Ochan Malfoy: thanks dah review:D SpiritSky: benar sekali, thanks dah review:D Nafau Chance: nti Julian bcr dgx, thanks dah review:D Alia Yunara: Nti q kan cek, thanks dah review:D Kira: hrs review donk!biarku semangat, thanks dah review:D Valleri Lovegood: sori, g bs update hr ini jg soalx msh dketi bosan d-review mlhan sblikx sng bgt, thanks dah review:D Putri: mrk jdian d-ch ini, thanks dah review:D Widy: Ne ch trakhir, thanks dah review:D DarkBlueSong: thanks u/ nama2x, thanks dah review:D Rise: Thanks, usulan namax, n thanks dan review:D Alesya GDH: iya, Krum yang itu he3x, thanks dah review:D CN Bluetory: q sng ada lagunya, thanks dah review:D Megu Takuma: thanks, thanks dah review:D Dramione Everlark: Thanks dah review :D

Selamat membaca chapter 5, tetap review, ya, biarku semangat update!


Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1: Ciuman yang Salah

KISAH NEXT GENERATION 2: DIAM-DIAM MENCINTAIMU

Chapter 5

Tanggal: Rabu, 4 September 2019

Lokasi: Kelas Kosong Lantai Enam

Waktu: Sehabis makan malam

Dear Diary,

Akhirnya aku bisa bicara dengan Julian, entah bagaimana itu terjadi, aku tidak tahu. Aku pikir dia membenciku karena kejadian dua hari yang lalu, namun, dia dengan senang hati meminjamkan catatannya padaku. Itu berarti dia tidak membenciku dan hubungan kami bisa naik satu tingkat, menjadi teman, kalau saja aku tidak gugup saat bicara dengannya. Julian memang baik hati, mudah memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Bagaimana aku bisa membalas semua kebaikannya ini? Aku harus membantunya mendapatkan cewek berambut merah yang dicintainya.

Aku tahu kau pasti bertanya tentang cewek kelas lima berambut merah itu, kan? Aku tahu dia bukan cewek yang dicintai Julian karena mata cewek itu bukan cokelat, cewek itu bermata biru. Berarti di luar sana masih ada cewek yang dicintai Julian. Dan perasaanku padanya mungkin akan dikubur saja di dalam sudut hatiku. Aku mungkin tidak akan melaksanakan misi keempat: menulis surat cinta untuk Julian. Sulit bagiku untuk menulis sebuah surat cinta sedangkan aku tahu bahwa akhirnya dia tidak akan menjadi milikku.

Dan Dustin, tampaknya ingin aku berteman dengan Julian. Dia selalu berusaha membuat aku berteman dengannya dan aku selalu mengabaikannya di setiap kesempatan karena kegugupanku. Bagaimana aku bisa mengatasi kegugupanku ini?

Baiklah, kalau ada kesempatan lain aku akan berusaha, menatap matanya dan berbicara selayaknya teman akrab.

"Kau sedang mencatat apa?" tanya Lucy, dia dan Dom baru saja masuk di tempat pertemuan kami yang biasa dan langsung duduk di samping kiri dan kananku.

"Transfigurasi," kataku, menunduk lagi dan mencatat.

"Aku dengar kau pura-pura patah tangan dan bolos Transfigurasi... ada apa sih denganmu?" tanya Dom.

"Aku baik-baik saja," kataku, tak peduli.

"Dad bisa mati berdiri kalau mendengar tentang ini, Mol," kata Lucy.

"Dia tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahunya," balasku, masih menulis.

Lucy tertawa dan merebut catatan Julian sebelum aku bisa mencegahnya.

"Julian Davies," Lucy membaca nama di catatan itu.

"Kembalikan!" desisku.

Lucy melemparkan catatan itu di meja, sementara Dom tertawa.

"Mol, kau ingat aku pernah bilang bahwa Dad lebih suka pegawai Kementrian daripada pemain Quidditch?"

"Godric, Lucy, aku cuma meminjam catatannya?"

Lucy mengangkat alis tidak percaya.

"Bagaimana kabar Spikey, Dom?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

"Kemarin malam aku tidak bisa bertemu dengannya berkat orang brengsek yang mempermainkan aku dengan melemparkan kesalahannya padaku," kata Dom geram.

Aku menahan diri agar air mukaku tetap netral.

"Malam ini kau akan ke Hog's Head lagi?" tanyaku.

"Ya, aku harus minta maaf padanya karena tidak datang kemarin malam, kan?" kata Dom, dan pikirannya menerawang. "Dia pasti bertanya-tanya aku di mana."

"Lebih baik, kau jangan ke Hogsmeade malam ini, Dom, kurasa dia tidak akan datang," kataku, tahu dengan jelas sekali bahwa malam ini Spikey ada di St. Mungo dengan tubuh babak belur.

"Tidak, aku yakin dia datang dan aku harus pergi, aku merindukannya," kata Dom.

"Terserah," kataku.

Kami terdiam. Aku melanjutkan catatan Transfigurasiku, Lucy masih memandangku dengan tidak puas, dan Dom memandang papan tulis dengan pikiran menerawang, mungkin teringat Spikey.

Ruangan terasa sunyi, hanya bunyi gesekan pena bulu di perkamen yang terdengar. Aku senang saat Fred, Roxy, James, Louis, Rose dan Al masuk dengan ribut, mereka berbicara tentang pertandingan Quidditch awal semester dan bagaimana mereka ingin mengalah Ravenclaw.

"Tenang semua," kata Lucy keras, mengatasi cekikikan Roxy yang sebelumnya mengatakan bahwa dia akan mengalahkan Lorcan Scamander dalam membuat gol. "Di sini ada cewek Ravenclaw, dan kalian mau tahu sesuatu, dia sedang menyalin catatan dari catatan milik kapten Quidditch Ravenclaw."

"Diam, Lucy," gertakku.

Sementara Fred, James, Louis dan Roxy memelototiku, Al dan Rose tertawa.

"Molly, aku kan sudah pernah bilang Davies itu sok keren," kata James.

"Aku benci pemain Quidditch Ravenclaw," kata Roxy.

"Dengar, Julian dan aku―"

Pintu ruang kelas terbuka lagi, Lily dan Hugo muncul dengan terengah-engah, dan langsung duduk menghadapiku di meja bundar.

"Kami masih harus mencari ruang kelas ini dan―" kata Lily terengah.

"Rose, kau tidak memberitahu mereka posisi ruangan ini?" tanyaku, memandang Rose.

"Aku sudah menggambar petanya dan memberikannya padamu, Hugs," kata Rose, memelototi Hugo.

"Kalau coretan cakar ayam itu kau bilang peta, nah, beginilah jadinya, kami kesasar sampai ke menara Astronomy," kata Hugo ngos-ngosan.

"Mol, bisakah kita memindahkan tempat pertemuan ini di ruang bawah tanah, jadi Hugo dan aku tidak perlu jauh-jauh sampai ke lantai enam," kata Lily, juga ngos-ngosan.

"Slytherin akan mencuri dengar kalau pertemuan diadakan di ruang bawah tanah," kata Al.

"Bagaimana kalau ruang bawah tanah dekat dapur, atau ruang kelas kosong di lantai dasar," kata Lily.

"Kita akan memikirkannya nanti," kataku. "Sekarang Lils, mana daftar nama anak Slytherin yang mempermainkan kalian."

"Aku sudah menulisnya di sini," kata Lily memberikan sebuah perkamen panjang padaku.

Aku meratakannya di meja dan kami semua membacanya.

Daftar Nama Anak-Anak yang Mempermainkan dan Mengganggu Lily dan Hugo

1, Zoe Crouch, Nerissa Goyle , Sally Travies, Jason Montague, Samuel Flit dan Jake Travies (semua kelas satu): memanggil Lily dan Hugo Darah-Pengkhianat Kembar.

2, Ariella Zabini (kelas 3): menyiram Lily dengan jus labu kuning pada hari pertama sekolah, menyihir rambut Lily menjadi hijau (tapi Lily cukup menikmati berambut hijau), memanggil Lily Darah-pengkhianat.

3, Scorpius Malfoy (kelas 3): memanggil mereka berdua Potty and the Weasel.

4, Vincent Goyle (kelas 3): sengaja menyenggol Hugo saat dia hendak masuk ke Aula Besar semalam dan mengancam Hugo agar jangan mendekati adiknya (Nerissa Goyle).

5, Nerissa Goyle (kelas 1): mencium Hugo di hari pertama sekolah.

6,Nerissa Goyle (kelas 1): membakar baju Hugo.

7, Nerissa Goyle (kelas 1): merobek buku-buku Hugo.

8, Nerissa Goyle (kelas 1): melempar mangkok bubur pada Lily, tapi kena Hugo.

9, Anthony Nott, Justin Harper, Ernie Dawlish, Owen Selwyn (kelas lima): menyihir Lily dan Hugo dengan Kutukan Kaki-Terkunci di koridor bawah, sehingga mereka harus menyeret tubuhnya kembali ke asrama. Seluruh asrama menertawakan mereka dan Lysander (dengan gayanya yang sok dewasa) berhasil menyuruh mereka semua diam dan mengucapkan mantra kontra-kutukan.

10, sama dengan atas: menjadikan Lily dan Hugo sasaran bagi mantra-mantra ciptaan mereka sendiri.

11, semua anak-anak Slytherin diam-diam mulai mengikuti jejak anak-anak kelas lima di nomor no, 9 dan 10.

"Mengapa kau mencium anak itu―siapa namanya―" Rose melirik perkamen, "―Nerissa Goyle di hari pertama sekolah?" tuntut Rose, mendelik pada Hugo.

Fred, James dan Louis tertawa.

"Apakah kau tidak membacanya dengan benar? Dia yang menciumku, bukan aku yang menciumnya," kata Hugo sebal, balas mendelik.

Rose tampak tidak percaya.

Lily terkikik dan berkata,

"Sebenarnya dia tidak sengaja mencium Hugo, Rose," kata Lily. "Aku menyepak kakinya sehingga dia jatuh menimpa Hugo dan jadilah ciuman tak sengaja itu. Lihat, poin enam dan tujuh! Setelah itu dia terus berusaha mencari cara untuk membuat Hugo tersiksa."

"Kau membiarkannya?" tanya Roxy.

"Tidak, dia tidak mengetahui bahwa aku yang mengambil esai Transfigurasinya, dan dia dihukum menulis kalimat," kata Hugo.

"Kau juga membuat rambutnya menjadi hijau, kan?" kata Lily, kemudian cekikikan. "Tetapi sebenarnya dia takut juga pada Vincent Goyle," lanjut Lily kepada kami.

"Kalau dia menyihirmu bilang padaku, Hugs," kata Rose tampak panas.

"Mengapa kau menyepak kakinya?" tanyaku.

"Dia terus memanggil kami Darah-pengkhianat kembar membuatku sebal," kata Lily.

"Oh..." kataku.

Sebenarnya aku tidak perlu kuatir karena mereka bisa menjaga diri.

"Lalu mengapa dia melemparmu dengan mangkok bubur?" tanya James.

"Itu sebenarnya―er, aku bilang padanya bahwa dia sebenarnya diam-diam menyukai Hugo," kata Lily, melirik Hugo yang tampak menyesal.

Hugo mendengus.

"Oh, pantas saja, dia melemparmu dengan mangkok bubur," kata Dom, menggelengkan kepala.

"Lalu si Zabini ini," Al menunjuk nama Zabini di perkamen. "Mengapa dia menyihir rambutmu?"

"Lily mengatainya perempuan jalang," jawab Hugo cepat, memandang Lily yang mendelik padanya.

"Lily, mengapa kau mengatainya begitu?" tanyaku kaget, sementara Dom, Lucy, Roxy, dan Rose tertawa.

"Oke, baiklah, dia menghinamu Al," kata Lily. "Dia bilang, kau cuma tampang saja yang cakep, tapi tidak punya otak, tersenyum sana sini menjual tampang pada cewek Hufflepuff. Sok percaya diri, mau jadi playboy, tapi tidak punya cukup kharisma seperti yang dimilki oleh sepupu Malfoy."

Wajah Al berubah gelap.

"Dia bilang begitu?" dia mengertakkan gigi.

"Kharisma yang dimiliki sepupu Malfoy?" ulang Rose, mendengus. "Kharisma troll? Atau Kharisma cumi-cumi raksasa?"

Yang lain tertawa.

"Tapi setidaknya dia bilang tampangmu cakep, Al," kata Louis, melihat sisi positifnya.

Yang lain terkikik lagi.

"Oke, diam semua," kataku, memandang mereke semua, kemudian memandang perkamen lagi. "Kalau begitu, kita tidak usah membahas tentang Nerissa Goyle, Scorpius Malfoy, Ariella Zabini, dan anak-anak kelas satu Slytherin, kulihat kalian bisa mengatasi mereka, benar, kan?"

Lily dan Hugo mengangguk.

"Nah sekarang kita masuk pada poin 9, 10 dan 11," kataku.

"Anak-anak itu kan anak-anak yang sering kau mantrai di koridor, kan, Al?" kata Rose.

"Aku tidak tahu nama-nama mereka," kata Al, "tapi kalau itu memang mereka aku akan dengan senang hati melakukannya lagi."

"Benar, aku juga ingin memantrai anak-anak brengsek ini," kata James.

"Tidak," kataku segera.

"Apa?" James tampak terkejut. "Kau tidak bisa melarang kami untuk memantrai anak-anak brengsek itu, Mol."

"Ya, Molly," kata Fred. "Aku akan ikut kau, James, kita buat mereka babak belur!"

"Tidak," kataku lagi. "Kalian berdua, dan Louis juga Rose, tidak boleh mengikuti misi ini."

"Apa?"

"Tidak bisa begitu!"

"Aku ikut!"

"Aku juga ikut!"

"Diam!" kataku keras.

Fred, James, Louis dan Rose mendelik padaku.

"Kalian sudah menandatangani surat pernyataan untuk tidak membuat keributan di sekolah, kalau kalian melakukannya lagi kalian akan dikeluarkan. Kalian mau dikeluarkan?"

Mereka menggeleng.

"Bagus," kataku. "Tapi sebelum kita membahas tentang empat anak Slytherin itu, kita masuk ke poin sebelas dulu."

"Benar," kata Dom. "Poin ini sangat mengkhawatirkan, kalau anak-anak Slytherin semua menyerang mereka, akan sulit bagi kita melindungi mereka tanpa melanggar peraturan sekolah."

"Ya, itulah," kataku. "Kita harus memikirkan cara agar anak-anak Slytherin ini tidak berani lagi mengganggu Lily dan Hugo."

"Sebanarnya, Hugo dan aku sudah memikirkan cara untuk mengatasi anak-anak Slytherin," kata Lily.

Kami memandangnya.

"Howler," kata Lily.

"Apa?" tanyaku.

"Satu orang dari kita―James―meniru suara Dad, kemudian mengirim Howler untuk anak-anak Slytherin agar tidak menganggu kami atau urusannya akan sampai ke Markas Besar Auror."

"Kukira ide mereka boleh juga," kata Lucy. "Dengan begitu anak-anak Slytherin akan berpikir panjang kalau ingin mengganggu mereka."

"Bagaimana yang lain?" tanyaku.

Semua mengangguk setuju.

"Baiklah, Fred, James, Louis, Rose karena kalian tidak akan memantrai anak-anak Slytherin, kalian kuijinkan untuk mengirim Howler ke asrama Slytherin. Usahakan Howler itu dikirim pada saat mereka sedang berkumpul di ruang rekreasi mereka. Dan kalian harus memakai kata-kata ancaman yang benar-benar bisa membuat mererka ketakukan, oke?"

"Baik," kata James; Fred, Louis, dan Rose mengangguk.

"Nah sekarang kita masuk pada empat anak brengsek sok jago ini, dan nama-nama mereka adalah Nott, Harper, Dawlish dan Selwyn," aku membaca perkamen. "Sebelum kita melakuka penyerangan kita harus tahu jadwal pelajaran mereka dan apa-apa saja yang mereka lakukan."

"Kenapa kita tidak langsung menyerang mereka, saat mereka sendirian di koridor?" kata Roxy.

"Nah itu tadi, kita harus tahu kapan mereka sendirian di koridor," kataku.

"Kalau bisa selama dua hari ini Dom, Lucy, Al, Roxy dan aku akan berusaha untuk menguntit mereka dan di mana saja mereka lewat―"

"Aku tidak bisa," sela Dom. "Maksudku aku―aku―"

"Aku mengerti," kataku, aku tahu dia ingin bertemu Spikey.

"Aku juga tidak bisa ikut, aku ada urusan," kata Lucy.

"Aku latihan Quidditch," kata Roxy.

"Oke, tinggal Al dan aku, kalau begitu," kataku sebal.

"Kurasa kita berdua cukup, Molly, kita bisa menyusup ke asrama Slytherin malam ini dengan Jubah Gaib dan mencaritahu jadwal pelajaran mereka berempat, setelah itu kita hanya perlu memperkirakan tempat-tempat mana yang akan mereka lewati," kata Al.

"Benar, Al," aku melirik jam tanganku. "Jam sembilan lewat tiga, kita bisa langsung menyusup ke sana sekalian mengantar Lily dan Hugo," kataku.


Tanggal: Sama

Lokasi: Sama

Waktu: 9.10 – 10 pm.

Misi: menyusup ke asrama Slytherin dan mencari informasi tentang Nott, Dawlish, Harper dan Selwyn.

Lily dan Hugo telah berjalan lebih dulu menuruni ruang bawah tanah, Al dan aku mengendap-endap dalam Jubah Gaib.

"Severus Snape," kata Lily pada tembok batu kosong di ujung koridor, dan tembok batu itu menggeser terbuka menampilkan sebuah ruangan luas yang mewah bercat hijau. Langit-langitnya yang rendah juga berwarna hijau dengan lampu-lampu hijau terang. Sebuah sofa hijau dan kursi-kursi panjang yang nyaman dengan bantal-bantal kursi empuk, teratur rapi di tengah ruangan. Di ujung ruangan terdapat sebuah perapian besar, di sebelahnya berjajar lemari-lemari buku berkaca dan di sudut-sudut ruangan tampak guci cina berukir dengan bunga-bunga yang tampaknya telah disihir untuk tampak seperti itu selamanya. Lalu di sebelah kiri ruangan terdapat sebuah dinding kaca sepanjang tembok yang memberi pemandangan danau yang gelap.

Beberapa anak-anak Slytherin sedang duduk membaca di kursi-kursi panjang, dan yang lain sedang main catur sihir. Lily dan Hugo memilih duduk di salah satu kursi panjang yang jauh dari yang lain, sementara Al dan aku mengendap di belakang mereka sambil memandang anak-anak Slytherin mencari Nott, Dawlish, Harper dan Selwyn.

"Mereka tidak ada di sini," bisik Al. "Kita langsung ke kamar mereka saja mencari jadwal pelajaran."

Kami bergerak ke arah Lily dan Hugo, berencana menyenggol Hugo sedikit sebagai tanda bahwa dia boleh membawa kami ke kamar anak laki-laki, namun sebuah suara keras dan berat memanggilnya.

"Weasley!"

Cowok berbadan besar yang sering bersama Malfoy baru saja muncul entah dari mana dan berdiri di depan Lily dan Hugo.

"Berdiri!" perintahnya pada Hugo.

"Apa maumu, Goyle?" tanya Hugo, berdiri.

Hugo yang memang mewarisi gen Uncle Ron tampak jangkung diusianya yang cuma sebelas tahun, namun Goyle lebih tinggi beberapa senti darinya.

"Apa yang kau lakukan pada Nerissa, hah?" kata Goyle.

"Aku tidak melakukan apa-apa pada adikmu, Goyle," kata Hugo.

Goyle mencengkram leher jubah Hugo, Lily berdiri sambil mencabut tongkat sihirnya, sementara anak-anak Slytherin lain mulai meninggalkan kegiatan mereka masing-masing dan memandang Hugo dan Goyle.

"Lepaskan aku, Goyle," kata Hugo tenang.

Benar-benar tenang dengan ekspresi yang tidak berubah!

Untuk temperamen, Hugo memang mewaris temperamen Aunt Hermione, sebaliknya Rose mewarisi temperamen Uncle Ron yang suka meledak-ledak.

Mengcengkram lengan Al yang sudah siap melancarkan kutukan aku berusaha untuk tenang. Kami harus tenang, kalau tidak ingin diserbu oleh anak-anak Slytherin.

"Sekarang dia menangis di kamarnya?" kata Goyle.

"Darimana kau tahu kalau aku yang membuatnya menangis?"

"Biasanya kau yang selalu membuatnya menangis," kata Goyle.

"Asal tahu saja, aku belum pernah membuat orang lain menagis," kata Hugo, masih tenang, meskipun Goyle hampir saja mencekiknya.

"Omong kosong―"

"Vincent Gregory Goyle, lepaskan dia," kata sebuah suara.

Aku mengalihkan pandangan dari Hugo dan Goyle dan melihat seorang anak laki-laki berambut pirang dan berwajah sangat tampan dengan mata hijau gelap, hampir hitam, muncul dari pintu di sebelah kiri ruangan,

Lysander Scamander! Benar-benar mirip Lorcan.

"Scamander," kata Goyle.

"Lepaskan dia," kata Lysander.

Goyle tidak melepaskan Hugo.

"Kau mendengarku, Vincent," kata Lysander terdengar kaku dan dingin.

Mereka bertatapan sebentar dan rupanya Goyle yang berbadan besar tidak mampu berlama-lama menatap mata hijau gelap Lysander. Dia melepaskan Hugo, medengus, dan berjalan meninggalkan ruangan memasuki pintu di sebelah kiri ruangan tempat Lysander tadi muncul.

Hugo merapikan jubahnya, Lily memandang Lysander.

"Kalian berdua... berhentilah mencari masalah dengan orang dewasa," kata Lysander, menatap tajam Hugo dan Lily.

Lily segera melangkah di depan Lysander.

"Itu bukan urusanmu..." kata Lily. "Jangan mencoba untuk mendominasi kami seperti yang telah kau lakukan padanya. Kau cuma dua tahun di atasku dan aku tidak takut padamu."

Lily memelototi Lysander.

"Terserah, dan jangan minta aku menolong kalian kalau kalian terlibat masalah," kata Lysander.

"Kami tidak memintamu menolong kami... kaulah yang bersikap sok pahlawan!" kata Lily.

Wajah Lysander merah padam, dia seperti sudah akan memukul Lily, tapi menahan diri.

"Bersikap lebih sopan pada orang dewasa," katanya, lalu berjalan masuk ke pintu yang dimasuki Goyle.

Lily membanting kakinya.

"Lysander itu, sikapnya sangat sok dewasa," kata Lily sebal. "Kalau kau melihatnya kau akan mengira dia 30 tahun, padahal tiga belas tahun."

"Sudahlah, dia memang seperti itu?" kata Hugo. "Ingat saat pesta ulangtahun Uncle Harry, dia kan selalu duduk bergabung dengan orang dewasa."

"Aku heran ada anak yang mengerikan seperti itu," kata Lily sebal, mendelik pada anak yang sedang memandangnya dari sofa.

"Potty and the Weasel," terdengar lagi suara lain

"Oh, Malfoy," kata Lily, dan dia mengumpat dalam diam.

Malfoy dan sepupu Zabini, baru saja masuk dari pintu batu dan berjalan mendekati mereka.

"Aku baru saja bertemu Weasel Queen," kata Malfoy pada Hugo.

Wajah Hugo memerah.

"Dia juga cepat sekali memerah," kata Malfoy, memandang Hugo dengan teliti. "Dan sama cekingnya sepertimu."

Dia memandang Lily.

"Dan kau Potty, bilang pada kakakmu, Alby, agar jangan coba-coba mendekati sepupuku," katanya pada Lily.

Al mendengus.

Aku menyuruhnya diam dengan pandangan.

"Al tidak akan pernah menyukaimu, gosip dari mana itu?" tanya Lily, dia memandang Zabini.

"Potty, si playboy troll Alby, kakakmu tersayang itu, sedang mengoleksi cewek, kan? Aku mendengarnya dari beberapa cewek Hufflepuff, dan aku tidak akan termasuk di dalamnya meskipun neraka membeku," kata Zabini, kemudian melenggang mengikuti Malfoy yang sudah berjalan lebih dulu sambil menyanyikan lagu Weasley Ratu Musang, membuat anak-anak lain tertawa dan Hugo memerah.

"Kalau memang aku sedang mengoleksi cewek. Aku juga tidak akan memasukkanmu dalam daftarku," desis Al, pelan.

Sementara Al mengumpat dan mendengus, aku merenung dalam diam tentang cewek-cewek Slytherin yang bersikap aneh.

Diary, akhir kata misi ini berakhir dengan sukses. Kami berhasil mengumpulkan data tentang Nott, Dawlish, Harper, Selwyn; jadwal pelajaran dan jam-jam kosong mereka. Al membawa data-data itu untuk diberikan pada Dom, Lucy dan Roxy (aku sudah menghafalnya) di menara Gryffindor, sedangkan aku kembali ke menara Ravenclaw.

Masih ada beberapa anak-anak Ravenclaw yang sedang mengerjakan PR saat aku tiba di ruang reakreasi. Dan tanpa menghiraukan atau memandang siapa pun, aku langsung menuju tangga yang menuju kamar anak-anak perempuan dan sudah hendak menaiki tangga itu saat suara Julian memanggilku.

"Molly!"

Aku mendesah, sungguh aku tidak ingin bicara dengannya sekarang, hari ini rasanya benar-benar capek. Meyusup ke asrama Slytherin dan membongkar tas anak-anak Slytherin, mencari jadwal pelajaran, bukanlah pekerjaan yang mudah.

"Ada apa?" tanyaku, menghindari pandangannya, saat dia sudah tiba di dekatku.

"Aku ingin bicara denganmu," katanya

"Aku akan bicara denganmu besok, Julian," kataku, mengelak. "Hari ini aku sangat lelah dan―"

"Aku ingin bicara denganmu sekarang, Molly!" katanya tegang dan tak bisa dibantah.

"Baiklah, kalau begitu," kataku, hendak mengumpat, tapi menahan diri karena aku tidak ingin Julian menganggapku cewek tak sopan.

Tetapi, apa yang ingin dia katakan? Dia tidak pernah ingin bicara denganku berdua saja sebelumnya, jangan-jangan dia sudah tahu aku adalah si penguntit misterius dan sekarang hendak mengonfrontirku. Berarti semalam dia cuma pura-pura tidur dan―

Apa yang harus kukatakan padanya?

Kami berjalan ke sudut yang paling jauh dari yang lain dan dia melemparkan koran sore padaku.

"Baca halaman lima!" perintahnya muram.

Aku menangkap koran itu dan memandangnya sekarang.

"Mengapa aku harus membacanya?" tanyaku.

"Berhentilah bertanya dan lakukan saja," jawabnya.

Aku membuka halaman lima dan membaca:

Terrius Krum: Minta Penyelidikan Harus dipercepat.

Terrius Krum, anggota termuda Liga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sihir Seluruh Dunia yang diserang semalam, sudah bisa dimintai keterangan siang tadi. Dia menolak berbicara tentang apa yang terjadi, namun meminta para Auror segera melakukan penyelidikan atas peristiwa yang membuatnya harus menginap di St Mungo dan tidak bersama para anggota Liga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sihir Seluruh Dunia untuk mempresentasikan penemuan terbaru mereka Roket RRHE 1roket yang bisa membawa para menyihir ke bulan dalam waktu kurang dari 24 jam.

Juru Bicara kantor Auror, David Stateman, mengatakan bahwa para penyelidik sudah berbicara dengan saksi mata dan bukti-bukti telah diperoleh, kemungkinan penyelidikan akan dilanjutkan di Sekolah Sihir Hogwarts. Stateman tidak menjelaskan mengapa penyelidikan dilanjutkan di Sekolah Sihir Hogwarts, namun kesimpulan sementara adalah salah satu dari penghuni kastil Hogwarts mungkin bersalah dalam melakukan penyerangan ini.

Jantungku berdebar kencang, tanganku gemetar, kepalaku pusing karena kelelahan dan aku berdiri terpaku di sana, kemudian ingat bahwa aku belum membuang topeng jingga berbulu dan mantel hitam.

Sial, aku harus segera ke atas dan membuangnya!

Tetapi, aku tidak mungkin membiarkan para Auror menangkapku, lebih lagi aku tidak mungkin membiarkan mereka datang ke Hogwarts, mengorek keterangan di mana-mana, kemudian membongkar rahasia Dom dan Lucy dan rahasia anak-anak lain, yang selalu menyusup ke Hogsmeade di malam hari.

Ini tidak boleh terjadi, aku harus mencegahnya, tapi bagaimana caranya?

Aku mengangkat muka memandang Julian, memandang tepat pada mata biru gelapnya. Dia sedang memandangku. Kami bertatapan selama beberapa saat dan aku tersentak seolah baru saja terbangun dari tidur yang lama.

Godric, Helga, Rowena, Salasar dan demi semua nama para penyihir terkenal, Julian tahu aku yang melakukan penyerangan itu, karena itu dia memberikan koran ini padaku!

Aku menghela nafas, bersikap tenang, mengangkat dagu dengan gaya Molly Weasley yang super-tak peduli.

"Mengapa kau menyuruh aku membaca berita tentang penemuan roket yang bisa terbang ke bulan dalam waktu kurang dari 24 jam?" tanyaku, melemparkan koran kembali pada. "Aku tidak tertarik, dan kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan aku akan ke kamarku―"

"Hentikan, Molly Aphorpine Weasley!" gertaknya.

HA? Dari mana dia tahu nama tengahku?

"Apa?" balasku. "Aku tidak tahu apa-apa tentang penyerangan ini, mengapa kau menuduhku menyerang―"

"Aku tidak menuduhmu," kata Julian dingin. "tapi aku tahu kau yang melakukannya."

"Kau tidak punya bukti," kataku.

Dia menyeringai, mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya dan meleparkannya padaku.

Aku menangkapnya dan menyadari bahwa itu adalah topeng jingga berbulu yang selama ini kupikir tersimpan aman dalam tasku di kamar anak-anak perempuan.

"Kau menjatuhkannya di Shrieking Shack," katanya.

Aku terpaku.

Apa katanya tadi?

Kau menjatuhkanya di Shrieking Shack?

Aku menjatuhkannya di Shrieking Shack?

Itu artinya dia tahu aku ke Shrieking Shack malam itu, jadi dia―

"Kau menguntitku?" tanyaku, setengah tidak percaya.

"Sesekali harus ada yang melakukan itu padamu," katanya.

"Tetapi kau―kau sedang tertidur di sofa saat aku kembali," kataku, teringat bahwa aku menyelimutinya dan mencium keningnya waktu itu.

Wajahku terasa sangat panas.

Berakhir sudah, dia tahu akulah si penguntit misterius.

"Aku tahu jalan pintas menuju ruang rekreasi, jadi aku tiba lebih dulu darimu," katanya.

Aku menunduk memandang kakiku.

Selama sepersekian detik tidak ada yang bicara.

"Dari dulu aku sudah mencurigaimu," kata Julian pelan.

Aku tetap memandang kakiku.

"Sejak empat tahun yang lalu aku tahu bahwa kaulah yang ada di sekitarku; menyelimutiku saat kutertidur di sofa, mengerjakan PR-ku dan―"

"Tidak mungkin kau sudah tahu dari awal," kataku tidak percaya, bertatapan dengannya lalu memandang tembok di sebelah kirinya.

Dia maju mendekatiku beberapa langkah, sehingga jarak kami hanya beberapa jengkal, dan mengendus udara di sekelilingku.

Aku mundur dan memandangnya dengan kebingungan.

"Mengapa kau mengendusku?" tanyaku.

"Lemon," katanya.

"Apa?" aku semakin kebingungan.

"Selalu ada aroma lemon di sekitarku sejak empat tahun yang lalu; selimut itu, perkamen itu, saat aku berjalan di koridor, di perpustakaan, di lapangan Quidditch, bahkan di tempat-tempat sepi saat aku bersama mantan-mantan pacarku," kata Julian. "Aku bingung, aku merasa bahwa aku pernah membaui bau ini dari seseorang dan aku tidak tahu itu siapa, lalu kau lewat di depanku dan akhirnya aku tahu―aku tahu siapa yang selama ini selalu ada bersamaku."

Oh Gordric, ternyata lemon

Inilah yang dimaksudkan Lucy, bahwa dia akan menemukanku di mana pun aku bersembunyi karena kemana-mana aku membawa bau lemon, sama seperti Alice membawa bau tanah.

"Aku minta maaf," kataku, mengangkat muka menatap matanya sekarang.

Seorang Weasley harus berani mengakui kesalahannya dan minta maaf.

"Maaf?" Julian mengerutkan kening.

"Aku minta maaf karena telah merepotkanmu, membuatmu bingung, menguntitmu ke mana-mana," aku menghela nafas, saatnya pengakuan. "Aku minta maaf karena aku jatuh cinta padamu."

Kami bertatapan selama beberapa detik.

"Maaf, kurasa kau pasti sangat terbeban dengan perasaanku ini, tapi aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Bertahun-tahun lalu aku telah berusaha untuk melakukannya; melepaskanmu, untuk tidak mencintaimu―karena aku tahu kau tidak mungkin mencintaiku―tetapi aku tidak bisa melakukannya," airmata jatuh di pipiku, aku menyekanya. "Aku tidak seperti gadis-gadis lain; mendekatimu secara langsung, merayumu; aku tidak bisa melakukan hal itu," aku menyeka air mata lagi. "Aku hanya bisa diam-diam mencintaimu dan berharap kau bahagia."

Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi aku menyelanya.

"Jangan khawatir, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku tidak akan menguntitmu lagi dan melakukan hal-hal yang membebanimu," kataku, berusaha tegar. "Dan untuk menebus apa yang telah kulakukan padamu selama empat tahun ini, aku akan membantumu untuk mendapatkannya."

"Membantuku untuk mendapatkannya?"

"Membantumu untuk mendapatkan gadis yang kau cintai itu, cewek rambut merah dan bermata cokelat gelap―aku mendengarmu bicara pada Dustin di Aula Besar pada awal semester," lanjutku, saat dia menatapku seakan aku tiba-tiba telah jadi gila.

"Oh ya?" dia mengangkat alis.

"Tenang saja, kau akan mendapatkannya... dan kau akan bisa membuatnya jatuh cinta padamu," kataku, sakit hati, aku menyeka airmata lagi.

Sial, mengapa airmataku tidak berhenti mengalir?

"Aku tahu dia jatuh cinta padaku," katanya.

"Oh, benarkah? Bagus sekali," kataku, berpura-pura tersenyum bahagia untuknya.

"Tetapi dia kelihatannya bodoh sekali, aku tidak tahu bagaimana harus bilang padanya kalau aku juga mencintainya,"

"Oh, kurasa―kurasa kau hanya perlu menciumnya dan―dan mengatakan bahwa kau juga mencintainya," aku tidak tahan lagi, aku harus pergi dari sini sebelum dia semakin membuatku sakit hati. "Er, aku harus pergi, aku harus memikirkan cara agar para Auror tidak datang ke Hogwarts."

Aku berlari ke tangga dan naik dengan tergesa-gesa.

"Molly," dia memanggilku lagi.

Aku berbalik dan melihatnya masih berdiri di sana, tersenyum cemerlang padaku.

"Thanks untuk idenya," katanya. "Aku memang sudah ingin menciumnya sejak aku membaui harum tubuhnya dalam ramuan cintaku di kelas enam."

Aku tersenyum paksa dan segera berlari ke kamar anak-anak perempuan.

Kemarahan yang menyala-nyala membakar darahku, mengalir ke nadiku dan ke otakku. Julian, brengsek yang kupikir sangat baik hati, memamerkan tentang cintanya dan cinta cewek itu―yang sama-sama saling mencintai―padaku, bahkan berpura-pura meminta ideku segala, padahal dia tentu sudah tahu bagaimana cara menyatakan cinta pada cewek, mantan-mantannya kan banyak.

'Thanks untuk idenya' apanya? Sudah ingin menciumnya sejak membaui harum tubuhnya di ramuan cinta?

Dia kan tidak perlu sepamer itu padaku. Tampaknya dia ingin membuatku sakit hati dan cemburu. Dan berhasil tentunya, saat ini aku sangat marah, sakit hati, cemburu dan sedih. Tetapi aku tidak ingin menangis lagi, aku sudah cukup menjadi manusia selang air di depannya. Aku harus bisa bertahan, seperti kata Victoire, masih banyak pemuda tampan di luar sana, dan dia juga telah berjanji untuk memperkenalkan aku dengan seseorang saat liburan Natal nanti.

Harus Semangat!

Lagi pula masih banyak yang harus kupikirkan, terutama sekali anak-anak Slytherin yang mengganggu Lily dan Hugo, juga Spikey (Terrius Krum)

Oh, aku senang, sekali lagi aku bisa menyalurkan kemarahanku pada Spikey. Orang yang baru saja putus cinta memang seperti ini, marah dan sedih. Tadi aku sudah menyalurkan kesedihanku dengan menangis di depan Julian dan sekarang aku harus menyalurkan kemarahanku pada si culun Spikey yang telah berani menyuruh para Auror untuk datang menggeledah Hogwarts.

Kau boleh menjadi anggota termuda Liga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sihir Seluruh Dunia, tapi aku juga punya otak. Tidak ada gunanya menjad murid pintar se-Hogwarts, kalau aku tidak membalasmu. Aku mengambil perkamen dan mulai menulis

Spikey (Terrius Krum)

Aku tidak tahu bahwa kau adalah si Terrius Krum, cowok 17 tahun terkenal yang menjadi anggota termuda Liga Ilmu Pengetahuan Sihir Seluruh Dunia. Aku senang akhirnya aku tahu. Kau tentu tidak ingin berita skandal tentang anggota termuda Liga Ilmu Pengetahuan Sihir Seluruh Dunia, menyamar jadi seorang bernama Spikey dan terlibat hubungan dengan anak di bawah umur, ada di halaman utama Daily Prophet besok sore, kan? Atau kau lebih suka agar Lovey tahu bahwa Spikey-nya adalah pemuda terkenal Terrius Kurm.

Jadi, kalau aku tidak ingin berita tentang Spikey ada dalam surat kabar besok sore segeralah membatalkan rencana penyelidikan terhadap Sekolah Sihir Hogwarts dan tarik tuntutanmu sekarang juga.

Anonim.


Tanggal: Kamis, 5 September 2019

Lokasi: Kastil Hogwarts

Waktu: 8.10 – 9 am

Misi: memantrai Nott, Dawlish, Harper dan Selwyn

Dear Diary

Aku bangun dengan mata sembab, bengkak dan suara serak. Aku menangis semalaman, mengasihani diriku dan kisah cintaku yang tak kesampaian.

Aku senang cewek-cewek teman sekamarku telah turun sarapan, jadi mereka tidak perlu melihat tampangku yang mengerikan. Bergerak perlahan, aku turun dari tempat tidur dan berjalan memandang pemandangan gunung di luar jendela, dengan pikiran menerawang memikirkan nasibku. Aku masih marah dan cemburu, aku harus menyalurkannya, ternyata mengancam Spikey tidak cukup, sepertinya aku memang harus cepat-cepat memburu anak-anak Slytherin itu.

Aku mandi dan berganti pakaian, setelah itu turun ke Aula Besar untuk sarapan di meja Gryffindor. Mengangkat dagu tinggi-tinggi dan tidak memandang meja Ravenclaw.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Dom, memandangku, saat aku duduk di sampingnya di meja Gryffindor.

"Apa?" tanyaku tidak yakin.

"Wajahmu berantakan," kata Lucy, ikut memandangku. "Matamu bengkak, kau habis menangis?"

"Tidak..." kataku, kemudian cepat-cepat merubah pembicaraan sebelum mereka berhasil mengorek keterangan dariku. "Lucy, boleh aku pinjam lotion-mu?"

"Ada apa dengan lotion lemon-mu," kata Lucy, dia tersenyum sedangkan Dom tertawa.

"Aku sekarang tahu bagaimana aku tidak pernah menang darimu saat main petak umpet," kataku.

"Jangan ganti lotion, Mol, kau lebih cocok dengan lemon," kata Dom.

"Pada kunjungan pertama ke Hogsmeade bulan Oktober nanti, aku akan membeli lotion tanpa aroma sehingga tidak ada yang bisa mengendusku," kataku.

"Apakah ini ada hubungannya dengan matamu, yang jelas sekali akibat menangis semalaman?" tanya Lucy.

"Apakah begitu jelas?" tanyaku.

"Ya," jawabnya.

"Kemarikan wajahmu," kata Dom, mengayunkan tongkat sihirnya pada wajahku.

Tongkat itu mengeluarkan sinar putih hangat yang kemudian menerpa wajahku selama beberapa detik.

"Nah, beres," katanya, memandang wajahku sesaat kemudian menyimpan tongkat sihirnya.

Aku memandang pantulanku di sendok dan melihat bahwa pelupuk mataku sudah normal lagi.

"Bisakah kau mengajarkan mantra itu padaku, Dom?" kataku. "Aku mungkin akan banyak menangis di tahun ini."

"Mengapa kau mungkin akan banyak menangis di tahun ini?" tanya Lucy.

"Bagaimana kabar Spikey?" aku merendahkan suaraku pada Dom agar Fred, James, Roxy yang berbicara tentang Quidditch dan Louis yang sedang membaca Daily Prophet di dekat kami, juga Al dan Rose yang berbicara tentang anak Slytherin di depan kami, tidak mendengarnya.

Lucy tampak cemberut karena aku merubah topik pembicaraan lagi.

"Dia tidak ke Hog's Head semalam, tampaknya dia jengkel karena aku tidak datang dua malam yang lalu," kata Dom, memandang roti panggangnya.

Aku mendengus, lalu teringat bahwa aku sudah mengirim surat ancaman.

"Ada berita tentang Terrius Krum, Louis?" tanyaku tiba-tiba.

Mereka semua memandangku.

"Ada," kata Louis. "Dia meminta para Auror untuk menghentikan menyelidikan dan mengakui bahwa dia dihajar oleh temannya sendiri yang tidak mau dia sebutkan namanya."

Aku tertawa.

Krum, ternyata penakut juga!

"Mengapa kau tertarik pada Krum, Mol?" tanya Roxy.

"Tidak..." kataku cepat. "Bagaimana rencana kita terhadap Slytherin?"

"Kami sudah berhasil menulis Howler ancaman dan akan mengirimnya sebentar, setelah makan malam," kata James. "Kurasa itu saat yang tepat karena biasanya anak-anak banyak berkumpul di ruang rekreasi setelah makan malam."

"Aku setuju," kataku. "Lalu bagaimana dengan Nott, Dawlish, Harper dan Selwyn?"

"Jam delapan di koridor mantra," kata Al. "Mereka biasanya menunggu anak-anak kelas satu Hufflepuff, yang baru kembali dari perpustakaan di koridor itu untuk menyerang mereka saat mereka lengah."

"Bagus, Al," kataku geram. "Biar aku yang mengatasi mereka."

"Molly, aku suka kau yang sekarang..." kata Fred, menyengir.

"Aku hanya ingin membalas semua perlakuan mereka pada Lily dan Hugo."


Tanggal: Kamis, 5 September 2019

Lokasi: koridor Mantra

Waktu: 7. 45 – 8.33 pm

Misi: memantrai Nott, Dawlish, Harper dan Selwyn

Al dan aku berada dalam perlindungan Jubah Gaib , sedangkan Dom, Lucy dan Roxy bersembunyi di sudut-sudut gelap siap memberikan Mantra Terserimpit pada Nott, Dawlish, Harper dan Selwyn.

"Mereka belum datang," aku mendengar Roxy berbisik dari sudut gelap.

"Sebentar lagi," kata Dom.

Dan benar saja, dari ujung koridor terdengar suara-suara cowok yang berat dan agak serak.

"Kau yakin kita akan mendapatkan mangsa hari ini?"

"Yakin sekali..."

"Mengapa kita harus mencari mangsa di sini padahal di asrama kita ada Potter dan Weasley."

Mereka tertawa, aku terbakar kemarahan.

"Tetapi kau tidak mendengar Howler itu."

"Howler dari Harry Potter yang akan menghukum berat siapa saja yang berani mengganggu anak-anak itu."

"Kau yakin Howler itu serius? Bisa saja itu kerjaan James Potter dan Fred Weasley, kan?"

"Entahlah, kurasa kita harus mencoba menyerang anak-anak itu lain waktu, untuk melihat apakah Howler itu serius atau tidak―OUCH!"

BUK!

BUK!

BUK!

BUK!

Aku melihat anak-anak itu terkena Mantra Terserimpit dan terjatuh dengan bunyi gedebuk keras di lantai koridor. Aku keluar dari Jubah Gaib, mengibaskan tongkat sihirku sambil memikirkan levicorpus di kepalaku dan keempat anak Slytherin itu langsung tergantung terbalik di udara.

"Wow, keren, Mol," kata Al, melepaskan Jubah Gaib dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya.

Dom, Lucy dan Roxy juga sudah bergabung bersama kami di koridor.

"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan kami," kata seorang anak Slytherin.

Yang lain mulai mengumpat dengan kata-kata makian yang benar-benar kasar dan aku mengibaskan tongkat lagi sambil memikirkan silencio sehingga keempatnya terdiam.

Karena mereka tidak bisa bicara mereka mulai memperagakan gerakan tangan yang kurang ajar, tetapi aku meninju mereka dengan keras satu persatu tepat di hidung.

Mereka menatapku dengan terperangah dan tampak marah.

"Itu baru permulaan," desisku. "Aku ingin mengingatkan kalian untuk menjauhi Lily Potter dan Hugo Weasley... kalau tidak bahaya yang lebih besar akan menimpa kalian!"

Mereka memelototiku.

"Jangan coba-coba membalas kami," kataku, "Karena aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh adik dan sepupu-sepupuku. Ingat, aku murid paling pintar di sekolah ini dan aku juga belajar banyak kutukan sebanyak aku belajar banyak mantra."

Aku berbalik dan melihat Dom, Lucy, Roxy dan Al memandangku dengan terpesona.

"Sekarang giliran kalian," kataku.

"Baik," kata Al, mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Kalian tahu mantra untuk menurunkan mereka, kan?" tanyaku, dan mereka mengangguk.

Aku memberikan pandangan dingin pada keempat anak Slytherin itu untuk terakhir kalinya, dan berjalan menjauh di koridor dengan perasaan lega. Aku lega setelah mengancam dan meninju anak-anak brengsek itu. Misi ketiga dan keempat telah dilaksanakan semuanya, meskipun misi kempat tidak berhasil, namun aku tetap merasa lega. Beberapa hari ini memang adalah hari yang menegangkan, tapi aku berhasil menjalaninya. Aku telah bebas untuk menjalani tahun ketujuhku dengan tidak memikirkan apa pun kecuali NEWT, kurasa Patil dan Dad akan senang.

Di ujung koridor aku melihat Julian sedang berdiri menghalangi jalanku.

Aku tidak ingin berbicara dengannya.

Aku memandangnya sekilas, mengangkat daguku tinggi-tinggi dan berjalan lewat, tapi dia menahan lenganku membuatku berhenti berjalan.

"Sudah puas memantrai anak-anak Slytherin itu?" tanyanya.

Kemarahan kembali menyerangku, aku marah padanya karena dia tidak peka pada perasaanku. Aku mencintainya, dia tidak mencintaiku, tapi masih ingin bicara denganku membuatku sakit hati.

Aku menyentakkan lenganku dari tangannya dan berdiri menghadapinya.

"Apa maumu, hah?" tanyaku. "Bisakah kau tidak bicara lagi denganku? Kau sudah mendapatkan cewekmu dan aku tidak diperlukan lagi untuk membantumu, jadi biarkan aku menjauh pelan-pelan agar aku bisa melupakanmu, oke?"

"Aku belum mendapatkannya," kata Julian tenang.

Aku memandangnya.

"Lalu kau mau apa? Kau ingin aku yang mengatakan perasaanmu padanya?" tanyaku.

"Ya, kau bisa mengatakannya pada dirimu sendiri," kata Julian, menarikku ke arahnya dan menciumku tepat di bibir.

Aku terkejut, tersentak, tersambar petir, tapi aku merapatkan tubuhku padanya, mengalungkan tanganku ke lehernya dan membalas ciumannya dengan manis. Ciuman pertamaku akan menjadi ciuman yang tak terlupakan seumur hidupku.

Dia melepaskanku dan kami bertatapan.

"Mengapa kau menciumku?" tanyaku.

"Kau yang menyuruhku untuk mencium gadis yang aku cintai," kata Julian tersenyum.

"APA?" aku terbelalak memandangnya.

"Apakah kau belum mengerti juga?" tanya Julian tampak frustrasi. "Selama ini aku bicara tentang dirimu... Kaulah gadis itu, aku mencintaimu, tapi kau selalu membuatku sengsara selama beberapa hari ini."

"Ha?"

"Dustin dan aku sengaja berbicara tentang itu di depanmu, tapi kau malah mengangkat dagu tinggi-tinggi dan mengabaikanku. Lalu kau menghilang dari asrama dan pulang dini hari membuatku sangat cemas, tapi kau malah marah padaku."

"Er―maafkan aku," kataku, masih belum percaya.

"Dan kau membuatku frustrasi dengan aroma lemon-mu di mana-mana, membuatku hampir gila karena ingin menyentuhmu. Kau megerti sekarang?"

"Er―ya," kataku takut-takut, mengulurkan tangan menyentuh pipinya.

"Aku heran kau tidak menyadari bahwa kau berambut merah dan bermata cokelat gelap," kata Julian.

"Banyak cewek rambut merah dan bermata cokelat," kataku, menurunkan tanganku.

"Nah, kalau begitu sekarang kita jadian?" tanya Julian.

Wajah dan leherku terasa panas

"Er, kalau kau―kau menginginkannya, ya," kataku gugup.

"Aku menginginkannya."

Kami bertatapan dan berciuman lagi.

Hore! Diary, kau pasti tidak bisa membayangkan betapa bahagianya aku, akhirnya misi keempat juga berhasil. Akhirnya, aku bisa mendapatkan cintaku dan aku senang karena aku sudah berubah. Sebenarnya tidak ada salahnya seseorang berubah, karena perubahan bisa mendatang sesuatu yang membahagiakan untuknya. Sama seperti yang kualami sekarang.

Bagi siapa pun yang membaca diary ini, aku ingin kalian menyebarkan kisahku, karena aku ingin kisahku dan Julian menjadi abadi bukan hanya dalam diary ini tapi dalam ingatan semua yang membaca diary ini.

Sincerely,

Molly Weasley

Cewek yang sedang berbahagia


Read and Review, please! Sampai jumpa sequel KNG 2 Julian POV, Lemon

Riwa Rambu :D