Yellow Moon

By InachisIO

.

.

.

.

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto.

Pairing : MadaHina…

Warning : crack pairing, sedikit OOC, AU, maybe Typo…

Don't Like Don't Read…

Summary :

Bagaimana jika semua hal yang kau miliki

dan banggakan selama ini hanyalah kesemuan belaka?

Kesemuan yang menutupi siapa dan seperti apa dirimu yang sebenarnya.

Bagaimana jika dirimu yang sebenarnya adalah makhluk terkutuk yang haus darah?

Makhluk yang menurutmu begitu buruk sampai kau muak pada dirimu sendiri.

Bagaimana jika klan yang selama ini kau banggakan, ternyata tak lebih dari orang buangan?

Dan bagaimana jika orang yang sebenarnya kau cintai sepenuh hatimu,

lebih memilih menjauh darimu?

Akankah kau merelakannya?

Bagaimana jika kau adalah mimpi buruk yang selama selalu ingin ia jauhi?

Dan sekali lagi, hal itu karena siapa dan seperti apa dirimu yang sebenarnya.

Dan yang paling penting dari semuanya,

Apakah yang akan kau lakukan? Akankah kau bertahan dan diam saja?

Menyerah? Tidak kau tak akan menyerah. Tak akan pernah…

Karena kau adalah seorang Uchiha, dan Uchiha selalu mendapatkan apa yang ia mau dan dia tak akan pernah yang bisa lari darimu…

KARENA DIA ADALAH MILIKMU…


Chapter 1

Prolog

Now that we're together... We can feel the good weather...
Holding you close in a golden building...

~Yellow Moon (Akeboshi)~

.

.

.

Hinata sedang menikmati hujan dari jendela besar kamarnya ketika sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya. Hinata tahu pemilik tangan itu adalah seorang laki-laki. Seorang lelaki yang telah lama ia kenal. Dan Hinata benar-benar yakin Madara adalah satu-satunya lelaki yang bisa memberikan kenyamanan untuk tubuhnya dalam sebuah pelukan hangat seperti ini. Satu-satunya lelaki selain almarhum Hiashi Hyuga.

Dalam hidupnya yang sudah berjalan selama duapuluh tahun ini, Hinata selalu berharap dapat menemukan seorang pangeran —yang dulu selalu ada dalam mimpi masa kanak-kanaknya. Seorang pangeran selain Madara Uchiha. Sungguh, ia senang disini tetapi hati kecilnya membisikkan sebuah kata yang terlarang untuknya, kebebasan. Banyak hal yang ingin sekali ia lakukan. Dan Hinata tahu betul hal itu akan sulit tercapai.

Hinata selalu ingin menjadi guru TK. Ia terdorong oleh rasa cintanya pada anak-anak.

Hinata juga ingin menikah dengan lelaki yang ia cintai dan benar-benar mencintainya, dan sedikit memberinya kebebasan. Lalu punya dua atau tiga anak.

Hinata bermimpi membangun keluarga kecilnya itu di sebuah rumah musim panas yang tidak terlalu besar. Suatu tempat yang indah dan nyaman. Surga miliknya yang memiliki kebun kecil dibelakang. Sambil mengawasi putra pertamanya yang sedang bermain permainan khas lelaki bersama suaminya, di sana ia akan berkebun dengan putrinya seperti saat ia bersama dengan Oka-sannya dulu. Dan saat matahari hampir terbenam ia dan keluarga kecilnya akan masuk kerumah, memasak bersama, makan malam bersama, dan kemudian merebahkan diri di kasur yang empuk dan menunggu hitungan hari akan kehadiran buah hatinya yang ketiga.

Hanya itu keinginan Hinata. Keinginan kecil dan begitu sederhana yang muncul dari lubuk hatinya yang terdalam, tetapi hampir mustahil terwujud. Hampir, masih ada kesempatan jika Hinata berusaha mengubah ini semua. Kesempatan yang begitu kecil, tetapi masih mungkin. Dan itulah yang akan Hinata coba mulai sekarang.

"Kau baik-baik saja? Kenapa kau sedih?" suara baritone yang terdengar bijaksana itu terdengar, membangunkan Hinata dari khayalannya.

Hinata tak perlu kemampuan khusus untuk tahu bahwa pria bermata merah itu sudah lama ada disana sebelum akhirnya memeluk tubuhnya yang sedikit kedinginan. Madara pun tahu kalau Hinata teleh mengetahui keberadaanya sejak tadi. Dia berusaha menunggu hingga Hinata menenggok dan menghampirinya, tetapi dia menyerah dan memeluk gadis itu setelah lama teracuhkan.

Tak ada yang pernah mengacuhkan seorang Madara Uchiha sebelumnya, baik rekan kerjanya, para wanita yang melihatnya, bahkan musuhnya pun tak pernah mengacuhkannya seperti itu—sama sekali. Dan Madara sendiri bukanlah tipe orang yang suka diacuhkan, tetapi sebaliknya. Ia tidak marah pada Hinata, tidak pernah bisa karena entah mengapa Madara sendiri tidak tahu.

Hinata tidak menjawab dan hal ini membuat Madara sedikit melonggarkan pelukannya. Akhir-akhir ini Hinata bertingkah aneh, tidak ada lagi senyum malu-malu, warna merah di pipinya ataupun bicara gagapnya saat gugup. Hinata sekarang jadi lebih pendiam dan jarang bicara, Hinata memang pemalu tapi ia tak pernah bersikap seperti ini. Walaupun Madara lebih suka ketenangan tetapi tidak untuk yang satu ini.

Membalik tubuh Hinata agar menghadapnya, ia hampir tidak bisa melihat ekspresi Hinata karena gadis Hyuga itu menundukkan kepalanya. Hujan diluar masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda saat Madara menangkup kedua sisi wajah Hinata yang tampak pucat. Madara tahu ini tak akan mudah. Ia sadar kesalahannya dengan mengurung seorang Hyuga Hinata. Dengan perlahan ia mengangkat wajah gadis itu agar menatapnya.

Jujur ia sangat khawatir kehilangan gadis dihadapannya ini. Apakah salah jika begitu takut pada hal yang satu itu? Seingatnya ia tak pernah takut pada apapun, bahkan pada kematian. Ya, seorang Uchiha tidak pernah takut. Lalu, salahkah ia jika ia ingin Hinata hanya ada untuknya dan menguncinya dari dunia luar? Agar tak ada yang mengenalnya dan membawanya pergi? Egois memang. Tetapi apa yang bisa ia lakukan. Hinata adalah milikNYA dan akan selalu begitu karena Uchiha selalu mendapatkan apa yang mereka mau, apapun caranya. Ya, apapun caranya. Tak aka nada yang bisa membawa Hinata pergi darinya bahkan takdir.

"Hinata…" matanya melembut.

Madara tidak tahu mulai kapan ia memandang seseorang dengan lembut seperti ini. Ia biasanya selalu menatap semua orang dengan pandangan mengintimindasi khas Uchiha bahkan pada ayahnya yang begitu ia hormati.

Madara tidak sadar bahwa dirinya semakin lama semakin berubah. Ia tidak pernah percaya kata-kata Obito. Ia tetaplah Madara, leader of The great Uchiha. Ia hanya… entahlah ia tak tahu. Obito bilang Hinata punya pengaruh besar padanya, ia tak pernah menanggapi hal itu tapi mungkin ia sedikit—tak sepenuhnya—setuju. Hanya saja, ia sadar bahwa apapun yang berhubungan dengan Hinata pasti cepat menarik perhatiannya.

Hinata bisa diumpamakan sebuah planet dan Madara satelitnya. Madara akan terus berputar-putar mengelilingi orbit yang sama terus menerus tanpa mau berubah haluan, seakan-akan sudah ditakdirkan begitu adanya.

Lagipula, Madara tidak pernah percaya pada kebetulan. Dan Hinata bukanlah sebuah kebetulan dalam jalinan hidupnya yang rumit. Madara benci jika harus mengakui bahwa Hinata adalah pusatnya. Tidak, itu tidak benar. Madaralah pusat Hinata bukan sebaliknya. Hinata membutuhkannya, untuk itulah dia ada disini sekarang. Dan dia tidak membutuhkan Hinata tetapi sebaliknya, dan ia 'bisa hidup' tanpa Hinata.

Cinta itu bagaikan sebuah lelucon untuk Madara. Satu lagi hal yang menurutnya tidak pernah ia rasakan dan konyol. Orang-orang senang sekali membual tentang cinta, dan jika ia mendengarnya ia pasti akan langsung tertawa. Baginya cinta itu hanya bualan, tak ada yang namanya cinta. Hanya ada hubungan simbiosis, yang disalah artikan oleh orang-orang sebagai cinta. Madara tidak akan pernah mencintai. Jika dicintai, mungkin. Tak akan ada yang tahu.

Lalu perasaan apa ini? Kenapa ia selalu ingin dekat dengan wanita berambut indigo panjang ini? Apakah Madara sudah jatuh cinta? Kenapa ia tidak pernah ingin kehilangan Hinata? Lalu kenapa juga dia ada disini? Apa karena Hinata mambutuhkanya? Kenapa juga Madara harus peduli?

Rasanya mustahil, seorang Madara Uchiha —leader klan Uchiha yang tampan, berbakat, berkarisma, peraih sukses pada umurnya yang kelima belas tahun, orang terkaya ketiga didunia, dan semua kesuksesan lainnya yang membanggakan untuk klan Uchiha— jatuh cinta pada gadis lemah bernama Hyuga Hinata. Tetapi benarkah, Madara yang hidup hanya untuk dirinya sendiri dan juga untuk kebanggaan klannya, 'Jatuh Cinta'?

Tetapi bukankah Tuhan begitu adil…

"M-Madara. Aku…" Hinata ingin sekali mengatakan semua perasaan dihatinya, tetapi apakah Madara akan memberikan respon yang baik?

Madara mempersiapkan diri untuk hal yang akan Hinata katakan. Ia tahu segala yang Hinata pendam, betapa wanita bermata lavender itu menginginkan kebebasan. Kebebasan yang berarti Madara harus rela melepaskannya.

"Kau merindukan Hanabi?" tanyanya mencoba memberi penekanan pada setiap kata-katanya, berharap Hinata akan gentar.

Hinata bohong jika ia bilang tidak rindu pada Hanabi, adik dan satu-satunya keluarga kandung yang masih ia miliki. Hinata merasa bodoh, yang diajaknya bicara sekarang ini adalah seorang Madara yang jenius, dapat dipastikan bahwa ia punya seribu satu cara ampuh pengalih perhatian. Dan janganlah lupakan kemampuannya bersilat lidah.

Hanya anggukan lemah dari Hinata yang menjawab.

Seperti inilah keadaan Hinata, selalu terpuruk dalam rengkuhan Uchiha Madara. Terpuruk sekaligus merasa aman. Hinata tak bisa melawan. Ah! Tak mau mungkin lebih tepat. Ia ingin bebas tanpa melawan Madara. Hal yang sangat mustahil.

"Bagaimana kalau kita keluar makan malam." Ini bukanlah sebuah pertanyaan melainkan perintah.

Dan lagi-lagi ia tak mampu menolak.

.

.

.

Hinata keluar dari kamarnya. Tujuan utamanya hanya satu, menemui Madara yang sedang menunggunya sekarang. Mengenakan gaun berwarna krem selutut berlengan panjang dengan aksen bunga sakura disana-sini, membuatnya tampak lebih segar. Dan sepatu model balet berwarna kuning menghiasi kaki putihnya. Ia memang tak terlalu nyaman memakai sepatu berhak tinggi.

Seorang pelayan wanita muda menghampirinya. "Hinata-sama! Anda sudah selesai?" Mayuri, pelayan yang seumuran dengan Hinata. Ia sudah bekerja hampir dua tahun dan cukup dekat dengan Hinata walaupun, ia bukan pelayan pribadinya. Lagipula Hinata bukanlah orang manja yang perlu pelayan pribadi untuk melakukan ini dan itu. Hinata cukup senang dengan pelayan yang satu ini, sikapnya yang selalu ceria dan kadang ceroboh itu membuatnya terhibur.

"Iya." Jawabnya.

"Madara-sama menunggu anda di ruang kerjanya. Oh, ya! Hinata-sama semoga sukses." Ia memberi Hinata kerlingan dan langsung melarikan diri, Hinata hanya bisa tersipu dengan pipi yang memerah.

Kencan, boleh juga. Dengan Madara Uchiha! Hinata tak mau terlalu berharap.

Berjalan melewati lorong panjang mansion Uchiha —yang begitu luas dan dipenuhi maid-maid yang berlalu lalang, dan terkadang menyapanya— sampailah Hinata di depan pintu kayu besar yang dipenuhi dengan ukiran klasik yang indah. Ruang kerja Madara Uchiha, ya! Itu dia. Menghirup nafas dalam-dalam, Hinata mempersiapkan diri untuk mengetuk pintu ketika tiba-tiba pintu kayu itu terbuka dari dalam.

Seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi terkejut karena menjumpai Hinata berdiri disana. Betapa tidak, sudah lama seorang Hyuga Hinata tak datang ke ruang kerja tuannya ini. Ia bahkan tak ingat persis kapan terakhir kali wanita bermata lavender ini melangkahkan kakinya disini, mungkin sudah tiga atau empat bulan yang lalu. Ia sendiri pun jarang berjumpa dengannya. Dan tak ada yang salah jika Hinata datang kesana setelah semua hal yang telah terjadi. Ia tahu bahwa wanita ini memiliki tempat yang special di Uchiha mansion sejak pertama kali Madara membawanya kesini, maka dari itu Madara lebih banyak mengurung gadis berambut panjang itu di kamarnya dan hal itu diperparah dengan sifat Hinata yang pemalu.

Lengkaplah sudah, alasan kenapa Hinata tak pernah bisa mengapai mimpi kecilnya.

"Hinata-san." Sapanya pada Hinata sambil membungkukkan badan. "Madara-sama sudah menunggu anda di dalam." Lanjutnya sambil membukakan pintu untuk Hinata.

"A-arigatou, Izao-san."

Hinata masuk ke ruangan mewah itu dengan agak ragu-ragu. Wajahnya menunduk dalam-dalam, ia merasa sedikit canggung.

Walau hanya sebagai tempat kerja, tetapi tempat ini tak bisa diremehkan. Begitu luas, bersih, mewah dan elegan. Sangat khas Madara. Hinata tak menemukan parubahan yang berarti dari ruangan yang paling sering dikunjungi oleh si empunya ini. Tempat itu persis seperti apa yang diingatnya sekitar hampir empat bulan yang lalu.

Ada sebuah pintu kaca besar di seberang ruangan yang akan menghadirkan balkon luas dengan pemandangan Uchiha Garden sebagai background-nya. Pintu itu sedikit bergeser dari tempatnya yang seharusnya, membuat angin malam masuk dan mengibarkan selambu berwarna biru gelap. Ah! Mungkin para pelayan lupa menyibakkan kain itu, pikir Hinata.

Ia mulai melangkahkan kaki untuk masuk lebih dalam. Karpet kulit yang juga berwarna gelap menyambut kakinya yang terbalut sepatu berwarna cerah, sehingga terlihat sangat kontras. Sayup-sayup ia bisa mendengar dua buah suara laki-laki yang berbeda. Memang ruangan dimana Hinata berdiri sekarang bukanlah ruangan utama.

"Hinata…" Terdengar suara Madara dari balik tembok disebelah kanan Hinata. "…masuklah!"

Hinata agak kaget mendengarnya, bagaimana Madara bisa tahu keberadaannya padahal ia tak membuat suara sedikitpun dari tadi. Ah, entahlah! Hinata tak mau ambil pusing. Seperti Madara tak pernah tahu segalanya saja.

Ya, Madara seperti tahu segalanya. Entah saat dia sedih, kecewa, senang, gugup, dan semuanya bahkan saat seseorang berbohong —Ia selalu tahu seakan ia memiliki mata yang mampu melihat kedalam hati orang-orang.

Hinata baru saja melangkahkan kakinya ketika Madara keluar dari balik pintu ruang utama dan tiba-tiba saja ada di depannya, membuatnya nyaris jatuh saking kagetnya.

"Kenapa kau tak masuk?" Tanyanya kalem.

"Aku…" Hinata tak mampu menyelesaikan kata-katanya karena sebuah suara menginterupsinya.

"Ah! Hinata-san… akhirnya Madara-sama membebaskanmu dari ranjang-…" Pipi Hinata memerah mendengar kata-kata Kakashi. Hinata tahu lelaki itu tak punya maksud apa-apa selain bercanda, lagipula memang tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Madara. Bahkan kamar mereka agak berjauhan walaupun terkadang Madara datang ke kamarnya dengan alasan tak bisa tidur.

Apakah semua orang di mansion ini mengetahui hal ini? Well, Hinata tak bisa mencegah pipinya untuk semakin memerah jika tahu bahwa jawabannya adalah 'Ya'.

"…ahem… maksudku kamarmu, Hinata-san." Kakashi langsung merubah kata-katanya ketika Madara melempar tatapan yang sulit diartikan padanya. "Sebaiknya aku pergi karena sepertinya Madara-sama sudah tak membutuhkanku lagi…" lanjutnya sebelum suasana menjadi benar-benar canggung —setidaknya bagi Hinata.

"Oh, ya! Hinata-san, Madara-sama, selamat bersenang-senang." Imbuhnya sebelum langsung melesat keluar dari pintu seakan bisa merasakan tatapan—yang jika saja bisa—membunuh dari Madara. Ada kerlingan aneh di mata sekertaris pribadi Madara itu yang sempat ditangkap oleh mata Hinata. Tadi Mayuri, sekarang Kakashi. Semoga saja tak ada lagi Mayuri dan Kakashi yang kedua.

"Sebaiknya kita pergi sekarang."

Hinata hanya menjawab dengan anggukan. Sebelum menyambut lengan Madara yang terulur kearahnya. Dan mereka pun menuju pintu depan dimana sebuah mobil mewah menanti untuk dikendarai.

.

.

.


.TBC….

A/n : So… ini dia fanfic pertama saya… semoga tidak mengecewakan…

Saya hampir merasa tak PeDe untuk mem-publish Fanfic ini… maklum, soalnya saya author baru—kalau bisa disebut begitu— di … ;-))

Oleh karena saya masih baru… dan masih banyak yang kurang di Fanfic ini…

Jadi saya mohon ada yang berkenan memberikan saran —but, no flame…

Terima Kasih…

Review…

.

Review…

.

Review…

.

Please….