Terima Kasih, terima kasih sudah me-review KNG 1: Ciuman yang Salah. Aku sangat menghargainya. Kupikir tidak ada yang menyukainya karena itu pairing baru, tapi thanks banget dah review. Kisah selanjutnya adalah KNG 2: Diam-Diam Mencintaimu... Review, ya, biar aku tahu apakah kisah ini harus berlanjut atau tidak :D


Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1: Ciuman yang Salah

KISAH NEXT GENERATION 2: DIAM-DIAM MENCINTAIMU

Chapter 1

PERHATIAN!

Diary ini adalah milik

Nama: Molly Aphorpine Weasley

Tempat Tanggal Lahir: London, 21 Februari 2002

Jenis Kelamin: Perempuan.

Status Darah: Darah-Murni

Warna rambut: Merah

Warna mata: Coklat gelap

Warna kulit: Terang

Tinggi: 165 cm

Berat: 50 kg

Alamat: Hollowtree Resident no. 24, London.

Tongkat sihir: Cherrywood, 24 cm, nadi jantung naga.

Anggota Keluarga: Percy dan Audrey (Orangtua), Lucy (adik)

Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu.


Tanggal: Kamis, 4 Desember 2018

Tempat: Perpustakaan Hogwarts

Waktu: Setelah makam malam

Dear Diary,

Aku mencintai Julian Davies!

Ya, kau mendengarku dengan jelas, aku mencintainya, bukan sekedar menyukainya. Aku mencintainya.

Aku sudah mencintainya sejak lama, sejak dia membantuku menemukan buku Cara-Cara Pandai dalam Transfigurasi di perpustakaan. Waktu itu aku kelas tiga, dan aku sangat memerlukan buku itu untuk menyelesaikan PR Transfigurasi-ku. Aku duduk di depan rak dan menangsi, tapi dia datang, bertanya apakah dia bisa membantuku dan dia berhasil menemukan buku itu untukku. Aku langsung terpesona, Diary! Aku langsung jatuh cinta. Oke, mungkin itu belum disebut cinta karena waktu itu aku baru tiga belas tahun. Tetapi, aku mulai memasang mata dan menguntit ke mana pun dia pergi, lalu aku tahu (dengan sangat malu) bahwa namanya, Julian Davies, seasrama denganku dan bahkan satu angkatan denganku.

Ya, ampun ke mana saja aku selama ini!? Memalukan!

Oke, akan kujelaskan mengenai diriku sebelum kau menganggapku cewek sombong atau cewek buta.

Aku adalah cewek yang tidak pandai bergaul (ibuku juga seperti itu dan entah bagaimana dia bisa menikah dengan Dad), dan sangat pemalu. Aku tidak bisa berbicara dengan orang yang tidak kukenal dan tidak bisa mengatakan apa yang kupikirkan. Aku juga jarang sekali bicara, juga tidak pernah memperhatikan orang-orang di sekelilingku. Keinginanku yang utama adalah belajar, mengerjakan PR dan membaca apapun yang kuanggap penting. Karena aku tidak memperhatikan sekelilingku itulah, aku tidak melihatnya, aku bahkan tidak tahu siapa-siapa saja teman sekelasku. Aku hanya ingat pada empat orang cewek mengerikan yang menjadi teman sekamarku di menara Ravenclaw. Aku tidak bisa menceritakan padamu tentang mereka karena sampai sekarang aku tidak tahu pasti wajah mana untuk nama yang mana.

Karena aku jarang berhubungan sosial dan melakukan kegiatan lain, waktuku hanya kuhabiskan untuk belajar dan membaca. Aku adalah yang nomor satu di angkatanku, aku tidak tahu siapa nomor dua dan seterusnya, tapi aku tahu bahwa Julian masuk dalam sepuluh besar. Aku senang karena bukan hanya tubuhnya yang tinggi dan wajahnya tampan, tapi dia juga punya otak.

Nah, sekarang aku akan bercerita tentang Julian.

Julian adalah cowok paling tampan di dunia ini. Jangan tertawa, please, itu kan pendapatku! Wajahnya tampan, dengan mata biru gelap dan rambut hitam, tubuhnya tinggi (lebih tinggi kira-kira lima belas senti dariku), senyum dan tawanya sungguh indah (meski bukan tersenyum padaku), pembawaannya sangat sempurna (kurasa semua orang menyetujuinya), dia sangat baik dan pengertian, suka membantu orang lain dan segala hal baik lainnya. Dia juga terkenal, dia adalah Kapten Quidditch Ravenclaw, dan banyak cewek yang berlomba-lomba untuk jadi pacarnya. Bagaimana aku bisa mengalahkan gadis-gadis cantik Hogwarts?

Aku hanya bisa mencintainya dalam diam dan dari kejauhan. Aku hanya bisa menyelimutinya saat dia tertidur di ruang rekreasi karena terlalu lama belajar, mengatur semua buku-bukunya untuk pelajaran keesokan harinya, mengerjakan PR-nya secara diam-diam, dan menguntitnya saat dia menuju ke menara Astronomy untuk berciuman dengan pacarnya, Suzanne Corner. Menyedihkan, bukan? Tetapi ini bukan kesalahan siapa-siapa, ini kesalahanku sendiri yang tidak bisa menyampaikan perasaanku.

Dan setiap kali melihat mereka berciuman, aku selalu berpikir bahwa si cewek adalah aku, tapi cewek itu bukan aku. Aku hanyalah Molly Weasley, cewek pendiam yang tidak pantas didekati oleh siapa pun. Dia mungkin tidak tahu bahwa aku ada, kalau pun tahu, dia mungkin menganggapku sebagai salah satu dari cewek culun di sekolah.

Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku tidak menyampaikan perasaanku. Itu karena aku malu dan takut ditertawakan. Dia pasti akan menertawakanku, dia mungkin menganggap aku tidak selevel dengannya. Dan itu benar sekali, aku memang tidak selevel dengan siapa pun, dan aku mungkin tidak akan pernah berkencan dengan siapa pun (aku harus bertanya pada Mom bagaimana dia bisa menikah dengan Dad)

Dia duduk di sana membaca buku bersampul coklat (aku akan mengecek judul bukunya nanti), sedangkan aku duduk di sini mengawasinya dari balik Transfigurasi untuk Tingkat Menengah yang kubaca. Dia begitu serius sehingga tidak menyadari aku sedang mengawasinya, dan aku juga harus berhati-hati agar tidak ada seorangpun yang tahu aku sedang mengawasinya. Aku tidak ingin kejadian di menara Astronomy itu terjadi lagi. Dom dan Lucy yang hendak menyusup ke Hog's Head mendapatiku sedang menyusup ke menara Astronomy. Saat itu dia sedang di sana, aku tahu karena aku tidak menemukannya di ruang rekreasi Ravenclaw. Aku berhasil menghindar dari Dom dan Lucy, namun setelah itu semua klan Weasley/Potter mulai mengawasiku. Aku tahu Victoire-lah yang meminta mereka untuk mengawasiku. Dan ini membuatku tidak bebas bergerak.

Berbicara tentang Victoire, dia sekarang telah meninggalkan Hogwarts, dan tugas untuk menjaga anak-anak ada di pundakku. Aku tidak boleh duduk tenang dan menunggu Victoire yang membereskan masalah anak-anak lagi, karena Victoire sudah tidak ada, sedangkan aku ada. Siapa lagi yang mengurus masalah anak-anak kalau bukan aku. Sebelum kepergian Victoire, kami semua berkumpul dan Victoire meminta mereka untuk mendengarkan semua perkataanku.

Pada awal tahun ajaran, anak-anak sedikit memberontak, tapi aku berhasil membuat mereka mematuhiku karena aku menggunakan ancaman yang selalu digunakan Victoire, yaitu mengirim surat pada ibu masing-masing. Aku berhasil, setidaknya mereka tidak melanggar peraturan di depanku, tapi aku tahu (meskipun tidak punya bukti): Dom dan Lucy masih menyusup ke Hog's Head; Fred dan James masih menyewa anak-anak sebagai kelinci percobaan barang-barang lelucon, Roxy, yang telah dibelikan sapu oleh Aunt Angelina tidak lagi menyusup ke lemari sapu ruang ganti Gryffindor, tapi masih melakukan terbang di malam hari; Louis masih membolos Herbology, entah mengapa; Rose masih bertengkar dengan Scorpius dan Al masih menghabiskan waktunya untuk mencoba mantra-mantra pada anak-anak Slytherin yang tidak tahu apa-apa.

Kurasa Victoire selalu benar tentang semua hal, juga tentang kenyataan bahwa anak-anak sebenarnya harus di tempatkan di asrama Slytherin.

"Nah, kau memandang siapa? Ayo!" terdengar suara Dom.

Dia dan Lucy sudah berdiri di depanku, memandang berkeliling perpustakaan dengan curiga.

"Aku sedang membaca!" kataku, menutup buku. "Ada apa?"

Mereka berdua duduk di depanku.

"Aku ingin kita semua berkumpul," kata Dom, dia kelihatan cemas.

"Ada apa?" tanyaku. "Apakah terjadi sesuatu? Kita baru mengadakan pertemuan keluarga tiga minggu yang lalu."

"Ini tentang Louis," kata Dom. "Aku cemas―aku takut terjadi sesuatu padanya."

"Ya, aku juga sudah memikirkan hal itu," kataku, "Kita bertemu di tempat biasa jam delapan."

"Sekarang sudah hampir jam delapan dan kita perlu waktu untuk mencari anak-anak, bagaimana kalau jam sembilan?" tanya Lucy.

"Kalau jam sembilan mulai, selesainya bisa sampai jam sepuluh, dan aku tidak ingin kalian berkeliaran di koridor jam sepuluh malam... kalian bisa ditangkap Prefek dan didetensi. Jadi, pertemuannya tetap jam delapan... pergilah, cari anak-anak!"

"Oke," jawab mereka bersamaan, lalu berjalan meninggalkanku.

Masalah Louis yang sering membolos Herboly telah dimulai sejak kelas satu, dia berhasil naik ke kelas dua dan tiga dengan nilai pas-pasan (aku curiga ini karena Neville Longbottom bersahabat dengan Uncle Harry dan Uncle Ron). Tetapi masalah ini memang tidak bisa dibiarkan berkelanjutan, karena bisa-bisa dia tidak akan lulus Herbology tahun ini. Dan aku tidak ingin itu terjadi, aku tidak ingin ada keluarga Weasley yang terpaksa mengulang mata pelajaran tertentu.

Aku menghela nafas, mengangkat muka dan melihat Julian sedang mengawasiku. Tak ingin ketahuan bahwa aku sedang mengawasinya, aku segera bangkit, menyambar Transfigurasi untuk Tingkat Menengah dan menuju rak Transfigurasi untuk mengembalikannya. Setibanya aku di sana, aku mendengar suara pertengkaran dari balik rak buku.

"Kau bukan cowok paling tampan yang pernah ada, kau hanya bernaung di belakang nama orangtuamu yang sudah terkenal," terdengar suara seorang anak perempuan bernada marah.

"Apa hubungannya ini dengan orangtuaku yang terkenal?" tanya suara Al, dari suaranya aku tahu bahwa dia juga sedang marah.

"Aku cuma ingin mengingatkanmu untuk menjaga kelakukan dan bersikaplah sopan terhadap anak perempuan..."

"Wah, kalau anak perempuan sepertimu, cumi-cumi raksasa juga tidak akan bersikap sopan," kata Al, tajam dan kasar.

"Kau... Kau! Aku tidak akan mengijinkanmu menyentuhku sedikit pun..."

"Ha, memang siapa yang mau menyentuhmu? Apakah aku pernah bilang bahwa aku ingin menyentuhmu?"

"Tidak, tapi..."

"Kalau begitu menyingkirlah!"

"Aku tidak akan menyingkir karena aku duluan yang mengambil buku ini, jadi lepaskan tanganmu!"

"Enak saja! Aku sudah melihatnya duluan sebelum kau datang," kata Al.

"Tapi aku harus menyelesaikan PR Transfigurasiku malam ini!"

"Sama, aku juga harus mengerjakannya... Rose, sedang menungguku, jadi meyingkirlah!"

"Tidak..."

Tidak tahan lagi mendengar percekcokan ini, aku segera meletakkan Transfigurasi untuk Tingkat Menengah di rak dan mendatangi Al yang sedang berebutan buku dengan seorang anak perempuan berambut merah kecokelatan dan berdasi hijau Slytherin.

"Nah, nah ada apa ini?" tanyaku, saat tiba di tempat mereka.

Mereka berdua menoleh memandangku. Memakai kesempatan, Al segera menarik lepas buku dari tangan anak perempuan itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi jauh dari jangkauannya.

"Kembalikan!" desis anak itu, mencoba meraihnya.

"Menyerahlah, Miss―siapa namamu?"

"Kau tidak mengenal aku?" anak itu kelihatan shock, lebih shock dari waktu Al merebut bukunya.

"Memangnya aku harus mengenalmu?" tanya Al.

Untuk sesaat, anak perempuan itu tidak mampu berkata apa-apa. Masih shock karena Al tidak mengenalnya.

"Kalian berdua bisa memakai buku itu bersama-sama... Al, kau kan bisa berbagi dengannya," kataku, memandang Al.

"Weasley," kata anak perempuan itu, akhirnya bisa menemukan suaranya kembali, dia menatap rambut merahku. "Saudara... pantas saja."

Cewek itu mencibir, lalu pergi meninggalkan kami.

"Kenapa sih cewek itu?" tanya Al.

"Kau tidak mengenalnya, Al?" tanyaku. "Sepertinya dia ingin agar kau mengenalnya."

"Siapa juga yang mengenal cewek aneh seperti itu," kata Al cuek, lalu berjalan menuju mejanya dan Rose.

Aku segera mengikutinya.

Kami duduk di dekat Rose, yang tampak asyik menulis sesuatu di perkamen.

"Hai, Molly!" katanya, mengangkat muka. "Dan apa yang terjadi denganmu?" tambahnya pada Al yang berwajah muram.

Al segera menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi, pada saat yang sama si anak perempuan Slytherin lewat di dekat meja kami. Dia mendelik pada Al, yang dibalas Al dengan tertarik.

"Ariella Zabini," kata Rose, yang juga sedang memandang si anak perempuan Slytherin. "Salah satu dari cewek Slytherin yang suka mengikik..."

"Zabini?" Al kelihatan terkejut. "Dia kan pasanganku di kelas Ramuan..."

"Benar, Al, kau sudah berpasangan dengannya selama dua tahun dan kau tidak mengenalnya, pantas saja dia tersinggung."

"Aku kan tidak pernah memperhatikan wajah anak-anak perempuan, apa lagi anak perempuan Slytherin," kata Al, membela diri.

"Sudahlah, kita lupakan Zabini, atau apapun namanya," kataku cepat. "Sekarang dengarkan aku, aku ingin kita semua bertemu di tempat biasa. Ada yang ingin kubicarakan."

"Bicara?" Rose menatapku dengan cemas. "Bicara apa? Malfoy dan aku tidak bertengkar lagi dan―"

"Menyebut namaku, Weasel Queen!"

Malfoy, pucat dan berdagu runcing, mendatangi meja kami bersama seorang anak laki-laki berbadan besar, dan empat anak perempuan, yang memakai dasi hijau Slytherin, salah satunya adalah si cewek Zabini. Malfoy, meskipun lebih pendek beberapa centi dari anak-anak lain, tapi dia tampaknya adalah pemimpin mereka.

"Malfoy!" desis Rose, berdiri menghadapi Malfoy.

"Kulihat kau semakin ceking saja, Weasel Queen!"

"Kulihat kau semakin pendek saja, Vampir!"

Al cekikikan.

Aku menahan diri untuk tidak terkikik, aku kan lebih tua dari mereka, jadi aku harus bisa bersikap sebagai kakak yang tidak memihak. Tapi, kata-kata Rose tidak sepenuhnya benar, karena Malfoy tampaknya telah lebih tinggi dari tahun sebelumnya, saat dia dan Rose berkelahi di kereta api, dia sekarang hampir sama dengan Rose.

Malfoy murka, kelihatannya sedang berusaha menahan diri untuk tidak mencekik mendelik pada Rose sesaat lalu mengalihkan pandangan pada Al.

"Membuat anak perempuan menangis adalah perbuatan yang rendah, Potter, bagaimana kau bisa menyebut Harry Potter ayahmu?"

"Jelaskan apa yang kau maksudkan, Malfoy, kalau tidak menyingkirlah dari hadapan kami!" kata Rose.

"Dia membuat sepupuku menangis..." kata Malfoy, menunjuk si cewek Zabini, yang tampak sedih di dekatnya.

Aku memandang cewek Zabini dengan tidak yakin. Wajah Zabini terlihat sedih dibuat-buat, jelas sekali omong kosong. Tapi, tampaknya Malfoy tidak begitu memperhatikannya.

"Kau memang sangat pandai berakting, Zabini!" desis Al, yang kemudian juga berdiri.

"Oh, jadi dia sepupumu, Malfoy," kata Rose, mencibir. "Pantas saja!"

"Apa maksudmu, Weasel Queen?" tanya Cewek Zabini.

"Entahlah," kata Rose, memandang langit-langit.

Malfoy mendekatkan wajahnya pada Rose, yang menolak untuk mundur dan mendesis tepat di hidung Rose.

"Jangan coba-coba menghina sepupuku, Weasley... atau kau akan tahu sendiri akibatnya,"

"Oh ya, aku benar-benar ingin tahu bagaimana akibatnya," kata Rose, balas mendesis di hidung Malfoy.

Wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti, dan pikiran lain masuk ke otakku: apakah mereka sebentar lagi akan berciuman?

Ha? Dari mana pikiran itu berasal? Aku berdehem dan Malfoy segera menjauhkan diri dari Rose dan memandang Al.

"Dan kau Potter, aku akan membunuhmu kalau kau berani menyentuh sepupuku," kata Malfoy.

"Aku lebih baik menyentuh cumi-cumi raksasa dari pada menyentuh sepupumu, Malfoy," balas Al.

Wajah cewek Zabini memerah. Malfoy dan Rose mencabut tongkat sihir secara bersamaan.

Aku membanting buku dan berdiri.

"Rose simpan tongkat sihirmu, dan Malfoy―" aku memandangnya. "Pergilah! Kau tidak ingin menciptakan keributan di perpustakaan, kan?"

Malfoy mendelik padaku, kemudian berjalan menjauh diikuti geng Slytherin-nya.

"Cewek itu, benar-benar tidak bisa dipercaya," desis Al, mendelik pada belakang kepala Zabini yang berambut merah kecokelatan.

Ya ampun, anak-anak ini, padahal ini baru tahun kedua mereka di Hogwarts, apa yang terjadi pada tahun keenam dan tujuh mereka nanti? Oh, syukurlah, saat itu aku sudah meninggalkan Hogwarts!

Menghela nafas, memandang meja di depanku, dan terkejut karena aku bertatapan dengan mata biru gelap Julian lagi. Sejak kapan dia ada di situ? Tetapi aku tidak akan memikirkannya sekarang. Kami harus segera ke tempat pertemuan.

"Bereskan, barang-barang kalian, Rose, Al, kita harus segera pergi!" kataku, menyambar tasku sendiri dan segera berjalan keluar perpustakaan diikuti oleh Rose dan Al.


Tanggal: 4 Desember 2018

Lokasi: Kelas kosong Lantai enam

Waktu: 8 - 10 pm

Kami duduk di sebuah meja bundar, sehingga kami bisa memandang wajah masing-masing, tapi malam ini semua orang memandang Louis, yang duduk dengan tampang keras kepala di antara Fred dan James. Dom memandangnya dengan cemas, Lucy berulang kali melirik Dom, sedangkan Roxy, James, Fred, Rose dan Al duduk tenang di kursi dan menunggu.

"Louis, aku dengar kau sudah tidak mengikuti pelajaran Herbologi secara berturut-turut selama 2 minggu ini," kataku memulai.

"Benar..." katanya, mendelik pada Fred, James dan Roxy. "Terima kasih sudah memberitahu semua orang!"

"Aku yang memberitahu, Dom," kata Roxy, memandang Louis tanpa takut. "Walaupun aku tidak memberitahu mereka, semua orang akan tahu juga nantinya. Longbottom sudah mengancam akan memberitahu McGonagall kalau kau tidak ikut pelajaran berikutnya."

"Jadi kenapa? Aku memang tidak ikut pelajaran mengerikan itu?" kata Louis keras kepala.

"Jadi... kami semua cemas... " kataku.

"Bisakah kalian semua berhenti peduli padaku?" tanya Louis.

Aku menghela nafas.

"Kami tidak bisa berhenti peduli padamu... kami sangat peduli padamu karena itulah kami di sini sekarang..."

"Kau terlalu meniru Victoire, Molly," kata Louis tajam. "Mengapa kau tidak duduk tenang, diam, membaca dan tidak udah menghiraukan kami."

Aku tersentak.

"Lou, kau tidak boleh berkata begitu... Molly sepupu kita, dan dia menyayangimu," kata Dom.

"Aku tidak ingin orang-orang menyayangiku... aku ingin kalian mengurus urusan kalian sendiri... aku ingin kalian membiarkan aku sendiri!" jerit Louis, menyentakkan kursinya ke belakang dan berdiri. Dia memandang kami semua dengan marah.

"Louis!" Dom menggertak.

"Kenapa? Mau memarahiku? Ayo... ayo, marah... marah saja!" dia memandang Dom dengan menantang.

"Kau tahu dia tidak akan melakukannya," kataku.

Louis sekarang mondar-mandir di belakang Fred dan James, dan Fred dan James yang tidak ingin ketinggalan memandang Louis, menoleh ke belakang setiap detik, sehingga mereka tampak seperti orang yang sakit leher.

Selama beberapa detik kami terdiam.

"Jadi, mengapa kau membolos hanya pada pelajaran itu?" tanyaku.

"Apakah kalau aku memberitahu kalian, kalian akan membantuku?" Louis balik bertanya.

"Untuk itulah kami berkumpul di sini, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita alami... Aku yakin kita akan bisa mengatasinya bersama," kataku lembut.

Dia memandang Fred, James dan Roxy, kemudian berkata,

"Aku jijik pada tanah dan pupuk yang bau, oke!"

Semua orang saling pandang, kemudian terdengar bunyi dengusan, Roxy, Fred, James mulai cekikikan.

"Tertawalah, tertawa saja!" kata Louis mendelik pada mereka.

"Maaf... maaf, tapi aku tidak menduganya," kata James, dia dan Fred saling pandang kemudian tertawa.

"Fred, James, Roxy, hentikan," kataku keras.

Mereka menutup mulut dan menyembunyikan cegukan.

"Selama ini aku terpaksa ikut karena Mom marah, tapi aku tidak bisa tahan..." kata Louis tampak stress.

"Tapi kita sering main menggunakan tanah waktu masih kecil, mengapa sekarang kau―"

"Tanah liat sama tanah humus beda, Dom, dan tanah humus itu menjijikkan!"

Sekarang anak-anak, kecuali Dom, Lucy dan aku, mulai cekikikan lagi.

"Oke, oke, kita akan mencari solusinya karena kau tidak bisa selamanya membolos pelajaran itu," kataku keras, mengatasi suara cekikikan. "Nah, ada yang punya usul?"

Semua terdiam, berpikir.

"Bagaimana kalau kau memakai Mantra Gelembung Kepala tiap kali kau mengikuti pelajaran Herbology, supaya kau tidak usah mencium bau pupuk," usul Lucy.

"Tapi aku tetap menyentuhnya, kan? Dan itu menjijikkan," Louis tergidik.

Yang lain cekikikan lagi.

"Sudah... sudah," kataku segera, menghentikankan cekikikan. "Masalah ini memang agak sulit karena ini menyangkut psikologi seseorang, tapi kami akan mencari solusinya, Louis, tenang saja..."

"Bagaimana caranya?" tanya Lucy. "Membaca semua buku psikologi manusia yang berhubungan dengan kesukaan dan ketidaksukaan terhadap sesuatu?"

"Itu membutuhkan seumur hidup di Hogwarts, buku seperti itu kan banyak," kata Fred.

"Tidak... tidak, aku akan menyusun topiknya dan kita akan mencari bersama-sama," kataku menenangkan. "Kita mencoba membaca beberapa buku sambil memikirkan cara lain untuk mengatasinya dan―dan kalau kita tidak menemukan cara dalam buku atau salah satu dari kita tidak menemukan cara tertentu, aku akan berbicara pada orang dewasa―"

"Jangan..." kata Louis cepat. "Aku tidak ingin Mom dan Dad memindahkan aku di Beauxbatons."

"Tidak... kau tidak akan dipindahkan, aku akan meminta mereka untuk mempertimbangkan pelajaran lain untukmu sebagai ganti Herbology," kataku.

"Thanks, Mol," katanya tersenyum, senyum pertamanya di malam ini.

Oh syukurlah!

"Tapi, kau tidak boleh bolos lagi, berusahalah untuk bertahan sampai semester depan, oke," kataku lagi.

"Baiklah, aku mengerti," kata Louis senang. "Nah, kalau begitu, aku pergi dulu, masih ada esai Sejarah Sihir yang harus kutulis," dia memandang Fred dan James, "ikut?"

"Kau pergilah duluan, kami masih akan berbicara dengan Molly," kata Fred.

Louis keluar.

"Ada apa?" tanyaku menatap Fred.

"Yang jelas solusinya cuma satu, yaitu memberitahu orang dewasa tentang hal ini," kata Fred.

"Kau hanya tidak mau menghabiskan waktumu yang berharga di perpus, kan?" kata Rose.

"Mau bagaimana lagi, Rose? James, Roxy dan aku masuk tim tahun ini, kami harus latihan, belum lagi tugas-tugas sekolah dan―"

"Oke, oke, aku mengerti," kataku cepat. "Fred, James, Roxy, boleh bebas tugas, dan kalian juga Dom, Lucy―"

"Aku ingin membantu," kata Dom.

"Ini tahun OWL kalian, Dom, Lucy," kataku. "Kalian harus belajar... Jadi tinggal, Rose, Al dan aku yang akan mencari buku-buku psikologi. Aku akan menulis topiknya dan memberikannya pada kalian nanti."

"Tidak bisakah kita mencari cara yang lebih sederhana, misalnya membuatnya terbiasa dengan tanah," kata Al.

"Bagaimana?" tanya Roxy.

"Jadi begini, maksudku kita membuatnya dekat dengan tanah humus, agar terbiasa dengan baunya dan tidak jijik lagi," jawab Al.

"Maksudmu, kita menyiramnya dengan tanah humus, menaruh tanah di tempat tidurnya, menaruh tanah di tempat duduknya, dan semua yang seperti itu?" tanya Dom, kelihatannya dia senang.

"Kami akan melakukannya," kata James dan Fred bersamaan, tampaknya menyiram Louis dengan tanah adalah kegiatan yang menyenangkan bagi mereka.

"Ya begitulah," kata Al, memandangku. "Bagaimana menurutmu, Mol?"

"Idemu bagus, tapi itu adalah tindakan yang melanggar hukum dan―"

"Siapa peduli soal hukum?" kata James.

"Molly, benar," kata Rose. "Kalian tidak boleh menyiram Lou dengan tanah dan―dan―" pandangannya menerawang.

"Apa?" tanyaku.

"Aku punya ide yang lebih baik," kata Rose tersenyum. "Kita bisa menggunakan orang lain..."

"Maksudmu menyuruh orang lain yang menyiramnya dengan tanah?" tanya Lucy.

"Bukan itu maksudku," kata Rose, kemudian melanjutkan, "Kalian kan punya teman―siapa namanya―cewek yang tangan dan rambutnya selalu penuh tanah, dan ke mana-mana selalu membawa bau tanah itu?"

"Alice Longbottom, teman sekamarku, kalian pasti tidak percaya... dia bau sekali!" kata Roxy, tampak jijik.

"Longbottom? Maksudmu dia anak―"

"Dia anak Neville, ya," kata James.

"Aku sudah melihatnya, anak kelas tiga yang suram itu, kan?" tanya Dom.

"Ya, dia... Alice Longbottom," kata Fred.

"Kalian tidak boleh berkata begitu tentangnya," kataku cepat. "kalian tahu bagaimana hidupnya, ibunya meninggal, sedangkan Neville harus kerja dan―"

"Lanjut..." kata Lucy, memotong perkataanku. "Nah, Rose, buat apa kau bertanya tentang anak itu?"

"Aku bertanya tentang dia karena kita bisa menggunakan dia untuk mendekati, Lou," kata Rose. "Pokoknya ke mana-mana dia harus mengikuti Lou, kalau bisa kita mengundangnya saat liburan Natal di The Burrow―dia kan anak Neville jadi tidak apa-apa dan bilang saja kau yang mengundangnya, Roxy―Nah, kalau dia terus bersamanya, Lou akan terbiasa dengan bau tanah..."

Tidak ada yang bicara, tampaknya ide ini terlalu aneh dan tidak masuk akal.

"kalian tidak mengerti?" Rose tampa kecewa. "Maksudku, kita menggunakan anak yang berbau tanah untuk mendekati Lou agar dia terbiasa dengan―"

"Aku mengerti," kataku. "Aku hanya merasa bahwa ini bukan usul yang baik."

Perasaanku mengatakan bahwa ini akan berbuntut panjang.

"Aku setuju dengan usul, Rose," kata Dom. "Kita bisa menggunakan anak itu, tapi apakah anak perempuan itu mau? Dan bagaimana kalau Neville sampai tahu?"

"Alice sangat suka uang," kata Roxy. "Kalau kalian meminta bantuannya kalian harus membayar... Dan rencana ini harus dirahasiakan, Neville, Louis atau siapa pun tidak boleh mengetahuinya, bagaimana?"

"Aku akan siap bayar," kata Fred.

"Bagaimana Mol?" tanya Rose.

"Yeah, aku―baiklah kita pakai usul Rose, tapi―"

"Ayolah, Mol, apa salahnya mengeluarkan 5 Galleon untuk setahun," kata Lucy.

"Lima Galleon setahun?" tanyaku heran.

"Kita kan tidak mungkin menyewa perhari... kita harus menyewanya setahun agar hasilnya lebih optimal," kata Dom.

"Jadi seorang lima Galleon?" tanya Al. "Tapi apakah dia setuju?"

"Aku akan bicara dengannya nanti," kata Roxy, "Jadi, kalau seorang lima Galleon berarti kita akan membayarnya 35 Galleon setahun. Kurasa dia tidak akan mau, bagaimana kalau 50 Galleon setahun?"

"Baiklah, aku setuju," kata James.

Semua setuju.

Jadi, Diary, kami sudah memutuskan untuk membayar Alice Longbottom untuk mengikuti si malang Louis ke mana-mana. Hari-hari akan jadi sangat menyenangkan (atau menyedihkan).

Sincery

Molly Weasley

Penjaga anak-anak, yang mungkin akan membawa mereka dalam masalah.


Tanggal: Kamis 4 Desember 2018

Lokasi: Ruang Rekreasi Ravenclaw

Waktu: 11 am – 11.13

Dear Diary,

Benar-benar sial, setelah hampir saja tertangkap Prefek saat sedang kembali ke ruang rekreasi Racenclaw, aku salah menjawab teka-teki dari burung penjaga pintu ke ruang rekreasi.

"Coba pikir-pikir lagi, Miss," kata si burung.

Ini semua gara-gara Rose!

Setelah selesai pertemuan keluarga, aku menemaninya menyusup ke perpustakaan untuk mengambil bukunya yang ketinggalan. Beruntung sekali kami tidak tertangkap Prefek dan Ketua Murid yang berkeliaran di lantai tiga dan lantai empat. Setiba di perpustakaan, ternyata buku itu tidak ada, jadi kami kembali lagi mengendap-endap, mengantar Rose di lantai tujuh dan aku kembali lagi turun ke lantai lima. Asal tahu saja, melakukan semua itu membutuhkan waktu yang lama karena harus bersembunyi di balik baju zirah untuk menghindari Prefek.

Berbicara tentang Prefek, Mom dan Dad sangat kecewa karena Lucy maupun aku bukan Prefek. Tahun lalu saat lencana itu sedang dikirimkan pada tangan-tangan tertentu, Dad sudah mempersiapkan pesta keluarga kalau aku bisa menjadi Prefek, tapi lencana itu tidak datang padaku, padahal aku adalah yang paling pintar dalam angkatan kami. Mungkin McGonagall tidak melihat kepintaran sebagai syarat utama untuk menjadi Prefek, tapi bagaimana orang itu bisa menjalankan sebuah tanggungjawab besar.

"Ayo, Miss, kau tidak mungkin berlama-lama di luar sini, kan?" kata si burung lagi. "Kapankah kebencian menghilang?"

"Saat cinta dan kasih sayang datang..." kata seseorang di belakangku.

Hampir saja aku pingsan karena terkejut, aku tidak menduga masih ada orang lain yang berkeliaran pada jam begini.

"Pemikiran yang bagus," kata burung itu, lalu pintu terbuka.

Aku membalikkan badan dan melihat anak kelas dua, Lorcan Scamander berdiri di belakangku.

"Silakan," katanya, menunjuk pintu yang terbuka.

"Terima kasih..." kataku, lalu masuk.

Lorcan mengikutiku dari belakang.

Sebelum aku bercerita tentang kejadian yang terjadi di ruang rekreasi aku akan menceritakan sedikit tentang Lorcan Scamander. Lorcan mempunyai seorang saudara kembar bernama Lysander, yang oleh topi seleksi ditempatkan di Slytherin, entah kenapa karena mereka sebenarnya adalah kembar identik. Mereka adalah anak Luna Lovegood, teman keluarga Potter, yang kadang sering diundang oleh Aunt Ginny dalam acara-acara tertentu yang diadakan oleh keluarga Potter di Godric's Hollow.

"Murid nomor satu Ravenclaw tidak bisa menjawab teka-teki yang mudah?" kata Lorcan, dengan nada tak percaya.

"Aku sedang bingung, Scamander," kataku, mengelak. "Nah, apa yang kau lakukan di luar pada jam begini."

"Panggil aku Lorcan, kita kan pernah bertemu di pesta ulang tahun Harry di Godric's Hollow," kata Lorcan.

"Oke, Lorcan, apa yang kau lakukan malam-malam begini," tanya Lorcan.

"Pertanyaan yang sama untukmu, Molly," kata Lorcan.

Aku agak terkejut karena dia ingat namaku.

"Oke, baiklah aku tidak akan bertanya padamu, dan kau juga tidak akan bertanya padaku... kalau begitu beres," kataku, lalu beranjak pergi.

"Aku melihat sepupumu," katanya, membuatku berhenti melangkah.

"Melihat sepupuku?" tanyaku heran.

"Roxanne Weasley," katanya.

"Ada apa dengannya?" tanyaku.

"Kurasa terbangnya sudah bagus, tanpa perlu latihan setiap malam," kata Lorcan.

"Jadi kau menguntit sepupuku, Lorcan?" tanyaku, mengangkat alis.

"Aku kebetulan juga hendak berlatih, tapi karena dia selalu memakai lapangannya, yeah―"

"Lapangan Quidditchnya kan luas, kalian bisa berlatih bersama," kataku.

"Aku tidak berlatih bersama Gryffindor," katanya tajam.

"Oke..." kataku tidak tahu harus berkata apa, mengangkat bahu lalu berjalan ke sebelah kiri di mana terdapat tangga yang menuju ke kamar anak-anak perempuan.

"Kapten," terdengar suara Lorcan lagi, aku berbalik dan melihatnya sedang memandang seseorang yang tertidur di sofa di dekat perapian.

Oh, tidak... Julian, apakah kau terlalu lelah untuk pergi ke kamarmu sendiri?

Aku berjalan mendekati sofa dan melihat Julian sedang tertidur pulas di sofa. Matanya terpejam, menciptakan efek gelap pada pelupuk matanya yang berbulu mata panjang dan hitam. Bibirnya sedikit terbuka dengan nafas yang terdengar dalam dan perlahan. Dadanya turun naik mengiringi irama nafasnya, salah satu tangannya menyentuh karpet dan sebuah buku tergeletak begitu saja di dekat tangannya.

"Kapten kelihatannya sangat lelah," kata Lorcan.

"Mengapa kau memanggilnya kapten?" tanyaku.

"Yeah karena dia kaptenku," jawab Lorcan, seakan itu hal yang sangat jelas.

"Aku tahu dia kapten Quidditch-mu, tapi kan ini bukan lapangan Quidditch, kau bisa memanggil nama dan―"

Julian bergerak, aku menahan nafas. Aku tidak boleh ada di sini saat dia terbangun.

"Aku pergi dulu―"

"Tunggu," kata Lorcan. "Apakah kita harus membangunkan, kapten?"

"Terserah..." kataku, hendak pergi.

"Kalau begitu tidak usah saja... dia kelihatannya sangat lelah dan dia pernah bercerita bahwa dia lebih suka tidur di sofa dari pada tidur di kamarnya."

"Mengapa dia lebih suka tidur di sofa?" tanyaku, "itu kan tidak nyaman."

"Entahlah," kata Lorcan, mengangkat bahu.

Aku memandang Julian lagi dan melihatnya bahwa dia sepertinya tidak akan bangun sampai pagi.

"Baiklah, selamat malam," kata Lorcan, kemudian menaiki tangga sebelah kanan, yang menuju ke kamar anak-anak laki-laki.

Dan aku sendiri bersama Julian yang tertidur, sekali lagi, aku mendapatinya tertidur di sini. Aku memanggil sebuah selimut dari kamarku dan menyelimutinya. Entah sudah berapa selimut yang kugunakan untuk menyelimutinya dan selimut itu tidak pernah kembali. Dia mungkin bertanya-tanya selimut siapa itu dan membuangnya ke perapian saat tidak ada yang mengakuinya.

Sambil mengatur buku-buku, aku melihat bahwa dia belum selesai mengerjakan PR Herbology-nya. Diary, kau pasti tahu apa yang kulakukan kemudian, benar sekali, aku mengerjakan PR-nya. Apakah aku terlihat sangat menyedihkan? Benar sekali! Benar-benar menyedihkan! Tak lama lagi aku bisa gila karena tersiksa oleh perasaan yang tidak terungkapkan.

"Selamat malam," bisikku pelan, mencium keningnya dan berjalan menuju kamar anak-anak perempuan.


Read and Review, please! Sampai jumpa KNG 2: Diam-Diam Mencintaimu chapter 2

Riwa Rambu :D