Disclaimer : If I own durarara! Shizuo and Izaya would've been married now. Durarara is Ryohgo Narita's~

.

HEAVEN KNOWS

Chapter 1 : Meet and Moonlight

-By kiriohisagi-

.

"Selamat Izaya!" pekikan bersahut-sahutan terdengar begitu Izaya membuka pintu rumahnya. Izaya yang tidak menyangka akan diteriaki segitu kerasnya buru-buru menutup telinga dengan sebelah tangan.

Malam ini dia sudah terlalu capek. Bayangkan saja, dia baru pulang dari tes percobaan masuk universitas dan begitu pulang dia disambut dengan heboh seperti ini?

Izaya menghela nafas, dia memutar bola matanya dan mulai memandangi satu demi satu manusia yang ada di ruang tamu rumahnya yang sudah disulap sedemikian rupa menjadi ruang pesta. Ada Ayahnya, Ibunya, adik kembarnya Mairu dan Kururi, seluruh pelayannya, dan juga para undangan.

Dan para undangan ini… tunggu, mereka mulai mengerubungi Izaya.

"Wahh, akhirnya tokoh utama kita datang," kata tante-tante yang memakai kalung emas dileher sambil memeluk kepala Izaya dengan paksa.

Izaya tertawa kaku dengan wajah tidak nyaman. Dia tahu tante-tante itu adalah teman orang tuanya, tapi Izaya malas untuk mengingat namanya. Dengan senyum sopan dia melepas pelukan tante-tante itu dan berjalan kikuk ke tengah ruangan. Disitulah tempat Ayah, Ibu, serta dua adik kembarnya sedang berdiri dengan kue manis berhias lilin berjumlah 16.

Dari suara nyanyian Happy Birthday yang bersahutan di seluruh penjuru ruangan, barulah Izaya sadar apa maksud gegap-gempita yang menyambutnya ini. Rupanya, ini adalah pesta kejutan ulang tahunnya.

Dan hanya ada satu kata yang menggambarkannya. Elegan. Pesta kejutan ulang tahunnya yang ke-16 ini sangat elegan. Jadi, walaupun seluruh tubuhnya sangat lelah, Izaya memaksakan diri untuk tersenyum. Memaksakan telinganya mendengarkan nyanyian Ulang Tahun yang mengalun sampai selesai, lalu kemudian meniup ke-16 lilin yang berdiri diatas kue yang dibawa Ibunya dengan khidmat.

Tepuk tangan bergemuruh diseluruh penjuru ruang tamunya yang luas. Ayah dan Ibunya bergantian memeluk Izaya dengan senyum.

"Ini putra saya," suara Ayah Izaya terdengar amat bangga saat berbicara dengan para tamu undangan sesaat setelah melepaskan pelukan kakunya pada Izaya. Izaya hanya menggaruk kepalanya. Masalahnya, yang ada dipikirannya sekarang cuma : GANTI BAJU! Dia sudah gerah amit-amit!

Beberapa menatap Izaya dengan decak kagum, beberapa hanya manggut-manggut. Izaya kembali memaksa senyumnya.

"Anda benar-benar diberkati mempunyai anak secakap Izaya, Prof. Masih 16 tahun sudah bisa lulus SMA, ikut kelas akselerasi juga," seorang tamu undangan berkata membuat Ayah Izaya makin melebarkan senyumnya.

"Dengan umur semuda itu sudah bisa tes masuk Universitas, memang betul-betul anak professor." kata yang lainnya. Dan setelah itu, Izaya terpaksa harus melayani pujian-pujian lainnya. Beberapa pujian lagi terpaksa dia dengar sambil minum es cappuccino, sampai dari sudut matanya, dia melihat Ayahnya sedang berbincang-bincang dengan seseorang.

Pejabat Pemerintahan. Mentri IT dan Telekomunikasi, kalau Izaya tidak salah. Tapi yang paling penting dari semua itu adalah… apa yang orang sepenting itu lakukan di pestanya? Di kota kecil tempat Izaya tinggal ini?

Tapi Izaya tidak terlalu ambil pusing. Dia buru-buru meletakkan kembali gelas yang tadi diambilnya dan bermaksud akan kabur. Serius, Izaya bahkan sudah melangkahkan kaki kanannya ke anak tangga, hendak ke kamarnya untuk mandi ketika—

"Ah, itu putra anda."

Oh Hell! Izaya mengumpat. Dia berbalik dan menemukan pejabat pemerintahan yang sedetik lalu masih berbicara dengan Ayahnya, kini sedang melihatnya. Izaya, sebagai laki-laki yang cukup cerdas, merasa perlu untuk setidaknya tersenyum. Sialnya, Ayahnya menyuruhnya untuk mendekat dengan isyarat tangannya.

Jadi disinilah Izaya, terjebak lagi untuk melayani pembicaraan tidak penting.

"Izaya, Ini teman Ayah. Heiwajima Soujiro. Menteri IT dan Komunikasi," kata Ayahnya pada Izaya. Ya, ya. Apapun lah. Izaya mengangguk sopan sambil memasang fake-smile nya.

"Ah, terimakasih anda suda mau datang ke pesta kecil ini," sahut Izaya, menjaga suaranya agar tetap merendah. Heiwajima Soujiro, laki-laki berusia sekitar 40 tahunan ini, malah tertawa berderai. Uh, ada yang lucu kah?

"Sudah kewajiban saya menghadiri acara teman lama." Katanya, tersenyum kelewat bersahabat, membuat Izaya agak takut.

"Lagipula, Izaya," lanjut Ayahnya. "Heiwajima-san juga sedang ada urusan disini. Dan karena kebetulan itu, Ayah mempertemukan kamu dengan dia."

Izaya mengernyitkan keningnya tampak sedikit tidak mengerti. Lantas, Heiwajima Soujiro menepuk bahunya dengan ramah.

"Saya sudah mendengar, kamu diterima di Universitas di Ikebukuro kan?"

Izaya mengangkat alisnya. Ya, memang.

Terus?

"Ayah tau, kamu akan kesulitan di Ikebukuro nanti. Maka dari itu, Ayah meminta tolong teman Ayah ini untuk mengurus keperluan kamu selama di sana." kata Ayah Izaya.

Eh? Sebentar… tunggu. Jadi dia akan tinggal di rumah orang uh—tua ini?

Seakan bisa membaca pikiran Izaya, Heiwajima Soujiro menambahkan.

"Bukan dirumah saya, lebih tepatnya. Ayahmu hanya memastikan supaya kau tidak terlunta-lunta di Ikebukuro nanti." katanya.

Dan Izaya, entah bagaimana, menjadi lega. Senyum mengembang sempurna dari bibirnya. Dia mengisi penuh-penuh paru-parunya dengan oksigen dan menghembuskannya pelan.

Ya! Kebebasan. Itulah yang dia mau!

Izaya memang sudah tidak sabar lagi. Setelah 16 tahun menghabiskan waktu di rumah besar ini, setelah 16 tahun terus menerus terkungkung dalam titah demi titah Ayahnya, akhirnya dia bisa bebas mengejar apa yang dia inginkan.

Di Ikebukuro nanti.

"Dan, kalau boleh saya tahu, saya akan tinggal dimana, Heiwajima-san?" tanya Izaya, sudah tidak bisa lagi menyembunyikan rasa antusiasnya.

Heiwajima Soujiro memalingkan kepalanya ke penjuru ruangan begitu mendengar pertanyaan Izaya. Tampak mencari-cari seseorang. Izaya mengikuti arah pandangannya tapi tidak bisa melihat apapun.

"Tadi anak saya ada disekitar sini, entah sekarang pergi kemana." Menteri IT itu bergumam. Izaya sebenarnya bisa saja ikut melongokkan kepalanya mencari, tapi karna Ayahnya menyuruhnya cepat naik keatas dang anti baju, dan karena, for God's Sake, Izaya sudah gerah setengah mati, dia buru-buru meninggalkan ruang pesta.

"Akhirnya." desis Izaya untuk dirinya sendiri. Dia kemudian berjalan menjauhi Ayahnya dan kerumunan orang-orang yang lagi berbincang diruang tamunya sambil sesekali meregangkan urat leher yang kaku.

Izaya berjalan pelan mendekati tangga spiral besar yang ada di timur. Satu-satunya tangga menuju lantai dua. Saat kakinya menapak anak tangga ke-sembilan, entah kenapa dia tergoda untuk membalikkan badannya. Sekedar melihat betapa Ayah dan Ibu nya sudah gila karena, lihatlah, ruang tengahnya benar-benar berubah menjadi ballroom. Apa yang dipikirkan orang tuanya dengan mengadakan pesta ini coba?

Mata Izaya menjelajah setiap inchi ruang tamunya dibawah. Lihat makanan-makanan yang terlihat enak itu—entah dari catering mana yang jelas tidak mungkin murah. Lihat juga undangan yang terlampau banyak, music yang mengalun. Just—apa-apaan?

Kalau mau jujur, ini bukannya membuat Izaya kesenangan. Karena kalau boleh jujur, Izaya sudah bosan dengan semua sanjungan teman-teman Ayahnya. Dia bosan selalu hidup dalam ekspektasi. Dan yang paling penting… dia bosan dengan pesta. Terutama yang seperti ini. Kalau bisa, dia ingin enyah, tidak usah jadi bagian didalamnya. Kemana kek, pokoknya jangan disini.

Dan tiba-tiba, Izaya menyeringai. Seringai khas nya ketika dia menemukan sebuah ide cemerlang. Jadi sudah diputuskan, dia akan kabur dari pesta ini.

Kau bertanya bagaimana caranya?

Izaya mengedarkan pandangannya sekali lagi. Dan saat itulah, Izaya melihat laki-laki itu. Laki-laki pirang, duduk dengan meneguk cappuccino hangat disudut ruangan. Kenapa Izaya bisa tahu itu hangat? Karna oh, diatas cangkirnya terkepul asap. Tapi itu tidak penting. Intinya adalah, dalam sekali pandangan, Izaya tahu laki-laki itu sama sepertinya : tidak menikmati pesta ini. Jadi Izaya akan memanfaatkannya.

Izaya masih sibuk mengamati laki-laki itu, ketika matanya bertemu pandang dengannya. Laki-laki berambut pirang itu melihatnya, dengan pandangan ingin tahu. Dan Izaya langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Jadi dengan langkah tergesa, dia menaiki tangga menuju kamarnya masih dengan cengiran konyolnya, meninggalkan laki-laki pirang yang mengangkat alisnya penasaran.

.

.

Izaya mengendap-endap menuruni tangga dibelakang. Langkahnya terseok-seok karena tampak tidak nyaman dengan apa yang dia kenakan. Tapi baru sampai dilantai satu, beberapa pasang mata sudah melihatnya penasaran.

MAMPUS!

Izaya buru-buru berlari kecil ketempat laki-laki yang minum cappuccino tadi. Tapi laki-laki itu tidak ada disana. Izaya pucat, ketika menyadari bahwa rencananya bisa berantahkan.

Dimana laki-laki itu?

Izaya mundur-mundur kebelakang, tapi itu malah membuat dirinya makin dilihat banyak orang. Oh, matilah Izaya. Dengan penampilannya yang seperti ini—

DUKK. Izaya menabrak sesuatu, membuatnya refleks berbalik. Dan…

"Loh? Kau kan yang tadi?"

Mata Izaya melebar. Ralat! Ternyata yang ditabrak Izaya bukan sesuatu, tapi seseorang. Dan entah ini kebetulan atau tidak, seseorang itu adalah si cowok cappuccino tadi.

Dipanggil dengan sebutan "Kau kan cowok yang tadi," membuat Izaya langsung salah tingkah. Dia buru-buru menatap laki-laki itu tajam. Tapi kemudian dia sadar bahwa dia membutuhkan laki-laki ini. Jadi, yah, terpaksa.

Laki-laki itu mengernyitkan alis. Tapi Izaya tidak ambil peduli. Sebelum kerumunan yang melihatnya makin banyak dan sadar siapa dia sebenarnya, dengan cuek, Izaya mendekat kearah si cowok Cappuccino dan memeluknya erat.

Laki-laki itu langsung kaget. Dia berusaha melepaskan pelukan Izaya. Tapi Izaya makin mempererat pelukannya. Dia berbisik penuh ancaman ditelinga laki-laki itu.

"Jangan bilang kalau aku laki-laki!" desis Izaya tepat didepan telinganya. Laki-laki itu langsung diam.

"Apa yang kau lakukan? Berhenti memelukku!" desis cowok itu balik dengan aksen Ikebukuro nya yang kental. Dia panik. Dan, salah tingkah. Karena, yah, makin banyak mata yang melihatnya sedang dipeluk oleh orang asing yang bahkan tidak dia kenal.

"Dengar, aku punya alasan melakukan ini, oke? Tolong untuk sekarang bilang saja aku ini cewekmu atau apalah ke orang-orang itu." Izaya berbisik tidak sabar, lalu membenamkan kepalanya ke dada laki-laki yang sekarang sedang melotot bingung. Tapi karena Izaya makin tenggelam dalam dadanya, dan karena laki-laki itu risih dan ingin cepat hal konyol ini segera berakhir, akhirnya dia terpaksa memeluk Izaya balik dengan ragu-ragu.

Laki-laki itu lalu tersenyum sopan ke orang-orang yang sedang melihatnya.

"Ah, itu… pacar saya lagi… apa ya? Oh, pusing, iya pusing! Butuh sandaran, ahaha." Laki-laki itu beralasan meskipun itu tidak terdengar meyakinkan. Tapi toh akhirnya para tamu tidak lagi memperhatikan mereka. Dan setelah memastikan tidak ada orang yang memperhatikan mereka berdua, Izaya melepaskan pelukannya. Tanpa memberikan kesempatan pirang didepannya untuk berbicara, Izaya menyeretnya keluar. Berlari dan menjauh dari keramaian.

Menjauh dari pesta.

Mereka berdua terengah-engah sampai di taman belakang rumah Izaya yang sepi. Seakan tidak terima, laki-laki pirang menyentakkan genggaman Izaya dengan kasar. Izaya berbalik, merasa bersalah sudah menyeret-nyeret laki-laki yang tidak punya dosa apa-apa padanya itu.

"Uh, Maaf. Tidak punya pilihan lain," kata Izaya sambil duduk dibangku, berusaha memasang wajah bersalah tapi sialnya gagal.

Laki-laki itu berdecak sesaat, tapi toh pada akhirnya mengikuti Izaya untuk duduk dibangku yang sama.

"Kau ini, siluman atau apa?" Tanya si pirang, melihat ke arah Izaya tidak habis pikir.

"Huh?" Izaya tidak mengerti.

"Maksudku, terakhir aku melihatmu naik tangga, gender mu masih laki-laki. Jadi, kenapa sekarang—" Pirang itu menggantung kata-katanya, menatap Izaya dari ujung kaki sampai kepala. Yang ada di depannya sekarang adalah… Izaya—yang memakai gaun putih dan rambut yang digelung manis berhiaskan pita. Izaya yang sadar diperhatikan, langsung menarik ujung bibirnya membentuk cengiran.

"Malas ikut pesta." Kata Izaya singkat. "Jadi kupikir, aku bisa menyamar jadi perempuan dan… kabur?"

"Dan itu melibatkanku? Oh, hebat sekali!" sindiran yang penuh ironi itu langsung membuat Izaya tertawa.

Izaya menepuk bahu cowok itu keras. Lalu dia mengulurkan tangannya. Bermaksud memperkenalkan diri.

"Izaya. Dan terimakasih untuk bantuannya" katanya. Laki-laki itu menatap tangan Izaya ragu sesaat.

"Hanya nama kecil?"

"Orihara Izaya. Kau?" Tambah Izaya lagi, membuat laki-laki itu mau tidak mau balas menjabatnya,

"Shizuo." jawabnya

"Hanya nama kecil?" balas Izaya, membalikkan pertanyaan laki-laki bernama Shizuo ini.

"Segitunya ingin tahu nama keluargaku?"

"Sial!" Izaya kalah. Tapi kemudian dia tersenyum. Membuat Shizuo mengalihkan pandangannya sambil berdecak.

"Tolong dong, jangan tersenyum dengan dandanan seperti perempuan." Ujarnya, Izaya diam. "Menakutkan." Katanya lagi dan entah kenapa membuat Izaya tertawa sampai perutnya sakit.

Malam itu, sinar bulan yang redup menyamarkan eksistensi mereka. Dan masing-masing dari mereka, masih belum tahu tentang apa yang akan terjadi setelah ini.

Yang pasti, malam itu kedua manusia sedang dipertemukan. Dua manusia dibawah sinar bulan yang redup. Dua manusia yang masih belum mengerti takdir yang digariskan untuk mereka.

.

TO BE CONTINUED

.

Kiriohisagi's note

Setelah fic ini kelar, dua tahun kemudian ada yang ngereview dan menyebutkan beberapa kecacatan di fic ini. Karena merasa malu pada kecacatan itu, dank arena mood Shizaya memuncak gara-gara Season 2 DRRR, saya akhirnya ngedit ulang dari awal untuk bagian-bagian yang cacat. Kalo masih ada yang cacat, kasih tau ya teman-teman :') thanks. LOL. Enjoy bagi yang baru baca.

Oiya, fic ini aslinya dari original fic yang saya buat waktu SMA kelas 1 dulu. Izaya dulu namanya Livio. Shizuo dulu namanya Alka. Gak penting juga sih :') wkwk.