Yo minna-saaaaaannn! XD

Ahahahahaha! Bingung mau bilang apa! Sebenarnya fic ini update—nyaris—tiga hari setelah deadline! Initnya telat dua hari lebih deh! Tapi untungnya Natsu bisa usahain buat update secepat yang Natsu bisa! X3 Semuanya berkat review-review mendukung dari minna-san sekaliiaaaann! XD Arigato gozaimasu! *sujud-sujud*

Yooosshh! Tanpa banyak bicara lagi, selamat membacaaaa...! X3

.

Disclaimer : Masashi Khisimoto

Title : When Love is Growing

Story By : Natsu Hiru Chan

Genre : Romance, Family

Rated : T

Pairing : NarutoXHinata

WARNING(S) : AU, OOC, typo bertebaran dimana-mana, abal, adult version of NaruHina, norak, gaje, jelek, ancur, dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin! *plakk!*

Mohon maaf bila ada kesamaan cerita. Fic ini murni dari otak Natsu yang super standar!

Summary : Bagaimana ia bisa bahagia jika ia harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dicintainya? Mungkinkah cinta akan tumbuh di antara mereka?/kenapa selalu dia yang berkorban?/

.

.

.

Don't like, don't read! XP

.

Chapter 5 :

Suasana malam itu begitu tenang dan damai. Hanya terdengar suara benturan antara sendok atau pun garpu dan piring yang berisi makanan, yang tersaji di meja makan yang megah itu. Tidak ada yang berniat untuk membuka obrolan. Keluarga Hyuuga sudah mempertahankan tradisi kesopanan ini sejak dulu ; janganlah berbicara kala sedang makan, utamanya pada acara-acara penting misalnya jamuan makan malam. Karena itulah, ayah dan putri sulungnya ini tetap diam, sambil menikmati makan malam mereka dengan lahap namun tetap terlihat terhormat.

Berbeda dengan Naruto. Sejak kecil ia hidup bertiga kedua orang tuanya yang hangat. Mereka bertiga sering bercanda bersama, tidak mengecualikan hal-hal tertentu misalnya saat makan. Malahan, saat makan bersama itulah, momen yang paling tepat untuk saling bertukar pikiran antar anggota keluarga. Ia sudah terbiasa tidak hidup tenang. Dan ketenangan serta ketegangan inilah, yang membuatnya tidak nyaman. Makan malam bertiga, bersama istri dan mertua lelakinya.

Pemuda itu melirik sekilas pada Hinata yang saat ini nampak makan dengan tenang. Pandangan mereka bertemu. Sapphire bertemu amethyst. Refleks, keduanya langsung memalingkan wajah masing-masing, mengalihkan perhatian mereka dengan kembali menyantap makan malam yang sudah dipersiapkan oleh pelayan-pelayan di rumah ini, atas dasar menyambut kunjungan Hyuuga Hiashi, pemilik salah satu perusahaan terbesar di dunia itu.

Naruto ingin segera pergi dari tempat yang pengap ini. Namun mengingat ajaran ibunya, bahwa kita tidak boleh meninggalkan jamuan makan malam begitu saja, jika yang tertua belum selesai dengan hidangannya, membuat Naruto mau tak mau harus tetap berada di ruangan ini, menanti orang tua berambut panjang itu selesai dengan 'urusan'nya.

"Ehm!" lelaki itu tersentak, begitu mendengar deheman mertuanya itu.

"Ah, Ayah, ada apa?" Hinata yang sedari tadi diam segera berdiri dari duduknya, menatap sang ayah dengan pandangan khawatir.

Yang ditanya hanya diam, lalu mengambil gelas air putih yang tersedia di sana, dan meneguknya setengah. Ia menghela nafas panjang. "Maaf. Tadi aku tersedak..." ucapnya kembali dengan ekspresi datarnya.

"Ayah harusnya makan lebih pelan..." Hinata mencoba untuk menasihati, lalu mengambilkan serbet untuk ayahnya, dan menyerahkannya.

Naruto tercengang melihat peristiwa itu. Ia sudah melihat ratusan kebaikan serta kelembutan yang diperankan oleh perempuan di depannya ini. Namun kali ini membuatnya semakin yakin, bahwa Hinatalah gadis terbaik, terlembut, dan terbijak yang ada di dunia ini. Tanpa sadar Naruto mengukir senyum tipis, memuji perempuan itu dalam hati.

.

.

Inilah saat-saat yang paling Naruto takutkan. Keringat dingin menetes melalui dahi pria itu. jam besar di rumahnya sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. Jam terbaik untuk awal kita memulai istirahat di malam hari. Biasanya pria itu pergi menyikat giginya, mencuci tangan dan kakinya, mengganti pakaiannya dengan piyama, dan rutinitas lainnya sebelum ia tidur di salah satu kamar tamu yang ada di rumahnya. Tapi kali ini lain! Mertuanya, ayah dari istrinya datang. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu semua? Memperlihatkan bahwa sampai saat ini ia belum pernah menyentuh gadis berambut biru tua itu sama saja dengan bunuh diri. Sebenarnya sih bukan bunuh diri. Pria tua itulah yang akan membunuhnya!

Naruto bisa saja mengambil alasan, bahwa ia masih punya banyak pekerjaan, dan harus menyelesaikannya hingga larut, dan ia pun bisa tidur di ruang kerjanya! Tapi... besok pasti Hiashi akan menyemburnya lagi, mengatakan bahhwa apakah setiap malam dia selalu begini? Mencampakkan istrinya hanya untuk urusan pekerjaan?

Memang!

Usai makan tadi, dirinya langsung permisi untuk ke ruang kerjanya, menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum sempat ia selesaikan. Dengan berbaik hati Hiashi mengizinkannya, dan lelaki tua itu pun mengambil tempat di ruang tamu, menyesap lemontea-nya sambil membaca koran. Hinata setia berada di samping ayahnya, menemani pria tua itu sambil sesekali bercakap-cakap. Naruto mengerti hal itu, dan memberi kedua ayah dan anak itu privasi, untuk dibiarkan berdua. Tentunya mereka saling merindukan satu sama lain.

Sekarang apa? Waktunya tidur! Hore!

Dan dirinya masih ada di teras, membiarkan angin malam menusuk tulangnya. Lagipula apa yang bisa dilakukannya? Mondar-mandir seperti orang bodoh? Sungguh konyol!

"Naruto," suara bariton itu menyadarkan lamunannya. Segera ia menoleh, mendapati Hyuuga Hiashi berdiri di ambang pintu, lengkap dengan yukata tidurnya dengan pandangan seperti biasanya. Datar tanpa emosi.

"A—Ayah!" ucap pria itu kaget.

"Apa yang kau lakukan malam-malam begini di teras rumah? Kenapa kau tidak masuk?" tanyanya Hiashi datar, seraya melangkah, berdiri tepat di samping menantunya itu.

"Ah... Aku hanya ingin menghirup udara malam..." Naruto beralasan, karena memang itu alasannya keluar rumah. Lagipula ia mencoba untuk menenangkan diri.

"Kau tahu, udara malam hari tidak baik untuk kesehatanmu. Masuklah. Kau membuat Hinata menunggu di dalam,"

Seketika wajah lelaki berkulit tan itu memerah, mengerti maksud dari perkataan orang tua itu. Kegugupan langsung melanda dirinya. Bukan karena ia adalah lelaki pengecut. Tapi ia belum siap! Ia terlalu lemah jika harus berhadapan dengan Hinata! Ia belum merasa pantas, mengambil apa yang telah menjadi haknya sejak awal, setelah apa yang telah dilakukannya pada gadis itu. Ia tidak tega.

"Emmm..." sebenarnya dia ingin menolak, namun begitu melihat wajah keras tanpa perasaan itu menatapnya dengan tatapan menunggu, membuat nyali Naruto langsung ciut. "Baiklah! Aku akan segera masuk. Ayah juga sebaiknya masuk,"

"Naruto..."

Baru saja ia hendak berbalik, panggilan Hiashi menghentikannya. Refleks ia berhenti, menatap pria itu, menunggu hingga Hiashi menyelesaikan kalimatnya.

Hiashi kini menatapnya dengan tatapan serius. Ia memang selalu berwajah seperti itu, namun Naruto seolah bisa menangkap raut lain yang tersembunyi di sana. Seperti... kelembutan? "Kau telah membuat janji untuk bersama dengan Hinata saat pernikahan kalian beberapa waktu yang lalu. Aku tak ingin kau mengingkarinya,"

Naruto tersentak.

"Dia memang lemah lembut, tapi sesungguhnya dia itu kuat. Bukan bermaksud sombong, tapi kau adalah pria yang beruntung, kau tahu?" setelah mengatakan itu Hiashi pun pergi masuk duluan, meninggalkan Naruto yang diam membatu di sana.

Jika dirinyaa berada di pihak yang beruntung, apakah Hinata lah yang mendapatkan kesialan, menikah dengan lelaki sepertinya?

.

.

Hinata mengucek-ucek matanya dengan pelan, seraya menutup buku tebal yang baru saja ia selesaikan. Sebenarnya membaca di malam hari, utamanya dengan lampu redup seperti ini tidak baik untuk kesehatan mata, tapi mau bagaimana lagi? Gadis itu terlalu penasaran dengan kelanjutan ceritanya, dan rasanya ia susah tidur jika belum menyelesaikan buku itu hingga akhir. Memang, dari dulu gadis itu gemar membaca buku, bahkan seorang kutu buku.

Ia mendesah senang, memuji buku yang baru saja dibacanya, seraya meletakkan objek itu di atas meja.

Tok, tok, tok...

"Hinata, boleh aku masuk?"

Gadis itu tersentak kaget bukan main, begitu mendengar suara lelaki yang telah berikrar janji suci dengannya itu. Seketika ia dilanda kepanikan yang besar. Gadis itu kewalahan sejenak, sampai ia bisa mengontrol rasa paniknya.

Ia pun turun dari tempa tidur, menuju pintu kamarnya—dan Naruto membukanya sebelum dirinya sempat menyentuh gagang pintu. Didapatinya suaminya itu tengah berdiri di sana, sudah dalam kondisi segar, lengkap dengan piyama tidurnya. ekspresinya nampak bingung dan malu-malu.

"Naruto-kun...?"

"Emm... Aku boleh tidur di sini 'kan?" pintanya sopan. Sebenarnya ia tak perlu melakukannya, karena mau tak mau ia harus tidur sekamar dengan Hinata untuk malam ini, guna menjaga hubungan baiknya dengan Hiashi, dan tidak menimbulkan keributan. "Tapi aku bisa tidur di lantai kok. Aku akan menyuruh pelayan untuk mengambilkan kasur tidur..." sambungnya dengan suara berbisik, mencoba agar membuat gadis di depannya tidak berpikir yang tidak-tidak.

Hinata yang awalnya terkejut berangsur-angsur mulai paham. Ia mengerti maksud dari lelaki itu. Gadis itu diam-diam kagum terhadap Naruto. Ternyata lelaki itu masih menghormatinya.

"Emmm... Naruto-kun..." panggil Hinata dengan suara lembutnya yang khas. Gadis itu menunduk, menyembunyikan ekspresinya serta semburat kemerahan di wajah cantiknya. "Kau... Tidak perlu melakukannya..."

Naruto membeku di tempat. Lelaki itu diam, memandang istrinya dengan tatapan tidak percaya. "J—jadi kau, mau... aku..."

"B—bukan!" Hinata segera menyelanya dengan gugup. Ia semakin menunduk, memainkan jemarinya. "Ranjang k—kita cukup b—besar... G—genap untuk kita berdua. A—aku tidak tega membiarkanmu tidur di bawah s—sementara aku tidur di atas N—Naruto-kun!" ucapnya penuh ketakutan. Gadis itu kembali pada dirinya saat SMA dulu. Gagap. Wajahnya pun sudah semerah tomat, membayangkan apa yang dipikirkan Naruto pada awalnya.

"Kau yakin...?" lelaki di depannya bertanya dengan ragu.

Hinata membalasnya dengan anggukan kecil. Telinga serta lehernya pun kini berubah warna menjadi merah.

.

Dan, di sinilah mereka berdua. Terbaring di satu ranjang yang cukup besar, dibatasi dengan dua guling yang saling bertumpuk. Naruto nampak berbaring terlentang, memejamkan matanya mencoba untuk tidur. Sedangkan wanita di sampingnya tengah berbaring menyamping, membelakanginya.

Hinata sama sekali tidak tenang. Jantungnya sedari tadi berpacu dengan cepat. Saat ini mereka memang aman-aman saja, karena masih dalam keadaan sadar. Namun bagaimana jika keduanya tertidur nanti? Sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Gadis itu mengepalkan tangannya semakin erat, berusaha menahan kegugupannya. Mau bagaimana lagi? Ini semua untuk ayahnya. Ia tidak ingin ayahnya itu terkejut, melihat putri sulungnya menikah dengan lelaki yang tak mau menyentuhnya.

Gadis itu tidak mau dikira memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ia tahu, perasaan yang telah lama tenggelam di dasar hatinya yang paling dalam itu kini telah muncul kembali ke permukaan. Namun ia bukan type yang suka memanfaatkan situasi. Merasa senang atas keberuntungan malam ini. Bukan itu yang dirasakannya. Putri sulung keluarga itu justru merasa bersalah, atas apa yang menimpa mereka malam ini. Ia yakin, saat ini Naruto pasti belum tidur, kalut dalam pikirannya sendiri sama sepertinya.

"Hinata," panggilan itu membuatnya terkejut. Naruto memanggilnya?

"I—iya, Naruto-kun?" responnya seraya membalikkan tubuhnya, menatap suaminya yang tetap dengan posisinya yang semula itu.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Ehmm..." Hinata merasakan kehangatan menyelimuti hatinya. Seketika kegugupan di sana menguap entah kemana. "Sudah agak baikan... Terima kasih..."

"Untuk apa?" mata yang sedari tadi terpejam pun terbuka, melirik gadis cantik yang terbaring dekat di sampingnya.

'Karena telah mengkhawatirkanku...' sebenarnya Hinata ingin mengatakan hal itu, tapi ia takut. Ia takut jikalau hanya dirinya yang berpikiran seperti itu. "Untuk semuanya..." ucapnya malu-malu.

"Ahh..." Naruto pun membalikkan posisinya, hingga kini ia berhadapan dengan istrinya itu. Mata mereka bertemu pandang. Suasana malam itu begitu hening, membuat kedua pasangan itu harus berbisik jika berbicara. "Aku juga ingin minta maaf..."

"Minta maaf untuk apa?"

"Untuk semuanya..." pria itu menatap istrinya dengan tulus, mencoba untuk memberi kejujuran melalui bola mata birunya yang besar. "Juga... saat SMU dulu... Aku benar-benar menyesal..."

Hinata tersentak mendengar ucapan Naruto. Seketika rasa haru memenuhi rongga dadanya, membuatnya menjadi sesak. Tentu saja ia mengerti maksud perkataan Naruto tadi. Lelaki itu minta maaf, karena telah menolaknya secara memalukan di SMU dulu. Kenangan terburuk yang selalu ingin ia lupakan. Juga atas perlakuan-perlakuan tidak menyenangkannya jauh-jauh hari sebelumnya.

"Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Naruto-kun..."

Naruto yang mendengarnya terdiam sejenak, dan lama-kelamaan cengiran semakin mengembang di wajahnya yang lucu. "Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu! Kau ini!" ucapnya dengan senyuman lebarnya.

Hinata yang terhanyut dalam senyuman itu pun tak kuasa menahan senyumnya. Gadis itu tersenyum penuh kelembutan. "Maaf..." ucapnya, meski tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Tidurlah. Kau masih sakit, harus banyak istirahat," ucap Naruto seraya membenarkan posisi selimutnya. Pria itu mengubah posisi tidurnya, membelakangi Hinata.

Gadis di belakangnya itu masih tetap dalam posisi yang sama, menatap punggung sang suami dengan tatapan lembut. "Arigato, Naruto-kun..." setelah mengatakan itu Hinata pun ikut membalikkan tubuhnya, mencoba untuk menenggelamkan dirinya ke alam bawah sadarnya.

.

~When Love is Growing~

.

Hinata menatap donat-donat yang dipamerkan di sana dengan senyum sumirgah. Aroma manis toko roti itu seolah menghipnotisnya. Tampilan-tampilan donat yang menggungah selera itu membuatnya menjadi bingung, harus memilih yang mana. Teringat akan Naruto, ia lalu melirik satu paket donat dengan banyak krim beraneka warna dan rasa, yang terpajang rapi di sana. Suaminya itu termasuk pemakan segala, tidak memilih-milih makanan, tidak peduli apakah itu sehat atau pun tidak. Makanan manis, temasuk salah satu kesukaan lelaki itu setelah ramen.

Sebenarnya gadis itu hendak menjenguk suaminya di kantor, membawakannya makan siang, sebagai rutinitas hari-harinya. Ia nampaknya tidak keberatan, mengingat dirinya tidak mempunyai sesuatu untuk dikerjakan di rumahnya. Andai ayahnya, Hiashi, serta kedua orang tua Naruto tidak memaksa untuk meyewa beberapa pelayan di rumah, gadis itu pasti tidak perlu keluar setiap hari untuk membawakan Naruto makan siang. Tidak perlu membeli bertumpuk-tumpuk buku bacaan demi memuaskan kebosanannya di rumah.

Ia ingin ikut bekerja, seperti ibu-ibu rumah tangga pada umumnya. Namun para pelayannya mencegahnya. Mereka takut, tuan Hiashi akan marah jika mengetahui hal ini. Hinata hanya pasrah saja. Dia yang paling mengenal ayahnya, dan paling tahu betapa mengerikannya jika pemimpin perusahaan Hyuuga yang besar itu marah.

"Paman, tolong donat yang di sana itu..." Hinata berkata sopan, memberi instruksi pada penjaga toko roti manis itu untuk mengambilkan donat yang diminatinya. Paman paruh baya itu pun dengan senyum ramahnya menuruti apa yang diinginkan pelanggannya.

Setelah membayar, gadis itu pun keluar dari toko, sedikit merapikan syalnya, melawan dinginnya angin musim gugur. Di depan sana sudah terparkir mobilnya, lengkap dengan supirnya. Ia lalu merapatkan mantelnya.

"Hinata?"

Baru saja ia hendak melangkah, sebuah suara yang agak familiar menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh, mendapati seorang gadis sebaya dengannya, yang sangat ia kenali. Gadis bersurai merah muda sebahu, dengan iris hijau yang bersinar layaknya permata emerald. Mata Hinata membelalak sempurna.

"Kau Hinata 'kan?" sekali lagi gadis itu mengulang perkataannya.

"S—Sakura-san?" kali ini Hinata yang menggumamkan nama yang nampaknya milik gadis bersurai pink itu.

"Waaaahh! Ternyata benar! Aku melihatmu dari kejauhan, dan ternyata benar, itu kau!"

"Emm... Lama tidak bertemu, Sakura-san! Bagaimana kabarmu?" Hinata berujar ramah. Ia sudah sangat lama tidak bertemu dengan gadis ini. Dulunya mereka satu kelas, seangkatan dengan Naruto. gadis bermata hijau ini juga adalah sahabat Naruto, yang begitu dekat.

"Hahahaahaha! Aku baik-baik saja. Ohya! kudengar—" Sakura menghentikan ucapannya, menyadari bahwa saat ini tempat mereka tidak begitu strategis, untuk mengobrol. Di depan toko roti, dalam cuaca yang begitu dingin. Ia sudah lama tidak bertemu Hinata. Ia amat merindukan gadis itu. mungkin mereka bisa mengatur janji, tapi Sakura mempunyai beberapa hal yang ingin ia perbincangkan dengan Hinata. "Bagaimana kalau kita pergi makan siang?"

Yang ditanya lalu melirik jam tangannya, yang menunjukkan pukul 12.00. jam makan siang Naruto masih kurang beberapa puluh menit lagi. Mungkin ia bisa terlambat sekitar 5 menit? Gadis itu lalu mengangguk bersemangat. "Baiklah!"

.

.

"Eh? Sekolah kedokteran?" Hinata berujar kaget sekaligus takjub. Saat ini mereka berdua tengah berada pada sebuah café khusus anak muda, yang menyediakan makanan-makanan ringan nan berkelas namun dengan harga yang sesuai dengan kantong-kantong para pelajar. Sakura yang mengajaknya ke sini. Alasannya bukan karena harganya, melainkan rasa sajian di sini begitu enak, dengan dokorasi yang nyaman, dan Hinata pun menyetujuinya.

"Ya, mungkin 2 sampai 3 tahun lagi aku akan selesai, dan menjadi seorang dokter yang hebat!" Sakura berujar semangat, setelah menyeruput teh manisnya. "Kau sendiri, mengambil jurusan apa?"

"Ah... Itu... Aku mengambil jurusan perkantoran, dan akan bekerja di perusahaan ayahku," tidak bermaksud sombong, tapi itulah kenyataannya. Sebenarnya gadis itu awalnya akan dijadikan sebagai direktur utama, tapi ia menolak. Alasannya karena ia tak mempunyai minat menjadi seorang direktur. Kesuksesan diawali dengan kemauan bukan? Akhirnya diputuskan, yang menjadi di rektur utama pada Hyuuga Corperation ialah kakak sepupunya sendiri, Hyuuga Neji. Lelaki itu berbakat menjadi pemimpin. Bahkan pamannya sendiri, Hiashi yang terkenal keras mengakui kemampuannya.

"Jadi saat ini kau sedang kuliah?"

Hinata agak menyerngit mendengar pertanyaan Sakura. Pesta pernikahannya dua bulan silam berlangsung begitu meriah, mengundang orang-orang penting dari luar kota. Kenapa gadis itu tidak tahu bahwa ia sudah menikah? Mungkinkah saat itu Sakura sedang berada di luar kota untuk urusan tertentu?

Sejujurnya Hinata merasa bersyukur, sahabatnya itu tidak mengetahuinya. Jadi ia akan bebas, dari pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan Sakura, yang mungkin tidak akan bisa dijawabnya.

"Sebenarnya aku sedang cuti setahun..." akhirnya Hinata menjawab.

"Cuti? Untuk apa? Seperti wanita hamil saja!" Sakura terkekeh geli, tidak menyadari sepasang iris amethyst di depanya yang membelalak sempurna itu.

Sebenarnya tujuan awalnya cuti memang begitu. Atas paksaan Hiashi, akhirnya Hinata mengambil cuti selama setahun, dengan alasan pernikahannya dengan harapan, bisa 'menghasilkan' keturunan Hyuuga baru dalam waktu kurang dari kehamilan itu sembilan bulan, menyisakan empat bulan bagi Hinata untuk memberi kabar bahagia bahwa dirinya hamil. Sudah lewat dua bulan, membuatnya khawatir, apa yang akan terjadi dua bulan berikutnya, jika ia tak kunjung mengandung juga. Bagaimana mau mengandung? Disentuh oleh suaminya saja tidak pernah!

Mereka hanya pernah tidur di ranjang yang sama satu kali. Itu pun semata-mata hanya sandiwara belaka, demi menjaga nama baik kepada ayahnya. Paginya ia terbangun dengan segar, mendapati Naruto masih terlelap di lantai. Rupanya lelaki itu terjatuh. Setelah itu tidak ada lagi. Hinata hanya bisa bergantung pada nasib.

"K—Kau ada-ada saja, Sakura-san! Ahya! Apa yang kau lakukan di luar, dalam cuaca yang dingin ini?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku dari laundry, mengantarkan beberapa pakaianku!" Sakura berkata dengan santai, seolah lupa dengan percakapan mereka sebelumnya. Gadis ceria itu lalu mengambil cangkir tehnya, dan menyeruputnya sekali. "Kau sendiri?"

"Eng... Aku dari toko roti,"

"Ahya! Aku sampai lupa tujuan utamaku mengajakmu makan..." tatapan gadis berambut pink itu berubah sedikit menjadi lebih serius. "Kenapa kau pindah, saat SMU dulu? Ayah serta sepupumu, Neji tetap tinggal di kota yang sama. Kenapa kau mau repot-repot pindah ke sekolah lain? Apa... Karena penolakan cinta Naruto dulu?" ia bertanya dengan penuh rasa keingintahuan. Sakura tahu, ia terlalu ikut campur dalam masalah ini. Namun rasanya ia harus mengungkap semuanya.

Yang ditanya langsung saja tersentak, hampir terjatuh dari kursinya. Pertanyaan kali ini begitu mendadak, tak terduga. Tanpa sadar Hinata menundukkan wajahnya, tanda jika ia sedang gugup. Ia mengenal Sakura dengan cukup baik. Ia adalah gadis yang blak-blakan, selalu mengatakan apa yang ingin ia katakan, namun cukup menjaga perasaan orang lain. Sakura juga gadis yang cukup—sangat cerdas.

"Emmm..." bola mata Hinata bergerak-gerak gelisah, berusaha mencari-cari jawaban yang tepat. Ia ingin mengalihkan pembicaraan (lagi), tapi sepertinya tidak akan berhasil. "B—bukan seperti itu kok, Sakura-san..." gadis itu mencoba berbohong, berharap perempuan di depannya ini tidak menyadarinya.

"Begitu?" Sakura terdengar ragu. "Kau tahu? Sejak kepindahanmu, Naruto benar-benar merasa kehilangan!" ia melanjutkan.

Sekali lagi perkataan Sakura membuat Hinata terlonjak kaget. Café ini dilengkapi dengan AC, namun tak berhasil mencegah keringat dingin keluar melalui pori-pori gadis itu. Dan untungnya juga, café yang mereka tempati bernuansa redup, sehingga wajah gugupnya tidak terlalu kentara. "S—Sakura-san! Kau ini jangan bercanda..."

"Aku serius! Sejak kau tidak ada, dia menjadi lebih banyak diam. Jika dulu ia menghabiskan waktunya di kantin—bersamamu, sejak kau pindah, dia jadi sering menyendiri di kelas. Ohya! sejak kepindahanmu pula, entah kenapa si Naruto bodoh itu berubah menjadi lelaki baik, dan tidak mempermainkan perasaan perempuan lagi!"

Wajah Hinata bersemu merah. Ia menganggap ucapan teman lamanya barusan ialah sebuah gurauan, tetapi saja tak bisa mencegah rona merah di kedua belah pipinya. Ia tersenyum kikuk, bingung harus merespon bagaimana. Gadis itu hanya memotong-motong kecil cheesecake-nya, berharap hal itu dapat mengalihkan perhatiannya dari kegugupan yang menyiksa ini.

"Menurutku, Naruto dulu menyukaimu, hanya dia tidak sadar saja..."

Oh, tidak! Jangan mengucapkan itu! Kau bisa saja membuat kepala si sulung Hyuuga di depanmu itu meledak, Nona Haruno!

Hinata tetap diam, tanpa sadar meremas garpu kecil yang di pegangnya. Ingin segera ia pergi meninggalkan tempat ini, namun tidak enak pada Sakura. Sebenarnya ia memang ingin menghindari gadis itu.

"Tapi, kudengar dia sudah menikah! Aku tidak sempat hadir ke pesta pernikahannya, karena ada urusan di luar kota. Kau hadir, Hinata?"

"Uhk!" Hinata tanpa sadar tersedak, oleh sepotong chesecake yang baru saja ia suap. Gadis itu terbatuk-batuk, dan segera mengambil tehnya lalu meminumnya seteguk.

"Hinata? kau baik-baik saja?"

Tentu saja Hinata hadir dalam acara itu! Dia pengantin wanitanya! Gadis itu semakin terpojok, bingung harus menjawab bagaimana. Dia tidak terbiasa berbohong, namun dia juga tidak mau jujur juga. Belum saatnya. Oh tuhan! Datangkanlah keajaiban untuk gadis yang malang ini...!

"Ah!" Sakura merasakan ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan singkat masuk. Ia merogoh tas tangannya, mengambil ponsel pink-nya, dan membaca pesan itu. Alisnya mengernyit. "Hinata! maaf! Mungkin pembicaraan ini bisa kita lanjutkan lain kali. Aku ada urusan penting..." ia berkata seraya kembali memasukkan ponselnya, dan berdiri dari duduknya.

Oh, Tuhan memang selalu berpihak pada gadis yang baik...

Hinata ikut berdiri. "Tidak apa-apa! "

Sepergian Sakura, Hinata belum beranjak dari tempatnya. Malahan ia kembali duduk, dan menyeruput habis tehnya. "Dasar Sakura-san..."

.

.

"Waaaahhh! Enaknyaaaaa!" Naruto memandang senang, kepada se-box donat beraneka warna serta rasa yang kini berada di genggamannya, siap untuk masuk ke mulutnya kapanpun ia mau. Ia lalu menoleh sejenak pada gadis berambut indigo yang kini tengah terduduk sopan pada sofa yang terdapat pada ruang kerjanya. "Kau tidak makan, Hinata?" tanyanya seraya mengambil. Satu buah donat, dengan selai berwarna merah muda berhiaskan gula halus berwarna keperakan.

"Ah, tidak Naruto-kun. Tadi aku sudah makan..."

Naruto sedikit menyerngit, sembari menggigit donat itu. biasanya setiap jam makan siang, istrinya ini selalu saja datang membawakannya makanan, dan mereka pun makan bersama di ruangan itu dengan tenang. Pernah sekali ia menanyakan, apakah gadis itu tidak lelah, melakukan hal ini setiap harinya, mengingat jarak antara kantornya dan rumah mereka cukup jauh. Tapi dengan senyum lembut Hinata menolak halus pernyataan itu. Lagipula ia tidak memiliki sesuatu untuk dikerjakan di rumah. Begitulah katanya. Naruto hanya menyengir senang. Ya, ia senang Hinatanya mau melakukan hal itu. Naruto merasa beruntung, mempunya istri seperhatian Hinata.

Hubungan mereka memang mulai membaik seiring berjalannya waktu. Naruto menjadi lebih perhatian, dan mengupayakan untuk pulang ke rumah jika ada kesempatan. Hinata nampaknya pun mulai terbiasa dengan kehidupan yang mulai membaik ini. Entah sampai kapan hal ini bisa bertahan. Mereka hanya bisa menunggu hingga roda kehidpuan mereka kembali berputar.

"Makan? Di mana?"

"Emm... Tadi aku bertemu dengan Sakura-san. Kau ingat dia 'kan?" kali ini tidak lagi tersirat kecanggungan begitu si sulung Hyuuga ini berbicara kepada suaminya.

"Sakura-chan? Kupikir dia sekolah kedokteran di luar kota? Aku sudah lama sekali tidak berhubungan dengannya..." Naruto nampak bersemangat. Ia memang dekat sekali dengan gadis bersurai merah muda itu saat SMU dulu. "Dimana kalian bertemu?"

"Di depan toko roti. Dia mengajakku ke cafe untuk mengobrol..." Hinata tidak melanjutkan ucapannya, begitu ia melihat sepasang iris biru yang membulat itu.

Atau hanya perasaannya?

"Dia... Sakura-chan mengatakan apa padamu?" suara Naruto kali ini terdengar lebih waspada.

"Kami hanya berbincang tentang masa lalu, dan membicarakan apa yang akan kami lakukan di masa depan,"

Naruto berdiri dari kursi putarnya yang nyaman. "Masa lalu? Masa lalu bagaimana?"

Hinata teringat akan perkataan Sakura, yang menyatakan bahwa sejak dirinya pindah sekolah, lelaki yang duduk di sebrang sana itu berubah hampur 180 derajat. Dari sosok yang ceria namun playboy, menjadi sesosok lelaki dewasa yang lebih memikirkan perasaan orang lain. Namun gadis itu tidak ingin membahasnya. Sejujurnya ia menganggap semua itu hanyalah gurauan belaka.

"Yaaa... Emm... Tentang masa-masa menyenangkan saat SMU dulu..." terpaksa Hinata berbohong. Ia memalingkan wajahnya, sehingga lelaki pirang itu tidak bisa melihat matanya. Gadis itu tidak terbiasa berbohong, sehingga jika ia melakukannya akan langsung ketahuan.

Naruto terlihat ragu, namun akhirnya menghela nafas lega juga pada akhirnya. "Begitu? Ohya! apakah... ia tahu tentang pernikahan kita?" ia kembali bertanya dengan ragu.

Seketika wajah yang ditanya langsung berubah warna menjadi merah, layaknya tomat yang masih ranum. Hinata akan langsung malu jika membahas soal pernikahannya yang telah berlangsung dua bulan ini. "Emm... Dia tahu kau sudah menikah..." Hinata memainkan jemari telunjuknya, memikirkan kata-kata yang tepat, agar tidak membuat dirinya mati oleh rasa malu. "Tapi... Eumm..."

"Dia tidak tahu bahwa pengantin wanitanya adalah kau?" Naruto menyambungnya, sukses membuat rona merah di wajah istrinya semakin pekat. Gadis itu semakin menunduk, menyembunyikan ekspresinya. Hinata tak perlu lagi mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan Naruto tadi, karena sebenarnya itu adalah sebua pernyataan.

Mereka berdua tenggelam dalam keheningan. Sepasang insan yang dipermainkan oleh takdir dan perasaan.

Naruto kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya, dengan lincahnya memainkan penanya di atas lembaran-lembaran dokumen yang harus diselesaikan hari ini. sedangkan tangan kirinya memegang donat yang tadi dibelikan Hinata, sambil sesekali memakannya. Sedangkan Hinata, gadis itu hanya diam duduk di sana, memperhatikan tiap sudut ruangan kerja Naruto. sebenarnya setiap hari gadis itu selalu saja melakukan hal sama, mengagumi interior ruangan ini. Kertas dinding dengan motif kuno berwarna coklat kemerah-merahan, rak-rak buku, lemari dan meja yang terbuat dari kayu, dan prabot-prabot antik yang dipajang di sana-sini. Sungguh memberikan kesan elegan.

Pandangannya lalu tertuju pada sebuah kalender berlatar belakang gambar kapal antik yang terpajang di sana. Tanggal 2 Oktober... Hari ulang tahun Naruto kurang 8 hari lagi. Hinata menduga-duga, apa yang akan lelaki itu rencanakan di ulang tahunnya nanti. Merayakan pesta? Keluar bersama teman-teman kerjanya? Atau... Keluar bersama wanita yang bernama Shion itu?

Wajah cantik itu kembali berubah murung. Oh iya, bagaimana hubungan Naruto dengan wanita pirang itu? Akhir-akhir ini Naruto lebih sering berada di rumah dari biasanya. Jika dulunya lelaki itu selalu pulang tengah malam, dan berangkat lagi pagi-pagi—bahkan biasa tidak pulang seharian penuh, sekarang sudah berbeda. Naruto lebih sering menyempatkan diri untuk sarapan di rumah, bersama istri yang harus dilindunginya. Pulang dari kantor pukul 9 malam. Kadang ia mendapati Hinata masih terjaga menungguinya, kadang pula gadis itu sudah tertidur pulas di sofa—dalam kegiatan menunggunya. Sedikit rasa senang dan haru menjalari hati Naruto, melihat tingkah polos Hinata.

Andai saja Shion bisa bertingkah seperti itu... Pasti Kushina, ibunya sudah merestui mereka dari dulu. Namun sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa wanita berambut merah panjang itu akan menyukai Shion. Ia sangat membenci gadis itu. Kadang jika ia melihat foto Shion di sebuah majalah, ia pasti akan mengucapkan kata-kata kasar, mencemooh perempuan itu dengan penuh amarah. "Sok seksi sekali dia! Masa mengenakan pakaian seminim ini? Dasar wanita murahan!" begitulah salah satu komentar pedas Kushina.

Ceklek...

Suara knop pintu yang diputar menyadarkan lamunan sepasang suami istri itu. Dua pasang mata tersebut refleks menoleh ke sumber suara, dan mendapati sesosok pria tinggi di sana, dengan jas kerja rapi. Mata Hinata membelalak.

"Hoi Teme! Harusnya kau ketuk dulu sebelum masuk!" Naruto kini terlihat kesal, menatap sosok yang balas menatapnya dengan datar itu.

"Hn. Seperti kau tahu sopan santun saja, Dobe..." sosok itu mebalas dengan tatapan dingin nan datar, membuat direktur perusahaan Namikaze itu menjadi muak.

"Tapi ini kantorku! Jangan mentang-mentang kebetulan kita saling menjalin bisnis, kau mau seenaknya saja!"

"Kau pikir aku mau ke sini? Kalau bukan karena paksaan Aniki, aku tak akan sudi menginjakkan kakiku ke perusahaan ini,"

"Kau mau mengajakku berkelahi?"

"Sasuke-kun?"

Pertengkaran kedua pria itu terhenti begitu mendengar suara yang halus nan lembut dari ruang tamu kantor itu.

Sasuke pun menatap Hinata dengan tatapan yang sama. Seolah mengatakan ; apa yang kau lakukan di tempat ini?

.

.

.

~TO BE CONTINUED~

Hinata diam, bersandar pada tembok putih itu dengan perasaan campur aduk. Gugup, malu, tidak percaya diri, semuanya bercampur menjadi satu. Entah sudah yang kesekian kalinya ia meneguk ludah, seolah hal itu bisa mengurangi rasa gugupnya, namun hasilnya sama saja.

Keringat dingin menetes pada dahi gadis itu. Apakah ia harus menyimpan perasaan ini selamanya? Sebenarnya ia menjawab 'iya' untuk pertanyaan itu. Namun setelah dipaksa oleh sahabat perempuannya, gadis itu pun meneguhkan hati. Mengambil keputusan untuk menyatakan perasaannya kepada orang yang disukainya. Sekarang.

Ia tidak peduli, jika pemuda itu mau menerima cintanya atau tidak. Cukup dengan lelaki itu mengetahui isi hatinya saja, Hinata sudah sangat puas.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya, berharap hal itu bisa meredakan degup jantungnya gadis itu pun memasuki kelas itu. Kelas 2-B. Kelas lelaki yang disukainya selama ini. Dia ada di sana. Bercanda, bergurau bersama teman-temannya. Senyumannya membuat jantung Hinata berdebar entah sekian kali lebih cepat. Oh Tuhan! Semoga saja wajahnya tidak memerah.

Dengan langkah yang—SANGAT—dipaksakan, gadis itu berjalan menuju Naruto, lelaki pujaan hatinya selama ini. Lelaki yang telah membuat hari-harinya menjadi indah setiap detiknya. Menyadari kehadirannya, pemuda itu pun mendongkak, menatap mata lavendernya.

"N—Naruto-kun..."

"Apa?" iris amethyst itu sedikit membelalak, begitu mendengar suara cempreng yang biasanya hangat dan ceria itu tiba-tiba berubah menjadi dingin, sedingin tatapan birunya. Hinata tak melihat langit cerah di sana, melainkan lautan es yang berbahaya.

Hanya perasaannya, atau gadis itu melihat teman-teman si tunggal Namikaze itu nampak terkiki geli, seolah sedang menahan tawanya. Alis gadis itu mengernyit, namun ia segera mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang berkelebat dalam pikirannya.

Merasa gugup, karena merasa dirinya menjadi sorotan para siswa di kelas ini, gadis itu segera menunduk, seraya memainkan jemari mungilnya ; kebiasaannya saat sedang gugup. "Emmm... N—Naruto-kun, k—kita bisa bicara s—sebentar?" tanyanya setelah berupaya mengumpulkan segala keberanian dalam hatinya. Ya tuhan! Jangan membuatnya pingsan dulu...! Jangan untuk saat ini.

Yang ditanya hanya menghela nafas panjang. Naruto lalu menyandarkan tubuhnya pada kursinya memejamkan matanya bosan. "Kau ingin menyatakan cintamu ya? Tidak perlu!"

Sing...

Hinata membatu di tempat. Semudah itukah? Gadis itu bagaikan es yang siap hancur kapan saja, bahkan oleh hembusan angin. Ia terlalu shock dengan perkataan Naruto yang sedingin kutub barusan. Kemana Naruto yang hangat dan ceria itu? Kemana Naruto yang disukainya? Saking terkejutnya, Hinata bahkan lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Dunia ini seolah menjadi kosong, dengan tanah yang membelah dan menenggelamkannya ke dasar bumi.

"Lagipulaaa..." perkataan itu membuat Hinata tersadar ke dunia nyata. Ia kembali memberanikan dirinya untuk mendongkak, menatap iris sapphire itu dengan takut-takut, berharap bahwa yang didengarnya tadi hanyalah ilusi belaka.

Sayangnya itu bukanlah sebuah ilusi...

"Kau bukan typeku. Tapi, terima kasih atas bantuanmu selama ini. Kau sangat berguna,"

Ia merasakan kakinya lemas. Saking lemasnya nyaris membuatnya terjatuh. Untungnya ia masih bisa mempertahankan keseimbangannya. Pandangannya buram, terhalang oleh benda cair. Ya tuhan! Tolong katakan bahwa ini hanyalah mimpi! Mimpi terburuk yang pernah ada!

Ini kehidupan nyata, Hyuuga Hinata. Bukanlah mimpi...

"B—Bukan begitu..." kali ini suara gadis itu terdengar gemetaran, namun ia berusaha untuk menutupinya. "S—sebenarnya aku d—datang ke sini untuk..." kepala itu semakin menunduk, menyembunyikan ekspresinya. Tetapi tidak menutupi tetesan-tetesan bening yang terus saja terjatuh , mempertunjukan dirinya melewati poni Hinata yang menutupi wajahnya.

"A—Aku mau bertanya, a—apakah k—kau sudah selesai membaca buku yang kupinjamkan kemarin, N—Naruto-kun...?" gadis itu berupaya untuk terdengar senormal mungkin, tak ingin mempermalukan dirinya. 'Satu, dua, tiga, empat...' ia menghitung dalam hati, masih menyembunyikan wajahnya. Keheningan menguasai kelas yang awalnya sangat ribut itu.

Naruto menaikkan sebelah alisnya. Merasakan sesmua pandangan tertuju padanya, pemuda itu menghela nafas panjang. "Ya. Akan kukembalikan nanti..."

'Sembilan belas, dua puluh...' Hinata mehembuskan nafas panjang, dan mendongkak, membuat seisi kelas itu menjadi terkejut, termasuk Naruto.

Wajah itu... wajah cantik itu tengah tersenyum manis padanya, dengan bulu mata lentiknya yang basah serta pipinya yang merona merah. "Begitu ya? Kau boleh menyimpan buku itu, Naruto-kun. Kukira kau menyukainya..." ia tertawa kecil. Tawa yang mengiris hati. "Selamat tinggal!" setelah mengatakan itu, Hinata langsung saja berlari keluar, tanpa pernah menoleh lagi.

Berlari sekencang-kencangnya, tanpa peduli pandangan orang-orang padanya. Ia sempat mendengar gelak tawa dari kelas Naruto, yang sudah pasti menertawakan kebodohannya. Namun gadis itu tidak peduli. Ia hanya ingin berlari bahkan jika bisa ia ingin lenyap dari dunia ini untuk semetara waktu.

Ia berhenti di dekat pohon persik yang ada di sekolahnya. Pohon ini... Tempat pertama kali ia bertemu dengan Naruto. Saat itu penerimaan siswa baru, dan ia melihat lelaki itu nampak kebingungan. Hinata yang baik hati pun tergerak untuk menolongnya, mendekati lelaki yang nampak masih sangat polos itu dan menanyakan apa yang terjadi. Ternyata si bodoh Naruto itu tersesat, mencari-cari toilet pria yang sedari tadi tidak ia temukan. Hinata tidak akan pernah lupa, wajah penuh kegelisahan itu.

"Kau punya rambut yang bagus!" itu yang dikatakan pemuda pirang itu sebelum ia berlari, meninggalkan Hinata menuju toilet yang tadi ditunjukan oleh gadis itu.

Oh Kami-sama...

Ia menyandarkan punggungnya pada pohon persik itu, dan menjatuhkan tubuhnya, memeluk lututnya erat-erat.

Tadi itu sakit sekali. Begitu perih. Sangat perih. Bagai menabur garam pada luka yang terbuka

.

.

A/N :

Hahahahahahahaha! Gimana minna? Gaje kah? Aneh kah? Pastinyaaa! X3

Yaaa... Maklum aja, Natsu ngerjainnya di masa-masa sulit, deg-degan nungguin UN! Belum lagi pengayaan serta pelajaran tambahan di sekolah yang bikin otak Natsu mau pecah! D'X MUNGKIN chapter ini chapter terakhir, sebelum Natsu 'cuti' dari FFn selama beberapa minggu. Tapi gak sampe sebulan kok! Soalnya Natsu mau fokus buat UN nanti!

Habisnyaaa... setelah dengar gosip, tepatnya kabar bahwa Ujian nanti bakal terdiri dari 20 paket, dengan jenis paket yang tidak bisa diketahui, Natsu jadi putus asa, buat andalin temen! Lagipula Natsu gak mau jadi lulusan paket B! TToTT

Duh! Kayaknya Natsu kebanyakan curcol deh! Hehehehehehe! Gomen, gomen! X3

Ohya! Makasih banyak buat : aeni hibiki, Diane Ungu, gdtop, Moeyoko-chan AndevilavenderS69, Lathifah Amethyst-chan, Nivellia Yumie, Unnie Soo ShikShin, Hoshi no Nimarmine, FuuYuki34, Hyuuna Uzuhi, ika chan, Kitsuryuuno, demikoo, Uzumina Ai-chan, K, sizuna, hanazonorin444, armida. , Melia Tsuzumi Taoru, Killizia-Chan, Paris Violette, Nataka-san, Ananda Ryuaki-Hime, namikaze resta, Cha' Yami no Hime, flowers lavender, Princess Love Naru, Guest, U Nana Hyuuna, SoraYa UeHara, Namediana aztaj, Amanojaku Miyanoshita, Kuro Tenma, Setsuko Mizuka, Nacita LaveSha, pha chan, dan Nara Kazuki yang udah bersedia menyumbangkan author malang ini reviewww! Sungguh! Review kalian semua berperan penting untuk kelanjutan cerita yang gaje iniii! TT,TT *nangis terharu*

Bagi yang login, balasan reviewnya udah Natsu kirim lewat PM! Silahkan cek inbox masing-masiiiig! X3 Dan buat yang gak login, ini balasannyaaa :

. aeni hibiki :
Arigato reviewnya, Aeni-saaaaannn! XD
Salam kenal jugaaaa! Hehehehehehee...!
Nih udah update! Moga Aeni-san sukaaaaa!

. Diane Ungu :
Arigato reviewnya, Diane-saaaaaannn! XD
Silahkan panggil Natsu 'Natsu'! X3 'Hiru' juga boleh! XD
Ahahahahaha! Namanya roda kehidupan 'kan pasti berputar! Diane-san tenang ajaaaa! XD

. Hyuna Uzuhi :
Karena Natsu punya teman yang namanya juga Hyuna, Natsu manggil Uzu-san aja yaaaahh! XD
Arigato reviewnya, Uzu-saaaaaaannn! XD
Nih udah update! Moga Uzu-san sukaaaaa!

. ika chan :
Arigato reviewnya, Ika-saaaaaaaannn! XD
Makasih udah mau nungguuuuu...! TToTT *nangis bahagia*

. demikoo :
Arigato reviewnya, Demiko-saaaaaannn!
Wah, nama Demiko-san udah gak asing lagi bagi Natsu! XD
Waah? Baca dari chapter awal? Arigatoooooo...! X'D *nangis terharu*
Hehehehehehee! Liat aja chapter depan, kelanjutannya gimana! X3
Di pikiran Naru cuman ada Natsu! *dihajar massa*

. K :
Arigato reviewnya, K-saaaaaaaaannn! XD
Iya, nih udah update! XD

. namikaze resta :
Arigato reviewnya, Resta-saaaaaaaannn! XD
Hehehehehehehe! Gomen, gomen! XD
Sip! Nih udah update!

. Guest :
Arigato reviewnya, Guest-saaaaaaaaannn! XD
Ini next-nya! X3 Silahkan tunggu next berikutnya lagi! *plak!* *ngomong apaan lu!?*

. U Nana Hyuuga :
Arigato reviewnya, Nana-saaaaaaaaannn! XD
Makasih udah bilang keren! X3

. Namediana aztaj :
Arigato reviewnya, Diana-saaaaaaannn! XD
Ehehehehehehe! Gomen, gomen! XD
Btw makasih atas sarannya waktu ituu! Sangat membantu!
What? Yadong? Heeeiii! Ini masih rated T! DX *tunjuk rating* Belum mencapai M!

.

Yooossshhaaaaa...! XD Sekali lagi Natsu udapin makasiiiiiiiiihh banyak! XD kalo ada yang reviewnya gak kebales, silahkan ajukan protes! Itu pun jika keberatan. Hehehehehehe! XD

Sip! Segitu aja dulu! Sekarang, boleh 'kah Natsu minta review kalian semua lagi? Mau ngasih kritik, saran, flame, dan lain sebagainya, Natsu terima deh! XD

REVIEW PLEASEEEE!

~ARIGATO~

NATSU HIRU CHAN