Naruto and all of its character belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it. Thankyou for my beloved editor Hikanzakura. Dan fiksi ini adalah tentang SasuSaku. Happy reading :)


Goddess

oleh LuthCi


Kuliah umum.

Jpret!

Definisi kuliah umum adalah kuliah dengan dosen yang tidak dikenal, tidak mempengaruhi IPK, dan baik diikuti saat cuaca sedang panas karena dapat tidur nyenyak di ruangan terbaik kampus—kalau itu definis kuliah umum a la Sasupedia. Mataku berputar tanda bosan. Kalau bukan karena paksaan Neji, aku pasti tidak akan berada di sini.

Jpret!

Nah, ruangan ini memang bagus. Dengan bangku mahasiswa yang semakin kebelakang akan semakin tinggi, ruangan bernuansa biru tua ini memang sangat di dekorasi dengan baik. Belum lagi ada enam AC di ruangan ini yang membuat ruangan ini selain bagus juga nyaman. Ah, iya, bendera kebanggaan fakultas ini pun terpajang berjajar di kanan dan kiri sofa untuk dosen.

Jpret!

Lagi-lagi tukang foto—rutukku menyesali kenyataan sama yang terus menerus berulang di buku takdir hidupku. Foto di sana, foto di sini, desain poster hari ini, desain poster hari itu, semuanya berputar terulang-ulang, seperti siklus yang memang ditakdirkan untukku terjebak di titik pusarannya.

Kuarahkan kameraku menuju berbagai macam muka, mencari sudut yang baik untuk melanjutkan mengambil gambar.

Tidak, terlalu gemuk—geser—terlalu berminyak—geser—terlalu tua—

Jpret!—terserahlah.

Kuliah umum kali ini adalah tentang kesehatan jasmani, berarti yang seharusnya diambil gambarnya adalah orang-orang yang tampak sehat, dan bugar, agar dapat menjadi daya tarik saat diadakan kembali sesi dua dari kuliah umum ini pada bulan depan.

Kameraku kembali menyapu setiap sudut ruangan terbaik kampus ini, mengingat kuliah umum adalah kuliah yang menjadi sumber gengsi kampus. Menyerah karena tidak ada yang bagus di posisi ini, aku pun berjalan ke posisi lain, kembali mencari sudut dari posisi yang baru tersebut.

Tunggu, rambut merah muda itu—

Jpret!—

Bukankah itu Sakura?—

Jpret!

Hey—

Jpret!

Jari bo—

Jpret!

Stop—

Jpret!—

JARIBODOHSTOP!

...jpret!

Aku termangu beberapa saat di tempat. Jantungku berdetak cepat, mungkin pengaruh karena detik tadi aku sedikit panik. Kutatap jari telunjukku yang masih melekat di tombol kamera yang siap untuk mengambil gambar kapan saja.

Jari bodoh. Entah pantas atau tidak menyalahkan sang jari, karena toh jari bergerak karena diperintah oleh otak—bagian tubuh yang lumayan kuagungkan karena menurutku cukup pintar.

"Hh..." menghela napas panjang, aku pun membuka foto yang baru saja aku—tepatnya jariku—ambil.

Gadis yang sama, senyum yang sama—degupan jantung yang sama. Entah sudah keberapajutakali jantungku berdegup cepat karena ini—karena keberadaan gadis yang menurutku suatu kebahagiaan tersendiri untuk dapat melihat wajahnya setiap hari.

Aku masih menunduk menatap kamera yang tengah menunjukkan foto gadis tersebut tersenyum menghadap temannya.

Hey, Sakura Haruno—

.

.

—aku tertarik.

.

.


.

Aku tengah duduk di bangku yang tadinya menjadi meja absensi ketika kuliah umum berlangsung. Sekarang sih sudah terabaikan, belum sempat dirapihkan oleh bagian perlengkapan. Meja tersebut kini hanya terisi dengan tiga benda: kamera, laptop, dan tas ranselku yang kempes karena kamera dan laptopnya berada di luar tas tersebut.

Mataku terpaku pada laptop di hadapan, sedangkan kamera teronggok di sebelah kiri dan tas teronggok di sebelah kanan. Ulang lagi, mataku masih terpaku pada laptop di hadapan. Tepatnya pada hasil foto yang sedari tadi aku ambil yang telah kupindahkan ke laptop menggunakan kabel data. Berusaha memilah-milah mana yang bagus untuk dikirim pada koordinator acara dan mana yang lebih baik didelete saja.

Tidak butuh konsentrasi yang banyak sebenarnya, untuk menyeleksi foto-foto tersebut. Hanya saja kehadiran sang gadis berambut merah muda itu sedikit banyak mengganggu konsentrasiku.

"Halo, Sasuke," sapanya dengan suaranya yang renyah. Kubalas dengan anggukan singkat untuknya sebelum kembali lagi menatap laptop di hadapan. Hell, bukannya aku mencoba menjadi jual mahal, hanya saja aku memang bukan orang yang berisik dan memiliki banyak bahan untuk diperbincangkan.

"Aku di sini, ya, untuk sementara? Boleh tidak?" aku menoleh padanya karena pernyataannya dan dirinya yang tiba-tiba duduk di kursi sebelah kiriku, melanjuti omongannya barusan, "aku ingin pulang bareng Hinata, tapi dia memintaku menunggu sekitar sepuluh menit katanya," jelasnya dengan cengiran kaku.

"Aa, tidak apa, kok." Aku mengangguk tanda setuju. Tanpa ba-bi-bu aku kembali menatap laptop di hadapan, berusaha menyeleksi walau kini membutuhkan konsentrasi sepuluh kali lipat dibanding biasanya.

"Sasuke, boleh aku lihat kamera—"

"—aa," jawabku cepat karena tidak ingin mendengar suara renyah itu terlalu banyak. Mendengar tuturan tersebut, melihat paras itu—merasakan kehadirannya disekitarku, sepertinya kurang baik untuk jantungku. Maka dari itu diminimalisir akan lebih baik, setidaknya untuk detik ini karena ada pekerjaan yang harus kulakukan.

Aku merasa Sakura tengah melihat-lihat foto yang sedari tadi kuambil. Kegelisahanku bertambah lagi—kalau-kalau Sakura berpikir aku tidak berbakat di bidang fotografi dan hanya laku karena aku tampan—tunggu, hey, otak, kau baru saja berpikir bahwa dirimu tampan, heh?

Kugelengkan kepalaku cepat. Tuh, 'kan, dekat-dekat dengan Sakura sepertinya memang tidak baik untuk diriku. Pertama, jantungku berdetak lebih cepat, berarti darah akan lebih banyak mengambil oksigen yang tersedia di paru-paru dan membuat otak dipenuhi oksigen sehingga berpikir tidak jernih—tunggu, hey, bukannya kalau dipenuhi oksigen otak justru akan semakin pintar?

...ah, ya sudahlah.

Aku masih berusaha konsentrasi dengan foto di hadapan. Hingga akhirnya karena memutuskan foto tersebut tidak penting (keputusan tanpa berpikir jernih), aku pun menekan tombol kanan untuk melihat hasil foto selanjutnya.

...loh? Kok malah foto Sakura?

Dafuq.

Aku sontak menengok ke kiri, ingin memastikan bahwa Sakura tidak jadi melihat foto-foto yang tadi kuambil. Karena tentu saja pasti ia akan sedikit terperanjat saat melihat ada banyak fotonya di sana.

Namun, segalanya terlambat. Yang kini di hadapanku adalah wajah Sakura yang menunduk menatap kameraku dengan rona merah muda di pipinya.

Perlahan-lahan Sakura mengangkat dagunya dan menatap wajahku.

Sumpah demi semua merk kamera di muka bumi, wajahnya merona bukan main. Dan hal itu mau tidak mau membuat wajahku turut menghangat—walau setengah mati kucegah untuk tidak turut merona.

Entah berapa detik kuhabiskan untuk menatap Sakura yang juga menatapku malu.

"A-ah, ja-jadi kau tadi memotretku?" tanya Sakura dengan wajah yang bertambah merah.

"A-aa," jawabku singkat mencoba tetap bersikap tenang—walau kutahu barusan itu aku gelagapan.

Beberapa detik setelahnya, tepatnya pada kedipan selanjutnya, aku dan Sakura menunduk secara bersamaan. Menunjukkan bahwa kami tidak lagi mampu untuk saling menatap satu sama lain dengan keadaan yang begitu kaku.

...psssshhhhhh—dan aku pun merasa asap keluar dari telingaku.

.

.

.

Demi seluruh merk kamera di dunia, aku bersumpah tidak pernah merasa begitu malu dan bahagia pada saat yang bersamaan layaknya detik ini.

.

.


Tamat

Hoho, maaf lama gak dateng, keasikan main roleplay di winterblossom hihi

Aku gak ngerti ini tamat apa bakalan ada chapter tiganya. Tapi anggep aja tamat, kalo aku mood nanti aku buat chap tiganya. Semoga suka, maaf kalau jayus :p

Review?

[story only: 970 words]