Title: Flüstern des Teufels (The Devil's Whisper)

Summary: Untuk sekarang, ini cukup.

Pairing: Hm. Shizaya, sedikit chibiRoppi/chibiTsuki, dan TsugaruPsyche.

Rate: T

Disclaimer: Not mine~! D: durarara! belongs to Ryohgo Narita.

Bacotan: Duh, maaf saia hampir sama sekali ga menghasilkan apa-apa selama liburan panjang~! Q^Q Sibuk banget, saudara ada yang tunangan, inilah, itulah, sakit, meriang, tangan keseleo, dll, dll. Saia sendiri kesel banget karena ngga produktif. Dan, akhir-akhir ini saia lagi seret ide. :/ Mungkin lagi liburan ke pulau Bahama otak saia.

Dan, maaf sekali saia ga bisa membalas semua ripiu-ripiu yang diberikan pada saia selama berapa lama~! Saia pengen banget bisa ngebales semuaya, tapi ga bisa terus. I-net lemot, sibuk lagi, nyiapin MOS. Saia ampir ga ada waktu bahkan untuk tidur. Mnyeh. Sebel deh ih.

Okeh, enough for the rambling.

Enjoy~! :D


"Roppi-chan~! Disini~!"

Roppi memandang 'orang aneh' yang memanggilnya. Ups, kalau orang itu mendengar julukan tersebut, dia bisa menangis. "Iya, iya. Kau, Okaa-san, selalu menunggu disitu. Apa yang akan membuatmu pindah tempat, ha?"

"Shizu-chan! Huwee… Roppi-chan membenciku!" isak, pura-pura, si 'orang aneh ber-fur coat hitam sambil memeluk Shizuo erat-erat.

"Roppi, jangan buat Okaa-san menangis," nasihat Shizuo pada anaknya yang baru kelas dua SD.

"Tuh, kan! Dengar yang Shizu-chan katakan," ujar Izaya merasa menang.

"Habis, dia menyebalkan dan mengganggu. Seperti kutu," balas Roppi polos.

"Hei! Shizu-chan, nasihati dia lagi!" perintah Izaya terhina dikatai 'kutu ' oleh anaknya.

"Ya, aku tidak bisa tidak setuju, Roppi. Dia memang seperti itu dari dulu."

Izaya sekarang hanya bisa merajuk di samping Shizuo. "Kalian berdua jahat."

Roppi tersenyum kecil melihat Izaya. Orangtuanya yang satu itu memang selalu konyol.

"Roppi-san!" tiba-tiba saja suara yang dia kenali sebagai suara anak yang baru pindah kesini tadi memanggilnya. Anak pirang berkacamata berlari ke arahnya, lalu memekik ketika jatuh tersandung kakinya sendiri.

Sambil menghela napas, Roppi berjalan ke arah anak yang jatuh itu. "Apa aku berkewajiban menjaga dirimu, Tsukishima, sepanjang hari?" keluhnya sambil berjongkok di depan anak pirang bernama Tsukishima itu dan membuka tasnya untuk mengeluarkan plester dan betadine. Kenapa barang-barang seperti itu harus ada di dalam tasnya? Biar saja itu menjadi pertanyaan yang tidak terjawab.

"Maaf."

"Biar kutanya. Kapan kau mulai bersekolah disini?"

"Tadi pagi."

"Kau kelas berapa?"

"Kelas dua."

"Dengan umurmu setua itu, sudah berapa kali kau jatuh hari ini?"

"Uhm… enam kali?" si pirang itu kurang mengerti maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu.

"Tambah yang ini, Tsukishima, tujuh kali. Ini hari pertamamu bersekolah disini, kau sudah kelas dua, dan kau masih bisa jatuh jutuh kali dengan tiga diantaranya karena kau tersandung kaki sendiri."

"Maaf, Roppi-san…"

"Berhenti memanggilku seperti itu. Aku kedengaran tua," ucap Roppi sambil menepuk kening Tsukishima yang terluka untuk menempelkan plester, berhasil membuat temannya meringins.

"Tsuki-chan~!" panggil sebuah suara. Berlari ke arah Tsukishima, seorang pria berambut hitam dengan sebuah fur coat putih merah muda dan celana panjang putih.

"Ah, Mama," Tsukishima menanggapi panggilan itu dengan senyum.

"Eh? Kau jatuh lagi, Tsuki-chan?"

"Ehehe… iya. Ah, Mama, ini Roppi-sa—"

"Jangan pakai '-san'!"

"Ah! Maaf! Ung… dia menjagaku seharian."

Roppi memandang orangtua Tsukishima. Dia rasanya mengenal mata merah muda pria itu. "Ehe~, kau menjaga Tsuki-chan seharian? Anak baik, anak baik~," ujarnya sambil mengucek rambut hitam Roppi.

Tangan hangat itu juga terasa familiar.

"Psyche, Tsuki!" sebuah suara terdengar lagi. Muncul pria lain yang berambut pirang—agak mengingatkan Roppi pada ayahnya—yang memakai kimono.

"Iya, Tsu-chan~! Sebentar lagi~!" kali ini, Psyche yang menanggapi panggilan.

Dia menatap Roppi lagi. "Titip salam untuk orangtuamu."

"Ha?"

Tapi orang itu sudah pergi sambil menggandeng tangan Tsukishima yang melambaikan tangannya yang sat lagi pada Roppi.

"Roppi-chan, yang tadi temanmu?" tanya Izaya sambil berjalan mendekati anaknya.

"Iya. Dia pindah kesini tadi."

"Hm…" gumam Izaya. Rasanya… dia familiar dengan sepasang mata merah itu. Lalu… kenapa pria tadi bisa mirip dengannya, ya?


"Bagaimana sekolah, Roppi-chan?" tanya Izaya sambil menyiapkan makanan di meja makan.

"Begitulah."

"Ditindas lagi?"

"Sedikit. Dia berhenti ketika aku membuatnya menangis."

"Eh? Bagaimana?"

"Aku gigit tangannya dan kubeberkan rahasia memalukannya selama tiga bulan terakhir."

Shizuo ingin tertawa mendengar jawaban anaknya. Sepertinya, dia dan Izaya telah berhasil membesarkan seorang anak yang akan sangat susah untuk ditundukkan. "Dia bilang apa padamu?" akhirnya dia juga ikut bersuara.

"Dia bilang aku ini anak setan karena mataku merah, rambutku hitam pekat, dan aku menyukai warna merah dan hitam."

Izaya mungkin bisa saja menjatuhkan panci sup yang sekarang sedang dia tenteng untuk diletakkan ke meja makan.

Wajah Roppi tetap datar. Dia meraih sumpitnya dan mencomot sepotong lauk di piringnya walaupun Izaya selalu mengatakan hal itu tidak sopan. Wajahnya tetap datar ketika dia bertanya dengan suara yang agak gemetar, "Okaa-san, memangnya aku ini benar-benar anak setan?"

Hati Izaya serasa diiris mendengar pertanyaan polos itu. Dia memang selama ini menyimpan sendiri rahasia bahwa Roppi memang dulunya setan. Tapi, memangnya itu penting? Lagipula, sesetan apapun Roppi, dia tidak pernah membuat Izaya menderita.

Ya, coret segala macam siksaan dan beban mental yang Roppi timbulkan dulu. Tapi, itu semua justru untuk maksud baik, bukan?

Sambil melepas celemeknya dan menggantungkannya pada senderan kursi, Izaya mengelus kepala Roppi. Mungkin dia akan menceritakan semuanya pada Shizuo dan anaknya. Tapi bukan sekarang. Dia akan mencari waktu lain.

Untuk sekarang, cukup bagi Roppi untuk tahu perasaannya, dan perasaan Shizuo, terhadap anak kecil berambut hitam dan bermata merah itu.

Dia merengkuh Roppi dalam sebuah pelukkan. "Bukan kok. Roppi bukan anak setan. Roppi itu malaikat kami berdua."

Untuk sekarang, itu cukup.


"Lalu, lalu, Roppi-san menggigit tangannya sampai berdarah dan membeberkan rahasia memalukannya di depan kelas."

Psyche dan Tsugaru memandang anak mereka yang belum juga tertidur di bawah selimut.

"Kau benar-benar menyukainya, Tsuki?" ucap Tsugaru sambil mengelus pelan kepala anaknya.

"Iya. Roppi-san baik sekali, habisnya. Dia tidak menertawakanku ketika aku jatuh."

Psyche tersenyum. "Kalau begitu, ceritakan lagi lebih banyak pada Mama besok, ya? Sekarang sudah malam sekali."

Tsukishima mengangguk sambil tersenyum, lalu menguap. Matanya terasa berat sekali. Kenapa dia baru sadar dia mengantuk sekarang, ya?

"Selamat malam, Tsuki."

"Selamat malam…" Tsuki membalas dan mulai menutup mata. Tapi, dia masih sempat memanggil Psyche untuk bertanya. "Mama, kenapa aku rasanya seperti pernah bertemu dengannya, ya?"

Tsugaru tersenyum pada Psyche. Keduanya berjalan masuk lagi dan Psyche menunduk untuk mengecup kening Tsukishima. "Itu karena, dia adalah belahan jiwamu."

"Belahan jiwa?"

"Iya. Nanti kau akan mengerti, kok."

"Baiklah…" balas Tsukishima sambil akhirnya memiarkan rasa kantuknya mengambil alih.

Psyche menutup pintu kamar di belakangnya dan menatap wajah Tsugaru.

"Mugkin, kita harus menceritakan padanya tentang semuanya nanti, Tsu-chan?"

Tsugaru hanya tersenyum dan mengelus pipi Psyche dengan lembut. "Atau, kita bisa membiarkan jiwanya sendiri yang mengingat," balasnya. "Yang manapun, dia tetap berhak untuk tahu cepat atau lambat."

Psyche mengangguk setuju. Dia menggamit lengan Tsugaru dan menuntunnya ke teras belakang rumah mereka untuk memandangi langit yang hari ini terlihat begitu cerah tanpa ada awan yang menutupi bulan.

"Nee, Tsu-chan. Tidakkah kau senang kita bisa menjadi manusia?"

Pria berambut pirang itu mengangguk. "Ya, aku sangat senang bisa menjadi manusia."

Keduanya tersenyum. Psyche memandang tangannya yang tadi siang dia pakai untuk mengucek rambut Roppi.

"Anak baik… dia tetap anak baik."


End of Epilogue


Ta~da~! Epilog yang udah lama saia janjikan (tapi sebenernya, ga tahu ya, ditunggu apa ngga) akhirnya selesai juga~! Muhahahahaha~! *saweran*

Ada yang mau dibikin sequelnya? Adakah? Adakah? A~DA~KAH~? Soalnya, entah kenapa. Ide untuk bikin sequel tiba-tiba aja nyeplos (?) di kepala saia. Hehe…

Terima kasih udah menemani cerita ini sampe sekarang~! Terima kasih, terima kasih, terima kasih banyak~! Yang udah baca, yang udah ripiu, yang udah nge-fave… saia cinta kalian semua~! XD

Well, untuk sekarang, saia minta ripiunya, boleh? *puppy eyes*