Yo minnaaaa! Setelah sekian lama menadi silent reader di NaruHina, akhirnya Natsu kemabli aktif lagi dengan membuat salah satu fic gaje lagiiii!

Yaaahh... akhir-akhir ini Natsu emang sibuk banget! Jadi gak sempet aktif di fandom ini! belum lagi hutang fic yang udah menumpuk! TT_TT

Yosh! Daripada dengerin curcol gak bermutu dari Natsu, mending langsung baca aja ah!

.

.

Disclaimer : Masashi Khisimoto

Title : When Love is Growing

Story By : Natsu Hiru Chan

Genre : Romance, Family

Rated : T –semi M Maybe?^^

Pairing : NarutoXHinata

WARNING(S) : AU, OOC, typo bertebaran dimana-mana, abal, norak, gaje, jelek, ancur, dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, hipotensi dan gangguan kehamilan dan janin! *plakk!*

Mohon maaf bila ada kesamaan cerita. Fic ini murni dari otak Natsu yang super standar!

Summary : Bagaimana ia bisa bahagia jika ia harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dicintainya? Mungkinkah cinta akan tumbuh di antara mereka?/kenapa selalu dia yang berkorban?/

.

.

.

Don't like, don't read! XP

.

Chapter 1 : Unhappy Marriage

Hinata memandang sepasang suami-istri yang masih sangat belia itu dengan canggung. Meski restaurant bintang lima itu telah tepasang AC, dan didesain sedemikian rupa demi terciptanya kenyamanan bagi para pengunjung, gadis muda itu tetap merasa tidak enak badan. Seluruh tubuhnya menegang. Jantungnya berdebar keras. Keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya yang disanggul itu menjadi agak basah.

"Wah, jadi ini yang namanya Hinata? Cantik sekali..." wanita berambut merah sangat panjang, mengenakan gaun malam kebarat-baratan memandangnya dengan tatapan kagum. Seolah gadis yang saat ini terduduk di depannya adalah tropi, yang siap diberikan padanya.

Hinata tersenyum tipis. Yukata ungu hasil buatan desain ternama itu cukup membuatnya kepanasan. Namun ia tak bisa menunjukkannya, di hadapan tamu istimewanya kali ini. Gadis itu sedikit melirik ke arah kanannya, mendapati pria paruh baya dengan yukata putih dengan wajah yang terkesan tegas dan keras. Melihat wajah ayahnya, nyali Hinata untuk meminta pulang langsung ciut.

Acara perjodohan ini benar-benar membuatnya gila! Gadis itu kembali menunduk, menyembunyikan ekspresi gugupnya.

"Gadis yang cantik, tentu saja pantas bersanding dengan anakku!" ucap pria berambut pirang jabrik itu setenagh bercanda. Tapi sejujurnya, dia juga sangat senang, gadis yang menjadi pujaan tiap lelaki itu akhirnya menjadi menantunya juga! Rasanya seperti baru saja memenangkan piala penghargaan, dari lomba yang diikuti 10.000 orang peserta. Bangga!

Bagaimana tidak? Hyuuga Hinata! Pewaris perusahaan Hyuuga, yang telah tersebar di berbagai negara itu. Gadis itu masih sangat muda, baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Selain itu dia juga memiliki paras yang indah, bak patung yang dipahat secara hati-hati dan teliti, tanpa kesalahan setitik pun. Surai biru tuanya yang berkilap itu membingkai wajah cantiknya. Tubuhnya? Jangan ditanya lagi! Meski agak mungil, namun gadis itu memiliki bentuk tubuh yang diimpikan tiap wanita yang ada di muka bumi ini. Begitu indah, begitu sempurna... membangkitkan gairah lelaki mana pun yang melihatnya. Sirat kelembutan terukir jelas di matanya yang bagaikan permata amethyst indah itu. gadis itu juga memiliki sikap yang sopan, baik, ramah, dan santun terhadap siapa pun. Lelaki mana yang tidak menginginkannya?

Dan sebentar lagi... gadis Hyuuga itu akan menyandang gelar Namikaze, menuruskan nama keluarga itu? memberikannya cucu-cucu yang lucu, percampuran antar wajah putranya, dan calon menantunya ini. Siapa yang tak bangga, coba?

"Ini juga untuk mempererat tali kekeluargaan kita. Namikaze Group sudah sangat banyak membantu Hyuuga agar bisa mencapai titik puncak dalam penjualan," ucap Hiashi dengan tegas, berwibawa, dan bijaksana.

Selanjutnya ketiga orang itu—minus Hinata— pun mengobrol tentang perusahaan, pernikahan, dan lain-lain yang membuat Hinata bosan. Ingin rasanya gadis itu meninggalkan tempat itu. Sayangnya tatapan tajam dari ayahnya seolah mengubur dalam-dalam harapan itu.

Hinata tak mau dijodohkan! Memang sih, saat ini dia tidak memiliki pacar, atau orang yang disukainya. Namun ia tetap tidak mau dijodohkan? Memangnya ini sudah tahun berapa? Zaman sudah modern! Tidak ada lagi istilah perjodohan dalam kalangan anak-anak muda. Memangnya saat ini zamannya Sitti Nurbaya apa? Selain itu... apa artinya pernikahan yang tanpa didasari oleh rasa cinta?

Terlebih, saat Hinata tahu jodohnya. Namikaze Naruto! Cowok yang terkenal dengan reputasinya yang buruk di sekolahnya dulu. Teman sekelasnya! Lelaki itu terkenal playboy, dan sering mempermainkan perasaan seorang wanita! Siapa yang tak mengenal Naruto? Pemuda itu begitu tampan, dan berasal dari keluarga kaya pula. Tubuhnya atletis, dan kulitnya yang berwarna tan itu membuat semua orang beranggapan bahwa pemuda itu errr... seksi. Belum lagi cengiran lima jarinya yang menawan. Otaknya memang pas-pasan, tapi sikapnya yang ramah terhadap wanita itu membuat semua gadis harus bertekuk lutut padanya!

Hinata menghela nafas berat. Kejadian masa lalu kembali terputar di otaknya, bagaikan film.

Gadis itu sudah lama menyukai Naruto. Namun setelah kejadian tiga tahun yang lalu, tepatnya saat ia dan Naruto masih kelas dua SMU, Hinata mengubur dalam-dalam perasaannya itu. Setelah mengumpulkan segala keberanian di hatinya, yang dipendamnya selama bertahun-tahun, akhirnya gadis itu nekat menyatakan cintanya, siap menerima resiko ditolak oleh Naruto.

Sayangnya 'penolakan' Naruto tidak seperti yang diharapkannya. Saat Hinata mengajaknya untuk bicara berdua di kebun sekolah, dengan santai Naruto berkata 'Kau mau menyatakan cintamu yah? Maaf! Tapi aku tidak mau pacaran dengan gadis yang tidak kusukai,' di depan semua teman sekelas mereka.

Hancur! Hati Hinata telah Naruto hancurkan detik itu pula, di depan banyak orang. Hinata hanya diam seribu bahasa, dan langsung berlari meninggalkan tempat itu. Baru lima meter ia keluar dari kelas, gadis itu bisa mendengar suaar gelak tawa dari kelasnya... yang ditujukan untuk mengejeknya.

Saat itulah, Hinata tak berani mencintai lagi. Ia jerah. Siapa bilang kalau cinta itu indah? Cinta itu menyakitkan! Cintalah yang menghancurkan hidup Hinata. Tapi gadis itu tak pernah membenci Naruto. Meski ia harus menahan nyeri di hatinya begitu melihat pemuda itu berjalan dengan gadis lain. Ia lebih memilih untuk terus menghindari Naruto. Naruto juga sepertinya sudah tak banyak bicara lagi padanya. Hanya mengatakan hal-hal yang benar-benar penting saja.

Akhirnya Hinata menyerah. Ia memohon pada ayahnya, untuk dipindahkan ke sekolah lain. Jauh dari Naruto. Awalnya Hiashi bingung. Namun begitu melihat tampang memelas dari putri sulungnya itu, akhirnya ia memindahkan Hinata ke SMU khusus putri yang jauh dari sekolah lamanya.

Tiga tahun berlalu, perasaan suka Hinata pun berangsung-angsur menghilang, hingga akhirnya lenyap tanpa sisa.

Dan sekarang, entah takdir atau apalah namanya, mereka malah dijodohkan? Yang benar saja! Mengapa dunia ini begitu sempit? Apakah tuhan mengirimkan Naruto untuk menyakitinya?Apakah tuhan tidak membiarkan Hinata untuk bersama pria yang dicintainya, dan malah membiarkannya bersama pria yang pernah menyakitinya? Mengapa takdir begitu menyiksanya seperti ini?

"Malam semua! Maaf, aku terlambat!" lamunan Hinata buyar, begitu mendengar suara seseorang yang sedikit familer baginya. Dengan cepat, didongkakkan kepalanya, menatap pemilik suara yang agak cempreng sekaligus serak itu.

Jantungnya berdebar cepat, begitu melihat seorang pemuda pirang yang mengenakan setelan jas hitam, yang dipasangkan dengan kemeja putih yang dua kancingnya terbuka. Hinata sangat mengenalnya. Tidak ada yang berubah! Kulitnya yang kecoklatan, rambutnya yang pirang menyala, matanya yang sebiru samudra antartika, dan tiga garis tipis di kedua belah pipinya membuatnya tak asing lagi. Namikaze Naruto! Pewaris tunggal perusahaan Namikasze yang besar itu. Pemuda yang pernah membuatnya patah hati.

Seketika pandangan mereka bertemu. Naruto pun tak kalah shock-nya dengan Hinata. Ditatapnya iris lavender dari mata gadis itu dengan tatapan tak percaya. "Kau...?" ia bergumam lirih, yang mungkin tak ada yang mendengarnya.

"Naruto! Kau dari mana saja! Sudah setengah jam kami menunggu!" keduanya tersentak kaget, begitu mendengar omelan Kushina, Ibu Naruto. Wanita itu tengah berkacak pinggang, pada putra semata wayangnya yang satu ini.

Pemuda itu menyengir—cengiran yang sangat dirindukan Hinata— sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Maaf. Tadi aku terjebak macet!"

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Cepat duduk!" perintah Minato, mencoba menarik tangan Kushina agar ia kembali duduk di tempatnya. Wanita itu hanya mendengus, berusaha menahan emosinya.

Dengan canggung, Naruto mulai duduk di samping Minato. Ia menatap Hinata lekat-lekat. Gadis itu banyak berubah. Ia sedikit lebih tinggi. Rambutnya yang dulu di bawah bahu itu mungkin sekarang sudah mencapai pinggang. Entah mengapa, Naruto merasa bahwa Hinata semakin cantik, dibanding saat SMU dulu. Rona merah di wajah saat ia memalingkan wajahnya itu pun terlihat jelas. Naruto masih tidak bisa mempercayai bahwa jodohnya adalah gadis yang saat ini duduk di depannya.

Dulu gadis itu sangat baik padanya. Naruto kerap kali—bahkan sering tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, dan Hinatalah yang mempersilahkannnya untuk menyalin buku gadis itu. Hinata juga selalu mengajarinya, jika Naruto tidak mengerti pelajaran yang dijelaskan oleh guru mereka. Bahkan si jenius Uciha Sasuke pun tidak bisa menembus otak Naruto yang memang sudah karatan itu. Padahal jika Hinata yang mengajarinya, dengan mudah Naruto mengerti segalanya. Perkataan gadis itu sangat lembut dan sabar, membuat Naruto senang berteman dengannya.

Tapi tak disangkanya bahwa selama ini Hinata menyukainya. Bukan karena Hinata menyatakan perasaannya, tapi Naruto mengetahui hal itu dari gosip yang sudah tersebar ke seluruh sekolah itu. Saat itu sedang valentine. Dan pihak sekolah mengadakan perayaan khusus, yaitu menulis surat cinta untuk orang yang kita cintai, dan menerbangkannya bersama merparti putih. Semua pun menulis. Termasuk Naruto, yang saat itu menulis untuk Karin, pacar barunya. Tanpa sengaja surat yang dibawa merpati Hinata terjatuh, dan dipungut oleh Karin. Gadis berambut merah itu marah, mengira bahwa Naruto berpacaran dengan Hinata. Diadukannya hal itu pada Naruto, membuat pemuda itu kaget setengah mati.

Dan yang membuat Naruto lebih kaget lagi adalah, saat Hinata dengan nekat mencoba menyatakan cintanya. Saat itu Naruto belum berpikiran dewasa. Ia lebih menyukai type gadis, yang ceria, dan terbuka. Dan... pernyataan cinta Hinata pun ditolaknya mentah-mentah...

"Kudengar kau dulunya sekolah di KHS Hinata? Jadi kau satu sekolah dengan Naruto?" tanya Kushina membuyarkan lamunan Naruto.

Hinata yang sedari tadi menunduk canggung langsung mendongkakkan kepalanya, menatap calon mertuanya itu dengan wajahnya yang merona merah. "I—iya..."

"Jadi kalian saling mengenal?" tanya Minato seolah mewakili pertanyaan Kusihina dan Hiashi.

Naruto hanya mengangguk. Matanya sedikit melirik pada Hinata. Gadis itu kembali menunuduk. Hal inilah yang menjadi alasan Naruto menolak Hinata. Gadis itu lebih banyak diam. Membosankan!

Selanjutnya obrolan mereka lebih menuju pada pekerjaan. Sesekali Naruto dan Hinata ditanyai tentang pendapat mereka masing-masing. Keduanya hanya menjawab pendek, seperti ; "Terserah kalian saja" atau "Ya, itu bagus juga..." seolah malam perjodohan ini tidak ada artinya sama sekali.

.

~When Love is Growing~

.

"Aku tidak terima! Kenapa aku harus dijodohkan dengannya!" Naruto membanting jasnya sembarang di atas kursi tamu yang mewah itu, begitu ia dan kedua orang tuanya sampai di rumah. Ia langsung duduk di sofa, memalingkan wajahnya dengan penuh amarah.

"Perusahaan Hyuuga sudah banyak membantu kita! Selain itu kau harus dinikahkan secepatnya Naruto! Memangnya kapan kau mau menikah? Saat umurmu 40 tahun?" bentak Kushina tak kalah kesalnya, menyadari bahwa saat acara tadi anaknya hanya diam, cuek, tak peduli pada Hinata. Harusnya Naruto mengajaknya berbincang-bincang, atau apalah.

Tak seperti biasanya. Biasanya, jika Naruto dijodohkan pada seseorang, pemuda itu akan menggoda gadis itu, dan mereka berpacaran selama beberapa minggu, sampai akhirnya putus. Rekor cinta Naruto pada gadis yang dijodohkan padanya adalah, yang terlama dua bulan, yang tersebentar adalah satu hari. Benar-benar playboy cap buaya!

"Aku masih 20 tahun!" Naruto menyela ketika ibunya hendak melanjutkan omelannya. "Aku masih mau menikmati masa mudaku! Aku belum siap untuk menjadi kepala keluarga. Selain itu... aku juga sudah memiliki seorang kekasih?"

"Kekasih katamu? Pacar yang selalu kau undang ke sini tidak lebih dari cewek matre yang hanya mengharapkan kekayaan darimu! Buktinya, apa yang selalu kau lakukian tiap harinya? Mengantar pacarmu ke salon setiap hari bukan? Kau pikir kami tidak tahu?"

"Kaa-chan! Seorang gadis memang begitu! Selain itu Shion tidak pernah berpikir untuk mengincar harta! Dia mencintaiku sepenuh hatinya!"

"Tidak dengan Hyuuga Hinata! Aku yakin, dialah calon istri yang terbaik untukmu!"

"Aku tidak mau! Kenapa kalian begitu memaksaku? Bukannya dulu kalian memberiku kebebasan untuk menolak calon yang kalian sarankan?"

"Hinata lain Naruto! Dia berbeda dengan gadis pada umumnya!"

"Ya! Berbeda! Sangat berbeda! Dia gadis yang membosankan dan sama sekali tidak menarik!"

"Naruto!" Minato yang sedari tadi hanya diam langsung membentak anaknya, dan menatapnya super tajam. Memang jika Kushina sudah berkata, pria itu hanya diam mengikuti. Selain itu setiap yang dikatakan Kushina memang benar, dan selalu menjadi yang terbaik.

Naruto bungkam, melihat iris yang sama dengan miliknya menatapnya dengan berkilat tajam. Secercah rasa segan merasuk di hatinya. Ayahnya memang penyabar, dan sangat menyayanginya. Tapi jika sudah marah bisa berbahaya. Kata orang sih, justru yang kalem itu yang paling galak jika marah.

Naruto memandang orang tuanya secara bergantian. Ia lalu memutar bola matanya penuh kesal. "Apa tidak ada pilihan lain?" ia bertanya dengan lirih, merasa bagaikan bebek yang dikepung oleh tiga ekor macan yang siap menerkamnya.

"Tidak ada," dengan kompaknya Minato dan Kushina mejawab.

Naruto menghela nafas panjang. Jika keduanya sudah berkata tegas, ia tak bisa melawan lagi. Ia tak punya pilihan lain. Terpaksa pemuda itu harus menikahi Hinata...

.

~When Love Is Growing~

.

Pernikahan dua insan itu berlangsung di hotel berbintang lima yang termahal di Jepang. Dilengkapi dengan 35 lantai, dan prabot-prabotan import mewah dan mahal. Acara diadakan di lantai satu yang nampaknya sudah sangat ramai oleh para tamu undangan itu.

Tiga bulan sebelum pernikahan diadakan, mereka memang sering dipertemukan. Baik dalam rangka makan malam, atau hanya sekedar kencan biasa.

Hambar!

Naruto terlihat sama sekali tidak peduli. Sedangkan Hinata nampak menunduk, tak berkata-kata, membuat mereka berdua harus terjebak dalam keheningan. Hampir semua kencan mereka dilalui dengan diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada cinta. Tak ada kebahagiaan. Tak ada senyuman.

Tapi yang lebih ironis adalah, Naruto selalu saja menerima telpon dari kekasihnya saat mereka sedang berdua. Hinata hanya diam, tak menanggapi. Toh, Naruto memang tidak mencintainya. Mau diapakan lagi? Ia tidak bisa terus memakasa. Cinta memang tidak boleh dipaksakan.

Semuanya berdecak kagum, melihat dua insan yang sedang berdiri di altar pernikahan itu, menyambut tamu yang berdatangan. Tampan dan cantik. Naruto dan Hinata nampka begitu serasi. Naruto mengenakan tuxedo putih, kemeja serta sepatu putih pula. Sebuah bros bunga mawar merah menempel di dada kirinya. Sejak acara pernikahan berlangsung, Naruto terus memasang wajah dinginnya. Tak pernah terukir sedikitpun senyum di bibirnya, bahkan saat mereka sedang berfoto. Presetan dengan tatapan tajam ibunya yang mengenakan baju hasil rancangan desainer ternama itu. Siapa suruh, ia dijodohkan? Andaikan Naruto menikah dengan gadis yang dicintainya, senyuman lima jari pasti tak akan pernah terhapus darinya.

Setelah antrian para tamu untuk menyalami mereka mulai sedikit reda, keduanya pun duduk di aras empuk berlapiskan emas di kerangkanya itu. Hinata memperhatikan cincin kecil berpermata sapphire yang melingkar di jari manisnya itu. Jika ia berusaha tersenyum untuk menutupi kesedihannya, Naruto malah dengan sengaja menampakkan bahwa ia tidak menginginkan pernikahan ini. Hal itu membuat hati Hinata terasa tercabik dengan kejam. Saat Naruto melingkarkan cincin di jarinya, semuanya terasa begitu cepat. Begitu pula saat mereka berdua melakukan ciuman kebahagiaan.

Bahkan Naruto tidak menciumnya. Pemuda itu hanya mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata, membuat mereka seolah sedang berciuman. Meski begitu Hinata memang sedikit berdebar-debar. Naruto malah tidak merasakan apa-apa.

Padahal selama ini Hinata menginginkan pernikahan yang membahagiakan. Dimana semua orang menangis bahagia atas pernikahannya. Duduk di sisi pria yang dicintainya dengan sepenuh hati, begitu pula sebaliknya. Sesekali pria itu tersenyum padanya, menggenggam tangannya dengan erat dan berkata ; 'Aku sangat mencintaimu. Akhirnya kau menjadi milikku,'

Tapi apa daya. Semua itu hanyalah mimpi belaka yang tak mungkin bisa terwujud. Naruto yang diharapkan Hinata hanyalah ilusi. Pemuda itu tak mencintainya, begitu pula sebaliknya. Hinata sudah tidak mencintai Naruto lagi. Bagaikan noda darah yang terdapat di sapu tangan putih, jika dibiarkan terkena hujan terus menerus akan hilang juga. Namun malah akan membuat sapu tangan itu makin kotor.

Gaun putih, sepatu kaca, kerudung putih, dan serta perhiasan mewah yang dikenakan Hinata itu membuatnya terlihat sangat cantik, mengundang decak kagum dari siapa pun yang melihatnya. Meski dirias dengan make up tipis, Hinata tetap terlihat cantik natural. Gadis itu sedikit milirik pada orang yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Naruto tetap memandang ke depan dengan tatapan datar, seolah Hinata hanya dianggap angin baginya. Hanya mengusik saja.

Diam-diam gadis itu tersenyum pahit. Ia benci pernikahan ini!

.

~When Love Is Growong~

.

Naruto langsung saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size, yang terdapat pada lantai hotel yang paling atas. Kamar termahal yang disediakan di sini. Hiashi, Kushina, dan Minato memang sudah merancang semuanya dnegan baik. Tempat terbaik, desiner terbaik, koki terbaik, pelayan terbaik, pencetak undangan terbaik, semuanya mereka lakukan terbaik untuk anak mereka, tanpa mempedulikan perasaan keduanya.

Naruto sedikit melirik pada gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu tengah membenahi perhiasan yang membuatnya merasa tak nyaman di depan cermin. Hinata melepas semjua perhiasan itu dengan lembut. Mulai dari anting, mahkota, kalung, semuanya ia lepas dengan hati-hati.

Pemuda itu menatap Hinata tanpa minat, dan kembali memalingkan wajahnya ke arah lain begitu melihat Hinata mencoba untuk membuka gaun pengantinnya.

Diluar dugaannya ; Hinata akan membuka semua pakaiannya dan mulai menggoda Naruto, gadis itu malah masuk ke kamar mandi, dengan celana pendek, dan baju dalam bergaris. Kulit gadis itu begitu putih dan mulus dengan merata. Perawatan apa yang dipakainya? Kenapa kulit itu terbebas dari sesuatu yang menghanguskan kemulusannya? Bagaikan salju, putih secara merata.

Sedikit gairah seorang pria terbesit di hati Naruto. Namun pemuda itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya, menepis pikiran itu jauh-jauh. Mereka baru saja menikah. Selain itu ia tidak mencintai Hinata. Tapi... bukannya Hinata saat ini sudah menjadi istrinya?

.

Hinata baru saja keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama ungu bermotif bunga lavender. Gadis itu baru saja mandi, membersihkan tubuhnya serta melepaskan segala kegerahan yang ada. Ia juga mengenakan piyamanya di dalam, malu dilihat Naruto.

Hinata terkejut, begitu mendapati suaminya sudah tertidur pulas di atas ranjang mereka sambil tengkurap. Terbesit rasa bersalah di hatinya. Naruto sudah meikahinya, gadis yang sama sekali ia tidak cintai. Seandainya Hinata mau melawan, pernikahan ini pasti tidak akan terjadi. Jika ia mengadu pada Hiashi bahwa Narutolah yang dulu pernah menyakitinya, pria itu pasti akan membatalkan pernikahan ini, meski acara sudah berlangsung setengah jalan. Bahkan jika Hinata mengatakannya saat ini, pria itu pasti akan langsung mengurus surat perceraian mereka. Sayangnya gadis itu tak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Gadis itu terlalu penakut.

Ia lalu duduk di tepi tempat tidur, menatap wajah Naruto dengan sendu. Wajah pemuda itu begitu tampan, apalagi saat tidur begini, begitu damai... begitu tenang. Tidak ada Naruto yang playboy di raut wajah pemuda itu. Dengan ragu, Hinata mengangkat tangannya, mencoba untuk menepiskan helaian pirang Naruto di wajahnya. Rambut jabrik itu terasa begitu lembut di telapak tangan Hinata. entah shampo macam apa yang Naruto pakai. Aromanya begitu harum. Begitu maskulin.

"Maaf, Naruto-kun..." Hinata berucap dengan nada bergetar. Matanya terasa buram, oleh air mata. "Maafkan aku membuatmu tidak bahagia Naruto-kun..." gumamnya lagi, seolah mengungkapkan semua yang membebani hatinya sejak lama. Suaranya terdengar begitu pilu, seolah Hinatalah yang bersalah. Namun gadis itu mencoba untuk menahan isakannya, tidak ingin mecoba membangunkan Naruto.

Dengan cepat, Hinata menghapus air matanya. Ia lalu menyelimuti Naruto dengan lembut, selembut-lembutnya. Ia kembali mengelus rambut pirang Naruto, sebelum mematikan lampu dan keluar.

"Selamat malam, Naruto-kun..."

Blamm...

Naruto segera membuka matanya, tergelak kaget dengan apa yang baru saja didengarnya. Tadi pemuda itu berpura-pura tidur, tak ingin mengobrol dengan Hinata. Tepatnya ia tidak tahu, apa yang harus diobrolkannya dengan gadis itu.

Hinata lah yang paling menderita. Awalnya Naruto ke-geeran sendiri, berpikir bahwa Hinata masih mencintainya. Namun Naruto malah bersikap dingin padanya. Padahal gadis itu terus berusaha, membuat Naruto merasa senyaman mungkin. Namun ia malah bersikap dingin, sama sekali tak mengacuhkan gadis itu.

Parahnya lagi, Hinata terus mencoba untuk tidak menunjukkan kesakitannya dari Naruto. Ia sama sekali tak ingin Naruto tahu bahwa selama ini Hinata merasa nyeri. Ia pikir Hinatalah yang merasa sangat senang, akhirnya menikah dengan lelaki yang selama ini dicintainya. Nyatanya tidak. Hinata malah menikah dengan lelaki yang sama sekali tak mencintainya. Rasa sakit itu tidak bisa ditolerir.

Naruto memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya kembali. Tatapannya tertuju pada selimut yang setia munutup kakinya itu. Tadi Hinata menyelimutinya. Kenapa? Naruto pun tidak tahu...

.

Naruto membuka matanya, setelah baru kurang dari tiga puluh menit ia tertidur. Rasa kantuk sama sekali tak berpihak padanya. Pemuda itu ingin tidur! Sayangnya ia tidak bisa.

Kesal, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk keluar, mencari angin sebentar. Mungkin berjalan-jalan di sekitar pekarangan hotel ini akan membuatnya kelelahan, dan akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Dipakainya mantel tidur yang tergantung di dekat sana, mencegah terjadinya masuk angin pada dirinya.

Ia pun keluar, dan turun menggunakan tangga lift. Secercah rasa penasaran menyelimuti hatinya. Kemana Hinata pergi? Mungkinkah gadis itu tengah tidur di kamar lain? Kelakuan Hinata memang sangat mengejutkan Naruto! Gadis itu begitu menghormatinya! Menjaganya! Seolah Naruto itu adalah permata berharga yang rapuh bahkan bisa hancur jika terkena angin. Naruto jadi teringat, tatapan Hinata saat SMU dulu. Tatapan kekaguman yang dihiasi dengan semburat merah di pipinya. Benar-benar lucu! Hinata sangat mengagumi Naruto dulu. Padahal pemuda itu memiliki reputasi yang cukup buruk. Gadis itu benar-benar penuh dengan kejutan!

Baru saja Naruto melangkahkan kakinya hendak keluar, langkahnya terhenti ketika melihat sesosok perempuan tengah terduduk di bangku taman indah yang hanya diterangi oleh lampu remang itu. Hinata.

"Hinata?" sapa Naruto, yang lebih terdengar seperti gumaman seraya mendekati Naruto.

Hinata terlihat terkejut. Langsung saja disembunyikannya sesuatu yang sedari tadi ia kerjakan di belakang punggungnya. "N—Naruto-kun!" pekiknya terkejut. Semburat kemerahan pada wajahnya tidak terlalu nampak, akibat gelapnya malam.

"Sedang apa kau malam-malam di sini?" tanya Naruto akhirnya duduk di samping gadis itu.

"Eumm... a—aku..."

"Apa yang kau sembunyikan di punggungmu?"

Naruto bisa melihat gadis itu tengah menunduk, menyembunyikan kegugupannya, mencari kata-kata yang bagus untuk menjawab semua pertanyaannya. Sejak dulu Naruto sangat menyukai jika Hinata gugup seperti ini. Lucu sekali ekspresinya.

Akhirnya gadis itu mendongkak, berusaha menatap mata biru suaminya itu. Dikeluarkannya sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah rajutan biru muda, yang sepertinya baru seperempat selesai itu. "A—aku sedang membuat ini..."

Naruto hanya mengangguk mengerti. Sejujurnya ia masih bingung, untuk apa Hinata membuatnya. Tapi ia tak ingin memusingkannya. Mungkin saja itu untuk sepupunya, Neji Byuuga. Terserah Hinata mau berbuat apa. Toh, Naruto sudah tahu sikap gadis itu.

"N—Naruto-kun sendiri sedang apa?" akhirnya Hinata kembali berucap dengan gugup.

Naruto menoleh sejenak, lalu menatap langit dengan tatapan seolah ingin menggapainya. "Tidak bisa tidur..." ia menjawab pendek, dengan nada suara tak acuh.

Keduanya diam. Hening... Naruto tetap menatap langit. Sebaliknya, Hinata malah menunduk menatap rajutannya yang ia genggam di atas pahanya itu. Ia juga bersyukur, Naruto tidak menanyakan bahwa ia sedang merajut apa. Karena rajutan itu sebenarnya ditujukan pada lelaki itu, dan Hinata tak ingin Naruto mengetahuinya sampai rajutan itu selesai. Tapi jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam... gadis itu ingin Naruto menanyakannya. Hinata ingin Naruto peduli padanya, meski sedikit saja. Sayangnya pemuda itu hanya bersikap tak peduli, membuat gadis itu sedikit tersinggung. Tapi memang, mau bagaimana lagi, jika kita sudah menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai?

Angin malam itu terasa begitu dingin, seolah menusuk tulang Hinata yang hanya mengenakan pakaian piyama tipis itu.

"Unghh," ia bergumam lirih, sambil mengelus-elus pergelangan tangannya mengusir kedinginan.

Naruto menatapnya. "Kau kedinginan?"

Hinata hanya mengangguk, sambil sesekali menghembus telapak tangannya. Ia ingin segera masuk, tapi tak enak pada Naruto. Masa ia meninggalkan suaminya sendirian di taman?

Mata Hinata membulat, begitu merasakan kehangatan menyeruak di tubuhnya, ketika mantel Naruto menyelimutinya dari belakang. Ditatapnya pemuda itu dengan tidak percaya. Jantungya berpacu cepat. Sejak dulu Naruto memang selalu membuatnya berdebar-debar.

"Kau keluar tidak membawa jaket. Nekat juga..." kata Naruto kegelian.

Hinata tersipu. "Maaf..."

"Untuk apa?"

"Aku sudah merepotkanmu," gadis itu berucap dengan nada lirih. Ia semakin meringkuk di balik mantel Naruto yang hangat. Aroma Naruto yang bercampur pada mantel itu tercium oleh Hinata. Jika dulu Naruto beraroma mint yang bercapur dengan aroma ramen, sekarang harum farfum, aroma mint, serta maskulinlah yang dapat gadis itu cium. Harum sekali.

Naruto mengernyit. Sejak apa gadis itu merepotkannya? "Kau itu memang aneh yah," dengan kejamnya ia berucap.

Hinata bisa memakluminya. Sejak dulu Naruto memang type yang selalu berterus terang. Bohong pun pasti akan langsung ketahuan. Pemuda itu memang begitu mengagumkan di mata Hinata. bahkan dimata para gadis. Hanya saja, wanita lainnya mengagumi Naruto, dan menginginkan pemuda itu. Sedangkan Hinata menginginkan kebahagiaan Naruto. Ia ingin Naruto bahagia. Karena itulah hatinya sangat sakit, begitu mereka menikah. Mimpinya untuk membahagiakan Naruto sirna seketika. Gadis itu memang sudah tahu, bahwa ia tak akan pernah bisa mengukir senyuman penuh arti di wajah naruto. Bagaikan hendak memahat patung permata, hanya dengan tangan kosong,

Sesekali Naruto melirik pada Hinata. Rambut indigonya yang terurai menutup sebelah wajahnya. Apalagi saat ini gadis itu tengah menunduk. Dulu ia memang mengagumi kecantikan Hinata, juga sifat lembutnya. Entah mengapa saat bersama Hinata, Naruto merasa nyaman. Reaksi jika gadis itu terkejut, malu, atau apa pun yang membuat pipinya memerah benar-benar menggemaskan. Naruto sampai heran, kenapa gadis itu tak mempunyai pacar? Jawabannya ialah karena hanya dirinyalah yang dicintai Hinata. Disukai oleh gadis seperti Hyuuga Hinata memang membawa kebanggaan besar baginya. Namun Naruto berpikir panjang. Ia tak mungkin berpacaran pada gadis yang tidak menarik seperti Hinata... benar-benar pikiran yang brengsek!

Naruto jadi teringat masa lalu. Dimana Hinata selalu membantunya dengan senyuman penuh arti. Mungkin ia harus belajar mencintai gadis itu...

"Ya sudah! Ayo masuk!" ajak Naruto seraya berdiri, mengulurkan tangannya pada Hinata.

Hinata tersontak kaget. Ditatapnya wajah dan tangan Naruto secara bergantian. Gadis itu tahu maksud dari Naruto. Sejenak ia menggenggam tangan kanannya dengan ragu, dan akhirnya ia menyambut uluran tangan itu.

Kehangatan menyeruak di telapak tangan mereka masing-masing...

.

.

.

~TO BE CONTINUED~

.

"Aaaakkhh! Dasar guru gila! Masa hanya karena tertidur di kelas harus membersihkan toilet seperti ini!" Naruto dengan seragam sekolahnya yang berantakan menggerutu kesal, seraya mengepel lantai itu dengan asal-asalan.

Ia mengutuk dirinya sendiri, telah tertidur di kelas saat pelajaran Biologi oleh Anko, salah satu guru terkejam yang ada di sekolahnya. Semalam ia memang pergi ke club, bersama seorang gadis dan malah lupa waktu untuk pulang. Untunglah saat itu orang tuanya sedang tidak di rumah, membebaskan Naruto dari omelan panjang lebar ibunya. Selain itu hari ini ia ada janji kencan pada pacarnya! Bisa-bisa pacarnya itumarah besar, dan bunyi 'plak' lah yang terdengar.

"Naruto-kun...?" pemuda itu menoleh dengan malas, begitu mendengar suara yang begitu lembut nan indah. Dilihatnya seorang gadis berambut indigo yang dikuncir ekor kuda, mengenakan seragam sekolah yang sama dengan milik Naruto.

"Hinata? apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak pulang?"

Gadis itu nampak menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya. Kedua jari telunjuknya berkutat gugup. "Aku mau membantumu, Naruto-kun..."

Naruto menaikkan sebelah alisnya, bingun dengan tingkah Hinata. Hingga akhirnya ia tertawa kecil. "Sudahlah! Pekerjaan ini berat! Sebaiknya kau pulang saja duluan!"

Hinata menggeleng cepat. "Aku ingin membantumu Naruto-kun. Nanti kau terlambat pulang..." ia berkata dengan memasang tampang memelas, seolah ialah yang meminta tolong.

"Kenapa kau ingin membantuku?"

Gadis itu tersentak kaget mendengar pertanyaan Naruto. Ia kembali memainkan jemarinya, melirik ke arah lain. Berusaha mencari alasan yang tepat. "Aaku hanya ingin membantumu... sebagai... teman..."

Cengiran mengembang di wajah Naruto. Langsung saja ia mendekati gadis itu dengan penuh semangat. Jika tidak ingat sepupu Hinata Hyuuga Neji, dan ayah gadis itu yang super galak, sudah pasti ia langsung memeluk Hinata dengan erat, tanpa harus menerima pukulan dari ketua klub karate di sekolahnya, beserta mendapatkan tuntutan dari pihak kepolisian.

"Kalau begitu aku mau pergi dulu yah! Ada janji dengan Ino-chan!"

Senyuman langsung menghilang di wajah Hinata. Padahal Hinata ingin bersama dengan naruto. Tapi kenapa pemuda itu malah ingin pergi meninggalkannya? Rasa nyeri menyerang hati Hinata. Hinata ingin berkata, tapi melihat wajah penuh harap oleh Naruto membuatnya tak tega.

Rasa sakit di hatinya samakin menjadi-jadi, begitu ia akhirnya mengukir senyuman manis, yang dibuat-buat. Gadis itu berusaha menutupi rasa sedihnya. "Tentu saja! Ganbatte ya Naruto-kun!"

Naruto mengangguk penuh semangat. Langsung saja ia menggenggam tangan Hinata dengan ceria. "Makasih yah Hinata! kau memang teman terbaik sedunia! Ya sudah aku pergi dulu yah! Besok kau kutraktir deh!"

Hinata menatap kepergian Naruto yang semakin jauh dengan sendu. Tak pernahkah lelaki itu membaca perasaan Hinata? Mengapa gadis itu yang selalu berkorban?

Gadis itu segera menyeka air matanya yang hendak keluar, dan memulai untuk mengepel lantai toilet itu... sendirian...

...

A/N :

Aaaahh! Akhirnya fic ini selesai jugaaaa! Rasanya lega banget, sekaligus senang! Soalnya Natsu udah kembali aktif di fandom Naruto^^

Yosh! Makasih buat para readers yang udah nyempetin diri buat ngebaca fic gaje ini! sekarang, bolehkah Natsu minta review anda sekalian

Baik itu kritik, saran, bahkan flame sekalipun, Natsu terima dengan lapang dada!^^

Akhir kata, raview please... *puppy eyes no jutsuu*

.

NATSU HIRU CHAN