Title: The End

Summary: Padahal, kalau di neraka, bagaimana bisa bahagia?

Pairing: Err… Izaya/Shizuka? Saia ga bikin romance kali ini, jadi ga terlalu ada pairing-nya.

Rate: T aja. =v=

Disclaimer: Sampai nanti saia jadi millionaire juga, Narita Ryohgo-sensei ga mungkin rela nyerahin durarara! ke saia.

Bacotan: Akhirnya apdeeet~! *nangis bahagia*

Okeh, enjoy~! :D


"Izaya," akhirnya panggilan dari Shizuka memecah kesunyian yang ada di kamar itu. Izaya mendongak dan memandang Shizuka dengan khawatir.

"Kenapa? Kepalamu sakit lagi? Sesak napas? Apa kau mau kupanggilkan dok—"

"Tidak, aku baik-baik saja. Eh, tidak juga sih. Maksudku, badanku baik-baik saja, tapi… ya, kau mengerti lah. Aku boleh minta tolong?" tanyanya. Izaya mengangguk. "Aku mau pinjam laptopmu yang tidak terpakai."

"Untuk?"

"Aku sudah tiga tahun tidak bangun dan aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Boleh, kan?"

"Sebenarnya, tidak banyak yang berubah sih. Tapi kubawakan deh, besok."

"Terima kasih."

Terdengar ketukan kecil dari arah pintu dan Tsukishima berlari masuk bersama dengan Hibiya dan Roppi. "Nee-chan," panggilnya senang begitu melihat kakaknya sudah bisa duduk.

"Hey, kalian terlihat jauh lebih besar dibanding terakhir kali aku melihat kalian," ujar Shizuka sambil tersenyum pada adik-adiknya. "Mana Delic dan Tsugaru? Ah, Psyche juga tidak kelihatan."

"Ah, Tsugaru dan Psyche masih harus ikut kursus bahasa isyarat. Mereka masih belum terlalu lancar," jawab Tsukishima cepat. Wajahnya tiba-tiba terlihat tegang dan suasana di kamar itu tiba-tiba menjadi berat ketika tidak ada lagi yang berbicara selain Shizuka.

"Lalu, Delic? Apa dia menemani Tsugaru dan Psyche?"

Semuanya masih tidak menjawab sampai Izaya akhirnya melihat jam dan berseru, "Wah, sudah jam segini. Jam besuknya sudah selesai. Kami sebaiknya pulang sekarang, dan kau banyak-banyak istirahat, ya?"

"Eh? Aku belum ngobrol dengan—"

"Ya? Dadah, Shizu-chan~!"

Dan Shizuka ditinggal sendirian tanpa tahu apa maksud dari tingkah laku aneh Izaya dan adik-adiknya.


Semuanya berakhir begitu saja; penyiksaan terhadap adik-adikku, paksaan-paksaan darinya, pukulan ketika kami tidak menurut…

Semuanya hilang seakan tanpa bekas kecuali sisa-sisa bekas kekerasan yang dia lakukan pada kami.

Kami tidak merasa kehilangan. Dia memang lebih baik menghilang saja.

Tapi, sebenarnya aku tahu alasan dia menghilang.

Sampai sekarang pun, aku masih bisa mengingat teriakannya ketika aku perlahan-lahan melepas simpul benang merah pada boneka jerami di hadapannya.


"Baiklah, dia baru sadar beberapa hari dan aku tidak tahu aku harus bilang apa tentang Delic."

Tsugaru menarik telapak tangan Izaya dan mengetukkan ujung jarinya beberapa kali.

"Be-ri-ta-hu-kan… si—eh? Bukan? Sa-ja? Beritahukan saja? Yang se-be-nar-nya. Astaga, Tsugaru. Dia bisa langsung bangun dan lompat dari atap untuk menyusul Delic kalau begitu caranya."

Beberapa ketukan lagi ditambah sebuah tatapan 'mau bagaimana lagi' dari Tsugaru.

"Ya… kita bisa berbohong?"

'Kebohongan tidak akan bisa tahan lama.'

Izaya merasa kesal karena tidak bisa menemukan solusi yang tepat. Dia melempar buku di tangannya yang satu sambil mengacak-acak rambutnya dan berkata, "Aku tidak mungkin berkata padanya 'Selamat, Delic-kun mati bunuh diri lompat dari atap sekolahnya karena dia dikatai anak pembawa sial di sekolahnya~! ' dan habis itu pergi meninggalkan Shizu-chan depresi!"

Dia mencoba untuk menenangkan diri agar Tsugaru tidak menangis karena takut melihatnya. "Maaf, aku hanya… ya… kurasa, kau ada benarnya. Mungkin, kita beritahu saja apa yang terjadi pada Delic sambil berharap dia tidak akan bunuh diri."

Tsugaru mengangguk sambil memandang Izaya yang terlihat semakin depresi, mungkin lebih depresi dari Shizuka yang sekarang sedang berada di rumah sakit tanpa tahu keadaan di luar sini.


"Apa?"

"Ya… dia sudah meninggal."

Izaya hanya berharap Shizuka tidak akan berlari ke jendela dan melompat dari sana. "Maaf aku baru memberitahumu sekarang. Tapi… aku takut kau akan depresi dan malah mencoba untuk bunuh diri."

Di luar dugaan, Shizuka malah hanya tersenyum pahit. "Kalau sudah begini… mau dibagaimanakan lagi, kan?"

Izaya merasa tidak enak. Dia langsung pulang setelah memberikan laptopnya pada Shizuka untuk dipakai.

Setelah Izaya melangkah keluar dan pintu telah tertutup rapat, Shizuka langsung menyalakan laptop itu dan juga koneksi internet wireless-nya yang ternyata sudah di-set sebelumnya oleh Izaya.

Jam baru menunjukkan pukul enam sore. Dia masih punya waktu enam jam lagi untuk memutuskan apa dia sebaiknya membuka situs ini lagi.

Dia masih tetap mengingat gadis bermata merah dengan rambut sehitam malam itu. Gadis yang pernah menyerahkan padanya sebuah boneka jerami dengan seutas benang merah pada lehernya.

Dia coba untuk menenangkan diri dan mengingat-ingat apa yang terjadi padanya karena rasa cemburu dari pemuda satu itu. Tsugaru kehilangan suara, Roppi sebelah kehilangan tangan, Tsukishima kehilangan sebelah matanya, Psyche kehilangan setengah pendengarannya, Hibiya nyaris mati terbakar, dan Delic… kehilangan nyawanya.

Mungkin dia bisa saja berpura-pura tenang di hadapan Izaya agar pemuda itu tidak khawatir. Tapi dia tidak bisa berpura-pura untuk tidak membenci Harue.

Sepertinya jawabannya sudah absolut. Akan dia tunggu jam dua belas tengah malam dengan tidak sabar.

Harue… akan kuambil semuanya darimu!


Harue memutuskan untuk kembali ke Ikebukuro setelah tiga tahun meninggalkan kota itu. Mungkin, kali ini Shizuka akan sadar bahwa dialah yang pantas untuk mendapatkan gadis itu, bukannya Izaya. Apalagi setelah Izaya yang seharusnya bisa mencegah Delic mati tidak sanggup untuk menjaga anak itu.

Dia berjalan menyusuri jalan menuju rumah sakit. Semakin lama dia berjalan semakin sedikit orang-orang yang berlalu lalang, padahal sekarang sudah tengah malam, biasanya kota ini kehidupan malamnya lebih semarak lagi. Kenapa begitu sepi?

Dia tidak sengaja menabrak seorang remaja yang langsung menunduk minta maaf. Tapi, sebagai seseorang dengan ego yang tinggi, dia tidak bisa membiarkan anak itu begitu saja. Dia mencengkram kerah kemeja merah muda bergaris hitam milik si remaja dan dia paksa untuk menatap wajahnya. "Kau sebaiknya lihat-lihat kalau berjalan!" bentaknya. Dia tidak bisa melihat mata anak remaja itu karena wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang berwarna pirang.

"Ma-maaf… tapi, jangan guncang-guncang aku terlalu keras…"

"Apa kau bilang?" bentaknya lagi sambil mengguncang anak itu lebih keras.

"Ah, kepalaku sakit! Jangan guncang-guncang aku, nanti…"

Anak itu tidak melanjutkan kalimatnya ketika kepalanya tiba-tiba saja lepas dan berguling ke aspal yang dingin. Darah mengalir dari lehernya yang putus dengan tidak rata, mengalir membasahi tangan Harue yang sepertinya terlalu kaku untuk refleks melepaskan kerah yang masih dia cengkram. Tubuh itu bergerak-gerak meronta dan terjatuh ke aspal. Tangannya juga lepas dari bahu, dengan darah mengalir dari mana-mana.

"Kan, sudah kubilang, jangan guncang aku terlallu keras," terdengar suara dari dekat kakinya. Harue memandang ke bawah dan melihat wajah yang sangat dia kenal memandangnya dengan seringai jahat dan mata magenta yang berkilau jahil, serta jahat.

Harue segera berlari dari sana, tetapi, semakin dia berlari, semakin tidak dia mengenali tempat dia berpijak. Semuanya seperti jalan di tengah gurun yang berbatu-batu pada tengah malam, hanya saja, tanpa ada mobil ataupun motor yang melintas. Hanya ada di seorang anak remaja dengan baju setelan rapi kemeja merah muda bergaris hitam dengan celana panjang dan jas putih yang ada di hadapannya. Dan tidak lagi terpisah-pissah anggota badannya.

"Kau… kau sudah mati dua tahun lalu!"

"Lalu? Kau juga akan mati sekarang," balas anak bernama Delic itu dengan sebuah seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba-tiba saja, Delic tidak lagi di hadapannya, tapi suaranya berasal dari belakang. "Kau setuju, kan, Tsugaru?"

Ketika dia berbalik, Delic sudah tidak lagi sendiri. Dia berdiri dengan seorang anak kecil berkimono biru dengan leher dan baju berlumuran darah.

Tsugaru mengetuk-ngetuk ujung jarinya pada telapak tangan Delic. "Apa itu, Tsugaru? Tu-suk-le-her-nya? Tusuk lehernya? Baiklah~!"

Ketika Delic tiba-tiba saja siap menusuk lehernya dengan pisau yang entah darimana datangnya, Tsugaru menahan tangan kakaknya itu.

"Eh? Bukan? Baiklah, kita ulangi. Tu-suk-le-her-nya-o-leh-ku. Kau yang akan menusuk lehernya?" lagi-lagi, Delic sudah muncul di belakangnya. "Baiklah, Tsu-chan, sesukamu saja~!"

Kedua lengan kecil seorang anak remaja yang seharusnya tidak bisa menahannya membuatnya terbaring di aspal dingin baru saja membuatnya trejatuh dan tidak bisa bergerak.

"Ayo, Tsu-chan. Silakan~!" sahut Delic dengan suara yang ceria, seakan dia sedang akan bermain.

Entah darimana datangnya pisau besar yang sekarang digenggam oleh Tsugaru.

Pisau itu dengan gampangnya menembus lehernya berkali-kali. Rasanya sakit sekali sampai-sampai dia berteriak. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya darah hangat yang terasa anyir yang mengalir kemana-mana.

Tsugaru menyeringai lebar melihatnya meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Sekali lagi, anak itu mengangkat pisaunya ke udara. Harue menutup matanya erat-erat.

Tidak ada yang terjadi ketika dia akhirnya membuka matanya kembali. Dia hanya terbaring di atas hamparan rumput entah dimana. Lehernya tidak terasa sakit dan tidak berdarah. Dia masih bisa mengeluarkan suara. Dan dia tidak tahu tempat ini ada di sebelah mananya Ikebukuro. Sepertinya dia tersesat, ketiduran, dan mimpi buruk.

Ya, setidaknya, tidak ada seorang anak kecl pirang bermata biru yang sedang mencoba menebas lehernya disini.

Itu yang dia kira ketika dia mencoba berdiri dari posisi duduknya.

Terlihat Tsugaru sedang bermain dia sungai yang entah kenapa bisa tiba-tiba ada di dekatnya. Tsugaru dengan terampilnya menusuk-nusukkan pisaunya ke dalam air untuk menikam setiap ikan tidak beruntung yang berenang di dekat dia menunggu.

Lalu terdengar suara Delic lagi. "Harue-san sudah bangun?"

Tsugaru langsung berlari menghampirinya dengan seringainya yang lebar.

Pisau yang sama di tangannya, berlumuran dengan darah merah yang mulai mengering dan berubah warna menjadi kecoklatan.

"Ah, Tsugaru, kau sudah cukup. Gantian denganku, ya?"

Muncul Roppi dari belakangnya. Kedua tangan anak itu masih utuh, tidak seperti terakhir kali Harue melihatnya.

"Eh? Aku mau duluan!" terdengar suara Hibiya yang manja. Tidak ada luka bakar setitik pun pada kulitnya ketika dia berdiri di hadapan Harue.

"Kita sama-sama saja, bagaimana?" kali ini muncul Tsukishima dengan mata yang terkoyak.

"Ya, Tsuki-chan pintar. Begitu saja," kali ini Delic yang bersuara.

Mereka semua berdiri mengelilinginya. Semuanya, kecuali Delic, dengan sebuah pisau besar berlumuran darah.

Tsugaru lagi-lagi menikam lehernya berkali-kali. Lalu Hibiya menyayat kulitnya sampai berdarah dan membakar luka-lukanya sambil tertawa riang. Roppi menghujamkan pisaunya berkali-kali ke bahunya, lalu menarik lengannya sampai terpisah dari tubuhnya. Tsukishima dengan senyum manisnya menusuk-nusuk matanya dengan pisau ditangannya.

Dia tidak punya waktu untuk berteriak. Dia mencoba untuk bangkit dan lari menjauh, tetapi tangan-tangan kecil menahannya untuk tetap terbaring. Mereka semua terus menghujamkan pisau besar di tangan mereka sambil tertawa senang.

Lalu ketika Delic bersiul kencang, mereka semua berhenti sesaat.

"Kalian ini, setidaknya sisakan juga sedikit untuk Psyche."

Ketika anak-anak di atasnya terdiam, dia langsung mencoba untuk kabur dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Die terus berlari menjauh dari suara teriakan-teriakan marah yang menyuruhnya untuk kembali disiksa. Dengan enggan, dia menoleh ke belakang dan tiba-tiba tersandung karena tidak melihat jalan.

Padang yang seharusnya berupa hamparan rumput sekarang berubah menjadi tempat yang berpasir. Pasir-pasir itu melekat dan menambah perih di lukanya.

Harue terus terguling menuruni bukit berpasir itu dan akhirnya terlempar begitu saja ke ujung tebing yang tidak seharusnya ada di tempat seperti ini.

Dia berpegangan erat pada bibir tebing, mencoba untuk tidak terjatuh ke dasar tebing yang ternyata dipenuhi oleh api.

Delic berdiri di dekat tangannya. "Aih, aih, Harue-san. Kenapa harus berlari seperi itu, sih? Kami kan, hanya ingin bermain denganmu. Ya, kan, Psyche-tan?"

Sekarang Psyche terlihat sedang bermain dengan sebuah ranting kecil di bibir tebing, agak jauh dari tempatnya bergelantung mencoba untuk selamat.

"Psyche-tan! Aku memanggilmu!"

Psyche tetap tidak menoleh dan tetap bermain dengan rantingnya. Dia mengorek-ngorek sesuatu di tanah sambil menyanyi-nyanyi kecil.

"Katte ureshii hana ichi monme, ano ko ga hoshii, soudan shiyou…"

Ketika diperhatikan lebih baik, dia sedang menusuk-nusuk sebuah bola mata dengan ranting di tangannya.

"Ahahaha, selamat tinggal, Harue-san~!" ujar Delic sambil berbalik meninggalkannya sendirian dengan Psyche yang masih sibuk bermain dengan bola mata yang sekarang sudah agak rusak.

"Tunggu! Jangan biarkan kau mati! Hei!" teriaknya mencoba untuk menghentikan Delic. Dan dia sadar bahwa walaupun lehernya luka, berdarah dan perih, dia masih bisa berbicara.

Delic berhenti dan berbalik lagi. "Aduh… kalau kau minta padaku sih, aku tetap tidak bisa menolongmu. Coba saja minta tolong sama Psyche-tan. Biasanya dia gampang memaafkan. Mungkin dia mau menolongmu."

"H-hei…"

"Lagian… ini kan, gilirannya."

Dengan itu, Delic pergi dan benar-benar meninggalkannya.

"Psyche! Hei! Psyche!" dengan putus asa dia memanggil anak berambut hitam itu.

Psyche menoleh. "Ah, kukira siapa yang memanggil~! Ternyata Haru-chan~!" ujarnya sambil tersenyum lebar dan berlari mendekati Harue.

"Psyche, tolong aku!"

"Eh? Kenapa? Tidak kedengaran."

"Cepat, tarik aku dari sini! Aku tidak mau jatuh!"

"Oh, begitukah? Baiklah~!" balas Psyche sambil menginjak tangan Harue yang sudah sakit karena luka dan tertarik oleh beban berat badannya sendiri.

"He-hentikan! Apa yang kau lakukan?"

"Kan, tadi Haru-chan minta untuk dijatuhkan~!" jawab Psyche sambil sekali lagi menginjak tangannya dengan keras.

Jemarinya mungkin patah karena dia tiba-tiba saja tidak bisa lagi menahan agar tubuhnya tidak jatuh. Dengan sebuah teriakan panjang, dia terjatuh ke dalam jilatan api yang langsung membakarnya hidup-hidup.

Terdengar sebuah suara yang asing baginya. "JIwa jahat yang membuat orang lain menderita karena dirimu, menyiksa orang lain dengan rasa cemburumu, menghhilangkan nyawa orang lain karena keinginamu…

"Kau… mau kuperlihatkan kematian?"

Dia menutup matanya.

Ketika dia kembali membuka matanya, dia sudah berada di sebuah perahu yang dikayuh oleh seorang gadis berambut hitam dengan mata semerah darah dan kimono hitam bercorak bunga lili laba-laba berwarna merah.

"N-nona… cepat bawa aku kembali! Kemana kau akan membawaku? Jawab!" teriaknya. Gadis itu tidak menghiraukannya. Dia terus berteriak sampai darah kembali mengalir dari luka-luka di sekujur tubuhnya.

Gadis itu tetap bergeming dan mendayung perahu itu dengan pelan. Ketika mulut gadis itu terbuka, hanya ada satu kalimat yang dia dengar dengan suara yang asing tetapi familiar; "Rasa benci ini, akan membawamu ke neraka…"


Shizuka tertawa kecil sambil menatap benang merah di tangannya. Setelah sebelumnya gagal menarik benang itu dulu sekali, kali ini dia berhasil.

Ketika dia menatap dadanya yang agak terbuka, terlihat sebuah tanda kecil berwarna hitam disana.


"Shizu-chan, kau bangun?" terdengar suara Izaya.

Shizuka langsung duduk dan menatap pemuda berambut hitam yang sekarang sedang berdiri di pintu masuk ke kamarnya.

"Selamat sore, Izaya."

Mereka berdua mengobrol cukup lama sampai akhirnya Izaya memegang tangannya dengan erat. "Shizu-chan… sebenarnya, aku ingin bertanya ini dari dulu."

"Ya?"

"Kau… mau menikah denganku?"

Shizuka tertegun. Dadanya langsung terasa panas dan sedikit sesak. Dia senang sekali Izaya bertanya seperti itu.

Tapi sayangnya dia harus menolak. "Maaf, Izaya. Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Aku mungkin hanya akan menyusahkanmu," jawabnya dengan alasan yang dia karang. Sebenarnya, dia hanya tidak mau Izaya mengetahui fakta bahwa dia sekarang sudah dikutuk untuk masuk neraka.

Izaya tertunduk lemas, tapi dia tetap tersenyum. "Ya sudah, kalau begitu. Aku pulang dulu, Shizu-chan."

Shizuka menatap punggung Izaya yang agak bergetar ketika pemuda itu berbalik dan berjalan menjauhinya.

Ketika Izaya keluar dan pintu tertutup, Shizuka memandang gelas kaca di sampingnya. Dia ambil gelas itu dan dia gulung dengan selimutnya. Dengan sekali tekan, gelas itu kini hanyalah berupa serpihan-serpihan tajam kaca. Dia ambil serpihan terbesar dan dia goreskan pada pergelangan tangannya sambil berharap semuanya akan baik-baik saja untuk adik-adiknya dan untuk Izaya.

Dan dia teringat, ketika dulu sekali dia akan menarik benang merah pada boneka jerami di tangannya, gadis yang sama dengan yang memberikannya boneka itu datang ke hadapannya dan mengambil boneka itu.

"Kau tidak lagi membutuhkannya…"

Padahal, dia butuh sekali untuk mengirim orang yang telah menyiksa Izaya ke dalam neraka.

Tapi, ya sudahlah…


Izaya berjalan sambil menatap ujung sepatunya. Dia tertawa pahit mengingat dirinya ditolak oleh Shizuka.

"Kau juga, ya, ternyata…" gumamnya sambil menarik sedikit kerah bajunya dan menatap dadanya. Sebuah tanda berwarna hitam menodai kulitnya yang berwarna putih pucat. Dia tahu alasan sebenarnya Shizuka menolak dirinya, hanya saja dia merasa dia sebaiknya diam dan pura-pura saja.

Dia terus berjalan sambil mengingat-ingat ketika dia membuat keputusan terbesar dalam hidupnya.

Mengirimkan ayah tirinya ke neraka.


"Izaya! Kau dimana? Cepat kemari!"

Aku tetap bersembunyi di dalam lemari sambil berharap dia tidak akan mencariku di dalam sini. Akumuak dengan tangannya yang terus menyentuhku dan mengoyak harga diriku.

Aku muak melihat wajahnya.

Aku muak mendengar suaranya.

Aku muak!

Kukeluarkan boneka jerami yang selalu kusimpan sejak bulan lalu di dalam kantong jaketku dan kugenggam erat-erat boneka itu.

Ketika pintu lemari terbuka dan dia menyeretku keluar, aku meronta-ronta mencoba melepaskan diriku. Dia tertawa dan membantingku ke lantai dan terus memojokkanku ke sudut ruangan.

"Menjauh dariku!" jeritku sambil menyiapkan diriku.

Dia tetap mendekat dengan seringainya yang menjijikan.

Ketika dia sekali lagi menyentuhku, aku menarik benang merah di leher boneka jeramiku dan dia mulai meghilang.

Yang bisa kuingat darinya hanyalah teriakannya yang terus terdengar sampai ketika akhirnya dia benar-benar menghilang.


Sambil menghela napas, Izaya memutuskan untuk berjalan memutar saja supaya dia bisa sedikit melupakan rasa kecewanya karena ditolak.

Dia perhatikan semua orang-orang yang ada di sekelilingnya. Termasuk orang dengan sebuah pistol di tangannya yang tidak sengaja tertangkap oleh matanya. Orang itu mengancam seorang wanita untuk memberikannya uang atau dia akan menembak anak wanita itu.

Dia langsung menerjang dan menahan orang itu. Tanpa dia sadari, laras pistol berwarna hitam itu terarah ke dadanya dan tiba-tiba saja hanya sebuah suara tembakan yang bisa dia dengar.

Izaya terjatuh ke lantai yang dingin dengan sebuah lubang di dadanya.

Orang-orang langsung ribut dan beberapa mencoba untuk memanggil ambulans.

Tapi semuanya terlambat.


Shizuka membuka matanya dan dia sedang duduk di dalam sebuah perahu yang didayung oleh seorang gadis berambut hitam panjang.

Di sampingnya, yang membuat dia bahagia, duduk Izaya dengan senyumnya yang selalu terlihat menawan. "Ya, Shizu-chan."

Shizuka tersenyum lebar sambil memeluk lengan Izaya. Dia tidak peduli bagaimana Izaya bisa sampai disini. Pokoknya, dia senang dia akan menghabiskan selamanya di neraka dengan Izaya.

Mereka berdua terus seperti itu sepanjang jalan menuju neraka. Suara lembut gadis neraka yang mendayung perlahan perahu itu tidak terlalu mereka hiraukan; "Ketika satu orang dikutuk, dua kubur yang akan tergali."


"Tsu-chan! Tunggu dulu!" Psyche berteriak sambil terus berlari mengejar Tsugaru yang berlari dengan cepat.

Tsugaru berhenti dan mengisyaratkan Psyche untuk cepat-cepat.

Akhirnya mereka sampai ke dua buah nisan yang berdampingan, nisan milik Izaya dan Shizuka.

Tsugaru menatap Psyche.

"Iya, iya. Habis dari sini, kita kunjungi makam Delic. Sekarang, kita tunggu Roppi dan Tsuki dulu."

Beberapa ketukan terasa di telapak tangan Psyche. "Oh, iya. Habis dari sini, kita jemput Hibiya dari sekolah, kan?"

Tsugaru mengangguk senang. Dia langsung bersimpuh di makam Shizuka dan mengetuk nisannya beberapa kali.

'Kami baik-baik saja disini.'

'Nee-chan dan Nii-chan juga disana baik-baik saja, kan?'

Psyche tersenyum melihat Tsugaru.

Ya, untuk sekarang, mereka baik-baik saja.


END


Huwah~! Udah lama ga apdet~! Dan udah lama ga baca penpik! Saia ga punya waktu! OAO

Ihiks… sekolah merepotkan! Repot, repot, repot!

Duh… makasih yang udah ripiu ini cerita; Narin kimi chan, syalalamu alias Amusuk, hanashinjiteru, dan Freir. Makasih banyak, makasih banyak. Maaf kalo saia lupa naro makasih-makasihnya di chappie sebelumnya. == Dan maaph kalo ada yang belum saia kirirmin reply dari ripiunya… saia bener-bener kehabisan waktu.

Makasih udah mantengin ni cerita sampe sini~! Minta ripiunya lagi, ya? *puppy eyes*

Salam ikan asin~! :D