OHAYOU GOZAIMASU, KONNICHIWA, KONBANWA MINNA-SAN!

Akhirnya selesai # merangkak ke Love Tactics buat ngelanjutin ceritanya yang tertunda.

Please enjoy it!

.

.

.

Suara langkah kaki yang berlari membahana saling bersahutan di lorong rumah sakit yang sepi. Sepatu highheels yang berhak 5cm itu terus menerus menabrak lantai putih dan terdengar memilukan. Sesosok wanita yang masih lengkap berbalut baju kerjanya terlihat terburu-buru sambil sesekali kepalanya menengok untuk memastikan bahwa kamar yang dirinya maksud tidak terlewatkan begitu saja. Rambutnya yang dikuncir empat memudahkannya untuk berlari karena dengan begitu tidak akan mengantung kemana-mana dan menghalangi pergerakannya. Beberapa menit kemudian, langkahnya terhenti tak kala mendapati siluet wanita berambut panjang sedang duduk sambil menekuk wajahnya disalah satu sudut kursi yang tepat berada di depan kamar seorang pasien.

"Hinata?" Panggil Temari berusaha mengingat kembali nama istri adiknya tersebut.

Hinata menolehkan kepalanya sesaat setelah mendengar panggilan dari kakak iparnya tersebut. Tangan yang menutupi wajahnya mulai terangkat memperlihatkan raut wajah yang berantakan dengan air mata dan peluh yang telah bercampur. Badan mungilnya bergetar memperlihatkan ketakutan yang sedang melandanya, ditambah dengan wajahnya yang semakin memucat dan pandangan matanya yang hampa membuat Temari yakin bahwa kejadian ini berhubungan dengan wanita yang sedang duduk di hadapannya tersebut.

"Ne—Nee-san—Ga—Gaara-san—" Dengan wajah yang kebingungan, Hinata mencoba berbicara. Pandangan matanya berkali-kali melirik bergantian antara pintu kamarnya dan sosok kakak iparnya tersebut.

"Percayakanlah semua pada Dokter. Dia tidak apa-apa, tadi aku sudah menerima teleponnya. Lukanya tidak parah." Jawab Temari yang mencoba menenangkan Hinata padahal perasaannya sendiri juga tidak lebih baik dengan perasaan Hinata sekarang, sehingga kalimat yang diucapkannya pun terkesan berantakan.

Hinata mengangguk, mencoba untuk mempercayai apa yang sudah dikatakan oleh Temari. Tapi walaupun begitu, badannya masih bergetar dan masih terdengar isak tangis yang keluar dari bibir kecilnya.

"Mama—Mama sudah—paman tidak apa-apa." Ucap Takashi kebingungan mencoba untuk menghibur Hinata yang terlihat rapuh didepannya, terlihat jelas disudut mata milik Takashi juga sudah mengenang air mata yang siap tumpah kapan saja. Tetapi seperti namanya, Takashi mencoba untuk menjadi tegar dan kuat didepan mamanya. Takashi mencoba untuk tidak menangis dan menghibur Hinata. Anak yang baik, bukan?

Lain Takashi, lain juga dengan Temari. Wanita berumur hampir 40an yang tadinya hendak mencoba kembali menghibur istri adik iparnya itu hanya bisa memekik pelan melihat bocah cilik yang ada didepannya. Bukannya baru 15 menit yang lalu dia mendapat telepon bahwa Gaara mengalami kecelakaan? Namun kenapa sekarang Gaara ada disini? Dalam wujud anak kecil—Hah? Anak kecil? Temari memandang dengan seksama anak laki-laki yang berdiri didepan Hinata dan masih mencoba menghibur Hinata. Hanya satu kesimpulan yang didapatnya—bocah laki-laki itu pastilah anak yang sering digembar-gemborkan oleh Gaara. Yah, memangnya siapa yang tidak akan berpikir demikian? Toh, bocah laki-laki didepannya memang merupakan hasil kloningan Gaara yang sempurna.

"Hinata—" Sayup-sayup terdengar kembali panggilan dari Temari membuat Hinata menghentikan tangisannya untuk menengok menghadap Temari dan menyimak perkataannya. "Itu—anakmu?" Pertanyaan retoris memang. Memangnya selain Hinata siapa lagi yang pernah menjadi istri Gaara?

Hinata mengangguk. Suaranya sudah cukup habis untuk sekedar menjawab ya atau tidak. Mata bulannya kembali melihat Takashi yang berada di depannya. Sepertinya si kecil sudah cukup lega karena mamanya sudah tidak menangis lagi. Walau tidak dipungkiri, Takashi sendiri masih sedikit cemas melihat pandangan mata Hinata yang nanar dan kosong saat menangkap refleksi Takashi pada mata bulannya.

"Ayahnya—"

Belum habis Temari menyelesaikan kalimatnya. Hinata kembali menginterupsinya dengan sedikit anggukan. Tangan kanannya beralih untuk menyentuh pipi Takashi yang ada didepannya. Rasa bersalah semakin menyergap dalam hatinya. Hinata benar-benar gagal menjadi orang tua yang baik. Bagaimana bisa Hinata memperlihatkan dirinya yang begitu rapuh pada anak semata wayangnya ini?
Apalagi membuat wajahnya yang ceria bersedih seperti ini?

"I—iya Nee-san. Kloningan yang sempurna, bukan?" Lanjut Hinata yang berusaha untuk menarik sudut-sudut bibirnya keatas untuk sedikit tersenyum, tapi gagal! Yang ada malah senyum getir yang menghiasi wajah cantiknya.

"Mirip Gaara waktu kecil." Imbuh Temari singkat sambil mencoba mendudukan dirinya dikursi panjang yang sedang Hinata tempati.

Tangan Temari terangkat kedepan dan mulai mengelusi rambut merah milik Takashi. Demi apapun didunia ini, tanpa harus tes DNA pun tidak akan ada yang memungkiri bahwa bocah ini anak dari Sabaku no Gaara. Yah—minus dengan pipi chubbynya dan wajahnya yang lebih banyak mempunyai ekspresi ketimbang Gaara yang stoic itu.

"Mengenai Gaara—" Temari menghentikan perkataannya sejenak sebelum mencoba melanjutkannya karena belum memperoleh rangkaian kata yang tepat untuk diungkapkan. "Apa kau tahu kalau selama 5 tahun ini dia selalu mencarimu? Kau kemana saja selama ini?" Dan begitu dilanjutkan kembali yang keluar hanyalah kalimat-kalimat pertanyaan macam intrograsi yang mau tidak mau harus dijawab oleh Hinata.

"Tahu, aku tahu Nee-san." Jawab Hinata dengan pandangan mata menerawang. Bagaimana mungkin Hinata lupa? Hinata masih ingat kok selama lima tahun ini hidupnya seakan-akan menjadi buronan karena Gaara selalu mencarinya. Hinata juga masih ingat bahwa dulu hampir tiap sebulan sekali dirinya harus pindah tempat agar keberadaannya tidak terlacak oleh orang-orang suruhan Gaara. "A—aku—cuma menghindar." Lanjut Hinata ala kadarnya.

Temari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menghindar, huh? Istri mana yang mau menghindar dari suami yang selalu melimpahinya dengan kasih sayang. Kecuali kalau memang ada yang tidak beres dalam hubungan rumah tangga itu. Atau mungkin memang Hinata yang mempunyai salah sehingga Hinata memutuskan untuk kabur dari sisi Gaara atau sebaliknya—Gaara yang mempunyai suatu kesalahan pada Hinata.

"Ehm—tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik?" Lagi-lagi Temari bertanya karena penasaran akan sikap Hinata. Kenapa langsung kabur dan tidak berniat sama sekali menyelesaikan masalahnya secara baik-baik.

"Ti—tidak bisa. Sa—salahku banyak sekali." Aku Hinata setelah menjauhkan tangannya dari pipi Takashi dan mulai memainkan ujung roknya dengan gugup.

Ah—terjawab sudah pertanyaan Temari. Ternyata disini yang bermasalah Hinata. Tapi—hal yang ganjil adalah—kenapa Gaara saja yang sudah tahu akan salah Hinata masih bersikukuh mempertahankannya tetapi Hinata sendiri malah kabur dan berusaha untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Gaara? Temari menggelengkan kepalanya pelan. Sekarang dirinya tahu maksud dari perkataan orang-orang yang berkata bahwa 'cinta itu buta' karena contoh realnya ada disini. Dan yang mengalami hal tersebut adalah Gaara yang merupakan adiknya sendiri.

"Gaara tidak akan marah kok. Harusnya kamu tidak perlu sampai kabur dari rumah segala." Temari yang mencoba bijak berusaha menasihati Hinata. Tetapi sepertinya Hinata menolak saran Temari, terlihat dari kepalanya yang menggeleng lemah.

"Ti—tidak mungkin Nee-san. Kasihan Gaara." Timpal Hinata mendengar kata-kata Temari yang terdengar bijak tersebut.

Temari menarik kedua alisnya bingung. Bukankah kondisi Gaara lebih mengenaskan saat Hinata meninggalkannya? Sebulan penuh mengurung diri dikamar dengan menolak semua makanan yang dibawakan dan hanya hidup bermodal minum dan suplemen. Setelah selesai dari keterpurukannya, Gaara menjadi seseorang yang gila kerja dan sama sekali tidak peduli akan dunia luar. Harusnya Temari senang karena adiknya tersebut menunjukan dedikasi yang besar terhadap perusahaan yang dipimpinnya. Sehingga perusahaannya yang memang sudah besar itu menjadi raksasa yang lebih menguasai ekonomi negara secara singkat. Tetapi Temari tidak tega melihat tubuh adiknya yang semakin lama semakin tergerogoti dan kurus walau akhirnya setelah sekitar 6 bulan berlalu Gaara mulai kembali menata hidupnya yang berantakan.

Sebenarnya Temari sangat ingin membenci Hinata karena telah membuat hidup Gaara berantakan. Tapi bagaimana mungkin Temari membenci Hinata yang sudah seperti arti hidup seorang Sabaku no Gaara itu? Oleh karena itulah , sebagai ganti dirinya yang tidak bisa membenci Hinata. Temari bersusah payah untuk mencarikan Gaara pengganti Hinata walaupun berakhir dengan Gaara yang selalu membuat wanita-wanita yang dikencaninya kabur atau ditolaknya mentah-mentah. Hanya nama Hinata yang terpatri di otaknya. Dan sepertinya hanya demi Hinatalah seorang Sabaku no Gaara hidup—ok, itu memang berlebihan. Tapi itulah kenyataannya.

BRAK!

Terdengar suara pintu dibuka dan memperlihatkan seorang dokter dengan seorang perawat yang keluar sambil membenahi peralatan yang baru saja dipakainya. Sontak saja hal tersebut membuat Hinata, Temari plus Takashi refleks menoleh untuk melihatnya. Lebih-lebih ketika dokter tersebut keluar dari kamar bernomor 170—kamar dimana Gaara sedang dirawat.

"Ba—bagaimana keadaannya, Tsunade-san?" Temarilah yang pertama kali bangun dari duduknya dan menghampiri Tsunade yang baru saja keluar dari kamar tersebut.

Tsunade menengok sejenak ke arah Temari. Setelah membereskan stetoskop yang mengantung dilehernya dan memberikan sebuah papan berisi catatan kepada suster yang menjadi asistennya. Tsunade segera membalikan badannya kehadapan Temari untuk menjawab pertanyaannya.

"Keadaannya tidak parah. Hanya beberapa memar dan lecet ditubuhnya. Serta sedikit benturan dikepalanya yang membuatnya banyak mengeluarkan darah." Jelas Tsunade sambil menunjuk kepalanya seolah-olah memberitahu Temari dimana letak luka milik Gaara.

"Syukurlah—" Temari menghela nafas lega. Tidak jauh dari tempatnya diam-diam Hinata ikut mengucap syukur setelah mendengar keadaan Gaara. Kaki-kakinya sudah siap menumpu berat badannya setelah merasa ada beban berat yang berhenti menindihnya. Sebelum melangkahkan kaki dan mengandeng Takashi menjauh dari ketiga orang yang sedang bercakap-cakap tadi. Tiba-tiba seseorang memanggilnya.

"Nyonya Hinata?" Suara berat khas Tsunade tertangkap oleh gendang telinga Hinata. Sehingga mau tidak mau Hinata menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah dokter berambut pirang tersebut. "Anda benar Nyonya Hinata-kan? Istri Tuan Sabaku?" Selidik Tsunade mencoba mengingat-ingat wajah Hinata yang tidak jauh berbeda saat terakhir melihatnya lima tahun yang lalu.

"Ya—Ya—nama saya Hinata. Tapi saya bukan—"

"Syukurlah, cepat temui Tuan Sabaku! Dia mencarimu!" Sahut Tsunade memotong perkataan Hinata.

"Eh?" Karena belum mengerti maksud Tsunade. Hinata hanya bisa menanggapinya dengan wajah bingung.

"Tadi Tuan Sabaku sudah sadar dan dia mencarimu."

.

.

.

AMNESIA

DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO

Story by NEIYHA

Pair : Hinata Hyuuga x Sabaku No Gaara

Rate : T semi M

Warning: Typo,OOC,Gaje,Failed Romance, Alur kecepetan dan lain-lain.

Bandung—30.08.2012

.

.

.

"A—Ano Sabaku-san—" Dengan takut-takut Hinata memasuki ruangan tempat Gaara dirawat. Di hadapannya sudah ada sesosok pria yang sedang duduk diranjangnya. Tubuhnya yang atletis terbalut dengan banyak perban dan memakai baju hijau khas rumah sakit yang menandakan dirinya jauh dari kata baik-baik saja.

Gaara membalikan badannya mendengar suara seseorang yang sangat dirindukannya memanggilnya. Dipandanginya tubuh Hinata yang terlihat menyembul di balik pintu masuk dan perlahan-lahan bergerak mendekatinya. Tatapan Gaara yang tadinya hampa berubah menjadi lembut ketika Hinata sudah tergambar dengan jelas di iris jadenya. Takhayal kejadian tersebut membuat sang pemilik jade mematrikan senyum lembut dibibirnya.

"Takachi?" Itulah yang pertama kali keluar dari bibir Gaara dan walaupun hanya memanggil nama, tapi terlihat dengan jelas aksen kalimat tanya pada kata-kata itu.

"Taka-kun tidak apa-apa." Hinata yang mengetahui maksud perkataan Gaara hanya menjawabnya secara singkat tak lupa dengan menyembunyikan wajahnya dengan menunduk sehingga surai-surai indigonya menutupi wajahnya yang siap menangis lagi.

"Bagaimana denganmu?" Tanya Gaara lagi seolah belum puas mengetahui keadaan Hinata yang jelas-jelas masih berdiri sehat didepannya.

"Se—seperti yang kamu lihat, Sabaku-san. A—aku tidak apa-apa." Dengan nada yang bergetar dan mata yang berkaca-kaca Hinata kembali menjawab pertanyaan Gaara yang menurutnya sedikit bodoh itu. Buat apa menanyakan keadaan orang yang jelas-jelas masih berdiri tegak dihadapannya sedangkan dirinya sendiri berada di ranjang rumah sakit dengan penuh balutan perban?

"Syukurlah—" Ucap Gaara sambil menghela nafas lega mendengar keadaan dua harta paling berharganya yang masih sehat tanpa kurang satu apapun.

Hinata memandang Gaara tidak percaya. Perlahan-lahan lelehan air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Sungguh, Hinata tidak habis pikir apa yang ada didalam pikiran Gaara. Yang beberapa saat lalu merenggang nyawa itu Gaara sendiri. Kenapa masih sempat-sempatnya Gaara memikirkan dirinya? Memikirkan Hinata yang dengan teganya meninggalkan Gaara sendiri. Dengan cepat, Hinata segera membalikan badannya memunggungi Gaara. Rasanya semakin sesak saja berhadapan dengan Gaara yang seperti ini. Sebaiknya Hinata segera pergi sejauh-jauhnya dari Gaara.

"Tunggu—"

BRUUK!
Hinata memalingkan lagi wajahnya kebelakang untuk sekedar mencari tahu darimana suara jatuh itu berasal. Dari mata violetnya, dilihatnya Gaara yang sedang tersungkur di lantai karena memaksakan diri untuk segera bangkit dari ranjangnya sesaat setelah Hinata akan meninggalkannya. Beruntungnya, Hinata yang baru saja sampai di ambang pintu segera memutar badannya dan berjalan menghampiri Gaara dengan refleks.

"Ke—kenapa?" Tanya Hinata dengan terbata-bata. Gaara yang tiba-tiba dihadiahi pertanyaan seperti itu hanya bisa memasang ekspresi bingung walaupun tidak ketara dengan jelas. "Ke—kenapa kau menolongku?"

"Tentu saja karena kau istriku." Jawab Gaara spontan mendengar pertanyaan yang cukup terbilang aneh di telinganya. Bukankah wajar apabila seorang suami menolong istri yang sangat dicintainya walaupun itu harus menukar dengan nyawanya sendiri?

"Sudah kubilang aku bukan istrimu!" Bantah Hinata dengan nada yang histeris sambil bersimpuh didepan Gaara yang masih berusaha memperbaiki posisinya agar terduduk.

Isak tangis Hinata memecah keheningan ruangan rumah sakit yang terbilang berukuran cukup luas itu. Jam yang sudah menunjukkan pukul 12 malam tidak menghalangi Hinata untuk terus menangis. Hinata sudah tidak peduli apakah raungannya terdengar sampai keluar dan menganggu aktivitas istirahat pasien lainnya. Yang ingin dia lakukan sekarang adalah menangis. Menangis untuk menumpahkan rasa sakit karena telah menyia-yiakan orang yang sangat mencintainya.

"Ha—harusnya kau biarkan saja mobil itu menabrakanku." Ditengah isak tangisnya, Hinata mulai kembali berbicara, terlihat seperti memohon. Tapi permohonan yang tidak akan pernah dikabulkan oleh Gaara.

"Kau bercanda? Aku lebih baik mati daripada melihatmu seperti dulu lagi!" Timpal Gaara sesaat setelah pernyataan tersebut keluar dari mulut Hinata. Jujur Gaara sedikit kesal dengan tingkah Hinata yang memilih untuk menjadi korban seperti dulu. Gaara juga manusiakan? Gaara juga bisa kesal karena bukannya mengucapkan terima kasih, Hinata malah menyangsikan tindakannya.

"TAPI MUNGKIN SAJA DENGAN BEGITU AKU AKAN KEMBALI MELUPAKANMU!" Pekik Hinata semakin histeris sambil mengguncang kedua bahu Gaara. "Da—dan kita bisa memulainya dari awal—lagi." Gumam Hinata nyaris tak terdengar, tetapi karena saat itu suasana ruangan sangat sepi. Tentu saja Gaara dapat mendengar dengan jelas apa yang Hinata katakannya.

Mata Gaara mendelik. Ditatapnya dengan intens tubuh mungil yang masih gemetaran dihadapannya. Cengkraman Hinata pada baju Gaara mulai -tangan putih milik Hinata kembali menutupi mukanya dan berusaha untuk menghapusi air matanya yang masih tumpah dan tidak berhenti.

"Hinata—"

" Go—Gomen—" Bisik Hinata masih tetap menutupi wajahnya yang berantakan dengan kedua tangannya.

Gaara mengenggam tangan Hinata dan menjauhkannya dari wajah Hinata. Dipandanginya lekat-lekat manik violet milik Hinata yang berkaca-kaca yang mengandung arti penuh sesal dan—mencintai. Ya, Gaara melihat pandangan seorang Hinata yang mencintainya, bukannya yang membencinya seperti dulu.

"Kau tidak sedang bercandakan?" Selidik Gaara karena masih belum percaya akan telinga dan kedua matanya.

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Gaara segera merengkuh tubuh mungil Hinata kedalam pelukannya. Diciuminya rambut indigo Hinata yang menebarkan bau rindu yang selama ini selalu terkenang didalam dadanya. Tangan-tangannya yang besar memeluk Hinata dengan begitu posesif seakan-akan takut Hinata akan kembali menghilang ketika Gaara melepaskannya. Hinata yang tidak menduga akan mendapat perlakuan seperti itu dari Gaara tidak dapat bereaksi apa-apa. Hinata hanya diam dan membiarkan Gaara untuk terus memeluknya.

"Tidak perlu—" Ucap Gaara sambil yang mulai menjauhkan wajahnya dari surai indigo Hinata dan beralih ke lehernya untuk kembali memenuhi paru-parunya dengan aroma Hinata yang menguar. "Tanpa amnesia pun—" Gaara menghentikan perkataannya sejenak dan mengambil nafas. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya Gaara mencoba kembali bertanya kepada Hinata, dan berharap kali ini bukan penolakan yang terucap keluar dari bibir Hinata. "Kau yang sekarang sudah mencintaikukan?" Lanjutnya dengan hati-hati.

Hinata tersentak dengan pertanyaan Gaara. Rasa keterkejutannya membuat lidahnya kelu. Dengan takut-takut tangan-tangan Hinata mulai membalas pelukan Gaara dan mencengkram erat baju hijau yang melekat pada tubuh Gaara. Dibenamkannya kepalanya pada bahu Gaara yang berada didepannya dan mulai membalas pertanyaan Gaara dengan sedikit anggukan.

Seandainya Gaara tidak sedang cidera, mungkin yang dilakukannya sekarang adalah melompat dan berteriak kegirangan setelah mendapat jawaban Hinata yang seperti menerima lamarannya setelah beberapa tahun berlalu. Tapi saat ini Gaara sedang cidera ditambah dengan predikat yang disandangnya sebagai seorang stoic. Oleh sebab itulah mustahil bagi Gaara untuk melakukan euphoria seperti itu dan bagi Gaara hal ini patut dirayakan dengan hal yang berbeda. Gaara pun melepaskan pelukannya pada Hinata dan tangannya berpindah untuk merangkum wajah Hinata. Dengan perlahan, Gaara mendekatkan diri untuk mengurangi jarak antara wajahnya dan wajah Hinata. Bibir Gaara pun akhirnya bertautan dengan bibir milik Hinata. Bukan ciuman penuh nafsu, melainkan ciuman penuh cinta dengan bumbu rindu didalamnya.

"Arigatou—" itulah kata pertama yang Gaara ucapkan setelah melepaskan ciumannya.

"Sama-sa—" Sebelum menyelesaikan kalimat singkatnya. Gaara kembali memotongnya dengan cara menciumanya lagi. Tetapi kali ini ada yang berbeda dari ciumannya tadi, ciuman Gaara kali ini lebih berhasrat dan mengandung sedikit nafsu. Baiklah, siapa yang bisa menahan lagi setelah 5 tahun ditinggal oleh istrinya dalam masa-masa gejolak dewasanya sedang dalam posisi puncak. Harusnya kita berikan penghargaan kepada Gaara karena sudah bisa menahan selama itu tanpa pernah menyentuh wanita lain selain Hinata.

"Ehem—" Terdengar suara orang berdeham yang sontak membuat Hinata mendorong tubuh Gaara untuk menjauh. Gaara mengeram kesal karena kegiatannya terinterupsi, melalui jade miliknya Gaara melihat dua siluet tubuh dengan tinggi yang berbeda di ambang pintu kamar rawatnya. "Sebaiknya kalian beritahukan dulu semuanya pada dia." Ujar wanita tersebut sambil mengarahkan lirikan matanya pada seorang bocah yang matanya sedang berusaha ditutupi dengan kedua tangannya untuk memblokir penglihatan yang sedikit vulgar di mata anak berumur 4 tahun.

"Ga—Gaara—" Masih sedikit terbata untuk memanggil nama suaminya. Tubuhnya berbalik untuk melihat orang-orang yang sedang menjadi tamu mereka. "Ta—Taka-kun itu—anakmu."

Dan sepersekian detik setelah Hinata berkata seperti itu. Seulas senyum penuh sayang Gaara patrikan diwajahnya, membuat sang kakak sedikit terhenyak melihatnya. Sayangnya, orang yang menjadi alamat ditujukannya senyum tersebut tidak dapat melihatnya karena jari-jari lentik milik Temari masih menutupi matanya.

"Aku tahu." Gumamnya pelan sambil memegang erat tangan Hinata.

.

.

.

"Kemana saja kau, Hinata?" Tanya salah seorang tetangga yang bernama Konan melihat Hinata yang kembali ke apartemennya setelah seminggu menghilang.

Hinata menengok, mencoba melihat tetangganya yang tinggal di sebuah rumah yang terletak bersebelahan dengan apartemennya berlari-lari kecil ke arahnya dan masih membawa-bawa tas yang penuh belanjaan. Sepertinya tetangga tersebut sehabis pulang dari kegiatan belanjanya dan mendapati Hinata yang sedang berusaha membuka pintu apartemennya.

"Selamat siang, Konan-san—" Sapa Hinata singkat sebelum membalas pertanyaan tetangganya itu. "Aku hanya ada keperluan selama seminggu ini."

"Jangan buat aku khawatir Hinata!" Sela Konan. "Aku kira kau dan Takashi menjadi korban penculikan atau bagaimana. Kenapa tidak memberitahu terlebih dahulu kalau kau mau pergi?" Protes Konan karena kelakuan Hinata yang tidakmengabari bahwa dirinya akan pergi untuk beberapa hari.

"I—itu karena sangat mendadak sekali. Akupun tidak tahu kalau sampai seperti itu." Hinata menjawab dengan sedikit tergugup. Kepalanya menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Membicarakan hal yang terjadi seminggu yang lalu membuatnya mau tidak mau mengingat kejadian yang bisa membuat wajahnya merona setiap saat.

Konan terdiam, berusaha untuk mengingat suatu hal yang beberapa saat sempat menganggunya setelah bertetangga dengan Hinata selama beberapa bulan ini. Suatu hal yang dilihatnya dari balik layar kaca dan membuatnya sangat penasaran. Sudah beberapa kali Konan mencoba untuk membicarakan topik ini, tetapi selalu berakhir dengan ketidakberaniannya. Tapi untuk kali ini sepertinya Konan memiliki keberanian untuk menanyakannya.

"A—Ano Hinata—" Dan sebagai ganti keberaniannya itulah Konan terserang penyakit gagap Hinata.

Hinata kembali memandang Konan, berusaha untuk menyimak perkataan tetangganya yang kelewat kecil tersebut karena disebutkan dengan nada seperti orang berbisik daripada bicara. Konan yang mendapat perhatian dari Hinata akhirnya berusaha untuk kembali meyakinkan dirinya untuk bertanya.

"Me—mengenai ayah Takashi, jangan-jangan—"

"MAMA!" Suara cempreng milik Takashi memotong pembicaraan Hinata dan Konan. Suara teriakannya membuat keduanya refleks membalikan badannya untuk mencari arah letak sumber suaranya.

Dimata keduanya, terlihat Takashi yang memakai jaket hoddie hijau tua dengan celana pendek jeans sedang berada didalam gendongan seorang pria bertubuh tinggi atletis dan berbalut jas hitam lengkap dengan dasi berwarna merah yang melingkari kerahnya. Kedua orang tersebut berjalan mendekati Hinata dengan tangan Takashi yang masih melambai-lambai berusaha memanggil Hinata.

"Ja—jadi benar kalau ayah Takashi itu—" Konan hanya bisa membelalakan matanya melihat pemandangan di depannya. Sungguh, dia tahu siapa orang yang sedang mengendong Takashi itu. Itulah pria yang namanya hampir saja disebutkan olehnya. Pria yang diduganya sebagai ayah seorang Takashi setelah berkali-kali melihatnya sebagai Takashi versi dewasa dari kotak televisi 12 inch-nya. Pria yang dia kenal sebagai—Sabaku no Gaara, seseorang yang menguasai sebuah Sabaku Coorperation di usianya yang masih 33tahun.

"I—itu—" Wajah Hinata semakin merah sejalan dengan reaksinya menanggapi pernyataan tetangganya itu. Pandangan matanya beralih bergantian antara Konan dan kedua orang yang sangat disayanginya itu.

"Ada apa sayang? Kau sakit?" Tanya Gaara yang sudah berada disamping Hinata sambil melingkarkan tangannya yang bebas di pinggang Hinata sedangkan yang lain sedang sibuk mengendong Takashi yang meronta ingin berganti digendong Hinata.

"Ga—Gaara—a—aku—"

"Oh, ini tetanggamu? Perkenalkan nama saya Sabaku no Gaara, suami Hinata." Dan setelah itu yang terdengar hanya suara pekikan histeris Konan dan Takashi karena Hinata yang pingsan dengan muka memerah menyaingi rambut suami dan anaknya.

.

.

.

OMAKE

Takashi POV.

Perkenalkan, namaku Takashi Hyuuga dan usiaku 4 tahun. Tetapi marga Hyuuga itu hanya aku sandang sampai beberapa waktu yang lalu. Karena setelah mama dan papa berbaikan dan rujuk kembali, akhirnya margaku pun berubah seperti marga milik aku sedikit bingung untuk menerima keberadaan papaku ini. Dulu sesaat setelah menemukannya, mama bilang dia bukan papaku. Tetapi setelah beberapa saat papa menyelamatkan mama dan aku, mama bilang orang itu papaku. Aku benar-benar dibuat bingung karenanya tapi sudahlah toh yang terpenting aku bisa kembali bersatu bersama keluargaku yang utuh. Oh iya asal kalian tahu saja, sekarang namaku adalah Sabaku no Takashi.

Tiga bulan setelah kepindahanku ke rumah milik papaku. Aku masih belum terbiasa dengan suasananya. Apalagi suasana saat siang menjelang. Terlalu sepi menurutku, hanya beberapa orang pelayan dan mama saja yang menemaniku bermain. Walaupun papa sudah memanjaku dengan membelikan banyak mainan—yang kadang-kadang membuat mama marah karena sikapnya yang terlalu berlebihan— tetapi tetap saja untuk seorang anak berumur 4 tahun sepertiku mainan sebanyak apapun tidak akan berarti apabila dimainkan seorang diri tanpa adanya teman yang bermain bersamaku.

Malam itu kami makan malam bertiga. Aku dan mama duduk bersebelahan dengan mama yang mulai mengambilkan makanan ke atas piringku. Berbeda dengan papa yang duduk sedikit jauh dari kami karena jujur saja, hari itu papa kembali dimarahi oleh mama karena lagi-lagi kabur dari pekerjaannya dan pulang saat waktu masih menunjukkan jam 12 siang. Dan lagi-lagi mamalah yang mendapat laporan keluhan dari beberapa staf pekerjanya gara-gara papa yang membolos dari pekerjaannya dengan alasan kangen istri dan anak—itulah papa, dibalik sifatnya yang sedikit cuek dan wajahnya yang stoic. Hal itu bisa berubah dihadapan mama dan aku—papa memang sesosok pria yang mencintai keluarganya.

Ah—aku lupa, daripada membahas soal kedua orang tuaku yang tidak mungkin ada habisnya. Bagaimana kalau aku utarakan ideku pada mereka berdua? Mungkin dengan ide ini aku bakal mendapat seorang teman saat aku kesepian. Dan lebih bagusnya lagi, teman ini tidak akan pernah kembali kerumah yang lain walau waktu sudah menunjukan waktu malam.

"Mama—Papa—" Panggilku pada mereka berdua dan ditanggapi dengan pandangan mereka yang mulai mengarah kepadaku. "Aku bosan."

"Ah—kalau begitu besok minggu papa antarkan kamu untuk membeli mainan ba—"

"Bukan!" Potongku. Sepertinya papa tidak peka, bukannya aku bosan dengan mainan-mainan itu. Aku hanya bosan akibat dari kesepian karena tidak ada teman.

"Lalu apa yang kau inginkan, Taka-kun?" Tanya mama sambil membelai rambutku setelah mengirimkan deathglare pada papa yang lagi-lagi terlalu memanjakanku.

"Adik!" Ucapku lantang dan direspon dengan ekpresi keterkejutan yang terlukis di wajah kedua orang tuaku. "Aku ingin adik sebagai temanku."

Sedetik kemudian wajah mama berubah pucat pasi. Pandangannya dialihkan untuk melihat papa yang sedang terlihat berpikir keras. Entah apa yang lucu aku tidak tahu, tiba-tiba papa tersenyum dan memandang lurus ke arah mama. Sekilas memang—tapi aku lihat ada maksud lain dibalik senyumannya itu.

"Nah, kau dengar sayang? Sepertinya kita harus mulai berusaha malam ini." Ujarnya sambil terus memasang wajah senyumnya yang mengandung 1001 arti menakutkan bagi mama yang mengetahui maksud perkataan papa.

Takashi POV end.

.

.

.

BANZAAAAAIIII!
AKHIRNYA SUDAH SELESAAAAIII #narigangnamstyle

Maaf kalau ceritanya berakhir dengan abrsub begini—dan banyak typo #sudah berhari-hari kesimpen di leppi.

Saya emang nggak bakat menjadi penulis cerita romance -w-
Jadilah ending yang gajebo seperti ini.

Semoga semua berkenan.

Many Thanks to

ALL READERS who :

READ IT!

REVIEW IT!

FOLLOW IT!

AND ADD THIS STORY TO THEIR FAVORITE

Saya nggak tahu kudu ngomong apa—cerita ini bisa sampai seperti ini karena ada kalian semua. Maaf nggak bisa disebutin satu-satu #soalnya jam dirumah sudah nunjukin waktu 2malam.

SAMPAI BERTEMU DI CERITA SELANJUTNYA.

WITH LOVE—NEIYHA.

Ps. Minta reviewnya ya all untuk kesan,pesan, kritik dan sarannya :) dan janga lupa ikutin poll pair pasangan fav di profile saya untuk menentukan pasangan yang akan dibuat dinext FF.