Chapter 5

People from The Past (Part 1)

Let's go home, let's meet

Behind the moon, white rabbit

Let's return, when tomorrow comes

—Home Sweet Home (Yuki)—


Malam di Pekan Raya, Beberapa hari sebelumnya

"Aku bilang lari Hinata! Larilah yang jauh!..."

Suara bariton Madara berulang kali terngiang dengan sangat jelas di kepalanya. Selain suara deru hembusan nafasnya yang tersenggal-senggal hanya kata itulah yang bisa ia dengar. Sangat aneh jika telinganya tak bisa menangkap sedikitpun suara dari orang-orang disekitarnya, yang ia yakini sangat ribut. Hinata menoleh ke belakang —entah sudah yang ke berapa kalinya — untuk mendapati bahwa lagi-lagi Madara sedang tak dibelakangnya. Serta untuk menyadari tempat dimana ia tengah berdiri sekarang.

Ah ya! Disinilah ia sekarang berada, di tengah-tengah ratusan orang yang sedang berlalu-lalang disekitarnya. Ia hanya terpaku, terdiam ditempat, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak jarang ia bertumbukan dengan orang lain karena memang posisinya yang jelas-jelas menghalangi jalan. Dan seperti seorang yang tengah tersesat ia celingukan bingung menentukan jalan.

'Bangunlah Hinata!' Hinata menggelengkan kepalanya mencoba dengan sekuat tenaga mengusir halusinasinya yang tak masuk akal. 'Oh, ayolah Hinata! Kau tak punya waktu untuk ini.' Sisi rasionalnya muncul untuk mengingatkan. 'Benar, aku tak punya waktu untuk ini.' Hatinya membisikkan kalimat persetujuan sementara kakinya mulai melangkah ragu. Namun, seiring dengan langkahnya yang terus bertambah keraguan itupun hilang. Dengan senyum simpul yang menghiasi bibirnya, Hinata akhirnya bisa merasakan betapa indahnya malam ini.

Suara pemilik stan yang bersahut-sahutan di pinggiran jalan seakan tak mau kalah dengan pembelinya membuat pekan raya ini semakin terasa ramai. Keramaian yang memekakkan telinga namun membahagiakan itu terdengar bersahut-sahutan. Ramai dan ceria dengan lampion berbagai warna yang menyala indah. Well, inilah pekan raya yang entah sudah berapa lama tak Hinata kunjungi. Dengan langkah pelan yang terlihat rapuh Hyuga Hinata memulai petualangannya.

Sebuah stan permainan sederhana menarik perhatian mata pearl Hinata. Sepasang muda-mudi berdiri di depan meja kayu yang cukup lebar. Sebuah bola kecil tergenggam di tangan kanan si pria yang masih sangat muda, di sampingnya berdiri seorang gadis yang terlihat tengah membagikan semangatnya pada si pria. Hinata tersenyum kecil pada dua sejoli yang mengingatkannya pada masa SMA-nya yang biasa. Ia lalu berlalu mengikuti kemana selanjutnya kakinya melangkah dan membawanya malam ini. Namun, matanya tak bisa lepas dari sisi lain meja dimana koi-koi kecil berwarna merah berenang meliuk-liuk di dalam jernihnya air.

"Mau mencoba menangkap ikan koi, nona?" Si pemilik stan menawari seakan sadar akan ketertarikan Hinata.

"A-aku... aku..." Hinata terbata, gugup bercampur malu saat ia menyadari bahwa ia tak membawa sepeserpun uang.

"Jangan begitu nona, kemarilah!" Muncul seorang wanita yang tak Hinata sadari keberadaannya. "Kalau anda hanya berdiri di situ, orang-orang akan menganggap kalau stan kami membosankan." Wanita itu tersenyum lembut dan menarik Hinata dari kerumunan orang yang ingin lewat.

"Ta-tapi, aku... aku tak punya uang." Ia menolak lirih, membisikkan tiga kata terakhir berharap agar wanita yang jauh lebih tua darinya itu tak mendengar.

"Itu tak masalah nona. Ini cobalah!" Wanita itu menyerahkan jaring kertas tipis. "Anggap saja ini hadiah pembukaan stan kami." Gadis Hyuga itu tak bisa menolak lagi.

Hinata menatap puluhan koi-koi kecil yang terlihat bersinar diterpa cahaya lampion. Salah satu di antara koi itu menarik perhatiannya. Dengan gerakan yang cepat namun kikuk Hinata menggerakkan tangannya. Dan...

HUP!

Tanpa ia sadari koi yang sedari tadi ia incar sudah tidak lagi berenang bebas seperti beberapa detik yang lalu. Hinata termenung. Bukankah ini terlalu mudah?

"Ah, selamat Nona!" Wanita cantik pemilik stan menepukkan kedua tangannya, menghasilkan suara yang membuat Hinata kaget. "Sebagai hadiahnya..." Wanita itu merogoh sakunya, tetapi sepertinya tak dapat menemukan apapun, "...hmm, tunggu sebentar. Dimana ya aku menyimpannya?" Sementara itu Hinata menatap koi kecil yang kurang beruntung karena tersangkut di jaring kertasnya. Ia memasukkan lagi jaring itu ke dalam air, membuat si koi bebas berenang seperti sedia kala. Ia sudah memutuskan. Setelah ini, ia akan kembali lagi ke tempat Madara, meski waktu yang ia miliki masih cukup panjang.

"Ah, Ini dia!" Hinata tak lagi dapat menghitung sudah berapa kali wanita itu berseru 'Ah'.

Sebuah kotak kayu kecil berwarna coklat yang terlihat tua diletakkan di atas meja. Hinata hanya bisa menatap tangan pucat yang tengah berusaha membuka kotak itu.

"Ini dia Nona, liontin spesial untuk wanita yang spesial pula." Wanita berbisik lembut, meraih tangan Hinata dan meletakkan sebuah liontin mungil dengan bentuk yang mengingatkannya pada bentuk Yin —atau mungkin Yang. Berwarna bening dengan garis-garis tak beraturan sewarna langit, yang seolah-olah terperangkap di dalamnya. Tali dari kulit kayu yang tak Hinata ketahui namanya terikat dengan rapi, tepat di tempat di mana titik di simbol Yin atau Yang seharusnya berada. "Cantik bukan?"

Hinata terpana. Garis-garis biru dalam liontin itu seakan membawanya ke dimensi lain. Membuatnya merasa... Déjà vu.

"Iya, cantik." Lagi-lagi ia hanya bisa menjawab lirih, masih terpana pada garis-garis biru dalam liotin itu. Tapi tidak bisa. Hinata tidak bisa menerimanya. Liontin itu terasa terlalu berharga untuk diberikan padanya, yang bahkan tak membayar sepeserpun tadi.

"Terima kasih. Tapi... " Hinata berusaha menolak liontin itu tetapi suaranya tercekat. Ia hanya bisa menatap tempat kosong di hadapannya, yang sebelumnya tak kosong sama sekali. Aneh, dari semua emosi yang ia rasakan, Hinata tak merasa takut sedikitpun. Hinata menilai dirinya sebagai seorang yang penakut. Ia takut melawan Madara —ia memang tak benar-benar memiliki kekuatan untuk itu—, ia takut melukai perasaan orang lain, waktu kecil dulu ia bahkan takut kodok. Hal-hal yang bisa dibilang kecil. Tapi, ketika kejadian besar yang umumnya membuat orang lari tunggang-langgang tak membuatnya takut, bisakah ia menyebut dirinya sendiri pemberani?

Sekali lagi Hinata hanya bisa berdiri diam, terlalu banyak pikiran yang mengisi otaknya. Tangannya menggenggam erat satu-satunya bukti yang menyatakan jikalau saat ini ia tidak sedang bermimpi. 'Liontin spesial untuk wanita yang spesial pula.' 'Suara itu terus terngiang dengan sangat jelas di telinganya. Apa maksud wanita itu?


London Airport,

Monday 08.50 am London time / 04.50 pm Tokyo time

Hari ini adalah hari Senin yang sibuk. Semua orang mengawali minggunya dengan pergi bekerja seperti yang biasa mereka lakukan. Walaupun jam berangkat kerja sudah berakhir hampir dua jam yang lalu, tetapi tetap tak mengurangi keramaian yang ada. Fasilitas-fasilitas publik bisa dipastikan adalah yang paling sesak. Salah satunya di sini.

Tempat penyedia jasa transportasi udara ini penuh oleh ribuan manusia yang saling berdesak-desakan. Ada ratusan penumpang yang baru saja landing setelah berjam-jam di dalam pesawat, beberapa pramugara tampan berseliweran melayani calon penumpang, serta tak ketinggalan petugas imigrasi yang sangat berhati-hati mengawasi setiap gerak-gerik manusia yang berlalu-lalang. Di antara ribuan orang itu, seorang gadis berambut pirang terang terlihat menyeret sebuah koper berukuran sedang. Ia berjalan dengan sangat tenang melewati ribuan orang, tak sekalipun bersenggolan dengan siapapun sejak tadi.

Berpasang-pasang mata mengawasi gerak-geriknya dengan seksama. Tak ada sedikitpun kecurigaan yang terpancar dari raut mereka. Yang ada hanyalah tatapan ketertarikan dan bahkan... kekaguman. Beberapa dari mereka tak ragu, bahkan secara terang-terangan menatap gadis berambut panjang itu dari atas ke bawah. Satu hal yang dianggap tak sopan jika saja gadis itu sekarang ada di bagian lain bumi.

Sementara, gadis yang menjadi objek 'pengamatan' itu hanya melirik sekilas lewat kaca mata gelapnya dan berlalu seperti tak terjadi apa-apa. Barulah ketika ia sampai di depan pintu yang bertuliskan VIP-Departure 1 ia berhenti. Beberapa petugas imigrasi bertubuh besar mengamankan area itu dari penumpang-penumpang nekat yang tak berkeperluan. Seakan tak ingin membuang-buang waktu lagi, gadis itu masuk ke dalam queue line. Tak banyak yang berbaris di sana hanya ada tiga orang, termasuk dirinya yang berada di barisan paling belakang.

"Good morning, Miss... your boarding ticket and passport, please." Seorang pria – bermata hijau dengan British accent-nya yang kental – mencoba menjalankan tugasnya dengan baik meskipun perhatiannya sedikit terpengaruh oleh penumpang cantik di depannya itu.

"Sure." Dengan senyum simpul yang manis, gadis itu menyerahkan beberapa berkas yang sebelumnya sudah ia keluarkan dari dalam tasnya yang mahal.


Menjadi kaya terkadang identik dengan teknologi canggih yang menyilaukan mata. Kita ambil Tony Stark sebagai contohnya. Tak ada yang tak mengetahui kalau playboy kaya itu sangat terobsesi dengan teknologi. Ia bahkan berhasil menciptakan baju robot super canggih yang membuatnya menjadi seorang superhero berjuluk ironman. Well, mungkin cerita hidupnya hanya ada dalam serial komik fiksi. Tetapi, bukan berarti life style seperti itu tak ada di kehidupan nyata.

Uchiha Izuna, adik dari Madara Uchiha, adalah pria yang terjebak dalam gaya hidup yang menurutnya menjemukan. Ia memang tak pernah complain karena bisa mendapatkan semua yang ia inginkan dengan sedikit usaha atau bahkan tanpa usaha sama sekali. Namun, semua hal selalu berbatas.

Duduk di sebuah kursi yang sepertinya didesain dengan kenyamanan tinggi, ialah Izuna. Beberapa flight attendants berseliweran menyajikan berbagai jenis hidangan yang sudah hampir memenuhi meja kecil di depannya. Izuna bergeming, pandangannya fokus pada sebuah majalah bisnis dan sesekali ia menyesap wine dari gelas yang bertengger di tangan kirinya.

"Tuan…" Seorang pria yang jauh lebih tua dari Izuna berbisik lirih dengan nada tak yakin. "Ada sedikit gangguan," Pria berjas hitam itu melanjutkan setelah mendapatkan perhatian tuannya.

"Gangguan?" Izuna menutup majalah yang ia tadi baca dengan sedikit keras. Hal macam apa yang bisa mengganggu penerbangan pribadinya yang hanya tinggal beberapa menit lagi itu.

"Maaf Tuan, tapi…"

"Izuna." Pria yang bertanggung jawab atas keamanan pria bermarga Uchiha itu tak bisa menyelesaikan kalimatnya karena muncul sebuah suara baru yang dihafal betul oleh Izuna.

Izuna memicingkan mata melihat seorang nona. Ya, Si Nona pemilik suara. Tak menyangka bahwa 'Si Pengganggu' kini berdiri tepat di depan pintu private jet-nya. Tapi keterkejutannya itu hanya bertahan beberapa milisekon sebelum digantikan oleh senyum kecil yang mengejek. Izuna mengangkat tangan kanannya memberi tanda pada pria yang sudah gagal menahan nona pengganggu agar tak masuk ke dalam jet untuk pergi.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Izuna menyesap lagi wine yang sempat terlupakan keberadaannya.

"Apa maksudmu bertanya apa yang kau lakukan di sini?" Si Nona melempar balik pertanyaan tuan Uchiha sambil melepas kacamata yang dikenakannya. "Tentu saja untuk pulang ke Jepang. Tujuan kita sama 'kan?"

Izuna menatap nona cantik berambut pirang yang sudah duduk diseberang meja. Ia tak sungkan untuk menuang dan menyesap sendiri wine mahal yang sama yang disesap oleh Izuna tadi. Sauvignon Blanc. Salah satu jenis white wine yang tak diragukan lagi kepopulerannya.

"Jadi kau ingin nebeng?" Kini Izuna mengangkat sebelah alisnya, sedikit mengejek.

"Jika kau menyebutnya begitu, Tuan Uchiha. Mau kutunjukkan tiketku?" Tantang si nona, Izuna hanya menyeringai.

"Katakan dulu bagaimana caramu melewati pintu depan?"

"Oh! Maksudmu barikade pria-pria perbenampilan menipu itu?" Kalimat retoris yang menjadi cirri khas nona di depannya itu keluar. "Menurutmu untuk apa aku belajar taekwondo, huh?"

Izuna tertawa lepas, jelas-jelas tak mirip dengan kakaknya yang lebih dingin. "Shion, have I ever told you that you're such a wildcat?"

"Many times." Shion, nama nona itu, hanya tersenyum kecil.


Review, review, review~ :D

A.N : Update! Update! Hayo~ siapa yang bilang kalo YM gak dilanjutin? Dilanjutin kok :D hehe... apaan? -_- kemana aja selama ini? *ditimpukreaders*

Hehe maaf ya minna-san *bow 90 degree* habisnya saya... gak ada yang pengen denger alasan loe tau... :V

Iya deh, iya... :3 sorrryyyy deh... Saya benar-benar tersentuh dengan seluruh review yang saya terima *alay* hehe meskipun udah lama nggak ngurus fanfic ini. Feedback dari para readers pula lah yang bikin saya nglanjutin ch 5 yg sebelumnya udh dapat beberapa paragraf. Arigatou gazaimasu minna-san, :* saya nggak bisa nyebutin satu-satu.

Sekarang author percaya sama yang namanya the power of review T.T *emang ada -.-*... Satu lagi! gomen kalo chapter yang ini rada pendek dan nggak begitu banyak madahinanya XD hehe. *minta maaf mulu loe*

Oh ya, kali ini Yellow Moon datang dengan karakter baru yag di ch 4 udh mulai saya perkenalkan. :D Ada yang tebakannya benar 100% atau cm 50%?

Sedikit bocoran mereka bakalan dapet banyak part, dan bakalan jadi karakter penting *wink wink*. Untuk ch 6, saya belum bisa mastiin kapan update-nya, tergantung berapa banyak review yang saya dapat hohoho *smirk*. Makanya reader-san review ya! :D *Gratis kok, tanpa biaya*

Udah ah! segitu dulu. Jangan lupa The power of reviews! hehe ;) :D

p.s : Hehe, saya lupa kasih keterangan di awal scene pertama, tapi udah saya kasih sekarang. Semoga readers nggak bingung lagi. *clue* Scene pertama ada hubungangnya dengan ch 2 dan ch 4, ada yang ingat? :D Yup, itu adalah flashback gimana Hinata bisa dapat liontinnya.

Love,

InachisIO :)