Judul: Is This What They Called Phlebotinum

Author: Silver Soulmate RP

Fandom: Gintama

Disclaimer: Sorachi Hideaki memiliki Gintama; Mun (roleplayer) hanya memiliki plot cerita dalam fanfiksi ini, dan Author menyusunnya hingga jadi rangkaian cerita yang utuh dan dibahasakan sedemikian rupa. Kami tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfiksi ini.

Genre: Adventure, Romance

Rating: T

Pairing: GinHiji, Gin/fem!Hiji

WARNING: Genderbending (female!Hijikata), hints of BL, implied sex scene (Gin/fem!Hiji)

NOTE: Fanfiksi ini dibuat berdasarkan Log RP atas Genderbending Arc dari #SilverSoulmateRP, grup roleplay Gintama di twitter.

.

.


CHAPTER TWO

.

.

Hijikata Toushiro mengeringkan rambut panjangnya yang tergerai basah. Ia baru saja membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya setelah selesai melakukan tugas patroli harian—fisik yang berubah tidak akan menghalangi kegiatannya sehari-hari. Tidak akan pernah.

Laporan dari Kapten Divisi 1 Shinsengumi—Okita Sougo—yang tergeletak di atas meja kerjanya menangkap perhatiannya. Sampai saat ini belum ada kemajuan yang berarti selain info bahwa wanita bertudung dengan ciri-ciri seperti yang digambarkan Hijikata sempat terlihat di beberapa titik, namun setidaknya ia bisa memastikan kalau wanita itu masih ada di Edo.

Masih mengeringkan rambutnya, ia berjalan menghampiri dan kemudian duduk di balik meja kerjanya, membuka laporan dari Okita, matanya menyusuri dokumen-dokumen itu dengan seksama. Tempat-tempat Kijima Matako diperkirakan menginap sebelumnya, dan tempat-tempat di mana ia pernah terlihat. Ah. Ada laporan yang menyatakan bahwa Hitokiri Bansai juga pernah terlihat di beberapa tempat itu. Hijikata mencatat nama-nama tempat yang dilampirkan Okita dalam laporannya pada buku catatan kecilnya. Ia akan memeriksa tempat-tempat itu nanti. Mungkin malam ini, atau besok.

Mendesah singkat, ia membuat salinan rangkuman laporan itu untuk atasan langsungnya di Shinsengumi, Kondo Isao, sebelum memutuskan untuk tidur.

.

.

Kijima Matako menghampiri boks telepon untuk kedua kalinya; wajahnya terus menerus tersenyum karena merasa telah—sedikit—berguna bagi pimpinannya itu. Ia yakin info yang baru saja didapatkannya ini akan berguna untuk atasannya.

Dengan jantung berdebar-debar, ia mendengarkan nada sambung, menunggu telepon diangkat.

Suara telepon diangkat. Matako segera melaporkan info yang ia dapat, tahu bahwa sang pimpinan tidak suka orang yang bertele-tele dan membuang-buang waktu.

"Shinsuke-sama, aku sudah tahu penyebab terhambatnya laju pertumbuhan nyamuk inseminasi tersebut." Menarik napas sejenak, menahan diri dari agar tidak menunjukkan rasa senang yang berlebihan karena telah mendapatkan sebuah info berharga. "Saat aku mampir ke sebuah warung kecil, sang penjaga dan salah satu pelayan di sana sedang membicarakannya, Shinsuke-sama. Ada seorang pria yang akhir-akhir ini sibuk menangkapi nyamuk-nyamuk itu..."

Ia sedikit ragu untuk melanjutkan. Sebenarnya ia agak khawatir kalau ia hanya salah dengar. "Aku hanya mendengar samar namanya, jadi tidak begitu yakin, Shinsuke-sama."

"Oh ya?" Takasugi terdengar ingin tahu; dengan caranya sendiri. "Siapa kiranya orang ini menurut pendengaranmu?"

Iris hijau keabuan milik Matako melirik ke kiri dan ke kanan, menunjukkan bahwa ia benar-benar ragu. Ia tidak ingin asal sebut karena nama itu menyangkut masa lalu pimpinannya.

Menimbang-nimbang beberapa saat, ia menyebut sebuah nama, "Gintoki." Gadis berambut pirang itu menarik nafas, "Sakata Gintoki... sepertinya."

" ..Gintoki..." hening agak lama dari ujung telepon sebelum terdengar sebuah gumaman. "Takdirnya dekat. Gintoki, takdirmu dengan kematian, sangat dekat."

Sang gadis memutuskan untuk tidak menanggapi karena takut salah bicara. Ia memainkan kabel telepon yang memutar di jari telunjuknya yang ramping. "...jadi? Bagaimana, Shinsuke-sama?"

"...Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik."

Seandainya tudung jubah Matako tidak menutupi kepalanya dengan sempurna, orang-orang yang menoleh ke arahnya pasti dapat melihat wajahnya yang kini sudah memerah. "Terimakasih, Shinsuke-sama..."

"Apa kau mau kuberi tugas lainnya?" Pertanyaannya itu hampir-hampir seperti perintah, bukan nada meminta.

Matako mengangguk mantap, walau ia tahu Takasugi tidak akan melihatnya. "Apa saja akan kulakukan, Shinsuke-sama."

"Menyamar." Suaranya terhenti sejenak. "...Lakukanlah penyamaran. Jadilah pegawai di tempat kau mendengar informasi tadi. Kalau di tempat itu bisa dengan mudah mendapat informasi, ada kemungkinan Gintoki sering pergi ke sana." Jeda sesaat. "Ubahlah penampilanmu sedikit, dan jadi pegawai di sana."

Matako terdiam di depan telepon. Menyamar? Kriminal dengan wajah yang telah dikenal di mana-mana sepertinya pasti akan sangat sulit menyamar. Tapi jelas, tidak ada kata membangkang terhadap kata-kata sang pimpinan. "Baiklah, Shinsuke-sama. Lalu? Apa aku hanya akan mengumpulkan informasi saja?"

Matako tidak dapat melihatnya, tetapi Takasugi menyeringai di ujung telepon. "...tentu saja tidak. Itu hanya pekerjaan sampinganmu. Nanti aku akan kukirimkan alamat seseorang..." terdengar bunyi hisapan; tampaknya Takasugi sedang menghisap nikotin dari pipa tembakaunya saat menelepon sang gadis. "...seorang dokter untuk kau lenyapkan."

"Hanya dokter? Mudah sekali." Senyum Matako mengembang. "Baiklah, Shinsuke-sama."

"Senang mendengarnya. Takeuchi yang akan memberikanmu alamat itu beberapa hari lagi."

"Baik, Shinsuke-sama."

"Hn." Kemudian terdengar bunyi saluran telepon ditutup.

Senyuman sang gadis masih tak lepas. Matako berjalan keluar dari boks telepon; tangan kanannya mengelus pistol yang yang tersarung di pinggangnya.

.

.

Kondo Isao baru saja keluar dari rapat dengan para petinggi Bakufu malam ini. Malam yang benar-benar melelahkan.

Ia menelepon seseorang untuk menjemputnya dan kembali ke barak, ada hal penting yang harus disampaikannya kepada seluruh Shinsengumi nanti.

Dengan diselimuti perasaan tidak enak yang tiba-tiba datang—entah karena lelah atau apa, ia sendiri tidak tahu—mengganti pakaiannya menjadi yukata malam, menggelar futon kemudian merebahkan diri di dalam selimutnya

Walau sempat tak dapat memejamkan matanya karena rasa gelisah dan perasaan tak enak yang bergumul di dadanya, akhirnya ia tertidur.

Diiringi mimpi buruk mengenai anak buahnya dan Shinsengumi.

.

.

Ruangan itu gelap.

Bila memperhatikan ruangan itu baik-baik, dengan rak-rak berisi botol-botol, meja yang penuh dengan tabung reaksi, labu erlenmeyer dan teman-temannya, orang pasti akan menyadari bahwa itu sebuah laboratorium.

Sesosok tubuh pria paruh baya terkapar kaku di lantai dengan mata terbuka lebar dan wajah ketakutan.

Sosok lain di dalam ruangan itu—sosok berjubah serba tertutup—melempar jaket—yang sepertinya milik sang pria—yang sempat disambarnya untuk digunakan menutupi diri dari cipratan darah saat menembak tadi dari tangan kirinya secara asal. Ia yakin sidik jari tidak akan ditemukan di manapun dalam ruangan itu karena ia sudah memakai sarung tangan tipis.

Ia menutup kembali tudung jubahnya yang tadi sempat tersingkap akibat perlawanan kecil dari sang pria, kemudian memasukkan pistol di tangan kanannya kembali ke sarungnya, mendekati sang pria yang sudah menjadi mayat, memastikan bahwa tembakan yang ia lepaskan benar-benar telah membunuh sang pria. Darah bercipratan di dinding belakang dan lantai posisi kepala sang pria malang itu. Tidak mungkin dia selamat. Tidak mungkin ada yang selamat dari luka tembak yang sukses menembus kepalanya.

Ekspresi sang gadis biasa saja, seakan membunuh sudah menjadi rutinitasnya—ya, bukan berarti itu tidak benar.

Sang Akai Dangan baru saja hendak meninggalkan ruangan itu sebelum sesuatu tertangkap di sudut matanya.

Ia mendekati benda kecil itu; mengangkat dan mengamatinya. Sebuah botol kecil khas obat suntik. Sebuah kata di depan nama virus yang ia kenal—virus yang dimasukkan ke dalam nyamuk inseminasi—tertulis di stiker yang tertempel pada botol itu; membuatnya tertegun.

'Penawar?'

Tanpa pikir panjang Matako memasukkannya ke dalam kantung di balik jubahnya. Ia pun berjalan beberapa langkah mendekati pintu yang tertutup rapat—pintu itu tidak terkunci, ia hanya menutupnya.

Ia tidak perlu terburu-buru, tidak banyak orang yang berkeliaran di sekitar rumah ini. Rumah-rumah di sekitar daerah ini juga lebih banyak rumah kosong, atau rumah orang-orang yang lebih senang menyendiri. Tidak akan ada orang yang memergokinya.

Atau begitulah yang ia kira.

"Oi. Kau ada di rumah?" Sebuah suara datar tiba-tiba terdengar dari balik pintu, membuat jantung Matako serasa berhenti berdetak.

Ia tidak merasa mengenal suara yang di luar; tapi siapapun yang ada di luar sana, tetap saja masalah besar. Ia tidak boleh terlihat.

Sial. Ini benar-benar di luar kendalinya.

'Berpikir, Matako. Berpikir.'

Ekor matanya menangkap jendela yang menghadap ke luar. Bangunan ini tidak begitu tinggi, dan meloncat dari jendela ke atap rumah di sana bukan perkara rumit.

Gadis itu berjalan cepat ke arah jendela, berusaha tanpa suara. Namun, terima kasih pada bangunan tua itu, terdengar suara deritan kayu yang ditimbulkan oleh langkah kakinya. Suara yang cukup pelan sebenarnya, tetapi dengan jarak sedekat itu dari pintu, Matako hanya bisa berharap bahwa siapapun di luar sana tidak memiliki telinga yang tajam.

Matako baru saja membuka daun jendela, bersiap untuk meloncat dan langsung menutupi dirinya dengan kegelapan malam, saat pintu mendadak terbuka.

Sosok pemuda usia tanggung masuk, dan meskipun dalam kegelapan, Matako dapat melihat wajah sang pemuda dengan jelas. Otaknya langsung menghubungkan ke foto-foto anggota atas Shinsengumi yang pernah ditunjukkan oleh Bansai. Rambut coklat muda—

—'Okita Sougo?!'

Iris coklat kemerahan milik pemuda itu terbelalak tatkala melihat sosok mencurigakan di ambang jendela. "Kau!"

Matako berdecak dan dengan hitungan sepersekian detik, tangan kanannya menarik pistol dari sarung di pinggangnya, mengarahkannya tepat ke wajah sang Kapten Divisi 1 Shinsengumi, dan melepaskan satu tembakan sebelum memanjat naik ke atap rumah.

Di tengah keterkejutannya, gerak refleks Okita berhasil membuatnya mengelak menghindari tembakan cepat dari sang Akai Dangan dengan peluru berdesing hanya beberapa mili dari telinganya. Detik berikutnya ia segera mengikuti Matako melompat ke jendela dan memanjat atap untuk mengejar dengan kecepatan penuh.

Polisi dan teroris itu berkejar-kejaran, berlarian di atas atap-atap rumah. Akibat angin kencang malam itu dan pengaruh gaya tolak angin dari larinya, tudung kepala sang gadis teroris tersingkap, membuat rambut pirangnya berkibar terbawa angin.

Matako menoleh ke belakang dan mencabut pistolnya yang satunya lagi—melihat itu, Okita segera menarik pedangnya—memiringkan badannya dan menembakkan pistol kembarnya ke arah Okita bertubi-tubi. Masih dalam kondisi berlari.

Okita menangkis salah satu peluru dengan pedang kesayangannya dan menunduk untuk menghindari peluru yang lain. Sebuah ide kilat muncul di otaknya. Saat menunduk menghindari peluru, ia menyambar sebuah kerikil berukuran sedang dan melempar sekeras-kerasnya ke arah kaki kanan Matako. Kerikil tersebut dengan sukses menghantam betis bagian bawahnya, membuat sang gadis terpeleset dari atas genting.

Terpeleset bukan salah satu kebiasaannya namun berlari-lari di atas genteng yang licin sambil menembak dan kerikil berukuran sedang menabrak kakinya juga bukan. Dengan cepat Matako mengembalikan keseimbangannya, nafasnya memburu. Namun Okita sudah sangat dekat dan siap dengan senjata andalannya.

'Ini foto Okita Sougo, samurai terbaik di Shinsengumi. Kau harus ingat itu, Matako.'

'Hai, hai, Takeuchi-senpai~"

Obrolan singkatnya dengan Takeuchi terlintas sejenak di kepala Matako. Tidak yakin bahwa ia akan selamat dari ayunan pedang Okita dalam posisi ini, membuatnya buru-buru mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik jubahnya; mengangkatnya bertepatan dengan pedang yang teracung di depan wajahnya.

Sebuah seringai meremehkan muncul di wajah Okita. "Hn? Apa yang mau kau lakukan dengan botol kecil itu, Akai Dangan? Membunuhku?"

Yang dijuluki Akai Dangan mencoba menatap kedua iris sang samurai terbaik di Shinsengumi lurus. "Kau tahu kalau bukan itu jawabannya, Okita Sougo." Tatapannya masih tak lepas. "Hmph." Sebuah senyuman sinis muncul. "Atasanmu sekarang ada yang berubah, kan?"

Matako bisa melihat wajah Okita menegang, tetapi hanya sesaat karena seringai khas miliknya kembali muncul. Pemuda itu kembali menatapnya dengan tatapan merendahkan. "Pekerjaan Kiheitai, eh?"

Matako tidak menjawab kalimat retoris itu. "Dan ini, adalah penawarnya." Ia menggoyangkan botol yang terisi penuh dengan air bening itu di depan wajah Okita, sukses menarik perhatian pemuda itu. "Dokter bodoh itu sepertinya baru menyelesaikannya tepat sebelum pergi ke neraka. Kau tak menginginkannya?"

Lagi-lagi seringai sang pemuda hilang. Kali ini wajahnya mengeras, merutuk dalam hati. Tetapi sesaat kemudian ia kembali menguasai diri dan memasang seringainya kembali. "Cukup membunuhmu dan merebut botol itu darimu."

"Oh~" Nada suara Matako seperti meremehkan, mencoba mengalihkan Okita perlahan-lahan. "Coba saja." Matako tersenyum sinisnya sebelum melemparkan botol kecil itu ke belakang sang polisi dan melanjutkan pelariannya.

Okita terkesiap.

Otaknya masih memikirkan kemungkinan bahwa penawar yang disebut-sebut hanya tipuan sang teroris saja, tetapi alam bawah sadarnya mengingatkan bahwa meskipun kecil, ada kemungkinan bahwa sang gadis berkata jujur karena dan botol itu akan jadi satu-satunya penawar.

Antara mengejar sang teroris dan menyelamatkan benda yang mungkin saja obat penawar, mana yang harus ia utamakan?

Tanpa menunggu hasil pergulatan antara otak dan alam bawah sadarnya, tubuhnya sudah bergerak lebih dulu, melemparkan diri ke arah jatuhnya botol itu. Saat ia berhasil menangkap botol itu, ia sudah berada di ujung atap dan tidak memiliki kesempatan untuk menggapai sesuatu sebagai pegangan.

Pemuda itu pun terjun bebas dari atap rumah berlantai dua dengan botol di tangannya, diikuti senyuman puas dari Matako yang sempat menoleh dalam pelariannya.

.

.

Okita berusaha bangkit dari jatuhnya secepat mungkin. Badannya sakit, terutama bahu kirinya yang sepertinya bergeser karena menahan berat tubuhnya saat menghantam tanah. Ia mencoba melihat ke atap hanya untuk mendapati buruannya telah menghilang secepat seekor rubah.

'Sial.'

Ia menatap botol yang berhasil selamat di tangannya sejenak sebelum mengantungi benda yang bisa jadi sangat berharga itu. Kemudian ia mengambil ponsel untuk menelepon salah satu anak buahnya dan memerintahkannya untuk datang ke rumah sang dokter.

Agak terhuyung, ia kembali ke rumah sang dokter sambil memegangi lengan kirinya.

.

.

Hal pertama yang dilakukan Okita saat bangun—ia langsung tertidur saat tiba di barak pagi tadi—adalah pergi ke ruangan Kondo. Ia harus melaporkan kejadian semalam.

Sesampainya di depan ruang kerja Kondo, ia mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada sahutan. Menyimpulkan bahwa sang ketua sedang tidak ada di ruangan, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Saat ia berbalik arah, ia menemukan wajah feminin Hijikata. Waktu yang tidak tepat?

"Yo. Toshiko-chan."

Pandangan Hijikata segera tertuju pada tangan Okita yang terbalut gips dan disangga mitela. Wakil ketua yang kini bersosok perempuan itu menatap Okita lekat. Pertanyaan tanpa suara tersirat dari air mukanya.

"Tadi aku ingin menghadap Kondo-san untuk melapor. Tapi sepertinya ia tidak ada," kata sang pemuda seraya mengangkat bahu. Tidak berniat menjawab pertanyaan tanpa suara yang dilontarkan Hijikata lewat tatapannya.

Air muka Hijikata masih tak berubah. " … Kelihatannya seseorang telah berbuat ceroboh, di sini."

"Begitulah." Sebuah seringai menghiasi wajah sang pemuda. "Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukan ini." Okita mengeluarkan botol kecil dari sakunya, memainkan botol kecil itu di depan sang wakil ketua hingga kerutan samar muncul di kening wanita itu. "Padahal kau lebih menarik seperti ini," lanjut sang kapten tanpa melepas seringainya.

"… Apa itu."

Pertanyaan tanpa nada tanya itu hanya dijawab Okita dengan sebuah gedikkan bahu. "Entahlah. Akai Dangan bilang ini obat penawarmu."

Kerutan di kening Hijikata belum lenyap; apalagi saat botol kaca bening itu telah berpindah tangan padanya. Hijakata kembali menatap Okita yang ekspresinya tidak dapat ditebak.

"Tapi kau tahu kau tidak bisa percaya sepenuhnya padanya," kata pemuda itu lagi.

"Bagaimana kau mendapatkannya?" Hijikata terdengar tidak sabar.

"Kupikir aku harus melapor langsung pada Kondo-san tentang ini?"

"Yang sedang bertanya padamu saat ini adalah aku." Suara Hijikata terdengar begitu tegas hingga Okita terdiam sejenak sebelum menarik napas, menyerah.

"Dokter itu sudah mati. Akai Dangan membunuhnya." Okita mengatur jeda. "Aku tiba di sana saat Akai Dangan ingin melarikan diri dan..." Ia mengangkat bahu, terlihat acuh meski siapapun yang jeli pasti dapat melihat kekesalan di wajahnya. "Aku mendapatkan ini sementara ia kabur."

"Akai Dangan?" Hijikata nampak terkejut. "Jika wanita itu yang melakukannya, itu berarti dia datang ke sana atas perintah Takasugi Shinsuke." Lanjutnya seolah bergumam pada dirinya sendiri. Ia tampak berpikir sejenak, sebelum kembali membuka suaranya. "Asumsi sekarang adalah, Takasugi tahu wujudku saat ini."

Okita mengangguk. "Kupikir Akai Dangan memang ada di sana untuk mencegahmu kembali ke asal."

Hijikata berdecak. Jika sebelum ini Okita yang menampakkan raut ketidakpuasan─jika tak ingin disebut kekalahan—maka kali ini ia melakukan hal yang sama. Wajah femininnya tampak kesal, sekaligus menyesal. Namun beberapa saat kemudian air muka Hijikata kembali menegang. "Apa menurutmu… dari awal ini semua adalah rencananya?"

"Kurasa begitu. Karenanya," Okita memberi jeda sejenak sebelum menunjuk botol di tangan ramping Hijikata, "mungkin kau harus hati-hati dengan itu."

Hijikata mengangkat botol kaca mungil berisi cairan bening itu dengan tangannya. "… Gadis itu memberikannya padamu, atau kau yang merampasnya?"

Okita menampakkan raut tidak suka. Ia benci mengingat kejadian itu dan enggan untuk membicarakannya. "..ia melemparnya untuk kabur," gumamnya.

Hijikata diam sesaat. Ia sibuk menyatukan potongan puzzle dalam kepalanya sebelum ia sampai pada satu kesimpulan. Kalimat yang muncul berikutnya lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan. "Dan kau melukai tanganmu saat itu."

Okita berdecak. Ia mengangkat bahu sebelum menjawab jengkel. "Semacam itulah."

"Bodoh." Jawab Hijikata cepat. Ia menatap Okita dengan ekspresi yang tidak begitu jelas terbaca. "Kenapa kau ceroboh seperti itu, padahal tidak ada jaminan bahwa benda ini asli."

Seakan tidak ambil pusing, Okita menepuk kepala sang wakil ketua dalam sosok wanita itu singkat sebelum berjalan melewatinya. "Yah. Pokoknya sudah kuberikan."

Okita senang menggoda Hijikata yang sekarang—terutama karena Hijikata yang sekarang tidak seperti 'Hijikata' yang biasanya. Hijikata sendiri sebenarnya cukup kesal diperlakukan seperti perempuan, tapi sekarang bukan saatnya untuk marah-marah. Terlebih lagi pada orang yang sedang terluka karena dirinya.

Ia melirik pemuda itu. "Pulihkan tanganmu dan buat perhitungan dengan gadis itu. Jangan memalukan nama Shinsengumi."

Okita hanya melambaikan tangan sepintas. Hijikata menatap pemuda itu dalam diam melalui lirikan matanya hingga sosok yang bersangkutan lenyap setelah berbelok di tikungan.

Hijikata kembali mengalihkan perhatiannya pada botol kaca kecil di tangannya. Dibukanya tutup botol itu dengan hati-hati, dan hidungnya mengerut saat aroma wewangian yang pekat menusuk hidungnya.

Bau busuk bukan berarti hal yang buruk dan sebaliknya, bau wangi bukan berarti hal yang baik. Haruskah ia percaya? Keningnya berlipat, tatapannya masih tidak lepas dari cairan bening keemasan dalam botol itu.

.

.

Petang harinya Kondo Isao baru kembali ke ruangannya. Ia duduk di atas tatami nyaman, menepuk pundaknya lelah. Matsudaira semakin tahu saja bagaimana cara menyiksanya untuk menghadapi Shogun-sama.

Ia membongkar tumpukan laporannya untuk dilanjutkan, hingga ia mendengar ketukan pelan di pintunya. Salah satu anak buahnya menyerahkan laporan terbaru seraya mengabarkan bahwa pagi tadi Kapten Okita Sougo kembali dari tempat dokter dengan kondisi tangan yang buruk.

Segera saja ia perintahkan anak buahnya tersebut untuk memanggil Okita menghadap ke ruangannya—ia cukup khawatir dan gelisah.

Baru saja ia mengambil pit kuasnya untuk menulis laporan sembari menunggu sang kapten saat terdengar bunyi ketukan di pintu.

"Sougo?" Ia menaruh pit kuasnya. "Ah, masuk, masuk."

Pintu terbuka; Okita Sougo masuk dan menutup pintunya kembali. Ia menatap Kondo datar seperti biasa. "Anda memanggilku, Kondo-san?"

Kondo mengerjap melihat mitela yang menyangga lengan kiri Okita. Ia langsung berdiri cepat. "Tanganmu, Sougo! Apa yang terjadi?!"

Okita mengibaskan tangan kanannya. Ia tahu sang Kyokuchou pasti akan bereaksi seperti itu. Dan jawaban berikutnya membuat alis Kondo naik. "Bukan apa-apa, Kondo-san. Hanya kecerobohan kecil."

"Kecerobohan kecil?" Kondo berusaha menenangkan dirinya dengan kembali duduk bersila di atas makura—walau ekspresinya masih menunjukan tanda-tanda kekhawatiran. "Duduklah Sougo, dan ceritakan apa yang terjadi."

Okita duduk dengan sopan di hadapan pimpinannya sebelum membuka mulut. "Mungkin Anda sudah mendengar laporan dari anak buahku... Semalam aku bertemu dengan Akai Dangan." Jawaban Okita dibalas anggukan membenarkan dari Kondo. Benar saja, laporan dari sang anak buah tersebut membuktikan firasat buruknya.

"Benarkah wanita itu membunuh dokter itu? Apa yang mereka cari?"

Okita mengangguk. "Aku kebetulan memergokinya saat ia ingin kabur." Ia menatap Kondo dengan wajah serius. "Aku punya perasaan bahwa keadaan Hijikata-san yang sekarang ada sangkut pautnya dengan mereka."

"Maksudmu?"

"Mereka sudah tahu mengenai kondisi Hijikata-san. Bukan tidak mungkin kalau ini adalah rencana mereka."

Kondo berpikir sejenak sebelum bergumam, "Mungkinkah… Penawar...?" Ia mencoba menganalisis apa yang dicari oleh Kiheitai. "Mungkinkah mereka mencari penawar itu?"

"Soal itu..." Okita terdiam sejenak. "Aku mendapatkan sebuah botol dari Akai Dangan. Ia menyebutnya sebagai penawar... Tapi entahlah."

Iris hitam milik Kondo sedikit melebar, kemudian ia mengusap dagunya. "Apa kau sudah memeriksanya? Dimana penawar itu sekarang?"

Bahu yang lebih kecil terangkat. "Kuberikan pada Hijikata-san tadi."

Kondo kelihatan agak terkejut mendengar pernyataan Okita. "Apa sudah kau periksa sebelum memberikannya?" tanyanya cemas.

Sebuah gelengan menjawab pertanyaan Kondo. "Tapi sudah kuperingatkan kalau itu mungkin saja hanya tipuan." Dan Okita sama sekali tidak mengharapkan hal itu. Ia akan sangat kesal bila botol itu benar-benar hanya tipuan dan ia sudah melepaskan Akai Dangan hanya demi botol itu.

Kondo menunduk memejamkan mata. "Aku turut prihatin dengan kematian sang dokter. Ini tragis, kita harus memperketat keamanan." Sang Kyokuchou meninju pahanya sendiri kesal. Okita yang melihatnya hanya bisa menunduk. "Sial! Terkutuklah aku yang tak bisa menyelamatkan satu nyawa warga Edo, dan melindungi anak buahku sendiri!"

"Bukan salah Anda, Kondo-san," kata Okita segera. Kata-kata sang ketua malah membuatnya kesal pada dirinya sendiri. "Aku yang gagal menangkapnya."

Kondo mulai berkeringat dingin mendapati Okita yang menunduk di depannya. "Sougo, kau sudah melakukan sebisamu. Terima kasih." Ia tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya untuk memberi semangat.

"Ngomong-ngomong, Sougo." Katanya sambil menatap tangan sang bawahan yang disangga mitela.

Okita mendongak dan mendapati Kondo tersenyum lebar sambil mengangkat jempolnya.

"Kalau kau ingin sembuh banyak-banyaklah makan pisang."

Tersenyum tipis melihat tingkah sang atasan. "Akan kuingat, Kondo-san."

"Cepatlah sembuh Sougo..." Ia berkata sebelum menatap sang pemuda lurus. "Oh, mungkin sementara ini kau jangan terlalu melibatkan diri dengan beberapa kasus sampai kau sembuh."

Okita mengerjapkan mata mendengar ucapan Kondo. Walaupun ia suka bolos, tetapi ia tipe yang mudah bosan. Menemukan—dan kadang menimbulkan—masalah saat bertugas adalah salah satu kegiatan yang dapat membunuh rasa bosannya. "Aku tidak apa-apa, Kondo-san." Ia berusaha meyakinkan sang atasan. "Tidak ada yang perlu dicemaskan. Bahkan aku bisa mengalahkan Si Cina hanya dengan satu tangan."

"Si Cina itu?" Kondo nyaris tertawa. "Ya, ya... Aku mengerti. Buatlah dirimu nyaman Sougo. Kau juga harus ingat, aku dan anggota Shinsengumi yang lain masih membutuhkanmu." Lagi-lagi Kondo tersenyum. "Tapi, yah. Aku percaya padamu."

Okita balas tersenyum. "Terima kasih, Kondo-san."

Sebuah anggukan membalas senyuman Okita. "Ah. Tak usah kau pikirkan. Maaf aku jarang ada di tempat ketika ada masalah ini..."

"Wajar kalau Anda sibuk. Tidak perlu dipikirkan, Kondo-san."

Kondo terlonjak dari tempatnya. "Tentu saja kupikirkan! Sekarang kondisi Toushi pun sedang buruk." Kemudian mendesah. "Shinsengumi benar-benar sedang kewalahan."

"Kondo-san..." Okita menatap Kondo dengan tatapan serius. "Aku dan Hijikata-san tidak apa-apa. Shinsengumi akan baik-baik saja."

"Baiklah. Baiklah..." Lagi-lagi Kondo mendesah. "Aku hutang traktiran pada kalian."

Okita kembali tersenyum—bukan seringainya yang biasa—kemudian mengangguk. "Kalau tidak ada yang ingin Anda sampaikan atau tanyakan lagi, aku undur diri."

Kondo terkesiap. "Oh, iya baiklah. Maaf menyita waktu istirahatmu, Sougo. Cepatlah sembuh."

Okita mengangguk dan bangkit dari duduknya. Ia pun berjalan keluar dari ruangan Kondo dan menutup pintunya kembali.

Setelah Okita menutup pintunya, Kondo menyiapkan futon dan mematikan lampu sebelum pergi tidur.

.

.

Sinar-sinar remang yang dipancarkan atau dipantulkan oleh bintang-bintang, planet dan benda-benda langit lainnya menyinari kapal Kiheitai yang saat itu tampak megah mengudara di angkasa.

Saat tiba di wilayah mereka yang aman dan nyaman, dengan cepat Kijima Matako langsung membuka jubahnya—atau benda apapun yg membuatnya gerah itu. Ia sangat lega bisa berjalan seperti biasa tanpa harus berhati-hati lagi. Tidak menghiraukan awak kapal yang satu persatu menyadari dan menoleh ke arahnya, tanpa pikir panjang, gadis berambut pirang itu langsung menghampiri ruangan pimpinannya.

Misinya selesai, ia telah berhasil mengumpulkan informasi. Beberapa hari menyamar sebagai wanita yang ditinggal pergi suaminya dan bekerja di sebuah warung makan kecil yang sering didatangi Gintoki bukan hal sulit. Hanya modal cat rambut yang mudah dicuci, yukata serba tertutup, wajah sedih serta akting kecil, ia berhasil menyelinap ke sana. Ia juga selalu berhasil menghindari kontak langsung dengan targetnya, sambil mencuri dengar dan memata-matai kegiatan sang target.

Namun setelah kejadian malam ini, tanpa pikir panjang ia langsung kembali ke kapal Kiheitai. Terlalu lama di Edo bisa berbahaya.

Mungkin bos dan pegawai lain di tempat kerjanya akan curiga karena ia tiba-tiba menghilang, tapi mereka curiga pun takkan ada artinya.

Ia mengecek dulu keadaan wajah dan rambutnya di bagian dinding yang dapat memantulkan bayangannya sebelum kembali ke depan pintu ruangan Takasugi Shinsuke.

Ditemani shamisen kesayangannya dan pipa tembakaunya, Takasugi melantunkan dendang melodi indah shamisen-nya. Duduk di kusen jendela rendah ruangannya, mencium bau kemenangan dari setengah rencananya—oh, hanya insting yang mungkin saja salah.

Menghentikan permainan shamisen-nya, tersenyum—entah bagaimana ia mengetahui kehadiran Matako di luar pintu. Seolah udara kosong di sekitarnya memberitahu.

Baru saja Matako akan mengetuk, sebuah suara lembut menyambut dari dalam. "Masuk, Kijima."

Matako sedikit terkejut, namun perlahan wajahnya memerah. Ia sangat kagum dengan kemampuan pimpinannya itu membaca kehadiran orang lain.

Ia memasuki ruangan Takasugi sambil berbisik. "Shinsuke-sama...?"

Ketika iris hijau keabuannya mendapati sosok sang pimpinan, ia tersenyum dan menutup pintu. Suaranya terdengar mantap. "Aku sudah kembali, Shinsuke-sama. Semuanya berjalan dengan lancar."

Takasugi mulai memetik shamisen-nya lagi. Senyumnya mengembang dan ekspresi senangnya tak ia sembunyikan sama sekali. "Serumnya?" tanyanya seakan ia dapat menebak bila dokter itu sudah selesai membuat serum penawar.

Nyaris saja Matako akan meneriakkan 'Shinsuke-sama, kau hebat!' sambil memeluk sang pimpinan bila saja kesadaran belum menguasai dirinya.

Matako mengeluarkan sebuah botol kecil, memegangnya dan menggoyangkannya di hadapan Takasugi. "Aku nyaris tertangkap Okita Sougo saat membereskan dokter itu." Matako menyeringai senang. "Sayangnya dia percaya saja saat kuberikan parfumku sebagai pengganti ini dan aku dapat kabur dengan mudah." Ia tertawa kecil, tidak dapat menahan rasa gelinya. "Bodoh sekali. Aku tak bisa membayangkan bagaimana bila Hijikata Toushiro meminumnya."

Senyum Takasugi tak hilang dari bibirnya, masih diiringi permainan shamisennya yang lembut walau ia agak tampak tidak senang mendengar nama Okita mengganggu keindahan rencananya. Tapi harus diakui ia senang mendengar keberhasilan Matako membawa serum itu. "Berita yang manis sekali. Apa kau yakin kau tak diikuti para anjing pemerintah itu?"

Matako nyaris terhipnotis oleh pesona Takasugi. "Terimakasih, Shinsuke-sama!" Gadis berambut pirang itu menunduk sembari mengusap rambutnya sendiri; malu dipuji oleh sang pimpinan sebelum kemudian ia mengangkat kepalanya lagi. "Aku yakin tidak ada yang mengikutiku. Pertama, Okita Sougo hanya sendirian saat aku kabur, aku sudah memastikannya. Kedua, aku pasti tahu bila ada musuh yang mengikutiku sejak dari Edo."

"... lalu Gintoki?"

"... tidak seperti yang kukira, ia pulang dan pergi, biasa saja. Tidak ada pergerakan signifikan darinya." Matako menarik napas sebelum kembali berbicara. "Aku sempat mencuri dengar percakapannya dengan sang Oni-Fukuchou, tapi percakapan mereka tidak ada isinya." Terdiam sesaat sebelum tiba-tiba seperti teringat sesuatu. "Ah, sekali waktu, aku pernah mendengar ia berbincang-bincang dengan seorang wanita tua—kalau tidak salah bernama Otose. Wanita itu bertanya pada Sakata Gintoki tentang alasan ia menangkap nyamuk-nyamuk itu. Tapi ia tidak memberi alasan yang jelas. Kurasa ia menyembunyikan sesuatu, tapi aku sendiri tidak dapat memastikannya."

Takasugi menghentikan shamisen-nya dengan tiba-tiba dan membuat melodi kacau sejenak di ujung akhir lantunan musiknya; membuat Matako diam-diam terkejut. Sang pimpinan mengangguk kecil tanpa sadar kemudian menengadahkan kepalanya menyamping memandang bulan. "... dia memang menyembunyikan sesuatu. Aku yakin itu."

Menunduk kembali dan mulai memainkan shamisen-nya dengan lembut dan kesan 'ramah' sekali lagi. Sejenak hanya alunan melodi shamisen-nya yang menemani keheningan ruangan di antara mereka berdua.

"... Kijima."

"Y-Ya, Shinsuke-sama?"

"... Kalau ternyata Gintoki juga memiliki serum itu…" Ia memberi jeda agak panjang, "bagaimana menurutmu?"


.

.

To be continued...