OHAYOU GOZAIMASU, KONNICHIWA, KONBANWA MINNA-SAN!

Bosan dengan SasuHina akhirnya saya memilih membuat FF dengan pair GaaHina! Pair ini adalah pair favorit kedua saya setelah SasuHina, tetapi sayangnya pair ini sedikit jarang ada yang melirik atau kadang-kadang malah Gaara menjadi pihak ketiga didalam pair SasuHina yang membuat saya sedikit miris. (Hiks! Suamiku!)

Saya tahu kok bahwa saya author tidak bertanggung jawab yang masih punya hutang FF banyak dengan readers yang membaca beberapa FF multichapter yang saya buat. Tapi salahkan tangan saya yang memang ingin cepat-cepat menulis cerita ini sebelum idenya menguap dari kepala saya.

Ok for GaaHina Lovers saya harap cerita ini berkenan di hati readers. Dan buat yang lain semoga dengan cerita ini jadi melirik pair GaaHina sebagai pair yang berpotensi. /eh?

.

.

.

"Hinata kau tidak seriuskan?" Tanya pria berambut merah marun itu dengan tampang datar yang sama sekali tidak memperlihatkan kecemasan padahal ekspresinya sangat berbeda sekali dengan jeritan hatinya yang kacau.

"Te—tentu saja aku serius." Jawab Hinata mencoba menenangkan dirinya dan menjawab pertanyaan pria didepannya setenang mungkin.

"Tidak, aku tidak setuju." Sahut pria itu tegas sambil kembali menyesapi cangkir kopi yang tersaji mencoba untuk tidak terbawa amarahnya.

"Ke—kenapa tidak? Kau cukup menandatangani surat inikan?" Perintah Hinata sambil menyodorkan sebuah kertas diatas meja.

Sesaat pria tersebut melirik kertas yang ada diatas meja melalui ekor matanya. Tetapi sepertinya cangkir putih yang berisi kopi hitam ditangannya lebih menarik daripada kertas itu. Sehingga tidak lama setelah itu, pandangannya kembali beralih untuk memperhatikan riak-riak air kopi didalamnya.

"Ja—jangan diam saja!" Bentak Hinata pada pria tersebut. "Kau tahukan aku sudah bersabar selama ini!" Rutuk Hinata sambil mengepalkan tangannya dan berakhir dengan suatu gebrakan keras pada meja yang menjadi korban kemarahannya.

Hinata yang kita kenal sebagai gadis yang pemalu, kalem dan lemah lembut pun punya batas kesabaran. Dan kali ini kesabarannya sudah habis menghadapi manusia minim ekspresi dan tanpa hati didepannya itu. Daritadi Hinata sudah mencoba untuk tidak meluapkan semua kemarahannya, tapi toh salahkan pria itu karena berkatnya bendungan amarah Hinata akhirnya jebol dan semua menyembul keluar.

"Aku tidak mau." Ucap pria itu singkat. "Jangan paksa aku." Imbuhnya sambil mendorong kertas yang terpampang didepannya menjauh dari tempatnya.

"Terserah kau sajalah!" Pekik Hinata histeris dan hebatnya tanpa gagap.

Hinata segera beranjak dari tempatnya duduk dan berlari menjauhi pria tersebut. Masih dapat terdengar dengan jelas suara kayu yang bergesekan dengan lantai yang menandakan bahwa pria tersebut juga refleks berdiri untuk mengejar Hinata. Hinata sudah sampai diluar restoran dan mulai mengambil ancang-ancang untuk menyebrangi jalanan yang ramai.

"HINATA!" Panggil pria itu sambil membanting pintu restoran yang dibukanya.

Hinata yang tidak mengindahkan panggilan tersebut kembali berlari tanpa memperhatikan bahwa lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Hijau yang artinya jalan bagi kendaraan dan berhenti bagi pejalan kaki. Itulah kesalahan terfatalnya.

"HINATA AWAAAAAAAAAS!"

.

.

.

AMNESIA

DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO

Story by NEIYHA

Pair : Hinata Hyuuga x Sabaku No Gaara

Rate : T possible M

Warning: Typo,OOC,Gaje,Failed Romance, Alur kecepetan dan lain-lain.

Bandung—25.06.2012

.

.

.

Hinata POV

Terangnya lampu yang ada disebelahku memaksaku untuk segera membuka mataku. Cahayanya yang menyeruak masuk kedalam lensa mataku membuatku mengalami buta sesaat sehingga untuk sepersekian detik rasanya semua gelap. Setelah mataku beradaptasi dengan keadaan sekitar, sekarang giliran otakku yang harus beradaptasi dengan keadaan sekitar karena sepertinya ruangan itu sangat asing bagiku.

Kuedarkan pandanganku mengitari ruangan tersebut yang tentunya sangat terbatas karena posisiku yang sedang terbaring. Mataku memicing berusaha mengabsen setiap benda yang aku lihat. Tirai putih yang tergantung dijendela. Meja kecil dengan tatanan vas bunga dan gelas berisi air yang tertata rapi. Sofa hitam yang tersedia dipojok ruangan. Tiang peyangga dan selang infus yang terhubung ke tanganku. Eh tunggu? Infus? Apakah saat ini aku sedang berada dirumah sakit? Memangnya apa yang terjadi padaku?

"Rumah sakit?" Gumamku pelan seraya mencoba mengingkat-ingat apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku.

Merasa ada yang janggal dengan keadaanku sekarang. Aku mencoba sekuat tenaga untuk merubah posisiku yang terbaring menjadi duduk. Tapi yang ada malah rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang kepalaku. Saat kusentuh dahiku yang tertutup poni rataku, kudapati bahwa balutan perban sudah mengikat dengan rapi disana. Sehingga satu kesimpulan yang bisa kutarik. Sepertinya aku mengalami kecelakaan.

"Bodoh sekali." Rutukku pada diriku sendiri yang bahkan sama sekali tidak mengingat kejadian kecelakaan yang barusan aku alami.

Pelan-pelan kudengar suara derit pintu yang menandakan bahwa ada orang yang memasuki kamarku. Dengan segera kupalingkan wajahku untuk menghadap tamu yang sedang mengunjungiku ini. Hingga akhirnya kudapati seorang pria berambut merah marun dan kemeja yang lumayan acak-acakan sedang memandang dengan intens kearahku.

"Syukurlah kau sudah sadar." Ucapnya lega sambil bergegas menuju tempatku terduduk.

Kumiringkan sedikit kepalaku mencoba melihat ekspresi wajahnya lebih jelas. Benarkah pria ini bersyukur karena kesadaranku telah pulih? Toh, sepertinya aku tidak melihat ekspresi kecemasan padanya. Mukanya terlihat datar-datar saja, sepertinya dia memang bercanda.

"Kau sudah dua hari tidak sadarkan diri." Ucapnya lirih begitu sampai dihadapanku.

Dua hari? Ternyata sudah lama sekali aku tertidur. Aku kira tidak akan sampai selama itu. Apakah kecelakaan yang menimpaku sangat parah sekali sampai-sampai aku sudah melewatkan waktu hidupku selama 2 hari hanya dengan terbaring tidak sadarkan diri? Kenyataan seperti itu membuatku sedikit terkejut, pasalnya seperinya badanku tidak apa-apa kecuali kepalaku tentu saja karena harus menerima balutan perban.

Ah, tunggu sebentar! Sepertinya ada yang lebih penting daripada itu. Sebenarnya aku masih merasa heran dan ragu-ragu untuk menanyakan hal ini. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada nanti aku bingung sendiri.

"Hey—" Kutarik sedikit lengan kemejanya membuat sang empunya sedikit mendongakan kepalanya yang tadi sempat menunduk untuk melihatku. "Boleh aku bertanya?" Tanyaku takut-takut.

"Hm—" Respon pria tersebut yang kuanggap sebagai jawaban 'iya'

"Si—siapa kamu?" Tanyaku padanya yang direspon dengan pandangan tidak percaya yang datang dari pemilik iris hijau emerald dihadapanku.

Hinata POV end.

.

.

.

Gaara masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh wanita didepannya. Telinganya masih berfungsi dengan baikan? Tidak perlu sampai harus periksa ke THT untuk memastikan bahwa tadi dia tidak salah dengar. Tetapi tidak ada salahnyakan untuk memastikan pertanyaan itu sekali lagi?

"Apa maksudmu?" Tanya Gaara mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan membatin bahwa memang sepertinya tadi dia salah dengar.

"A—aku tanya siapa kamu? Aku merasa tidak pernah mengenalmu." Jelas Hinata sambil menautkan kedua alisnya berusaha mengingat-ingat sosok yang sedang berdiri didepannya ini.

Bagai tersambar petir disiang bolong. Gaara segera menarik pergelangan tangan Hinata dengan kuat tanpa memperdulikan rintihan sakit dari Hinata. Mata emeraldnya menatap tajam mata pearl milik Hinata, mencoba memastikan bahwa apa yang dikatakan Hinata bukan hanya kebohongan belaka.

"Aw—aw sakit! A—apa-apaan sih?" Protes Hinata yang mendapati tangannya merasa sakit akibat tarikan yang Gaara lakukan.

Gaara tidak mempedulikan protes yang dilayangkan Hinata padanya. Matanya sibuk menelusuri setiap jengkal kilatan mata milik Hinata. Dalam hati dirinya menjerit memohon bahwa yang tadi semua Hinata katakan hanya sebuah lelucon biasa. Tapi nihil! Yang ditemukannya adalah kesungguhan dan pandangan benci dari seorang Hinata yang sedang meringgis kesakitan dihadapannya.

"Le—lepaskan aku! Sakit tahu!" Pekik Hinata sambil mengibaskan tangannya karena sepertinya Gaara enggan melepaskan genggamnya pada pergelangan tangannya.

Dengan cepat Gaara melepaskan tangannya dari pergelangan Hinata. Hinata yang sudah mendapati tangannya bebas dari Gaara pun segera mengelusi pergelangan tangannya yang sedikit memerah karena cengkraman erat dari Gaara.

"Ja—jadi—" Gugup! Itulah yang melanda diri Hinata. Merasa tidak kenal dengan orang didepannya, membuat Hinata menjadi gugup menghadapi orang tersebut. Tidakkah Hinata ingat bagaimana sikapnya didepan Gaara sebelum kecelakaan itu menimpanya? "A—apakah kau bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" Pinta Hinata pada Gaara yang hanya dibalas dengan tatapan sendu dari pria itu.

"Apakah kau tidak ingat aku?" Tanyanya pada Hinata tanpa mencoba untuk menjawab pertanyaan Hinata terlebih dahulu.

Sebenarnya Hinata sedikit kesal dengan tingkah laku Gaara saat itu. Bukannya menjawab pertanyaan, tapi pria tersebut malah balik tanya kepadanya. Karena enggan untuk menjawab Hinata pun hanya merespon pertanyaan Gaara dengan menggelengkan kepalanya.

"Ka—kalau aku ingat aku tidak akan bertanya siapa ka—kamu." Sahut Hinata masuk akal. "Aku ingat bahwa namaku Hinata Hyuuga, umur 20 tahun dan anak dari keluarga Hyuuga. Tapi aku merasa tidak pernah mengenalmu!" Jelas Hinata panjang lebar sambil memainkan ujung selimutnya yang berwarna hijau muda.

Gaara hanya menggeleng pelan menanggapi presentasi dadakan dari Hinata. Hinata yang melihat respon Gaara hanya bisa mengeryitkan alisnya.

"A—ada yang salah?" Tanya Hinata melihat ekspresi Gaara yang sepertinya menunjukan raut muka bukan—seperti—itu.

"Kau—" Gaara mencoba mengambil udara sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan perkataannya. "Bukan Hyuuga lagi. Namamu sekarang adalah Sabaku no Hinata." Jelasnya singkat yang membuat Hinata sedikit membulatkan matanya karena tidak percaya. "Aku suamimu." Imbuhnya cepat yang kemudian direspon dengan teriakan histeris yang keluar dari bibir Hinata.

.

.

.

Gaara POV

Amnesia?

Itu yang mereka katakan padaku. Kata dokter yang memeriksa keadaan istriku—ah maksudku Hinata. Dokter yang tadi datang memeriksanya mengatakan bahwa benturan yang diakibatkan kecelakaan yang menimpanya dua hari lalu, membuatnya menderita amnesia.

"Sepertinya saat kecelakaan, Nyonya Sabaku mengalami benturan yang keras pada kepalanya sehingga mengalami gegar otak untuk jangka waktu yang tidak dapat kami prediksi." Jelas seorang dokter wanita berambut pirang kepadaku ketika aku meminta penjelasan darinya.

Baiklah, dengan lapang dada akan kuterima keadaan istriku sekarang. Tapi ada hal yang tidak bisa kuterima sampai detik ini! Kenyataan yang membuatku sakit sekali! Tapi bukan aku namanya kalau meluapkan perasaanku sampai orang-orang tahu apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku ini orang yang pandai berakting, menutupi segala perasaanku dengan ekspresi wajahku yang datar.

Ok, kita kembali ke topik yang belum sempat aku bahas. Kalau kalian bertanya apa yang membuatku sakit hati. Jawabannya adalah—karena akulah satu-satunya orang yang Hinata lupakan! Kalian tadi sudah melihatkan, bahwa dengan fasihnya Hinata menjelaskan nama dan asal-usulnya tanpa tergagap sedikitpun. Tapi giliran tentangku? Hinata tidak tahu apa-apa mengenaiku, ingatannya tentangku nol besar!

"Itu namanya amnesia sebagian. Sepertinya Nyonya Sabaku mengalami sedikit ganguan psikologis tentang diri anda. Sehingga alam bawah sadarnya memilih untuk melupakan anda. Apa tuan ada masalah dengan nyonya?" Tanya dokter wanita tersebut mencoba mengintrograsiku.

Masalah dia tanya? Ya! Aku memang sedang ada masalah dengan istriku. Hari ini saja, sebelum kecelakaan itu terjadi aku sempat bertengkar hebat dengannya. Kalian masih mau tanya kami bertengkar tentang apa? Bukankah didengar dari isi pembicaraanku dan Hinata kalian sudah bisa menebak? Hari ini Hinata mengundangku datang kerestoran yang dijanjikannya dengan maksud ingin menceraikanku. Surat yang tadi diserahkan padaku itu adalah surat gugatan cerai yang dia layangkan padaku. Kalau saja tadi aku menandatanganinya pasti tidak akan begini. Ah, tidak! Mana rela aku menandatanganinya.

"Gaara! Dimana Hinata?" Kudengar suara mertuaku memanggilku dan kupalingkan wajahku untuk melihat seorang pria paruh baya dan wanita paruh baya yang terpogoh-pogoh mendatangiku.

"Dia ada didalam." Jawabku singkat sambil menunjukan pintu yang ada dibalik punggungku dengan mengangkat ibu jariku kebelakang.

Aku pun segera menyingkir untuk mempersilahkan mereka masuk ke dalam pintu yang daritadi aku jaga sendiri. Setelah kedua punggung kedua orang tersebut menghilang dibalik pintu. Lagi-lagi aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Entah karena menyesal dengan perbuatanku yang menyebabkan Hinata menjadi amnesia, ataupun harus bersorak gembira karena berarti aku tidak jadi kehilangannya.

Gaara POV end.

.

.

.

"Tou-san, Kaa-san, to—tolong katakan padaku kalau ini bercanda." Selidik Hinata sambil menatap kedua orangtuanya bergantian.

"Maksudmu apa Hinata?" Tanya wanita paruh baya itu sambil tetap mengupas apel yang dipegangnya dengan tenang karena tidak mengetahui maksud pertanyaan putri semata wayangnya itu.

"Er—maksudku—" Ucapan Hinata tersendat begitu mengetahui bahwa sepertinya orang tuanya belum tahu bahwa dirinya mengalami hilang ingatan sebagaian. Hinata sendiri toh sudah tahu, karena memang dokter wanita itu yang mengatakan padanya. "A—apakah benar, pria yang ada didepan pi—pintu itu benar-benar 'suami'ku? Soalnya tadi dia mengaku kalau aku adalah istrinya." Lanjut Hinata yang tidak menyadari bahwa raut wajah kedua orang didepannya menjadi mengeras.

Kedua orang dihadapannya saling berpandangan penuh arti. Sesaat setelah itu, Hiashi ayah Hinata beranjak keluar kamar dengan tergesa-gesa sedangkan ibunya tetap dikamar tersebut berusaha untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Hinata—atau lebih tepatnya bertanya balik.

"Hi—Hinata, kau tidak ingat?" Tanya wanita paruh baya itu yang sepertinya ikut tertular penyakit gagap Hinata.

"Ti—tidak." Jawab Hinata mantap walaupun sedikit tergagap.

Mendengar pertanyaan itu untuk sekian kalinya, membuat Hinata mencoba berpikir keras untuk membuka kotak memorinya yang sepertinya masih tertutup dengan rapat. Lagi—lagi—dan lagi! Hinata mencoba memikirkan bagaimana caranya dia bisa mempunyai suami seperti orang itu? Wajahnya tampan dengan mata hijau emerald yang indah. Tubuh yang tinggi dan dada yang bidang. Ditambah dengan penampilan bak eksekutif muda walaupun tadi terlihat sedikit acak-acakan. Tidak mungkinkan Hinata yang biasa-biasa saja seperti itu mendapat suami yang gorgeus seperti pria berambut merah marun tadi.

Dan akhirnya pikirannya yang tiba-tiba melayang seperti itu membuatnya blushing seketika. Bagaimana bisa dikondisi seperti ini otaknya masih sempat berpikir hal macam itu? Hinata pun kembali menyalahkan benturan yang terjadi pada kepalanya. Dipukul-pukulnya pelan kepalanya mencoba untuk mereset pikirannya yang mulai ngaco. Tapi bukannya memperbaiki otaknya, hal tersebut malah membuat kepalanya sakit lagi.

"Hinata, apa yang sedang kamu lakukan!" Cegah ibunya melihat tindakan bodoh yang sedang dilakukan oleh Hinata.

Hinata hanya bisa merintih pelan karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka yang menempel pada kepalanya. Ibunya yang cemas pun segera mendatanginya dan menyerahkan segelas air putih pada Hinata.

"Ini minumlah!" Tawar ibunya sambil menyerahkan gelas yang dia genggam.

Hinata yang memang pada dasarnya penurut langsung saya mengiyakan tawaran ibunya tersebut. Diambilnya gelas berisi air tersebut dan diminumnya seteguk demi seteguk sampai isinya hilang setengahnya. Setelah dirasa cukup menghilangkan rasa dahaganya dan sedikit mengurangi rasa sakit dikepalanya, Hinata kembali meletakan gelas bening itu diatas meja.

"Terima kasih Kaa-san." Ucap Hinata sambil menyeka air yang masih tertinggal disela-sela bibirnya.

BRAK!

Terdengar suara pintu dibuka secara paksa. Hinata dan ibunya pun refleks menolehkan kepalanya untuk melihat dua siluet manusia yang memasuki kamar Hinata dengan jalan yang tergesa-gesa. Kedua orang tersebut adalah ayah Hinata dan laki-laki yang bermarga Sabaku yang berjalan mengiringi masuknya Hiashi. Ah, bahkan Hinata pun belum sempat mengenal nama pria tersebut selain marganya, bagaimana bisa dia menjadi istrinya?

"Hinata—" Panggil Hiashi pada Hinata. "Aku sudah dengar semuanya." Lanjutnya yang hanya bisa ditanggapi Hinata dengan sedikit anggukan mengetahui bahwa mungkin orang dengan status 'suami'nya tersebut sudah menceritakan bagaimana keadaannya.

"Memangnya ada apa suamiku?" Tanya ibu Hinata penasaran dan sedetik kemudian Hiashi sudah menariknya untuk keluar dan mencoba menjelaskan secara bijak pada istrinya tentang perihal yang menimpa putri semata wayangnya itu.

Tinggalah di ruangan tersebut Hinata dan Gaara berdua. Suasana canggung meliputi kamar yang berukuran 12x15m tersebut. Cukup lebar memang bagi ukuran suatu ruangan di rumah sakit. Mengingat sepertinya Gaara adalah orang berdompet tebal yang sanggup membeli pelayanan kelas VVIP yang ditawarkan rumah sakit tersebut.

"Ma—maaf." Hinata mencoba membuka percakapan walaupun sedikit tergugup dengan orang asing yang ada didepannya.

"Apa?" Tanya Gaara singkat menyadari bahwa maksud Hinata meminta maaf pasti akan mengajukan pertanyaan. Kebiasaan lama.

"A—aku belum tahu namamu." Ucap Hinata lirih sambil mengigit bibir bawahnya sehingga terdengar sedikit bergumam.

"Gaara—" Kalimatnya mengantung sesaat sampai kemudian akhirnya dilanjutkan lagi."Dan marga kita sama sekarang." Imbuhnya cepat sambil berpaling menatap Hinata (lagi).

Hinata sedikit risih dipandangi Gaara dengan tatapan intens seperti itu. Sehingga Hinata memilih untuk memalingkan wajahnya menghindari tatapan Gaara yang menurutnya sanggup membuat hatinya meleleh untuk sesaat.

"Ma—maaf tadi aku berteriak." Pinta Hinata mengingat insiden teriakannya beberapa detik setelah Gaara mendeklarasikan dirinya sebagai suami Hinata. "Aku masih belum percaya bahwa aku sudah—mempunyai suami."

"Kau perlu bukti?" Tanya Gaara pada Hinata. "Aku bisa menunjukannya." Lanjutnya tanpa memerlukan jawaban dari Hinata.

Hinata hanya bisa diam terpaku ditempat duduknya. Memang itu yang dibutuhkannya sekarang, Hinata perlu bukti yang memang benar-benar membuktikan bahwa dia adalah wanita paling beruntung karena mempunyai suami seperti Gaara.

"Dua hari lagi kau boleh pulang." Ujar Gaara sambil melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. "Setibanya dirumah aku akan menunjukan semuanya padamu." Suara Gaara pun akhirnya menghilang diiringi dengan suara pintu yang tertutup kembali.

.

.

.

Ini adalah FF terpanjang saja menginggat FF yang lain biasanya tidak lebih dari 6-7 lembar. So, sedikit menguras tenaga sih. Tapi nggak apa yang penting hobi tersalurkan mumpung lagi liburan. Hahahaha /ketawa nista.

And Last!

REVIEWMU SEMANGATKU!

Mind to RnR?

Review or delete?