarts tanpa cewek.


Tanggal: Minggu, 1 September 2022

Lokasi: Hogwarts Express.

Waktu: 11.25 am

Hogwarts Express melaju cepat ke Utara mengantar kami ke Hogwarts. Rose dan Al telah pergi ke gerbong Prefek untuk pertemuan pertama tahun ajaran baru dan bertemu dengan Ketua Murid yang baru. Louis sedang membaca sesuatu yang bersampul biru dengan gambar tumbuhan aneh di depannya, berjudul Tanaman-Tanaman Dunia Mimpi dan Di mana Mereka Bisa Ditemukan, karangan Miranda dan aku bermain catur sihir, dan pion-pion James beberapa kali meneriakkan nasihat-nasihat tak jelas tentang strategi pertempuran.

"Kau tertarik Herbology sekarang, Lou?" tanya James, melirik Louis, sementara pionnya menggumamkan protes bahwa dia tidak mau dikorbankan pada pion lawan.

"Ya, ada beberapa tanaman yang tampaknya sangat indah dan wajib dipelajari," kata Louis, tidak mengangkat wajah dari bukunya.

"Jadi rencana 195 Galleon kita berhasil dengan baik," kataku, mendorong satria untuk segera menjatuhkan pion yang terus memprotes itu.

"Rencana 195 Galleon?" ulang Louis, sekarang mengangkat muka dari bukunya.

"Sebenarnya kami menyewa Alice Longbottom untuk mengikutimu dan—Aduh!" keningku kena pion hasil lemparan James yang sangat tepat sasaran. "Mengapa kau melemparku dengan pion?"

"Menyewa Alice untuk mengikutiku dan apa, Fred?" tanya Louis ingin tahu, sementara James mendelik padaku.

"Tidak, dia tidak mengatakannya seperti itu," kata James. "Dia bilang dia menyuruh Alice untuk—"

"Tidak, James, dia memang mengatakan bahwa kalian menyewa Alice untuk mengikutiku dan aku ingin tahu kelanjutan kata-katanya," tuntut Louis, meletakkan bukunya dan menatap kami dengan tajam. "Katakan padaku, Fred!"

"Sebenarnya tidak seperti itu—"

"Aku tidak ingin mendengar kebohongan, Fred," katanya, duduk tegak di bangkunya dan masih menatap kami dengan tajam. "Aku sudah bersama kalian sejak lahir dan aku tahu kalau kalian sedang berbohong padaku."

Aku melirik James, sangat merasa bersalah. James mengangkat bahu pura-pura mengatur pion-nya di atas papan catur.

"Jadi?" tanya Louis.

"Er, kami menyewa Alice 195 Galleon di tahun ketiga untuk membantumu dalam Herbologi," kataku, memberitahunya. "Kami melakukan itu demi dirimu, kami tidak ingin kau terus membolos Herbologi dan akhirnya tidak lulus."

Louis tampak pucat dan merasa tertipu, dia mendelik pada James dan aku, berdiri kemudian mondar-mandir di kompartamen.

"Maaf, seharusnya kami mengatakannya padamu sejak awal," kataku, sekali lagi merasa bersalah.

Louis masih mondar-mondir.

"Oh, sudahlah Lou," kata James, meletakkan pion-pion yang dipegangnya sejak tadi dan memandang Louis. "Rencana kami berhasil dengan baik, kan? Kau berhasil lulus Herbologi dengan nilai OWL Outstanding, sekarang kau juga sudah menyukai Herbologi, jadi apa masalahnya?"

Louis berhenti mondar-mandir dan menatap kami dengan tajam.

"Kalian tidak mengerti... kalian sama sekali tidak mengerti!" dia mondar-mandir lagi.

"Kalau begitu jelaskan!" tuntutku, lama-lama pusing juga melihat Louis yang mondar-mandir.

"Mengapa kalian tidak mengatakannya dari awal?" tanya Louis, mendelik lagi.

"Kami sudah lupa tentang itu," kataku. "Itu sudah terjadi empat tahun yang lalu, dan tadi aku tiba-tiba ingat dan mengatakannya, sebenarnya kami berniat melupakannya selamanya."

"Melupakannya selamanya dan membiarkanku—membiarkanku tinggal dalam ketidaktahuan?"

"Jangan terlalu mendramatisirkan kejadian itu, Lou... Kurasa kau tidak rugi apa-apa, kau malah untung," kata James.

Louis kembali duduk di bangku dan memandang keluar jendela.

"Seharusnya aku tidak tahu tentang ini selamanya?"

"Apakah terjadi sesuatu, Lou?" tanyaku, melihatnya tampak sedih.

"Sebenarnya sesuatu sedang terjadi, tapi sekarang tidak lagi," jawabnya tanpa memandang kami.

James dan aku berpandangan, kami merasa bahwa Louis sedang menyembunyikan sesuatu, tapi tidak akan menanyakannya karena Louis bisa sangat keras kepala.

Tidak ada yang berbicara lagi selama beberapa menit, Louis kembali pada bukunya, dan tampaknya dia tidak membaca hanya memelototi halamannya, sedangkan James dan aku kembali pada permainan catur yang sempat tertunda. Pintu kompartemen menjeblak terbuka, Lily dan Hugo muncul bersama seorang anak perempuan Slytherin berambut pirang panjang, sangat cantik dengan mata biru yang indah.

"Fred," kata Lily. "Ini Zoe Crouch..." dia tersenyum pada si pirang, "Zoe, ini sepupuku Fred."

Zoe mengulurkan tangan, aku berdiri dan menjabat tangannya.

"Hai, Zoe!" kataku sopan, tak berani mengusir karena Lily berdiri siap di sampingnya dan memberikan tatapan 'aku akan mengirim surat pada Aunt Angelina kalau kau berani memperlakukan Zoe dengan buruk'.

"Hai Fred, aku senang akhirnya bisa berkenalan denganmu," kata Zoe tersenyum manis. "Aku sudah lama ingin berbicara denganmu."

"Zoe seangkatan denganku," kata Lily, menerangkan, tersenyum puas.

"Fred, bisakah kau mengajariku Herbologi kapan-kapan, Lily bilang kau sangat hebat dalam pelajaran itu," kata Zoe, masih tersenyum.

"Er, kurasa Louis lebih bisa dalam Herbologi..."

Aku memandang Louis dan melihatnya pura-pura tertidur dengan Tanaman-Tanaman Dunia Mimpi dan Di Mana Mereka Bisa Ditemukan menutupi wajahnya, sementara James menutup mulutnya menahan cekikikan.

"Kau akan mengajarinya Herbologi, kan, Fred?" tanya Lily tajam, dan tatapan 'Aku akan menulis pada Aunt Angelina' muncul di matanya.

Aku mengalihkan pandangan pada Hugo yang berdiri bersandar di pintu kompartemen sambil pura-pura memperhatikan pemandangan di luar jendela.

"Er, ya, baiklah," kataku.

Apa yang bisa kukatakan lagi? James dan Louis tidak membantuku, Hugo mendukung Lily. Jadi, aku akan menghabiskan enam bulan bersama cewek Slytherin yang memaksaku untuk mengajarinya Herbologi. Aku harus melakukan sesuatu.

"Terima kasih, Fred," kata Zoe tersenyum manis.

"Baiklah kalau begitu, Lil, aku kembali ke kompartemenku," dia tersenyum. "Sampai nanti, Fred!"

"Sampai jumpa!" kataku melambai pada Zoe, saat dia keluar kompartemen.

"Bagaimana?" tanya Lily, duduk dan tersenyum padaku.

Hugo menutu pintu kompartemen dan bergabung dengan Louis yang sudah bangun dengan tiba-tiba saat Zoe pergi. James masih cekikikan.

"Hentikan, Jamie... Dan terima kasih, Louis!" kataku jengkel, kemudian duduk di sebelah James.

"Bagaimana?" ulang Lily tak mau dialihkan.

"Kau mengancamku bagaiman aku bisa mengusirnya?" kataku tak percaya, mendelik pada Lily, lalu memandang papan catur di depanku.

"Kau tidak akan mengusirnya, Fred, kau harus bersikap sopan padanya," kata Lily. "Atau Aunt Angelina akan tahu dan—"

"Aku mengerti," selaku tanpa mengangkat muka.

"Lalu bagaimana kau menyukainya?" tanya Hugo tak sabar, kelihatan sekali dia sudah ingin menanyakan pertanyaan ini sejak tadi.

Aku mengangkat bahu.

"Fred?" Lily mendelik lagi.

"Masih ada kandidat lain, Fred... Florence Flume lebih cocok untukmu dari pada yang lain... Hobby kalian sama, dia juga tertarik pada barang-barang lelucon," kata Louis tak mau kalah.

"Aku tidak tertarik pada Florence Flume, Lou," kataku.

"Kalau begitu kau menyukai Zoe?" tanya Lily. "Itu berarti kita menang Hugo!"

"Belum," kata James. "Dia masih harus bertemu gadis lain... Kami akan mencari gadis cantik lain untuknya."

"Er, bisakah kalian melupakan ide kalian untuk mencarikanku teman kencan?"

"Tidak..." kata Hugo.

"Tidak..." kata James.

"Terserah," kataku, berdiri dan berjalan keluar kompartemen.

"Mau ke mana?" tanya James.

"Ke kamar mandi," jawabku jengkel.

Aku sedang berjalan ke kamar mandi saat Rose dan Al yang baru saja muncul dari gerbong Prefek memanggilku. Mereka mendekatiku bersama seorang gadis cantik berambut hitam, yang kelihatannya adalah salah satu dari cewek Hufflepuff.

"Fred, kenalkan ini Amisha Singhs," kata Rose, memandangku dengan tatapan yang sama seperti Lily: 'Aku akan menyurati Aunt Angelina kalau kau tidak bersikap sopan padanya.'

Apa yang bisa kulakukan setelah diberi tatapan seperti itu selain menjabat tangan Amisha Singhs dan berkata, "Hai Amisha!"

"Hai, Fred," kata Amisha tersenyum.

"Dia adalah Prefek Hufflepuff!" kata Al bersemangat.

"Bolehkah aku bicara denganmu kapan-kapan?" tanya Amisha.

Aku ingin menjawab dengan kasar, 'pergilah aku tidak ingin bicara denganmu', tapi aku menangkap pandangan Rose yang tajam dan berkata, "Baiklah Amisha, tentu aku akan senang bicara denganmu."

"Terima kasih, Fred," kata Amisha. "Kalau begitu sampai nanti!"

Setelah Amisha pergi, Rose dan Al langsung menyerbuku dengan pertanyaan.

"Bagaimana?"

"Dia cantik, kan?"

"Cantik," kataku tak sabar.

"Lalu?"

"Lalu apa? Begitu saja!"

"Fred," kata Rose.

"Aku ke kamar mandi dulu," kataku cepat-cepat dan berjalan menuju kamar mandi menjauh Rose yang mendelik dan Al yang tak sabar.

Mengapa aku harus punya sepupu yang suka mencampuri urusan orang lain? Bagaimana aku bisa menghindari Amisha dan Zoe kalau Rose dan Lily ada di belakang ke dua cewek itu. Belum lagi Florence Flume, dia pasti tidak akan meninggalkanku sendiri.


Tanggal: Senin, 8 September 2022

Lokasi: Hogwarts.

Waktu: 8.12 pm.

Minggu pertamaku di Hogwarts adalah minggu yang sangat mengerikan. Aku harus menemani Zoe di perpustakaan, mengerjakan esai Herbologi-nya tentang perdu yang mencambuki dirinya sendiri. Selama mengerjakan esainya Zoe sama sekali tidak bisa diam, dia terus berbicara tentang dirinya sendiri dan baju apa yang akan dipakainya saat kunjungan pertama ke Hogsmeade semester ini, di bulan Oktober nanti.

"Kau akan pergi bersamaku, kan, Fred?" tanya Zoe, penuh harap.

"Er—" aku terus saja membuka buku Pengantar Herbology dari Goshawk.

"Aku sudah mempersiapkan pakain musim gugur yang kupikir akan membuat penampilanku lebih menarik."

"Er—"

"Kurasa warna-warna cerah akan cocok untukku di musim gugur," kata Zoe. "Tidak mungkin aku memakai warna cokelat, kan? Aku bisa dikira pohon mati."

Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa cewek mementingkan pakaian lebih dari apa yang akan mereka makan malam nanti.

Sementara Amisha tak henti-hentinya menyapaku saat bertemu denganku di pergantian antar kelas atau saat makan malam.

"Fred, bagaimana kabarmu?" (Amisha)

"Baik." (aku)

"Aku tadi ikut pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib... dan kau tahu apa yang harus kami lakukan?" (Amisha)

"Tidak." (aku pura-pura tertarik)

"Unicorn, Fred..." (Amisham bersemangat) "Kami benar-benar menyentuh Unicorn dan itu adalah hal yang paling menakjubkan yang pernah kulakan."

Dan aku menghabiskan 30 menit untuk mendengarkan kuliah tentang Unicorn dari Amisha, membuatku merasa ingin ber-Apparate ke kamarku.

Florence Flume, teman Gryffindor-ku, tak henti-hentinya menyuruhku bercerita tentang barang-barang lelucon apa saja yang kupunyai; di mana aku menemukan ide untuk sebuah produk baru, bagaimana caraku membuatnya, bagaimana caraku mengujicoba produk baru, dan bagaimana caraku memasarkannya.

"Roxanne sudah bercerita padaku tentang apa yang terjadi, Freddy," katanya, saat kami sedang duduk di ruang rekreasi Gryffindor setelah makan malam. "Ibumu mengambil semua barang-barang leluconmu, kan? Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Para ibu memang kadang tidak mengerti bagaimana membuat anak-anak senang, tapi Freddy, kau bisa membuat barang-barang itu lagi, kan?"

"Er, ya..."

"Bagaimana kalau kita berkolaborasi... Dari dulu aku selalu ingin membuat sebuah barang lelucun yang namanya memakai namaku, misalnya Lovely Florence atau yang seperti itu... Tetapi, aku tertarik dengan Kotak Berhantu-mu... Kotak di buka dan hantu muncul dengan teriakan 'BOO!'... kurasa kotak itu sangat oke, bagaimana kalau kita membuatnya kembali. Mantra apa saja yang kau gunakan pada kotak itu?"

Aku tidak tahan lagi, aku tidak bisa menjalani enam bulan dengan dikejar-kejar oleh tiga cewek yang cerewet dan menyebalkan. Aku harus melakukan sesuatu, tapi apa? Pada saat yang sama dari kamar anak-anak perempuan muncul Lyra, salah seorang kelinci percobaan barang-barang lelucon. Dia adalah seorang gadis miskin yang memakai baju bekas dan semua barang-barangnya adalah dari toko barang loakan di Diagon Alley dan dia adalah cewek yang akan melakukan apapun demi uang. Tiba-tiba sebuah ide ajaib muncul di kepalaku.

"Er, maaf, Florence, aku harus bicara dengan Lyra... dia ada di sana, maaf!" kataku, menyela Florence yang bermonolog tentang Kotak Hantu buatanku.

"Apa?" dia tampak terkejut.

"Sampai nanti, Florence," kataku, kemudian memanggil, "Lyra!" dan berjalan menuju Lyra, menghindari pandangan jengkel Florence.

Lyra, yang sudah mencapai pintu lukisan Nyonya Gemuk, berhenti dan tersenyum senang padaku.

"Oh, kebetulan sekali, Fred," kata Lyra, setelah aku tiba di dekatnya. "Aku memang sudah ingin bicara denganmu sejak awal semester tapi kau kelihatannya sibuk dengan cewek-cewek cantik, jadi aku tidak bisa bicara denganmu."

"Kau ingin bicara apa?" tanyaku.

Lyra memandang berkeliling, "Ayo, kita ke sana!" katanya, lalu berjalan duduk di kursi yang jauh dari Florence yang mendelik.

Aku mengikutinya.

"Aku butuh Galleon," katanya, saat kami sudah jauh dari jangkauan telinga anak-anak yang suka ingin tahu. "Kau perlu kelinci percobaan untuk produk barumu, kan?"

"Tahun ini aku tidak mencoba produk baru," jawabku. "Mom telah menyita semua barang-barang lelucon buatanku."

"Yaa..." Lyra tampak sangat sedih. "Tapi aku sangat butuh Galleon."

"Aku akan memberimu pekerjaan lain," kataku.

"Pekerjaan lain?" dia bertanya terkejut, kemudian melanjutkan. "Aku akan menerima pekerjaan apa pun asalkan kau tidak menyuruhku membunuh orang."

"Tidak, tentu saja aku tidak menyuruhmu membunuh orang..." kataku cepat. "Pekerjaan ini sangat mudah, kau hanya perlu menjadi pacarku dalan enam bulan ini dan aku akan memberimu 200 Galleon."

"Ha?" Lyra tampak terkejut.

"200 Galleon," kataku, mencoba membuatnya tertarik. "Tugasmu hanyalah berkencan denganku, membiarkanku memegang tanganmu dan memciummu di depan anak-anak lain."

"Tetapi mengapa?" dia tampak heran. "Mengapa kau mesti membayar seseorang untuk jadi pacarmu? Kau kan bisa meminta salah seorang dari tiga cewek cantik yang bersamamu itu sebagai pacarmu."

"Tidak bisa..." kataku. "Aku memintamu jadi pacarku karena aku ingin mereka menjauhiku..."

"Aku masih belum mengerti," katanya. "Kalau kau ingin mereka menjauhimu, kau kan tinggal bilang saja pada mereka untuk menjauhimu."

"Masalahnya aku tidak bisa melakukan itu... sepupu-sepupuku sendiri yang memastikan aku bersikap sopan terhadap mereka."

"Er, maksudmu, sepupu-sepupumu menyuruh cewek-cewek itu untuk mendekatimu."

"Benar!"

"Mengapa?"

"Karena mereka ingin aku punya teman kencan, sedangkan aku tidak ingin berkencan..."

"Jadi kau memintaku untuk melindungimu dari cewek-cewek ini?"

"Ya, seperti itu... kita akan mengatakan pada semua orang bahwa kau pacarku dan setelah itu aku bisa terbebas dari cewek-cewek itu dan dari sepupu-sepupuku."

"Tampaknya ini pekerjaan mudah," katanya sambil berpikir.

"Ya, sangat mudah... aku akan memberimu bonus 20 Galleon kalau berhasil," kataku, memberi iming-iming Galleon.

"Jadi 220 Galleon?"

"Ya, 220 Galleon!"

"Aku mau 1000 Galleon," katanya. "Kau kan nanti akan menciumku di depan orang, bukan sekedar kecupan, tapi ciuman; bibirmu, air liurmu dan lidahmu akan masuk ke mulutku dan—" dia mengigil jijik. "Itu menjijikkan!"

"Aku tidak punya uang sebanyak itu," kataku, entah kenapa agak sebal.

"Kau punya uang sebanyak itu, Fred, jangan berpura-pura miskin... kehidupanmu tidak seperti kehidupanku... kau pasti punya 1000 Galleon. 1000 Galleon untukku, pasti hanyalah 1 Galleon untukmu."

"Baik..." kataku. "Aku akan memberikan 500 Galleon sebagai uang muka, sisanya akan kuberikan setelah liburan Natal."

"Setuju!" katanya, kemudian mengeluarkan perkamen dan pena bulu dari tasnya dan mulai menulis.

Aku membiarkannya menulis selama beberapa menit dan sudah akan bertanya ketika dia menyodorkan perkamen itu padaku.

"Bacalah! Ini Kontrak Kerja kita beserta syarat-syaratnya," katanya. "Kalau kau setuju langsung tandatangan, kalau tidak kita akan membahasnya lagi."

Aku mengambil perkamen itu dan memerikasanya.

Lembaran Kontrak Kerja

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Pihak Pertama

Nama: Lyra Morris

Umur: 17 tahun

Alamat: Hillingdon nomor 9, London

Akan bekerja sebagai pacar selama enam bulan dengan bayaran 1000 Galleon pada,

Pihak Kedua

Nama: Fred Weasley

Umur: 17 tahun

Alamat: Waltham Forest 36, London

Persyaratan:

Satu: Berpegang tangan dan berciuman hanya di depan murid-murid Hogwarts.

Kedua: Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing pihak.

Ketiga: 50 persen bayaran diterima dimuka.

Keempat: Jika pihak kedua jatuh cinta, kontrak kerja ini batal, tapi pihak pertama tetap akan menerima sisa pembayaran.

Hormat saya, Hogwarts, Senin 8 September 2022

Pihak Pertama, Pihak Kedua,

Lyra Morris Fred Weasley

"Bagaimana?" tanya Lyra setelah aku selesai membaca.

"Bagaimana kalau kau yang jatuh cinta, apakah kontrak kerja kita akan batal?" tanyaku.

"Tidak, aku tidak akan jatuh cinta," katanya yakin. "Aku akan patuh pada kontrak kerja ini."

"Baiklah," kataku, kemudian mencantumkan tandatanganku di bawah pihak kedua.

Lyra tersenyum, mengambil perkamen dari tanganku, mengopinya menjadi dua dan memberikan satu padaku.

"Ini," katanya.

Aku mengambilnya dan menyimpan perkamen itu di tasku.

"Dengar, kita harus merahasiakan hal ini..." kataku tegas. "Kau tidak boleh menceritakan tentang ini pada siapa pun, juga pada sahabatmu, Alice!"

"Aku mengerti," kata Lyra, menyimpan surat kontrak ke dalam tasnya. "Kapan kita mulai!"

"Saat sarapan pagi besok!" kataku. "Sebelum itu kita harus tahu tentang diri kita masing-masing."

"Baiklah, ceritakan tentang dirimu!" katanya.

"Nama tengahku George," kataku. "Dad mengelolah toko lelucon di Diagon Alley dan—"

"Aku sudah tahu tentang hal-hal itu, maksudku hal-hal pribadi seperti apa hobimu, apa yang kau sukai dan tidak sukai, apa kebiasaanmu dan hal-hal seperti itu..."

"Baiklah," kataku, berpikir sebentar kemudian melanjutkan. "Hobiku adalah membuat barang-barang lelucon dan membantu Dad di toko lelucon... Aku tidak suka pada orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Aku tidak punya kebiasaan khusus, tapi aku suka bermain Quidditch bersama sepupu-sepupuku di musim panas."

"Siapa yang paling kau sayangi?"

"Aku sangat menyayangi keluargaku," jawabku tersenyum. "Nah, ceritakan tentang dirimu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu."

"Keluargaku hanyalah ibuku, dan dia adalah Muggle," jawab Lyra. "Aku tidak tahu apa-apa tentang ayahku, ibuku menolak menceritakannya..." dia menggelengkan kepala seolah ingin melupakan sesuatu yang menyedihkan. "Ibuku bekerja sebagai pelayan restoran di Baker Street, kehidupan kami sangat pas-pasan, karena itulah aku juga harus bekerja."

"Hobi?"

"Bekerja."

"Ada yang tidak kau sukai?"

"Kemiskinan dan penderitaan."

"Kebiasaan khusus?"

"Aku suka mendengarkan The Shadow Men saat aku sedang sedih."

"The Shadow Men? Cinta tanpa Ramuan Cinta?" tanyaku, lalu mulai menyanyikan sepenggal lagu itu.

Aku mencintaimu... aku begitu mencintaimu

Mengapa kau pergi dengannya? Apakah karena ramuan cinta?

Kumohon lupakan ramuan cinta itu, aku bersedia bersamamu selamanya

Meskipun tanpa ramuan cinta.

"Bukan... Terbang Bersama Sapu Terbang!" jawabnya, kemudian dia juga mulai menyanyikan sepenggal lagu itu.

Aku hanyalah setitik debu di jagat raya, tak berguna dan lemah.

Tak ada satu pun yang bisa kuraih, semua terlalu jauh untuk dijangkau oleh tangaku.

Tapi aku punya harapan yang membuatku tetap hidup.

Dan aku percaya sapu terbang bisa membawaku sampai ke langit biru

Segala penderitaan dan kesedihanku akan hilang

Saatku terbang bersama sapu terbang...

Aku mendengarnya menyanyi dan akhirnya mengerti mengapa dia menyukai lagu ini. Tentu hidupnya sangat susah tanpa ayah, juga tanpa siapa pun kecuali ibunya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi denganku kalau aku seperti dirinya.

"Ada pertanyaan lain?" dia bertanya.

"Pernah berciuman?"

"Pernah, saatku berumur 9 tahun dengan tetanggaku, seorang anak laki-laki yang baik hati. Dia pernah membelaku saat anak-anak lain mengejekku," dia memandang ke karpet kusam di lantai, tapi tidak benar-benar melihatnya.

"Kau masih berhubungan dengannya?"

"Tidak lagi, aku terlalu sibuk bekerja dan tidak memikirkan hal-hal seperti itu."

"Jadi tidak punya pacar?"

"Tidak ada... Galleon dan membahagiakan ibuku adalah yang terpenting dari segala," katanya.

"Aku mengerti," kataku.

"Kau tidak mengerti," katanya keras. "Kalian orang kaya biasanya tidak mengerti apa yang kami, orang-orang tak mampu, rasakan."

"Er, maaf," kataku, sedikit kebingungan.

"Tidak apa-apa... Maaf, aku agak keras padamu... Kehidupanlah yang membuatku seperti ini..." katanya, kemudian tersenyum. "Ayo, kita lupakan tentang kehidupanku, apa yang kita katakan pada sepupu-sepupumu kalau mereka bertanya bagaiman kita berdua bisa jadian?"

"Bilang saja, kita sudah lama saling menyukai dan baru mengakuinya sekarang," kataku.

"Dan kau menyatakan suka padaku saat aku sedang mengerjakan tugas Transfigurasi di perpustakaan... Kau begitu mencintaiku sehingga tak mampu untuk memendam perasaanmu berlama-lama dan aku yang juga sangat mencintaimu akhirnya menerima cintamu dengan syarat—"

"Mengapa harus pakai syarat?" tanyaku jengkel.

"Er, maaf, daya imaginasiku kadang-kadang berlebihan, oke, berarti tidak ada syarat."

"Ya, setelah itu, kita berciuman dan akhirnya jadian..." kataku, mengakhiri.

"Ya, ciuman yang indah dan manis seperti madu... kau membuatku melayang dan ciumanmu yang panas membara karena memendam cinta selama tiga tahun."

"Tiga tahun?" tanyaku.

"Yah, agar lebih nyata, kita harus membuat waktunya."

"Oke, baiklah, kita harus berlatih mulai sekarang... kemarikan tanganmu aku harus memegangnya agar terbiasa!"

"Tidak, 500 Galleon dulu!" katanya mengulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka.

"Kantong uangku di atas, aku tidak membawanya," kataku. "Aku akan memberikan uang muka besok."

"Baiklah," katanya, tangannya masih terulur dan aku segera memegang tangannya.

"Telapak tanganmu sangat kasar, apa saja yang kau lakukan?" tanyaku, memperhatikan telapak tangannya yang kapalan.

"Aku kan harus kerja, pekerjaan berat, meskipun memakai kaos tangan tetap saja tanganku akan kapalan."

"Apa yang kau lakukan?"

"Selama musim panas ini, aku menjadi penyapu jalan di Baker Street dan pencuci piring di tempat ibuku bekerja," jawabnya, memandang tangannya yang masih dalam genggamanku.

"Oh, kau tidak membeli lotion tangan?" tanyaku, teringat banyak sekali lotion tangan yang dimiliki Mom dan Roxy.

"Uangku dipakai untuk kehidupan kami sehari-hari, Fred, kalau aku lebih mementingkan lotion tangan bagaimana Mom dan aku bisa makan, membayar tagihan listrik, air, telepon, dan keperluan lainnya."

"Kau kan penyihir kau bisa menghasilkan air dan cahaya dari tongkat sihirmu," kataku.

"Ku baru berumur tujuh belas tahun sekarang Fred, aku tidak bisa melakukan waktu aku masih berumur sebelas tahun... lagi pula aku tinggal bersama Mom yang adalah Muggle, Mom ingin aku juga bertingkah laku sebagai Muggle, dia benci sihir."

"Mengapa?"

"Aku tidak tahu, tapi aku akan melakukan apapun agar Mom bahagia, meskipun harus melupakan bahwa aku adalah penyihir."

Aku terdiam sesaat memandangnya.

"Kau sangat menyayangi ibumu?"

"Ya, lebih dari hidupku sendiri," jawabnya.

Kami terdiam selama beberapa saat. Aku tidak tahu harus berkomentar bagaimana terhadap pernyataan ini. Aku juga sangat menyayangi orangtuaku, tapi aku belum pernah menemukan seseorang yang menyatakannya seperti ini. Kedengarannya biasa saja, tapi sarat akan makna yang terpendam dan mengharukan. Tanpa sadar aku mencengkram tangannya yang ada dalam genggamanku. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan, tapi aku hanya ingin memegang tangan ini dan meyakinkannya bahwa hidup akan baik-baik saja.

"Aku tidak memerlukan rasa kasihanmu," katanya seolah membaca pikiranku.

"Tentu saja," kataku.

"Tetapi aku memang membutuhkan seribu Galleon itu," katanya. "Aku harus membeli jubah baru. Lihatlah, jubah ini sudah sangat tua dan kusam, dasinya juga sudah tidak seperti dasi Gryffindor lagi," dia mengeluarkan dasi dari balik jubahnya dan memandangnnya dengan kritis.

"Kau mau aku membelikanmu dasi?" tanyaku.

"Tidak usah, terima kasih, tapi kalau aku mendapat 500 Galleon aku akan bisa membeli jubah dan dasi baru."

"Ya, kau akan bisa membelinya, kau juga bisa membeli lotion tangan."

"Tidak... aku akan menyimpan Galleonku untuk hal yang lebih penting daripada sebuah lotion tangan."

"Tapi, tanganmu—"

"Apa yang kalian lakukan?" terdengar desis tak percaya Florence dari atas kami.

Lyra menarik tangan dari tanganku, tapi aku mencengkram tangannya dengan erat, kemudian mengangkat muka memandang Florence.

"Oh, Florence," kataku, berdiri dan menarik Lyra bersamaku.

"Lyra dan aku baru saja jadian," kataku, merangkul pundaknya, membuatnya bersandar ke tubuhku.

Florence mendelik pada Lyra, lalu padaku.

"Aku tidak mempercayainya," kata Florence. "Kau tidak mungkin suka padanya, Fred, dia tidak selevel dengan kita... Dia—maafkan aku, Lyra—miskin... Lihat jubahnya, Fred, kau tidak mungkin menyukai cewek seperti dia dan—"

Sebelum Florence menyelesaikan kata-katanya, aku sudah menunduk dan mencium Lyra tepat di bibir. Kami berciuman selama beberapa saat, setelah itu aku mengangkat muka dan memandang Florence yang shock.

"Aku jatuh cinta pada Lyra, Florence, dan kami sekarang berkencan," kataku. "Aku tidak ingin kau menghinanya..."

"Apakah James dan Louis tahu tentang ini?" tanya Florence, setelah mengatasi rasa shocknya.

"Aku baru akan memberitahu mereka nanti," jawabku.

"Terserah," kata Florence, memandang Lyra dengan sengit dan segera berjalan ke kamar anak-anak perempuan, sementara anak-anak Gryffindor lain yang sedang duduk di ruang rekreasi memandang kami dengan ingin tahu.

"Dia membenciku," kata Lyra melepaskan diri dari rangkulanku dan duduk kembali.

"Dia akan baik-baik saja nanti," kataku, duduk di sebelahnya.

"Kulihat kau menanggapi segalanya dengan santai," katanya.

"Jadi harus ditanggapi bagaimana? Aku memang tidak menyukainya..."

"Dia mungkin akan membunuhku saat aku naik ke atas sebentar."

"Kau kan bisa mengatasinya, demi 1000 Galleon," kataku, memberi semangat.

"Benar juga seribu Galleon... aku akan bisa melewati enam bulan ini dengan baik," katanya bersemangat.

Aku tersenyum.

"Kalau begitu beres," kataku. "Sampai jumpa, besok... tunggu aku di sini dan kita akan turun sarapan bersama."

"Oke," katanya.

Aku tersenyum dan berjalan menuju kamar anak laki-laki. Saat menaiki tangga aku berpikir bahwa aku bisa mengatasi enam bulan ini dengan mudah. Lyra akan membantu menjauhkanku dari cewek-cewek tak jelas. Tanpa sadar aku menyentuh bibirku, tadi adalah ciuman pertamaku. Aku senang karena bisa melakukannya bersama Lyra.


Tanggal: Selasa, 9 September 2022

Lokasi: Hogwarts.

Waktu: 8.00 am.

Lyra sudah menungguku di ruang rekreasi saat aku turun bersama James dan Louis, keesokan paginya. Dia memakai jubah hitam pudar seperti yang dipakainya semalam, dasinya juga tampak kusam dan tak layak dipakai lagi. Rambut hitamnya yang hitam, panjang dan tebal diikat di belakang kepalanya. Dia tersenyum padamu, menampilkan gigi-gigi putih dan rata.

"Hai, Fred," katanya. "James, Louis..." dia tersenyum pada James dan Louis, yang balas berhai-hai dengan sedikit terkejut karena meskipun seangkatan Lyra tidak pernah bicara dengan mereka.

"Lyra," kataku segera mendekatinya. "Sudah lama kau di sini?"

"Aku baru saja turun," katanya.

James dan Louis tampak terpana, aku ingin tertawa dalam hati. Sudah saatnya aku memberitahu mereka bahwa Lyra adalah pacarku.

"James, Lou, aku lupa mengatakan pada kalian," kataku, mengambil tangan Lyra dan menggenggamnya. "Lyra dan aku jadian semalam."

"Oh..." James dan Louis hanya melongo.

"Sebenarnya kau sudah menyukainya sejak lama, tapi baru kali ini aku punya keberanian untuk mengatakannya padanya," kataku, tersemyum pada Lyra yang balas tersenyum dan tersenyum pada James dan Louis yang melongo.

"Er, bagus kalau begitu," kata Louis.

"Ya, bagus sekali," kata James.

Aku tersenyum dalam hati. James dan Louis benar-benar percaya dengan kebohonganku, padahal mereka biasanya selalu tahu kalau aku sedang berbohong, tapi kali ini mereka mempercayainya. Aku melirik Lyra dan tersenyum manis.

"Kita berhasil menipu mereka," bisikku perlahan di telinganya.

Lyra tersenyum, James dan Louis semakin melongo seolah belum pernah melihatku sebelumnya.

"Kalau begitu, yuk kita turun," kata Lyra dan menarikku menuju pintu lukisan.

"Aku duluan," kataku pada James dan Louis yang masih melongo.

Kami berjalan menyusuri koridor tenpat lukisan Nyonya Gemuk berada dan aku tertawa kecil.

"Kalau kita berhasil meyakinkan James dan Louis, kita akan bisa bisa meyakinkan yang lain," kataku.

"Bagaimana dengan Roxy, dia kembaranmu dia pasti akan tahu apa yang terjadi," kata Lyra tampak cemas.

"Tidak... dia tidak akan tahu," kataku. "James dan Louis biasanya selalu tahu kalau aku sedang berbohong, tapi kalau kita bisa menipu mereka berdua, menipu yang lain akan sangat mudah.

Lyra hanya menggeleng kepala, tapi aku tidak peduli apa yang dia pikirkan. Aku senang karena bisa menyingkirkan James dan Louis, selanjutkan tinggal menyingkirkan Rose, Al dan Amisha, juga Lily, Hugo dan Zoe.

"Hai, semua!" kataku penuh semangat saat Lyra dan aku tiba di meja Gryffindor, langsung duduk di tempat kosong di depan Rose dan Al.

Lyra duduk di sebelahku tampak salah tingkah, Rose dan Al memandangnya dengan ingin tahu.

"Ini Lyra," kataku, memperkenalkan Lyra pada Rose dan Al.

"Kami mengenalmu, Lyra Morris, kan?" kata Rose.

"Benar, Rose..." kata Lyra. "Aku boleh memanggilmu Rose, kan?"

"Er, ya," Rose tampak agak bingung.

"Hai Al," kata Lyra pada Al yang juga tampak bingung.

"Lyra ini pacarku, Rose, Al," kataku, menjelaskan.

"Apa?" Rose dan Al tampak terkejut.

"Kami jadian semalam," kataku, mengulang apa yang sudah kukatakan pada James dan Louis.

"Oh," kata Al, sementara Rose sudah kembali pada roti panggang di depanya.

Beberapa saat kemudian James dan Louis bergabung bersama kami dan kami mulai membicarakan Quidditch, sementara Lyra sudah berbisik-bisik dengan sahabatnya Alice. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak ingin tahu. Aku terlalu senang karena berhasil menyingkarkan sepupu-sepupuku. Aku yakin sebentar lagi Lily dan Hugo akan bergabung bersama kami, tapi ternyata bukan Lily dan Hugo, tapi Zoe. Dia langsung datang dan duduk di antara Lyra dan aku.

"Fred," katanya bersemangat. "Hari ini ada waktu, tidak?"

Sebelum aku berkata apa-apa, Lyra telah berkata,

"Fred, siapa gadis cantik ini? Maukah kau memperkenalkan kami?"

Zoe mendelik pada Lyra.

"Kau siapa?"

"Namaku Lyra Morris dan aku adalah pacar Fred," kata Lyra tersenyum, tapi memberikan pandangan tajam pada Zoe.

Aku menahan diri untuk tidak tertawa melihat wajah kebingungan Zoe.

"Pacar?" Zoe memandangku.

"Ya, Lyra pacarku, Zoe," kataku.

"Oh, oke..." kata Zoe, lalu berdiri. "Aku pergi dulu!"

Aku memandangnya pergi sambil tertawa kecil yang membuat Lyra mendelik padaku.

"Apa?" tanyaku.

"Kau membuatku jadi cewek berdarah dingin," kataku.

"Cewek berdarah dingin?" ulangku, setelah mengunyah oatmeal yang sedikit mengental di mulutku.

"Aku jadi tampak seperti penjahat karena mengusir Zoe—itu namanya, kan?"

"Ya, namanya Zoe, tapi begitulah yang harus terjadi sekarang, kan?" aku segera merangkul pundaknya untuk mengingatkannya bahwa saat ini kami sedang berakting sebagai sepasang kekasih. "Kau tidak cemburu melihatku bersama Zoe?"

Lyra terpana sesaat, kemudian berkata lembut, kelihatan dibuat-buat,

"Oh Fred, sayang, aku sebenar benci melihatmu bersama Zoe, tapi aku senang dia akhirnya tidak mengganggu kita lagi," dia tersenyum. "Dan, sayang, bisakah kau tidak berbicara dengan gadis lain selain aku?"

"Tentu," kataku, mencium keningnya.

James, Louis, Rose dan Al segera membuang muka dan berpura-pura tertarik pada sarapan masing-masing.

Aku kembali pada sarapanku sendiri dan tersenyum. Akhirnya, aku terbebas dari sepupu-sepupuku yang sangat peduli padaku. Sekarang aku bisa dengan tenang mengerjakan proyekku semester ini, yaitu menganalisis pasar barang-barang lelucon dan membuat kembali segala barang-barang lelucon yang telah dihancurkan Mom.


REVIEW PLEASE! See you in KNG 5 chapter 2

Riwa Rambu :D