Rhyme A. Black

PresenT

A NaruHina Fanfiction

Melepasmu

Dedicated for NaruHina Tragedy Day 3rd Year

Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei

WARNING : OOC. OOC. OOC. AU. Typo. Maybe, boringness?

Teruntuk teman-teman NHL yang selalu setia mencintai ketulusan Hinata, yang selalu menjejaki semangat Naruto. Untuk Pecinta NaruHina, yang mencintai pairing ini dengan cara yang 'berbeda'. Terima kasih, untuk waktu yang kalian luangkan.

Enjoy this story.

1… 2… 3… TAKE…. ACTION!

~0o0~

3.

Ia memandang lemah kertas-kertas bersampul coklat yang tergeletak di depannya, membukanya untuk yang kedua kalinya hanya akan merobek-robek akal sehatnya. Pula enggan menyampaikan isi amplop coklat itu kepada istrinya.

"Stadium tiga, saya menyarankan agar istri anda melakukan operasi pengangkatan kanker secepatnya, agar tidak menjangkiti bagian-bagian lain di dalam tubuh istri anda."

Ucapan dokter itu bagaikan palu godam yang menghantam kepalanya, membuatnya lumpuh dan sesak. Vonis itu datang begitu saja di tengah-tengah kebahagiaan rumah tangga mereka. Ia seakan-akan bisa merasakan perih yang diderita istrinya.

"Aku baik-baik saja kan, Naruto?" tanya itu kembali terngiang di telinganya, tanya yang dalam beberapa hari terakhir ini menjadi ujung setiap percakapannya dengan Hinata ketika menjelang tidur. Lidahnya kelu berkata-kata ketika mata sewarna opal itu menatapnya penuh harap. Dalam kasihnya ia hanya mampu merengkuh bahu kecil itu, mengecupnya lembut.

'Aku harus bagaimana?' tanyanya entah pada siapa.

Dan helaan napas panjang itu muncul berkali-kali, meminta lebih banyak udara agar ia bisa berpikir dengan lebih baik. Ia ingin membicarakan hal ini dengan Hinata, tapi pandangan mata Hinata selalu membuatnya bimbang. Ia tentu menginginkan yang terbaik untuk istrinya, ia ingin Hinata tak hidup dalam kesengsaraan.

Akhirnya ia beranjak dari duduknya, meninggalkan ruang kerjanya dan berjalan menuju tangga. Setiap langkah yang membawanya menuju Hinata kian terasa berat.

"Sayang?" panggilnya pelan seraya membuka pintu dan mendapati kekosongan menyambutnya. Ia berjalan menuju balkon kamar dan tak juga menemukan Hinata di sana, sampai telinganya mendapati suara rintihan keluar dari dalam kamar mandi di sisi kirinya. Lalu, perasaan tercekik itu muncul lagi, membuat Naruto bergegas dan menggedor-gedor pintu.

"Hinata? Hinata? Kau kenapa? Jawab aku! Hinata!" Naruto memanggil-manggil Hinata dan tak mendapatkan satu sahutan pun dari dalam. Ia mengambil ancang-ancang, dan dalam hitungan ketiga bahunya bertemu dengan daun pintu dan membuatnya menjeblak terbuka.

Rasa ngilu di bahu kirinya hilang seketika betika melihat tubuh Hinata merosot di sudut kamar mandi. Wajah Hinata pucat pasi dan tubuhnya gemetaran menahan sakit. Pandangan Naruto turun ke bawah dan ia seolah baru saja tersengat listrik ketika manik birunya mendapati darah mengalir turun di betis Hinata.

~0o0~

Pikirannya kosong. Ia tidak pernah mengemudikan mobilnya secepat itu sampai membuat tangannya kebas. Ia bahkan nyaris tak bisa mengingat bagaimana caranya ia membawa Hinata ke rumah sakit dan menemukan dirinya sendiri terduduk di depan ruang UGD, tempat ia melihat orang-orang berbaju hijau membawa Hinata beberapa menit yang lalu.

Diindahkannya teguran suster untuk pindah ke tempat yang lebih nyaman dibandingkan hanya berjongkok di lantai. Ingatannya melemparkannya ke beberapa saat yang lalu, ketika dilihatnya Hinata duduk di atas darah yang menodai bagian bawah dress tidurnya dan menciptakan aliran di sepanjang kaki jenjangnya. Sedetik ia merasa lumpuh sampai tangannya lebih dulu bergerak, mengabaikan nyeri di pundaknya dan menggendong Hinata menuju rumah sakit.

Dan di sinilah dia, menatap kosong pada pintu kaca yang buram. Siluet-siluet berseliweran di baliknya. Di dalam sana, ada Hinata yang terbaring tak sadarkan diri.

Naruto langsung berdiri begitu didengarnya suara 'ceklek' pintu ruang gawat darurat yang membuka dan sosok perempuan berambut pirang keluar dari sana.

"Bagaimana, dok?" tanyanya tergesa-gesa.

"Istri anda mengalami pendarahan hebat, untungnya ia cepat mendapatkan pertolongan. Untuk saat ini kita tunggu sampai keadaannya membaik," dokter itu berhenti sejenak, raut prihatin tampak jelas di wajahnya. "lalu kita bisa membicarakan mengenai perihal operasi yang bisa anda pertimbangkan."

Naruto hanya mengangguk pasrah, "bisa saya bertemu istri saya, dok?"

"Bisa, silakan." kata dokter itu sebelum mengucap pamit dan Naruto tergesa menyusul Hinata yang sudah lebih dulu dibawa ke ruang rawat inap.

Dingin menyambutnya begitu ia memasuki ruangan Hinata. Matanya menatap sendu pada wajah yang sedang tertidur di pembaringannya. Diraihnya tangan Hinata sebelum mengecupnya lembut, mengalirkan sedikit kehangatan pada jemari lentik Hinata. Ia pejamkan matanya, merapalkan doa agar rasa sakit yang diderita Hinata dapat dibagi—atau bahkan mungkin berpindah padanya. Ia tidak sanggup melihat keadaan Hinata yang seperti ini. Tidak akan sanggup.

~0o0~

Matahari bersinar begitu cerah, mengusik sepasang bola bulat di dalam kelopak yang bergerak-gerak sebelum terbuka dan memandang berkeliling.

Ini bukan tempat di mana ia memiliki kesadarannya terakhir kali. Dinding yang putih, gorden yang berwarna terang, ranjang yang sempit—ah, ini rumah sakit, pikirnya. Ia hendak menggeser tubuhnya sampai disadarinya ada beban di tangan kanannya. Ia menoleh, lalu tersenyum lembut ketika melihat gamparan rambut pirang menahan telapak tangannya. Wajah Naruto yang tertidur pulas dan mendengar dengkur halusnya membuat Hinata semakin melebarkan senyumnya. Naruto selalu bisa membuatnya tersenyum, sekalipun ia ada di tempat yang selalu membuatnya takut.

Untuk beberapa menit Hinata berusaha mengingat kejadian semalam meskipun samar-samar. Rasa sakit yang tiba-tiba muncul, darah yang merembesi kakinya, dan siluet Naruto yang menggendongnya.

Meski telah menyangkal kenyataan selama berhari-hari, setiap kali ia membaringkan kepalanya di atas bantal pikiran-pikiran itu selalu membayang di dalam kelopak matanya yang tertutup. Jauh di dalam hatinya, ketakutannya semakin menorehkan luka. Lubuk hatinya mengatakan, ia sekarat.

"Hinata..?" terdengar suara Naruto yang menggumam, diikuti matanya yang terbuka pelan-pelan berusaha menyesuaikan dengan sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tirai.

Hinata menoleh ke arah Naruto setelah sebelumnya mengusap cairan hangat yang mengalir di pipinya, lalu memberikan senyum kepada Naruto. "Hai..."

Naruto yang saat itu hanya bergerak-gerak malas, langsung saja menegakkan tubuhnya begitu mendengar suara Hinata. Matanya mengerjap-ngerjap begitu menyadari Hinata membalas tatapannya. "Akhirnya aku bisa melihat senyummu lagi!" Seru Naruto yang tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan memeluk Hinata yang masih terbaring di tempat tidur.

"Na—Naruto!" Hinata tentu saja kaget begitu melihat Naruto melakukan hal yang tiba-tiba seperti itu. Rona merah singgah di pipinya, dan semakin memerah tatkala ia kesadarannya kembali bahwa mereka tidak sedang di rumah mereka, melainkan di dalam kamar rumah sakit. "Kkka... kalau ada yang lihat bagaimana?"

"Hmm... biar saja," ujarnya dari balik bahu Hinata, "aku kan suami kamu. Siapa yang berani melarangku memeluk istriku sendiri?"

"Bu—bukan begitu, ini kan bukan di rumah." Balas Hinata pelan, bahkan sampai sekarang pun ia masih saja merasa gugup tiap kali Naruto melakukan hal-hal yang tiba-tiba seperti ini.

"Iya deh," kata Naruto akhirnya melepaskan pelukannya lalu mencium kening Hinata dan membantu istrinya itu bersandar pada kepala tempat tidur. "Gimana perasaan kamu? Udah mendingan?"

"Iya." jawabnya singkat, kepalanya menunduk dan tangannya sibuk memilin ujung muncul keheningan yang canggung di antara mereka, Hinata menanti apa lagi yang akan disampaikan oleh Naruto.

Begitu pun Naruto yang kini menimbang-nimbang apakah harus ia katakana sekarang mengenai keadaan Hinata yang sebenarnya. Ia mencemaskan bagaimana rekasi Hinata bila mendengar rencana dokternya semalam, tapi ia juga takut. Bila ia semakin menunda rencana operasi Hinata, keadaan istrinya akan semakin memburuk.

"Ada apa, Naruto?"akhirnya Hinata berinisiatif untuk angkat bicara, mata keperakannya menatap Naruto yang sedang menunduk gusar di hadapannya. Ia tahu, Naruto akan menyampaikan sesuatu mengenai penyakitnya. Dan itu pasti bukanlah suatu berita yang baik.

"Semalam, aku sudah bicara sama dokter yang menangani kamu." kata Naruto hati-hati, "Dia bilang kalau... kalau kamu harus segera melakukan operasi."lanjutnya tanpa berani menatap Hinata, ia enggan melihat ekspresi kesedihan di mata istrinya.

Hinata hanya diam mendengar ucapan Naruto, ia mencengkram erat selimut yang menutupi separuh tubuhnya. Haruskah dia melakukan operasi itu?

"Aku tahu ini berat untuk kamu, Hinata. Ini berat untuk kita. Tapi aku mohon, kamu mau melakukan hal ini. Demi aku." pinta Naruto sambil merengkuh tubuh Hinata, membenamkan wajah wanita itu di dadanya.

"Kamu tidak akan meninggalkan diriku kan, Naruto?" lirih Hinata tergetar, tak mampu lagi ia tahan air mata yang mengaliri pipinya.

"Bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkanmu, Hinata? Kamu adalah hidupku." bisiknya, mencium pucuk kepala Hinata. Berusaha mengalirkan ketenangan pada wanita yang ia rengkuh ini, mencoba memberinya kekuatan dan rasa aman. Menunjukkan bahwa Hinata tidak sendiri menghadapi ini semua, Bahwa Naruto akan selalu ada di sampingnya.

~0o0~

Naruto mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara langkah-langkah kaki mendekatinya. Pandangannya menemukan mertuanya—Tuan Hiashi— yang berjalan cepat ke arahnya. Ekspresi khawatir tak luput di wajahnya yang penuh wibawa.

"Bagaimana operasinya?" tanya Tuan Hiashi sembari mendudukkan dirinya di samping Naruto, diikuti Hanabi yang duduk di sebelah kanannya.

"Sudah satu jam lebih," jawab Naruto pelan.

"Stadium berapa?"

"Tiga."

Mereka kembali hening. Hanya ada suara detak jam yang menggantung di dinding di depan mereka, serta suara langkah kaki suster yang melewati mereka. Mereka menunggu dalam gelisah, bahkan bibir pun terlalu kelu untuk kembali membuka kata.

Menit-menit pun meninggalkan mereka, yang hatinya terus merapakan do'a dan pengharapan agar wanita yang mereka sayangi masih diberikan keselamatan.

Dan suara pintu yang membuka menarik kesadaran mereka, lantas berdiri dan mendekati dokter yang masih membuka maskernya.

"Bagaimana, dokter?" tanya dua sosok itu bersamaan.

"Operasinya berjalan lancar,"

"Ya Tuhan, terima kasih." cetus Naruto penuh syukur.

"Jadi, apakah saya sudah bisa melihat anak saya, dok?" tanya Tuan Hiashi.

Dokter itu mengangguk singkat.

"Terima kasih dokter," Balas Tuan Hiashi.

"Sama-sama, pak. Untuk itu saya permisi dulu." ujar dokter itu sembari tersenyum, meninggalkan dua pria yang begitu bersyukur atas keberhasilan operasi Hinata.

4.

Hinata menatap perban yang membebat pinggangnya, rasa perih begitu terasa ketika ia tak sengaja menyentuh bagian bekas operasinya. Tapi bukannya jera, tangannya terangkat untuk meraba sumber rasa sakit itu. Bentangan melintang di bawah perutnya, ia bahkan tak bisa membayangkan seperti apa tanda yang ditinggalkan pisau bedah di tubuhnya.

Kulit tubuhnya tak lagi putih mulus, melainkan sudah ada baret bekas pisau di sana. Baret yang membuatnya merasa tak lagi utuh. Ia merasa tak lagi sempurna di mata Naruto, setelah luka di tubuhnya, kerut dan bintik bekas suntik infus di tangannya, entah apa lagi yang akan muncul setelahnya.

Dan keresahan itu datang kembali padahal sudah ia kubur dalam-dalam. Ketakutan karena merasa akan ditinggalkan dan kesendirian. Ada banyak perempuan-perempuan yang sempurna di luar sana, yang cantik, yang tidak berpenyakit, yang tidak lemah seperti dirinya. Naruto bisa saja memilih satu di antara mereka yang lebih sempurna dibanding dirinya.

Suara pintu yang membuka membuatnya menoleh dan melihat sosok Hanabi—adiknya muncul dari balik pintu dengan senyum cerianya. Karena adiknya yang bersekolah di luar negeri, dia pun sudah sangat jarang untuk bertemu muka dengan saudara perempuannya itu.

"Kakaaak!" seru Hanabi tanpa sadar, rasa senang karena bisa bertemu dengan kakaknya membuatnya lupa di mana ia berada.

"Hanabi, kapan datangnya?" tanya Hinata begitu Hanabi selesai memberikan kecupan di kedua pipinya.

"Barusan, pas habis dari bandara aku langsung ke sini. Uuuughh, aku kangen sekali pada kakak!" celetuk gadis berambut coklat itu sembari mendudukkan dirinya di kursi yang berada di samping tempat tidur Hinata. "Kak Naruto mana?"

"Sedang menebus resep dokter. Kau datang sendirian ke sini?"

"Aaa... tidak juga sih. Tadi ada Kak Neji dan Kak Tenten, tapi aku meninggalkan mereka di parkiran. Yeaaah, mereka sedang mengurusi 'si tuan cerewet' yang sedang rewel di mobil. Eeewww..."

"Tu—tuan cerewet..? Kenji?" tanya Hinata terkejut. Tidak menyangka bahwa keluarga kecil kakak sepupunya akan datang menjenguknya juga.

"Yaaa, siapa lagi. Bocah bawel itu." celetuk Hanabi, "Oh ya, bagaimana keadaan kakak sekarang?"

Hinata tersenyum kecil, "sudah lumayan membaik, kok."

"Oooh..."

Di sela beberapa detik, suara ketukan pintu membuat dua perempuan berambut panjang itu menoleh bersamaan.

"Masuk," ucap Hanabi. Kenop pintu bergerak dan pintu itu membuka menampakkan dua sosok yang sudah tak asing lagi bagi Hinata, ditambah lagi satu wajah yang terlihat begitu menggemaskan di gendongan si wanita.

"Bagaimana kabarmu, Hinata?" tanya Neji mendekati tempat tidur Hinata, sementara Tenten mengikutinya dari belakang.

"Sudah lumayan," jawab Hinata singkat, kemudian menyapa Tenten dan Kenji, anak Neji dan Tenten yang baru berusia tiga tahun. " Hai Kenji."

"Hai juga tante Hinata..." Tenten mengangkat tangan mungil Kenji seolah mengatakan 'Halo' pada Hinata. "Naruto mana?"

"Katanya tadi mau menebur resep, mungkin sebentar lagi dia kembali."

Tak lama setelah berkata begitu, pintu kamar Hinata kembali terbuka untuk yang ketiga kalinya dan menampakkan sosok Naruto yang terkejut melihat ada empat orang di kamar Hinata.

"Wah, panjang umur. Baru diomongin langsung muncul." kata Hanabi.

"Ooo, lagi ngomongin aku ya? Ckckck... kalian kapan datang?"

"Barusan,"

Dan kemudian percakapan demi peracakapan pun mengalir. Terkadang diisi dengan pembicaraan mengenai pekerjaan, kegiatan kuliah Hanabi, perkembangan Kenji, sampai saling sindir-menyindir. Hanabi yang baru pulang dari luar negeri dengan semanagtnya menceritakan keadaan di tempat tinggalnya sekarang.

Hinata pun terkadang ikut menimpali meskipun ia lebih memilih untuk diam. Ia lebih asyik menatap dan saling melempar senyum kepada bocah kecil yang duduk dipangkuan Tenten. Anak laki-laki bermata coklat itu terkadang tertawa setiap kali ibunya mencubit hidungnya. Dan setiap kali Hinata mendengar tawa itu, ia merasakan sebuah kerinduan yang teramat sangat di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia mulai membayangkan dirinya sedang menggendong seorang anak. Memanjakannya, membuatkannya susu, membacakannya dongeng dan meninabobokannya sebelum tidur. Dulu ia merasa bahwa impiannya sudah begitu dekat, tapi kini mimpi itu direnggut olehnya.

Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan raut wajah penuh rasa sedih dan bahkan mungkin iri setiap kali melihat Tenten yang dengan sayangnya mencium pipi Kenji, atau setiap kali bocah menggemaskan itu menarik-narik tangan ibunya dan memainkannya. Hinata ingin memiliki momen-momen seperti itu di dalam hidupnya, saat ia bisa merasakan ada tangan kecil yang menggenggam jemarinya, dan juga gelak tawa bahagia yang mengisi hari-harinya.

"Hanabi, ayahmu menyuruh kita untuk pulang sekarang." kata Neji memotong pembicaraan antara Naruto, Hanabi dan Tenten setelah menerima pesan singkat dari pamannya.

"Apa? Tapi aku kan masih ingin bersama Kak Hinata!"

"Sebaiknya kau pulang dulu," ujar Hinata. "Kau kan belum bertemu ayah."

Hanabi hanya memutar bola matanya, mencibir. "Yeaaah, baiklah. Dasar kakek-kakek tukang perintah."

"Hanabi!"

"Iyaa, iyaa... maaf deh. Aku pulang. Besok aku ke sini lagi ya, Kak." tukas Hanabi dengan setengah hati berpamitan pada Hinata, yang lalu diikuti Neji dan Tenten.

"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?" tanya Naruto ketika pintu ruangan Hinata kembali menutup, seraya membelai pelan kepala Hinata.

"Iya," sahut Hinata, mencoba menyembunyikan getar yang tiba-tiba saja mencekat tenggorokannya. Susah payah ia sembunyikan getir di wajahnya, tak ingin memperlihatkan kesedihannya.

"Kenapa wajahmu murung begitu?" Ah, kenapa Naruto selalu bisa menebak?

Mati-matian ditahannya air mata yang ingin merebak membasahi pipinya, digigitnya bibir bawahnya untuk meredam tangis. Bahkan kini ia tak lagi bisa tabah. Kini ia merasa begitu tak berarti.

"Hinata, ada apa?" raut khawatir kini muncul di wajah kecoklatan milik Naruto.

Hanya ada isak tangis.

"Ada yang sakit?"

"Maaf..."

"Ma... maaf kenapa?"

"Maaf," ucap Hinata setengah mati menekan sesak di dadanya, "Maaf Naruto, maaf... aku tidak bisa memberimu apa-apa. Maaf... karena kau hanya merepotkanmu dnegan tubuh penyakitan seperti ini..."

Naruto tertegun. Dengan lembut, disekanya air mata yang menetes di pipi pucat Hinata. "Mengapa kau terus menerus berpikiran seperti itu, Hinata? Mengapa begitu sulit bagimu untuk menyadari bahwa aku benar-benar menyayangimu?"

"Aku tidak bisa memberikanmu apa-apa..."

"Yang aku butuhkan cuma kamu, Hinata. Bagiku cukup ada kamu, Kamu lebih dari segala yang kuinginkan di dunia ini." Dipandanginya wajah Hinata dengan penuh rasa kasih, wajah yang selalu membuatnya merasa sebagai pria paling beruntung di dunia kita penuh dengan gurat-gurat luka. Hatinya memerah darah tiap kali mendapati raut seperti ini di wajah Hinata. Dan kini dia sudah tidak tahu, harus bagaimana lagi ia menghapus luka itu.

~0o0~

Sudah enam bulan berlalu sejak Hinata melakukan operasinya, dan keadaan Hinata pun berangsur-angsur membaik. Hinata mulai menjalankan aktivitasnya meski pun tidak seintens dulu. Ia juga masih harus bolak-balik rumah sakit untuk melakukan kemoterapi dan serangkaian pemeriksaan rutin lainnya.

Naruto pun tak lagi sesibuk dulu, sebisa mungkin ia akan meluangkan waktunya untuk menemani Hinata ke rumah sakit, menyelesaikan pekerjaan di kantornya lebih cepat sehingga ia bisa pulang dan punya lebih banyak waktu untuk Hinata.

Namun, meskipun begitu Naruto merasa sudah ada yang lain dari diri Hinata. Senyum itu masih sama, Hinata masih menyambutnya di teras tiap kali ia pulang dari kantor, bermanja-manja dengannya. Tapi hampir setiap pagi Hinata selalu duduk di depan meja rias di kamar mereka, berlama-lama duduk di sana memandangi wajahnya.

Sekali waktu Naruto pernah terpaksa sembunyi-sembunyi menangis di dalam kamar mandi ketika suatu pagi ia mendapati Hinata duduk menatap sisir yang dipenuhi helaian rambutnya yang gugur. Ia tidak bisa melihat kabut yang menyelubungi mata Hinata, ia tak bisa melihat sendu itu membayang di wajah yang jelita itu, ia tak bisa melihat helaian indigo panjang itu luruh di punggung Hinata. Ia tidak bisa.

Ia bahkan tak lagi sanggup mengucapkan kata-kata penghiburan untuk Hinata. Bagaimana mungkin ia sanggup menghibur Hinata dengan kata-kata yang terputus karena geram menahan tangis?

Pagi itu Naruto duduk bersandar pada pintu kamar mandi, punggungnya yang beradu dengan pintu bergetar hebat. Susah payah ia merendam tangis dengan menggigit buku-buku jarinya. Pertahanannya pecah, semua luka yang ia sembunyikan memaksa keluar dan merobek-robek hatinya. Dendamnya pada penyakit yang menimpa Hinata ia balas dalam tangis yang terputus-putus.

Hinata kritis tadi malam, entah apa lagi yang dikatakan dokter itu padanya. Dia seperti tuli. Padahal,sebelum beranjak tidur ia melihat bahwa Hinata baik-baik saja, mereka masih saling berbisik dalam perjalanan tidur mereka, saling tersenyum satu sama lain. Ia bahkan masih bisa merasakan hangat kening Hinata yang ia kecup. Namun hidup terlalu senang bermain-main dengan mereka. Dini hari Naruto terbangun karena mendengar suara Hinata yang merintih memegang dadanya, mengeluh sakit. Hinata yang pucat dan sesak napas membuatnya mengambil langkah cepat, langsung membawa Hinata ke rumah sakit.

"Anak kankernya telah menyebar ke ginjal dan paru-parunya, Pak. Sistem pertahanan tubuh istri anda sangat lemah, hal ini membuat sel-sel kankernya berkembang semakin cepat. Untuk saat ini, kita hanya bisa berdoa agar istri anda bisa melewati masa kritis dan sadar dari komanya."

Naruto merasa lumpuh seketika. Hinata koma. Bagaimana bisa? Jadi selama ini pengobatan yang dilakukan Hinata itu untuk apa?

Naruto hanya bisa pasrah ketika melihat Hinata yang tergolek lemah di tempat tidur rumah sakit. Selang-selang infus terhubung ke tubuhnya dengan alat pengukur detak jantung mengeluarkan bunyi denging yang lambat.

"Kenapa harus Hinata, Tuhan? Kenapa harus dia..?"

~0o0~

Sudah hampir satu minggu Hinata koma. Silih berganti kerabat dan teman-teman mereka datang menjenguk dan menungguinya. Naruto pun kini lebih sering tinggal di rumah sakit. Ia pulang hanya untuk berganti pakaian dan mengambil keperluan Hinata. Kadang kala Hanabi, Neji dan Tuan Hiashi datang bergantian untuk menunggui Hinata.

Setiap hari ia selalu duduk di samping Hinata, menggenggam tangannya dan mengecup kening serta pipinya seraya membisikkan kata-kata cinta. Mengenang kisah-kisah mereka, menceritakan mimpi yang pernah mereka rangkai berdua.

Sore itu, Naruto sedang menyiapkan air hangat untuk membasuh tubuh Hinata. Tangannya dengan cekatan memeras handuk kecil yang sudah ia basahi lalu membalurkannya di sekujur tubuh Hinata. Dengan penuh kehati-hatian ia tangan Hinata, menyeka setiap sela-sela di antara jemarinya.

"Hinata, bangun ya sayang? Buka mata kamu karena aku begitu merindukanmu. Aku rindu saat kita duduk berdua dan saling bercanda." kata Naruto lembut. Dia begitu yakin bahwa Hinata mendengar kata-katanya.

"Masih ingat tidak, waktu aku melamar kamu dulu? wajah kamu benar-menar merah tapi kamu tetap mengangguk. Saat itu adalah saat-saat paling bahagia dalam hidup aku, dia seperti gerbang yang membuka dan membawaku menuju kebahagiaan yang lain bersama kamu."

"Aku merindukan rona di wajahmu, Hinata."

"Bangunlah, jangan diamkan aku seperti ini... Tidak kah kau rindu padaku, cinta?"

Didudukkannya kembali tubuhnya setelah selesai, ia meraih tangan yang semakin kurus itu menyandarkan kepala pirangnya pada tautan jemari mereka. Bibirnya tak henti berbisik mesra, berdo'a agar mata keperakan itu kembali menampakkan sinarnya.

Naruto tertegun ketika matanya melihat setitik bening menitik dari kelopak mata Hinata yang terkatup. Untuk sesaat kata-kata berhamburan di dalam kepalanya dan badannya seperti lumpuh.

"Hinata, sadar kah kamu? Dapatkah kamu mendengarku?" tanya itu mengalir, ia tak bisa untuk tidak meremas bahu Hinata, pancaran kebahagiaan tak kuasa ditahannya. Keyakinannya terbukti, Hinata benar-benar mendengarnya.

Lalu semuanya seperti mimpi.

Denging monitor di samping kepala Hinata menghapus senyumnya. Seolah ditikam, ia terpaku menatap wajah tirus Hinata.

"Hi—Hinata? Hinataaa?" Naruto memacu langkahnya keluar kamar, berteriak-teriak memanggil suster, dokter, siapa pun yang bisa menolong istrinya. Dua orang suster dan seorang dokter cepat-cepat memasuki kamar Hinata, terburu-buru membawa Hinata ke ruang gawat darurat.

Untuk yang kedua kalinya, Naruto menatap pintu ruang gawat darurat itu. Tenggorokannya tercekat, kaget atas apa yang terjadi tadi. Padahal, harapan telah muncul. Namun secepat itu pula harapan itu pergi. Kini dia hanya bisa menunggu.

Detik-detik berlalu dan mewujud sebagai menit, dan menit pun menjalin diri dalam detak jam. Hati yang terus mengurai do'a dan pengharapan, memohon agar Tuhan mau mendengarnya saat ini.

Tapi Tuhan punya rencana lain, setelah berjam-jam menunggu dan berharap akhirnya pintu berwarna putih itu terbuka. Raut wajah penat dari dokter berambut pirang panjang yang pertama kali dilihat oleh Naruto.

"Ba... bagaimana, dok?" Kekalutan mencengkram dadanya.

"Maaf..." jawab dokter itu dengan nada sedih, "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi nyawa istri anda sudah tidak tertolong lagi..."

Rasa pahit memaksa masuk ke dalam mulut Naruto, lidahnya kaku untuk mengeluarkan penyangkalan. Rasa sakit menjalar dari hatinya dan tubuhnya bergetar oleh kecewa. Lukanya menganga, kini hati itu sudah tak lagi di tempatnya.

Naruto tak lagi mendengar apa yang dokter itu katakan. Ia bisu, tuli, dan buta oleh kabut duka yang menyelubunginya. Pada akhirnya, ia hanya mampu membawa tubuhnya untuk melihat wajah Hinata yang kini begitu dingin dan kaku.

Tangannya bergetar menelusuri garis wajah Hinata. Kelopak mata yang menyembunyikan permata opal itu tak akan lagi membuka dan menunjukkan sinarnya. Tak ada lagi yang menyambutnya pulang…

THE END

Author's side

*Seorang tukang cela muncul dari balik panggung : Mpreett! Eksekusinya aneh banget! Masa' Hinata langsung mati gitu?"

Saia : Sudah takdirnya.. #menangis meringis takut melihat sosok Naruto yang bengis.

Seorang manusia nyinyir muncul dari dalam tembok : Alasan mati, ngek! begitu memang kalau orang yang diburu setan kalau menulis…

Saia : #makan aspal*

Aaaa…. Akhirnya fanfic ini selesai dengan er… ending yang err… err… err… aku tak bisa mengatakannya.

Sekali lagi, selamat HTNH 3rd YEAR, guys! Thanks banget buat yang telah meluangkan waktunya untuk menikmati kisah cengeng ini sampai habis. Terima kasih pula atas review yang telah diberikan pada chapter pertama dari fanfic ini. Review kalian selalu menjadi penyemangat buat saia.

See you in another story, cinta!

Narsiezz dikit gak apa-apa yaphz!

NaruHina, The Greatest Pairing…

Ever after…

*Kenapa cinta-cintaku? Sewot? Telan asbak!* #plaak