Shitsure Shimasu...Hajimemashite Boku wa Rafa desu yo.

Permisi...Perkenalkan saya Rafa. Author baru di fandom Kuroshitsuji. Dan ini adalah fic pertama saya di fandom Kuroshitsuji. Saya sudah membaca banyak fic-fic di fandom ini, dan itu membuat tangan saya kepingin untuk membuat fic Kuroshitsuji juga :D

Minna-san douzo yoroshiku onegai ita shimasu yo. Mohon bantuannya ^^

#

Kimi to Boku! You and Me!

Disclaimer: Kuroshitsuji belong Yana Toboso's

Pair: SebasCiel

Rate: T

Summary:

Sebastian Michaelis, seorang mahasiswa baru di Oxford Univercity. Tapi, rumahnya yang terlalu jauh dengan Universitasnya membuatnya mencari kost yang dekat dengan kampusnya. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan seseorang yang sangat berbeda dari kebanyakan orang.

.

.

Sebastian terbangun dari tidurnya. Ia mengucek-ucek matanya yang masih ingin terpejam. Dilihatnya jam weker di meja sebelah kasurnya. Seperti biasa, ia selalu bangun lebih awal dari alarm jamnya. Lantas mengapa ia meng-alarmnya? Jawabannya simpel saja. Untuk berjaga-jaga seumpama ia agak teledor. Sebastian meraih jam weker itu, lalu mengatur alarm untuk keesokan harinya. Seketika itu ia ingat. Hari ini adalah hari yang penting baginya. Ia harus ke kota Oxford untuk tes masuk Universitas pilihannya. Setelah merapikan kasurnya yang agak berantakan akibat ulahnya sendiri, ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari tempat itu dan mulai merapikan diri.

Ia bergegas cepat-cepat agar tak mau terlambat. Karena jarak kampusnya dengan tempat tinggalnya sangat jauh. Berada di luar kota. Setelah mempersiapkan mengecek barang-barangnya untuk keperluan tesnya, ia meninggalkan rumahnya dan pergi ke halte bus terdekat. Dilihatnya langit diatas. Cuacanya mendung seperti biasa. Ia sampai di halte yang sepi. Setelah sekitar lima menit menunggu, akhirnya bus yang ditunggunya datang. Ia berdiri dari tempat duduknya, dan mulai masuk ke dalam bus setelah bus itu berhenti di depannya. Ia mengambil kursi terdepan di bus itu. Di dalam bus masih sepi. Hanya ada empat penumpang termasuk dirinya. Maklum saja ini masih pagi. Seorang petugas bus itu menanyakan tujuannya lalu memberinya karcis setelah ia membayar ongkos.

Sebastian mengeluarkan buku bacaannya dari tas. Ia memulai belajar lagi. Padahal semalam ia sudah belajar dari menjelang senja hingga tengah malam lewat. Tapi sekarang ia belajar lagi. Sungguh langka ada manusia seperti dirinya. Untuk apa ia belajar? Semua kerabatnya yakin walaupun Sebastian tidak belajar, ia akan tetap masuk ke Universitas Oxford. Ia berpikir mungkin dengan belajar, untuk mengurangi rasa bosan dalam perjalanan dengan membaca buku.

Dari menit ke menit penumpang semakin bertambah. Tapi kursi sebelah Sebastian masih kosong. Ia berpikir lebih baik kosong hingga ia sampai, karena akan membuatnya konsentrasi belajar. Setelah menit berganti menjadi jam, akhirnya Sebastian sadar bahwa bus yang ditumpanginya akan sampai ke tujuannya. Ia memasukkan bukunya ke dalam tasnya dan bersiap-siap untuk turun. Bus yang ditumpanginya berhenti tepat di depan gerbang kampusnya. Ia turun dari bus dan mulai berjalan kaki menuju kampus. Sedangkan bus yang ditumpanginya tadi mulai melaju menjauh dari kampusnya. Agak lama juga untuk mencapai dalam kampusnya. Mengingat halaman depannya sangat amat luas.

Ia heran sewaktu ia turun dari bus. Tidak di kota ini, tidak di kota tempatnya singgah selalu dipandangi wanita-wanita. Wanita muda, Ibu-Ibu yang menggendong anaknya sampai nenek-nenek tua baya memandanginya dari bawah hingga atas dengan tampang melongo. Bahkan sampai ada yang menjerit juga. Entah kenapa Sebastian tidak terlalu repot dengan hal itu. Ia sudah sangat terbiasa dengan hal itu bertahun-tahun lamanya. Ia terkadang berpikir, apakah ada yang salah dengan dirinya? Misalnya ada coretan di wajahnya? Baju bagian belakangnya ada yang robek? Atau reseleting celananya masih terbuka? Sampai-sampai ia dipandangi seperti itu. Padahal pandangan itu ditujukan padanya sebagai tanda kekaguman

Akhirnya ia sampai di dalam kampusnya. Ia melihat jam tangannya. Masih terlalu cepat sepuluh menit. Pikirnya. Bahkan di kampus pun banyak wanita-wanita yang memandanginya. Kemudian ia mencari ruang pusat informasi agar ia tahu di mana letak ruangan tesnya. Setelah di beri tahu, ia mencari ruangannya. Tak butuh waktu lama untuk mencari ruangannya. Ia mulai masuk dan mengambil tempat duduk sesuai yang tertera pada kartu ujian tesnya

Setelah Sebastian duduk, ia mengeluarkan bukunya lagi dan mulai membaca. Tanpa disadarinya gadis-gadis di ruangan itu memandanginya. Baru beberapa baris kalimat ia membaca bukunya, bel berdentang nyaring. Sebastian yakin itu adalah bel masuk. Seorang berusia sekitar empat puluh tahunan memasuki ruangan. Sebastian memasukkan bukunya ke dalam tas

"Good Morning". Sapa orang itu. Ditanggapi dengan kata-kata serupa oleh peserta ujian

"Saya adalah pengawas ujian tes. Tolong tas ditaruh di loker yang ada di sebelah pintu. Dan tidak boleh ada barang-barang di meja kecuali barang untuk keperluan ujian tes". Ucapnya. Semua peserta beranjak dari tempat duduknya dan menaruh tas mereka di masing-masing loker. Pengawas itu membagikan dua kertas pada masing masing peserta. Kedua kertas itu dibagikannya dalam posisi terbalik. Yang berarti tak boleh dibuka dahulu. Setelah semua peserta mendapatkan masing-masing kertas, pengawas itu kembali ke depan kelas.

"Setelah mendengar bel berbunyi. Kalian boleh membuka kertas itu dan mulai mengerjakannya". Ia melihat jam ditangannya dan kembali berkata. "Tak lama lagi akan berbunyi". Tepat setelah pengawas itu menyelesaikan kalimatnya, bel kembali berdentang. Semua peserta membalik kertasnya dan mulai mengerjakan.

#

Setelah waktu berjalan agak lama, Sebastian selesai mengerjakannya. Ia kembali meneliti pekerjaannya jika saja ada yang salah. Setelah menelitinya dengan cermat, Sebastian bangkit dari duduknya dan mulai berjalan ke arah pengawas yang ada di depan. Semua peserta di ruang ujian itu menatap Sebastian karena ia yang pertama kali mengumpulkan ujiannya. Sebastian menyerahkan kertas ujiannya. Pengawas ujian itu berkata

"Cepat sekali kau mengerjakannya ya...".

"Terima kasih". Ucap Sebastian sopan

"Kau boleh keluar dan mengambil tasmu. Pemberitahuan peserta ujian yang masuk universitas ini akan diumumkan 4 hari mendatang".

"Saya tahu hal itu". Sebastian mengambil tasnya dan mengemasi barang-barangnya kemudian ia beranjak pergi dari ruangan itu.

Sebastian memasuki halaman depan yang luas, hendak menuju gerbang. Hari masih masih pagi. Ia memutuskan untuk mencari sarapan di sekitar daerah itu. Ia tadi terlalu malas untuk sarapan dari rumahnya sebelum berangkat untuk tes. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesuatu yang bergetar di saku celananya. Diambilnya ponsel dan dilihatnya panggilan telepon dari kerabat dekatnya. Ada apa tiba-tiba anak ini menelpon? .Pikirnya heran. Ia melanjutkan perjalanannya dan mulai mengangkatnya

"Halo? Ada apa, Claude?"

"Ah...Sebastian kau ada di mana sekarang?". Jawab orang di seberang

"Aku ada di Oxford"

"Aku tahu hal itu. Maksudku kau ada di daerah mana?"

"Aku ada di dekat gerbang depan kampus. Memangnya kenapa?"

"Baiklah tunggu aku ya"

"Hei, memangnya ka—"

"Tut...tut...tut...".

Sebastian menghela napas kesal. Kerabat dekatnya yang bernama Claude itu selalu saja memutuskan sambungan telepon sewaktu ia belum selesai bicara. Dari dulu. Ia mengira mungkin Claude juga berada di kota ini. Entah urusan apa. Sebastian menunggunya sesuai perintah Claude. Ia bersandar pada tembok gerbang yang megah itu. Sambil memperhatikan jalanan sekitar yang agak ramai. Tak lama kemudian Sebastian menemukan sosok kerabatnya keluar dari dalam kampusnya

"Yo...Sebs". Sapa Claude ke Sebastian yang memasang tampang heran padanya

"Kau ikut ujian tes Universitas ini?". Tanya Sebastian. Claude menepuk dahinya

"Oh iya, aku lupa memberitahumu hal itu".

"Bukannya kau memutuskan untuk kuliah di London saja hah?". Sebastian mulai tak sabar

"Aku lapar, Sebs. Akan kujelaskan sambil mencari sarapan. Ayo". Ajak Claude meninggalkan Sebastian. Sebastian merengut. Akhirnya ia mengikuti Claude. Ingat, ia juga akan mencari sarapan bukan?. Sepanjang perjalanan mereka berdua diam. Membuat Sebastian kesal

"Hei, katanya kau akan menjelaskannya sambil mencari sarapan!".

"Oh...iya aku lupa haha. Habis aku bingung akan memasuki kafe yang mana...". Sebastian tak menjawabnya. Ia memberikan pandangan kepada Claude untuk cepat menjelaskannya

"Iya iya aku akan menjelaskannya. Setelah kupikir-pikir. Aku tidak jadi kuliah di London. Aku ingin mengikutimu saja di Oxford. Karena aku merasa akan mendapatkan keberuntungan kalau mengikutimu".

"Kau itu dari dulu selalu mengikuti sekolah yang kumasuki. Sekolah dasar, Menengah Pertama, sampai Menengah Atas kau selalu satu sekolahan denganku!".

"Oh...ayolah Sebs, kita kan teman dari kecil. Apa kau senang kalau kita berpisah karena kau kuliah di luar kota?".

"Ya...ya". Sebastian menjawab seadanya. Meskipun dalam hatinya ia sedikit bersyukur ada teman yang menemaninya di kota ini

"Oh itu saja ayo kita masuk ke dalam kafe itu". Ajak Claude.

Sebastian menuruti Claude. Mereka berdua masuk ke dalam cafe yang hangat itu. Mengambil tempat duduk di dalam ruangan daripada di teras depan. Sebastian memesan teh hangat dan Roti bakar selai maple sedangkan Claude memesan kopi dan makanan yang serupa dengan Sebastian. Sambil menunggu hidangan, mereka mengobrol santai. Tanpa mereka sadari berpasang-pasang mata wanita memandangi mereka dengan tatapan kagum. Pengunjung di kafe itu lumayan ramai. Rata-rata memesan kopi. Sebastian menyeruput tehnya sambil mendengarkan perkataan Claude. Sesekali ia juga melirik ke arah televisi yang menyiarkan berita pagi yang disediakan kafe itu. Aroma kafe ini segar karena pengunjung dilarang merokok di dalam ruangan. Jika ingin merokok, harus memilih tempat duduk yang ada di depan.

Mereka berdua selesai sarapan. Sebastian menyuruh Claude membayar bagiannya juga. Katanya itu hukuman untuk Claude karena tak memberitahuya kalau ia akan kuliah di kampus yang sama dengannya. Claude menurutinya. Ia menanyakan suatu hal kepada petugas kasir setelah memberikan uangnya. Sebastian sweetdrop dengan pertanyaan Claude kepada kasir itu. Akhirnya setelah agak banyak berbincang-bincang dengan kasir, Claude mengakhirinya karena menyadari kalau Sebastian sudah menunggunya agak lama di luar. Setelah Claude berhasil menyusul Sebastian, mereka kembali berjalan berjalan

"Huh...percaya diri sekali kau ya. Belum tentu diterima di Oxford, kau sudah menanyakan tempat kost terdekat dari kampus ke petugas kasir itu?". Tanya Sebastian memasang tampang heran

"Aku percaya kalau aku pasti akan di terima". Jawab Claude mantap. Sebastian menghela napas maklum. Sedari dulu temannya ini mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ia saja kalah. Padahal Sebastian itu juga orang yang sangat percaya pada dirinya sendiri kalau ia bisa melakukan apa pun

"Kau memang boleh optimis dalam mencapai tujuan, tapi terlalu ambisius juga akan menghancurkanmu lho...". Ingat Sebastian

"Hahahaha...iya aku tahu itu Sebs. Kau berulang kali mengatakan hal itu. Kau seperti orang tua, yang menasehati anaknya saja".

"Semoga-moga kau terkena sial".Batin Sebastian jengkel. Lalu ia hendak berbicara lagi

"Tes masuk di Oxford jangan kau anggap enteng. Meskipun tadi kau merasa telah menjawabnya dengan benar. Ingat kalau ini adalah Universitas terbaik di Dunia. Orang-orang yang diterima di sini tidak ada yang bodoh".

"Iya aku tahu hal itu. Kata petugas kasir itu dari sini belok kanan". Gumam Claude sambil menunjuk-nunjuk jalanan

"Jadi kau membawaku ke tempat kost yang akan kau singgahi?". Ucap Sebastian sadar

"Siapa yang membawamu, bukankah kau mengikutiku?". Claude berkata dengan cuek. Sebastian merengut

"Aku sangat berharap kau terkena sial". Batin Sebastian lagi. Sebastian memperhatikan lingkungan sekitar. Di disini lingkungannya nyaman dan tertata rapi. Dan agak ramai juga dengan orang yang berjalan lalu lalang. Meskipun tidak seramai London sih. Pikir Sebastian. Saat tengah sedang asyik-asyiknya memperhatikan daerah sekitar, Sebastian dikejutkan oleh seruan Claude

"Wah...ternyata ini ya tempat yang dimaksud kasir itu. Hmm...Lumayan juga". Seru Claude memperhatikan sebuah bangunan. Sebastian menoleh ke sebuah bangunan bertingkat satu itu. Bangunan yang cukup luas untuk kost. Dengan pagar kecil yang setinggi sekitar bahu Sebastian. Terdapat taman kecil yang terurus tanamannya. Temboknya bercat hijau muda yang menambahkan kesan asri rumah itu. Dan di pagarnya terpampang sebuah papan yang bertuliskan 'Diizinkan memelihara hewan'.Sebastian cukup tertarik dengan hal itu. Biasanya di setiap rumah kost dilarang untuk memelihara hewan

"Bagaimana Sebastian? Kau tertarik bukan? Di sini diperbolehkan memelihara binatang lho". Ucap Claude sambil menoleh ke arah Sebastian yang menerawang ke lantai kedua. Ucapan Claude tidak digubris oleh Sebastian. Ia masih sibuk meneliti setiap sudut di lantai kedua itu.

#

Seseorang beranjak dari kasurnya. Ia menyadari ada orang di luar. Ia menyibakkan sedikit korden birunya untuk melihat sosok yang berada di luar rumahnya

"Huh...sudah kuduga akan ada 'pendatang baru' lagi di sini. Tahun ajaran baru sih...". Ucapnya sambil memandang ke arah bawah. Dimana terdapat kedua pemuda yang sedang meneliti bangunan yang di tempatinya ini. Ia menduga cepat atau lambat kedua pemuda itu akan bertempat tinggal satu atap dengannya. Ia sedikit bisa mendengar percakapan kedua pemuda itu juga dari atas. Yang sedang membicarakan tentang kampus terkenal yang terletak tak jauh dari sekitar sini

"Apa? Rupanya mereka baru saja menjalani tes ujian masuk di Oxford? Dan pemuda berkacamata itu mencari tempat kost yang tak jauh dari kampus?Percaya diri sekali...belum ada pengumuman peserta yang diterima di Oxford sudah mencari kost. Huh...dasar manusia". Ia melihat lebih seksama lagi ke arah dua pemuda tersebut

"Tapi...dari tampangnya, aku yakin mereka bukan orang bodoh. Dan aku berani taruhan kalau mereka pasti diterima di Oxford". Lanjutnya menerawang

Saat ia agak sedang melamun, salah satu dari pemuda itu—yang sedari tadi meneliti bagian sudut lantai dua—menyadari keberadaannya. Ia kaget. Cepat-cepat ditutupnya korden agar menyembunyikan sosoknya yang misterius

#

Sebastian terserentak kaget. Ia tidak menyangka ternyata ada seseorang di atas sana. Ia sempat berpikir kalau ia mungkin salah lihat. Tapi instingnya mengatakan sebaliknya. Claude menyadari perubahan ekspresi Sebastian. Temannya kini sedang memandang dengan wajah yang sulit di tebak ke lantai dua. Akhirnya Claude memutuskan untuk menanyainya

"Ada apa Sebs?"

Yang ditanyai tidak menjawab. Yah...memandang saja tidak, apalagi menjawab Claude. Sebastian masih terus memperhatikan bagian yang menurutnya ganjil itu. Claude yang kebingungan mengikuti arah pandangan Sebastian di daerah lantai dua. Tepatnya di jendela paling kanan

"Ada apa Sebs?". Tanya Claude lagi. Dan akhirnya kali ini Sebastian menjawabnya

"Aku yakin, aku tadi melihat seseorang di jendela pojok kanan, lantai dua".

"Mungkin hantu?". Canda Claude yang malah ditanggapi serius oleh Sebastian

"Tidak bukan hantu, kalau hantu kenapa ia tidak menghilang saja. Tapi malah menutup kordennya".

"Kau sempat melihat sosoknya?"

"Tidak, ia menutup kordennya dengan gerakan yang sangat cepat. Sehingga aku tak sempat melihatnya".

"Mungkin ia malu-malu denganmu...Aku sudah cukup puas melihat-lihat, ayo kita pergi".

"Eh? Kau tidak melihat bagian dalamnya?". Sebastian kini telah memasang raut normalnya kembali

"Tidak, setelah pengumuman penerimaan saja. Ayo...tes wawancara akan dimulai pukul satu siang". Claude mulai berjalan berbalik arah. Menuju ke arah kampus. Sebastian mau tak mau hanya mengikutinya

#

Ia menyibak kordennya sekali lagi dengan pelan-pelan. Dan agak lega setelah melihat dua pemuda yang tadi, telah pergi menjauh meninggalkan rumahnya. Lalu ia menghela napas pelan sambil menutup kembali kordennya

"Huh...yang tadi itu hampir saja. Tapi apa ia sempat melihatku ya? Mudah-mudahan tidak". Harapnya kembali ke kasur dan membaringkan tubuhnya pelan-pelan

"Huh...malu-malu katanya? Untuk apa malu-malu karena seperti itu. Merepotkan saja". Gumamnya kecil

#

Sewaktu menempuh perjalanan ke arah kampus, sebenarnya Sebastian masih dihantui oleh suatu pikiran. Ya...ia masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ia penasaran dengan sosok yang ada di rumah kost itu. Sebastian yakin kalau sosok itu bukanlah hantu. Ia sudah bilang pada Claude bukan? Tidak mungkin kalau sosok itu hantu yang menutup kordennya. Mengapa tidak menghilang saja. Sebastian berniat mencari tahu tentang sosok tersebut. Toh...ia juga akan kost di situ bukan?. Tapi kalau ia lulus ujian masuk.

Tanpa Sebastian sadari, Claude sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Bagaimana tidak? Claude melontarkan pertanyaan kepada Sebastian, tapi yang ditanyai tidak menjawab. Malah melamun. Claude menghela napas kesal. Sahabat karibnya itu menjadi aneh setelah insiden sosok misterius tadi

"Sebs, kau masih memikirkan sosok itu tadi?". Tanya Claude yang anehnya langsung direspon oleh Sebastian. Padahal pertanyaannya tadi, tidak dijawab oleh Sebastian

"Ya...aku masih penasaran. Aku yakin kalau ia bukan hantu". Jelas Sebastian. Claude menghela napas lagi

"Sudahlah...sekarang lebih baik kita memikirkan ujian yang masih akan kita hadapi lagi".


.

.

Hari ini Sebastian kembali lagi duduk di dalam sebuah bis. Yang mengatarnya ke kota Oxford dari kota London yang menjadi tempat singgahnya selama ini. Tapi kali ini ia tidak pergi untuk ujian tes masuk, tapi untuk melihat pengumuman peserta tes yang diterima. Ia memasang sepasang headset di telinganya yang mendendangkan sebuah lagu. Tentunya disandang dengan sebuah buku yang dipegang oleh kedua tangannya. Tentu saja buku teori pejalaran. Rupanya ia masih tidak bosan belajar bahkan setelah ujian tes sudah berakhir. Claude tidak menemaninya untuk melihat pengumuman. Ia masih ingat percakapannya di telepon dengan Claude sebelum ia berangkat

Flasback

Ponsel Sebastian bergetar panjang. Meskipun jarak dirinya dengan ponselnya cukup jauh, ia masih bisa mendengarnya. Lantas ia berjalan ke meja sebelah kasurnya dan mengambil ponselnya yang tergeletak di situ. Sebelum mengangkat teleponnya, ia sempat melihat nama si pemanggil ponselnya. Lalu ia menekan salah satu tuts di keyboard ponselnya

"Halo? Ada apa Claude?". Tanya Sebastian kepada si pemanggil sambil mengancingi kemejanya dengan tangan kanan. Dan tentu saja tangan kirinya ia gunakan untuk memegang ponselnya kan...

"Ah...akhirnya kau mengangkatnya juga Sebastian. Sorry, aku tak bisa menemanimu melihat pengumuman di Oxford hari ini. Aku ada urusan yang cukup penting, sehingga tidak bisa menemanimu. Tolong lihatkan namaku juga ya...". Ucapnya memasang raut menyesal tapi tidak bisa dilihat Sebastian. Tapi Sebastian mengerti dari nada suara Claude

"Oh...itu tidak masalah". Ucap Sebastian tak keberatan

"Baiklah terima kasih. Oh iya kalau kita diterima jangan lupa untuk mengunjungi tempat kost yang kemarin ya...tentu saja untuk—".

"Iya iya aku mengerti". Potong Sebastian

"Baiklah aku minta maaf sekali lagi ya tak bisa menemanimu. Kalau begitu sampai besok".

"Kau tidak usah sungkan "

"Tut...tut...tut..."

Selalu saja Claude memutuskan hubungan secara sepihak sebelum Sebastian menyelesaikan ucapannya

End flasback

Setelah lama menunggu, akhirnya bus yang ditumpangi Sebastian sampai juga di kota Oxford. Beberapa menit kemudian bus itu mengerem berhenti di gerbang depan Oxford. Sebastian turun dan mulai menyusuri halaman yang sangat luas itu. Hendak menuju papan pengumuman. Dari kejauhan tampak siswa-siswi berkerumunan melihat papan pengumuman yang besar itu. Sebastian menunggu sejenak dengan bersandar di tembok. Ia memutuskan untuk melihat pengumumannya setelah kerumunan itu agak sepi. Sambil menunggu ia membaca buku yang dibacanya di dalam bus tadi. Dan seperti biasa juga banyak cewek-cewek yang melihatnya dengan tatapan kagum

Waktu telah agak lama berlalu. Tapi kerumunan itu tak kunjung sepi juga. Malah tambah ramai. Akhirnya, karena tak mau membuang waktu, Sebastian memutuskan untuk membaur dalam kerumunan itu. Untuk melihat pengumuman. Dan setelah berdesak-desakkan, ia berhasil sampai kerumunan paling depan. Baru saja ia melihat papan pengumuman itu kurang dari setengah detik, ia berhasil menemukan namanya pada kolom peserta yang diterima. Tak disangkanya juga, ia mendapat peringkat pertama dari sepersekian banyaknya peserta. Ia juga menemukan nama Claude pada peringkat kelima. Setelah mengetahui hasil pengumumannya, ia beranjak keluar dari kerumunan itu. Dan berjalan ke luar kampus. Hendak menuju ke tempat kost yang kemarin ia kunjungi dengan Claude. Agak berlari kecil juga ia, karena ia khawatir kalau tidak ada dua kamar kosong lagi.

Akhirnya ia sampai juga. Mudah-mudahkan masih tersisa kamar kosong. Harapnya. Ia memencet bel di sebelah pagar. Tak lama kemudian seseorang keluar dari dalam rumah itu. Ia memakai kacamata ber-frame merah. Rambutnya tersisir rapi ke samping. Wajahnya datar meskipun sedang menghadapi tamu. Sebelum Sebastian hendak berbicara orang itu memotongnya

"Apakah kau mau menge-kost tempat ini?". Tanyanya sambil membenarkan letak kacamatanya

"Iya. Apakah anda pemilik ru—"

"Kebetulan Madam Red berada di sini. Ayo masuk ke dalam". Ajaknya memotong ucapan Sebastian—lagi—. Mengingatkannya pada Claude

Sebastian mengikutinya masuk ke dalam. Di dapatinya ruang tamu tanpa pintu yang luas. Tembok bagian dalam rumah itu berwarna hijau. Sama seperti tembok bagian depan rumah ini. Sebastian duduk di salah satu sofa, setelah dipersilahkan duduk tentunya. Dan terdapat sebuah tangga lebar yang terletak di tengah-tengah di belakang ruang tamu. Bangunan rumah ini dirancang agar pada saat di lantai dua, juga bisa melihat ke lantai satu di bawah (seperti mansionnya Ciel). Dan juga sebaliknya. Sebastian melongok ke bawah tangga itu. Ternyata terdapat beberapa ruangan yang dipintunya terdapat papan nomor. Sebastian yakin itu pasti kamar kost. Di lantai dua hanya terdapat beberapa ruangan kost pula. Saat Sebastian sedang asyik melihat-lihat, sebuah suara wanita mengejutkannya

"Ah...jadi kau yang akan mengkost di sini? Aku Angelina Burnett. Pemilik tempat kost ini". Sapa seseorang yang penampilannya agak mengejutkan Sebastian. Pakaian yang serba merah, rambut yang merah dan juga lipstik yang merah juga. Benar-benar mencolok. Wanita bernama Angelina itu duduk di sofa yang berseberangan dengan Sebastian

"Iya. Perkenalkan nama saya Sebastian Michaelis. Saya murid baru di Oxford, Miss Burnett". Ujar Sebastian sopan

"Ahahaha...panggil saja aku Madam Red. Orang-orang lebih sering memanggilku begitu".

Sebelum Sebastian menjawab, suara deheman oleh orang di belakang Madam Red memotongnya

"Ehem, Madam Red aku boleh kembali ke kamarku kan?". Ternyata orang yang mengantar Sebastian masuk tadi

"Iya iya, Will".

Pemuda bernama Will itu pergi dari ruang tamu yang luas ini dan masuk ke kamar bernomor tiga di belakang tangga. Sebastian melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda

"Iya. Emm...apakah masih ada dua kamar kosong di kost ini?".

"Wah...tenang saja. Masih tersisa tiga kamar kosong kok. Tapi itu semua berada di lantai dua. Apakah kau keberatan?"

"Tidak sama sekali Madam. Saya malah lebih senang jika di atas".

"Baiklah kalau begitu. Oh iya...kau memesan dua kamar apakah kamar yang satunya itu untuk temanmu?".

"Iya"

"Baiklah kalau begitu. Sebentar ya... kuambilkan kuncinya". Wanita itu beranjak dari duduknya. Menuju ke meja yang terdapat di pojok ruangan. Ia membuka laci dan setelah menemukan benda yang dicarinya ia kembali menuju Sebastian

"Ini. Kamarmu di nomor tujuh dan temanmu di nomor delapan. Atau boleh sebaliknya". Madam Red menunjuk ke kamar yang di maksud di lantai dua dari bawah. Sebastian mengangguk mengerti dan menerima uluran kunci dari tangan Madam Red

"Masing-masing lantai terdapat lima kamar. Di kamar sudah terdapat satu tempat tidur, lemari, kursi, dan meja. Kalau mau menonton TV, itu disana ada". Kini Madam Red menunjuk ke pojok ruangan ini. Yang terdapat TV berukuran lumayan besar

"Alasan aku hanya menaruh satu TV di rumah ini karena semua anak yang mengkost di sini tak begitu suka melihat TV. Kuharap kau tak keberatan". Jelasnya

"Itu sama sekali bukan masalah".

"Syukurlah...Oh iya di kamar nomor enam lantai dua...". Madam Red menunjuk ke kamar paling pojok sebelah kanan di lantai dua dan kembali berkata. "Yang menempatinya adalah keponakanku, Ciel. Lantai bawah, kamar nomor satu ada Ronald, nomor dua ada Grell, nomor tiga ada Will yang tadi, nomor empat Alan dan nomor lima Eric". Madam Red menjelaskannya sambil bergantian menunjuk kamar-kamar yang dimaksudnya. Sebastian hanya mengangguk saja. Madam Red tiba-tiba teringat sesuatu lalu untuk kesekian kalinya ia kembali berkata, "Oh...iya kamar nomor sembilan itu sudah ada yang memesan, tapi dia belum menempatinya. Katanya ia akan membereskan barang-barangnya ke sini besok. Ia manis sekali untuk ukuran anak laki-laki. Tapi ia masih sekolah. Dan jangan lupa ya untuk saling akrab dengan kenalan-kenalan barumu di sini". Ucapnya panjang sambil tersenyum lebar

"Ya...terima kasih". Jawab Sebastian seadanya

"Kenapa kau berterima kasih...Wah...aku hampir terlambat kerja. Sudah dulu ya, Sebastian". Wanita itu buru-buru keluar rumah setelah melihat jam tangannya. Sebastian hanya diam melongo

"Padahal aku kan belum bilang kalau aku akan mulai menempati rumah ini besok. Dan...". Sebastian melihat tangannya yang menggenggam dua buah kunci berwarna perak. "Dia bahkan sudah pergi sebelum aku membayar uang sewanya dan memberikanku kunci". Sebastian mendesah panjang mengingat betapa cerobohnya wanita bernama Madam Red itu. Tapi Sebastian tak habis pikir, bagaimana bisa orang ceroboh menjadi dokter spesialis?. Sebastian mengetahuinya. Madam Red adalah seorang dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit paling terkenal di kota ini. Tadi ia sempat melihat dan membaca tanda pengenal wanita itu yang dijepitkan di saku kanannya. Karena tak mau membuang waktu lama-lama, akhirnya Sebastian beranjak keluar dari rumah itu, mencari bus dan kembali pulang ke kota asalnya.


.

.

Nada dering terdengar dari ponsel Sebastian. Ia buru-buru mengangkatnya sambil membolak-balik masakannya di penggorengan.

"Halo?".

"Halo Sebs, bagaimana dengan hasil tadi?". Sebastian merengut kesal ketika mengetahui pemilik suara seseorang yang menelponnya

"Hasil tadi apa?". Tanyanya cuek

"Apakah kau dan aku diterima di Oxford? "

"Aku diterima".

"Kalau aku?".

"Emm...maaf ya, kau tidak diterima. Sebaiknya kau cepat-cepat mendaftar dan melakukan tes di Universitas lain". Jawab Sebastian bohong lebih tepatnya. Tak lupa ia juga menyisipkan nada kecewa pada ucapannya

"Apa? Kenapa aku tidak diterima?".

Bingo, tepat sasaran. Batin Sebastian

"Aku tidak tahu. Maaf ya".

"Hh..Kenapa kau meminta maaf?".

"..."

"Sebs?".

"..."

"Sebs? Halo?".

"Karena aku berbohong padamu. Hahahahahaha...". Sebastian menertawai Claude

"Apa? Cih dasar kau ini. Kau mengagetkanku saja. Lihat saja jika aku bertemu kau besok...". Ancam Claude setengah serius [?]

"Iya...iya...habisnya kau ini mengganggu sekali. Aku sekarang ini sedang memasak".

"Begitukah? Jadi aku diterima di Oxford kan?"

"Iya...iya..."

"Dan apakah kau sudah mendaftarkan kita ke kost yang kita kunjungi beberapa hari kemarin?".

"Sudah...Untungnya masih tersisa dua kamar yang kosong".

"Kau tidak bercanda lagi kan?".

"Terserah apa katamulah. Sudah kututup dulu, aku sedang memasak". Ucap Sebastian menghela napas. Ia sangat kesal kepada Claude sekarang. Bagaimana tidak? Saat ia sedang damai-damainya memasak untuk menu makan malamnya, kerabatnya itu merusak suasana memasaknya

"Oh, kau sedang memasak?".

"Iya...Baiklah kututup tele—"

"Tut...Tut...Tut..."

Sebastian merasa ingin mencekik Claude ketika memutuskan sambungan telepon ketika ia belum selesai bicara

.

.

Keesokan harinya (tempat kost)...

"Hh...berat...mana kunci kamarku Sebs?". Keluh Claude menempatkan barang-barang bawaannya ke ruang tamu. Sebastian melemparkan salah satu kunci yang berada di sakunya. Claude lalu bergegas menaiki tangga sambil membawa barang bawaannya kembali. Ia tertatih-tatih melewati tangga. Sementara Sebastian tidak terlihat begitu berat membawa barang miliknya

"Kamar nomor delapan". Gumam Claude sambil memasukkan kunci kamarnya dan memutarnya.

KRIEET...

"Hmm...sepertinya kamar ini nyaman untuk ditempati". Gumamnya lagi sambil memandang ke setiap sudut-sudut ruangan yang saat ini telah kamarnya itu. Ia lalu mulai membereskan barang-barangnya dari tas besar yang dibawanya tadi

.

Setelah selesai membereskan barangnya Sebastian berbaring di kasurnya. Ia memandang langit-langit ruangan itu yang berwarna putih bersih. Meskipun tidak terlihat ada yang menempati, tapi kamar ini tetap bersih. Pikir Sebastian.

"Sebs?". Panggil Claude yang menengok Sebastian di depan pintu kamarnya yang tak tertutup

"Apa?". Jawabnya sambil bangkit dari posisi tidurnya

"Ayo kita cari makan di luar, aku lapar...dan ini sudah jam sebelas siang. Kita belum makan apa-apa dari tadi pagi".

"Emm...malas aku sedang malas pergi, kau saja ya pergi sendiri".

"Tapi kau lapar kan?".

"Memang aku lapar, tapi aku sedang malas pergi".

"Dasar kau ini...kalau begitu kau masak saja. Disini ada dapurnya kok".

"Dapur di tempat ini sangat bersih, aku tadi sempat melihatnya. Kelihatannya penghuni di sini jarang ada yang memakainya. Dan kalau jarang ada yang memakainya, itu artinya kelihatannya bahan makanan di sini juga sedikit". Jelas Sebastian panjang lebar

"Akan kucek dulu". Claude langsung menuruni tangga dan membuka kulkas yang berada di dapur. Setelah melihat dan mengecek isinya ia terlihat kecewa dan kembali lagi ke kamar Sebastian.

"Makanan sih ada banyak, tapi semuanya hanya makanan ringan dan berkaleng-kaleng soda".

"Benar apa kataku kan...". Ucap Sebastian cuek

"Kalau begitu, aku akan belanja bahan makanan saja dan kau yang memasak. Oke...masakan apa yang akan kau masak?". Tanya Claude semangat. Tentu saja, semangat karena perutnya akan diisi oleh masakan Sebastian yang em...sepertinya tidak usah dijelaskan ya...

"Emm...bagaimana kalau Macaroni saus bawang kacang polong?"

"Setuju...berikan aku catatan bahan yang akan dibeli"

Sebastian menyambar bolpoint dan selembar kertas yang berada di dekat mejanya. Kemudian ia menuliskan bahan-bahannya. Setelah itu, ia langsung memberikannya kepada Claude dan berkata

"Menurutku kita membuat makanannya juga untuk yang lainnya di rumah ini. Yah...untuk semacam perkenalan". Claude mengangguk setuju lalu ia menengadahkan tangan kanannya ke Sebastian. Sebastian bingung dengan maksud Claude. Dan sedetik kemudian ia sadar akan maksud Claude itu

"Apa? Tentu saja pakai uangmu". Ucap Sebastian cuek

"Apa?". Claude kaget

"Aku tahu kau baru menerima gajian dari tempatmu bekerja sambilan di London. Dan tadi kau sendiri yang menawariku mencari makan. Jadi siapa yang mengajak, dialah yang membayar". Ucap Sebastian nyengir sambil membaringkan kembali tubuhnya ke kasur. Karena tak mau terlibat pertengkaran lebih jauh lagi, akhirnya Claude mengalah.

"Dasar kau ini...". Gumamnya jengkel pada Sebastian. Ia kemudian beranjak dari tempatnya. Tapi, tepat setelah langkah pertamanya, Sebastian berkata

"Hei, tutup pintu kamarku!". Suruh Sebastian.

Claude menjalankan perkataan (perintah) Sebastian dengan menutup pintunya agak keras. Meskipun ia menuruti perintah Sebastian, tapi Ia sebenarnya sangat tidak ikhlas lahir batin. Setelah itu ia menuruni tangga dengan pikiran dimana aku bisa mencari supermarket terdekat?. Dan pada saat ia akan menuruni anak tangga terakhir, ia melihat seseorang berkacamata keluar dari kamarnya. Menurut Claude, orang itu mempunyai model rambut yang langka. Bagaimana tidak? Yang bagian atas berwarna pirang dan yang bawah berwarna hitam?.

Oke...sebagai tetangga kost baru, ia wajib memberi salam bukan? Agar ia dicap sebagai seorang yang ramah. Tetapi, sebelum Claude sempat menyapa, anak itu memberinya sapaan yang bisa dianggap histeris

"Wah...kau pasti salah satu penghuni baru kost ini ya?". Ucapnya setengah berteriak.

"Iya...". Jawab Claude yang tersenyum ramah pada anak yang sekarang ini berjalan mendekatinya. Claude heran, mengapa ia tidak mempunyai kesan canggung berhadapan dengan orang baru ya?. Mungkin anak di depannya ini mempunyai aura yang santai. Begitu pikirnya.

"Wah...benar! Perkenalkan namaku Ronald Knox. Aku mahasiswa semester satu yang akan naik ke semester dua di Universitas Oxford. Kau siapa?".Tanya pemuda bernama Ronald itu dengan tersenyum yang kelewat ceria?

"Namaku Claude Faustus. Aku mahasiswa baru di Oxford". Claude merasa santai berbicara dengan Ronald ini. Bahkan dia memakai kata 'aku' di perkenalannya.

"Oh...begitu. Ngomong-ngomong kau mau kemana?".

"Sebenarnya aku mau ke supermarket, tapi aku tidak tahu dimana supermarket terdekat".

"Wah...kebetulan aku juga akan ke supermarket, ayo kutunjukkan jalannya".

Claude merasa beruntung saat ini. Sebelum ia meminta tolong diantarkan ke jalan supermarket terdekat, Ronald malah mengajaknya dan menunjukkan jalannya.

.

"Nah...dari sini, belok kanan". Ucap Ronald sambil menunjuk arah kanan dengan telunjuknya. Claude mengagguk mengerti. Otaknya mengingat-ingat rute dari tempat kost menuju supermarket terdekat yang ditujunya ini

"Ngomong-ngomong katamu tadi temanmu yang bernama Sebastian akan membuat hidangan untuk perkenalan kan?". Tanya Ronald histeris

"Iya...kuberitahu ya, dia itu sangat jago sekali memasak apapun. Dilihat dari luar, penampilan masakannya sangat mengundang lidah untuk memakannya, tapi setelah dimakan rasanya melebihi masakan restoran bintang lima". Jelas Claude bersemangat. Entahlah mengapa mereka berdua terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Tapi nyatanya, mereka baru saja bertemu tadi. Yah...anak laki-laki memang cepat beradaptasi.

"Wah...benarkah? aku jadi tidak sabar mencicipinya". Ucap Ronald mengusap-usapkan kedua tangannya

"Oh...iya memangnya kau ada keperluan apa ke supermarket?". Sekarang Claude yang ganti mengajukan pertanyaan

"Aku mau membeli soda. Persediaan sodaku habis". Jawab Ronald sambil nyengir

"Tapi, kulihat tadi di lemari pendingin banyak sekali kaleng-kaleng soda yang belum terminum". Claude menatap Ronald heran

"Oh...itu punya Will dan Eric".

"Memang tidak boleh diminum?".

"Tidak...di kost kita memiliki aturan, yaitu jika kau membeli makanan atau minuman dan kau taruh di lemari pendingin, harus kau kasih nama terlebih dahulu. Agar tidak tertukar dan tidak dimakan orang lain". Ronald menjelaskan

"Oh...begitu ya..."

"Tapi jangan sampai kau memakan atau minuman punya Will, entah itu sengaja atau tidak sengaja kau akan dicereweti seharian penuh! Ingat kata-kataku ini ya". Ucap Ronald menekankan nama Will yang disebutnya

"Oke. Tapi Will itu yang mana ya?".

"Nanti kau juga akan tahu. Daripada itu, kita sudah sampai". Ucap Ronald sambil memasuki supermarket yang berpintu kaca itu

"Jaraknya dekat ya...". Gumam Claude sambil menyusul Ronald

"Aku pulang!". Teriak Ronald memasuki rumah. Dan disambut dengan...

"Aku tahu niatmu baik mengucap salam ketika memasuki rumah, tapi jangan keras-keras saat mengucapkannya". Ujar seseorang berambut rapi sambil membenarkan letak kacamatanya

"Iya-iya Will...". Jawab Ronald pelan. "Jadi ini yang namanya Will?". Batin Claude. Will menyadari ada seseorang yang berada di sebelah Ronald.

"Kau orang baru di sini ya?". Tanya Will yang menurut Ronald basa-basi

"Iya. Namaku Claude Faustus".

"Namaku William T. Spears. Panggil saja Will. Kuharap kau nyaman berada di tempat ini".

"Iya...". Sejenak Claude berpikir bahwa ternyata Will itu orang yang baik. Tetapi...

"Dan kuharap kau tidak mengganggu urusanku disini". Lanjut Will yang membuat kesan 'orang baik' di pikiran Claude jadi hilang dengan cepat. Will lalu beranjak kembali ke kamarnya

"Dia menjengkelkan bukan?". Bisik Ronald

"Memang menjengkelkan sih, tapi kurasa sebenarnya dia orang yang baik". Ucap Claude

"Yah...kalau itu sih, kuakui juga...". Ronald setuju

"Oh...iya ngomong-ngomong, terima kasih untuk tadi di supermarket. Berkat kau yang menggoda cewek kasir itu, harga barang-barang yang kubeli jadi berkurang harganya".

"Tak masalah...setiap aku beli ke supermarket itu, aku selalu menggoda cewek-cewek yang bertugas kasir itu. Tentu saja agar harganya diturunkan". Ronald bicara seakan-akan ia bangga dengan dirinya yang telah melakukan itu?

"Tapi apakah cewek kasir itu menambah sisa harga barang yang kau beli? Kalau tidak ditambah lama kelamaan, aku jamin supermarket itu akan bangkrut karena faktornya adalah kau". Ucap Claude tertawa geli

"Hahahahaha...soal itu mungkin saja". Ronald juga ikut tertawa

Saat keduanya tertawa terbahak-bahak, seseorang mengintrupsinya.

"Lama sekali Claude. Cepat serahkan bahannya. Aku sudah lapar".

"Iya...iya Sebs...cerewet sekali kau...Kau kira tidak berat membawa barang-barang sebanyak ini?". Claude menyerahkan bahan-bahan yang baru saja dibelinya kepada Sebastian. Sebastian menyadari ada seseorang yang tadi berdiri di samping Claude

"Ah...perkenalkan saya Sebastian Michaelis. Mahasiswa baru di Oxford". Ucap Sebastian ramah

"Oh...jadi ini yang namanya Sebastian". Pikir Ronald. "Namaku Ronald Knox. Aku juga mahasiswa di Oxford. Santai saja...tidak usah pakai kata saya. Kau tampan juga ya..emm...tolong...". Jawab Ronald tersenyum ceria dan dibalas senyuman juga oleh Sebastian

"Jadi tolong...". Lanjut Ronald menggantung. Membuat Sebastian heran

"Tolong apa?". Tanya Sebastian

"Tolong..."

Sebastian menunggunya dengan sabar

"Tolong..."

"Tolong agar...". Lanjut Ronald membuat Sebastian gusar

"Tolong APA?". Nampaknya Sebastian sudah mulai tak sabar

"TOLONG AGAR BERHATI-HATILAH DENGAN GRELL". Teriak Ronald

"Ha?". Ucap Sebastian cengo. Tepat setelah ia berkata itu, seseorang memeluknya dari belakang. Tentu saja itu membuatnya kaget

"AH~KAU TAMPAN SEKALI...PRIA IDAMANKUUUUU". Ucap orang yang memeluknya tiba-tiba. Sebastian berusaha melepaskan rangkulan orang itu dengan menendang tepat mukanya

DUAKK

"Ittaiii~". Ucap anak itu sambil meringkuk memegangi mukanya

"NAH APA KUBILANG KAN! BERHATI-HATILAH DENGAN GRELL". Teriak Ronald lagi yang sekarang dimengerti Sebastian.

"Ah...mukaku bisa rusak lho Sebas-chan...tapi kalau kau yang melakukannya kumaafkan deh...". Kata anak itu lagi.

"Itu yang namanya Grell. Grell Sutclife". Jelas Ronald

"Benar...namaku Grell Sutclife. Pangil saja Grell sayang~". Kata pemuda—banci —bernama Grell itu sambil bergaya kiss-bye ke arah Sebastian. Dan Sebastian merasa ingin menendang Grell sekali lagi. Menurut Sebastian, penampilan Grell itu terbilang sedikit aneh. Bagaimana tidak? Rambut yang berwarna merah tua panjang, memakai kacamata berwarna merah, baju dan celana panjang berwarna merah. Pokoknya semua serba merah. Mengingatkannya pada pemilik tempat kost ini. Madam Red.

Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba Grell mencekik leher Ronald

"Kau tadi bilang berhati-hati denganku? Apa maksudmu hah?". Tanya Grell horor

"Ohok..ohok...". Tentu saja Ronald tidak bisa menjawabnya dengan baik

"Jawab aku...". Tanya Grell lagi

Melihat pemandangan Grell mencekik Ronald, Sebastian dan Claude hanya diam saja. Mereka berdua berpikir, mungkin Grell sudah sering melakukan hal itu kepada Ronald.

"Jawab aku DASAR PLAYBOY!". Grell berteriak kesal. Cekikannya pada leher Ronald semakin menguat. Ronald berpikir mungkin, ini adalah akhir hidupnya *lebay*. Dan sebelum roh Ronald melayang sepenuhnya, seseorang menghentikan aksi Grell yang mencekiknya.

"Lepaskan dia, Grell Sutclife". Ucap seorang pemuda datar sambil mencekik erat leher Grell. Tanpa ba-bi-bu lagi Grell melepaskan cekikannya pada Ronald.

"Ohok..ohok..ohok". Ronald terbatuk-batuk memegangi lehernya yang sempat putus [?]

"He-has-han ha-hu Hiil...(Lepaskan aku Will)". Ucap Grell tak jelas

Will melepaskan cekikannya pada Grell. Dan Grell terbatuk-batuk.

"Grell Sutclife, sekali lagi aku melihat kau mencekik Ronald Knox, aku tidak akan mengampunimu. Lagipula benar kata Ronald Knox, sebaiknya Sebastian Michaelis berhati-hati denganmu karena kau adalah BANCI". Ucap Will datar seperti air yang tak beriak.

Ronald yang merasa dibela oleh Will memeletkan lidahnya ke Grell.

"Dan juga kau, Ronald Knox. Jangan berteriak-teriak seperti itu tadi. Kalau sampai aku mendengar teriakanmu itu tadi aku juga tidak akan mengampunimu. Ingat itu PLAYBOY". Lanjut Will membuat Ronald tidak lagi memelet-meletkan lidahnya ke Grell. Tapi sebaliknya ganti Grell yang memeletkan lidahnya ke Ronald

Lagi-lagi, Sebastian dan Claude hanya diam melihat pemandangan barusan. Mereka berdua berpikir mungkin, hal itu tadi terjadi setiap hari di rumah kost ini.

"Sebastian Michaelis". Panggil Will. Sebastian yang merasa dipanggil menoleh ke arah Will

"Kau memang sudah bertemu denganku, tapi aku belum memperkenalkan diri. Namaku William T. Spears. Panggil saja Will".

"Namaku Sebastian Michaelis".

"Aku sudah mendengarnya". Ucap Will

"Ngomong-ngomong, tadi aku mendengar katanya kau akan memasak untuk penghuni kost ini sebagai perkenalan kan?". Lanjut Will

"Ah...iya...aku sempat lupa hal itu".

"Dapur ada di sebelah sana, kuharap kau memasak yang enak, karena aku sedang lapar saat ini". Ucap Will menunjuk arah dapur

"Emm...apakah tadi ada yang bilang akan memasak? Namanya Sebastian Michaelis? Hoaahmmm~...Kebetulan aku sedang lapar". Ucap seorang berambut pirang yang baru saja keluar dari kamar kost yang dihuninya

"Wah...ada penghuni baru di kost ini ya...". Ucap seorang berambut hitam kecoklatan yang juga baru saja keluar dari kamarnya

"Ah...perkenalkan, yang berambut pirang namanya Eric Slingby dan yang berambut coklat kehitaman itu Alan Humphries". Ronald menunjuk dua anak itu satu persatu sesuai dengan ucapannya kepada Claude dan Sebastian.

"Dan yang ini namanya Sebastian Michaelis, yang ini Claude Faustus". Ucap Ronald bergantian menunjuk Sebastian dan Claude bergantian. Alan dan Eric hanya mengangguk sambil tersenyum

KRUYUUKKK...

.

.

.

"HAHAHAHA...".

"Ahahahahaha"

"HUAHAHAHAHA".

"Ehem..."

Sontak semua remaja laki-laki yang ada di situ tertawa terbahak-bahak—minus Will yang menahan tawanya—

"Sebs, sebaiknya kau buruan memasak deh...semua orang di sini perutnya sudah mulai rewel". Ucap Claude disela-sela tawanya

"Oke deh...". Jawab Sebastian mulai memberhentikan tawanya dan berjalan menuju arah dapur

"Bagaimana kalau kita menunggunya sambil bermain Play Station". Ajak Ronald

"Boleh juga! Bagaimana kalau kita bermain Winning?". Tawar Eric

"Wah...aku lumayan jago main itu!". Timpal Claude semangat

"Aku sih...setuju saja...asal tidak taruhan, aku lagi krisis uang saat ini". Tambah Alan pelan

"Itu tak masalah...". Jawab Ronald mengedipkan sebelah matanya. Ronald teringat sesuatu, ia langsung berkata kepada Will

"Hei, Will kau tak mau ikut? Atau jangan-jangan kau takut kalah melawanku lagi?". Ejek Ronald. Will yang merasa diejek akhirnya setuju juga bermain game.

"Ngomong-ngomong emm...kau tidak ikut Grell?". Tanya Ronald kepada Grell yang sedari tadi diam saja

"Tidak ah...aku sekarang ini tidak berminat bermain Winning. Ah...tapi kurasa aku akan ikut kalau kita bermain...".

Ronald menunggu ucapan Grell yang menggantung. Ia berfirasat kalau apa yang akan diucapkan Grell adalah hal yang menarik

"Bermain Beauty Fashion?". Lanjut Grell dengan mata berbinar-binar yang menurut Author lebay

.

DIEENGGG

"FIRASATKU SALAHHHHH!SEHARUSNYA AKU SUDAH MENDUGANYA!". Batin Ronald sangat amat kecewa dan kesal terhadap Grell

"SEHARUSNYA AKU TIDAK BERTANYA PADAMU!". Teriak Ronald

"Cih...dasar...". Keluh Grell sambil meniup poni depannya

"Mana mungkin aku bermain permainan cewek?". Tambah Ronald

"Membayangkannya saja aku tidak mau". Timpal Eric. "Tapi aku berani taruhan, meskipun Ronald selalu menang bermain Winning, tapi kurasa ia tak akan menang bermain Beauty Fashion dengan Grell". Lanjutnya terkikik

"Ah...sudah-sudah, ayo kita bermain saja". Ucap Ronald yang sudah duduk manis sambil memegang salah satu stick. Entah sejak kapan ia berada di situ dan menyiapkan Play Station miliknya.

"Mudah-mudahan aku menang melawan Ronald kali ini". Gumam Eric yang terdengar oleh Claude

"Memangnya Ronald itu jago sekali ya bermain Winning?. Tanya Claude penasaran

"Bukan jago lagi namanya, dia itu dijuluki Game Master. Segala jenis game dia jago semua". Jawab Eric

"Tapi tadi kau bilang dia pasti kalah melawan Grell di permainan Beauty Fashion?".

"Itu pengecualian. Ronald tidak suka game cewek".

Claude mengagguk-angguk mendengar penjelasan Eric

"Hei, Eric...mau melawanku pertama kali?". Tantang Ronald tersenyum sinis

"Boleh saja...akan kubalas kekalahanku yang sebelumnya". Sambut Eric yang juga tersenyum sinis

Ketika Ronald dan Eric saling bermusuhan—di permainan—Claude, Will, dan Alan melihat mereka berdua sampai melongo. Yah...mungkin karena mereka berdua bermain permainan sepak bola itu sangat liar tapi tepat. Sementara Grell? Tidak usah bertanya, dia sedang memoleskan bedak di mukanya.

"HAHAHAHA...Rasakan ini!". Teriak Ronald

Club Sunderland, yang dipilih Ronald salah satu pemainnya menjegal salah satu pemain yang dimainkan Eric. Eric memilih Club Inter Milan.

Wasit mengeluarkan kartu kuning kepada pemain yang melakukan pelanggaran. Dan kemudian salah satu pemain dari Inter Milan memperoleh bonus tendangan dari titik pelanggaran dilakukan. Eric tersenyum misterius

"Oke...sekarang giliranku". Katanya sambil memencet tombol di stick PS.

Tepat setelah Eric memencet tombol,pemain itu menendang tendangan mengoper kepada temannya dan kemudian digiringnya bola itu menuju gawang lawannya. Eric mengarahkan para pemain Inter Milan lainnya melaju ke gawang Sunderland

"Benarkah?". Ucap Ronald

Pemain bernomor punggung 9 Inter Milan yang dimainkan Eric menendang bolanya ke arah gawang Sunderland dengan bidikan yang menurut Eric sudah tepat

"AYO GOL!". Ucap Eric tak sabar

Bola masih melambung ke arah gawang. Waktu seakan-akan berjalan dengan lambat saat itu. Yak...bola tinggal berjarak satu meter dengan bagian tengah gawang dan...

Kiper Sunderland menyepak bola itu sejauh mungkin ke daerah Inter Milan. Dan salah satu pemain Sunderland dengan lincah menggiring bola itu ke arah gawang Inter Milan. Pemain belakang Inter tidak ada sama sekali yang berjaga, memudahkan pemain Sunderland menerobosnya. Tidak ada Offside karena pemian Sunderland itu menerima langsung tendangan gawang dari kiper. Dan entah sejak kapan, Ronald menggerakkan seluruh pemainnya meninggalkan daerah pertahanannya ke daerahnya. Eric syok dengan hal itu

"Bagaimana kau melakukannya?". Ucap Eric menatap heran ke Ronald

"Hanya dibutuhkan formasi yang sempurna". Jawab Ronald santai sambil tetap fokus

Eric mencoba menggerakkan seluruh pemainnya kembali ke daerah pertahanannya. Tapi terlambat, pemain Sunderland yang dimainkan Ronald telah menendang bola yang digiringnya dan...

"GOOLLLL". Teriak Ronald, Claude dan Alan. Eric pasrah saja. Will hanya diam sambil mencoba mengingat strategi yang digunakan oleh Ronald. Dan Grelll? Tidak usah bertanya, ia saat ini sedang mengoleskan sido berwarna merah ke salah satu kelopak matanya

#

"Cih...Berisik sekali sih mereka?". Ucap seorang pemuda manis yang beranjak dari posisi berbaringnya. Karena penasaran dengan keributan yang berada di luar kamarnya, ia memutuskan untuk mengeceknya. Pemuda itu berjalan pelan menuju pintu kamarnya. Memutar kenopnya dan membukanya sedikit dengan perlahan. Ia mengintip keadaan di luar kamarnya. Tepatnya di lantai bawah. Terlihat segerombolan anak pemuda sedang berhura-hura bermain PS di ruang tamu.

"Tumben sekali mereka bermain PS?". Gumamnya heran. Matanya menangkap sosok yang sepertinya pernah ditemuinya hari-hari lalu

"Itu kan si kacamata yang sangat PD itu? Rupanya dia jadi mengekost di sini ya? Jadi itu artinya ia diterima di Oxford mungkin...Lalu apakah si rambut raven itu juga disini?". Batinnya sambil mencari sosok berambut raven yang dimaksudnya. Tapi di kerumunan laki-laki remaja itu sama ia tidak menemukan si raven itu

Dilihatnya Ronald, Eric, si kacamata, dan kawan-kawan tertawa lepas seperti tanpa beban. Membuatnya merasa ingin membaur dan tertawa bersama para pemuda yang bermain PS itu. Dadanya sesak melihat hal itu. Ia juga ingin ke sana, membaur, tertawa dan berbagi cerita dengan yang lain.

"Apa yang sudah kupikirkan?". Batinnya sadar

Ia sadar semua hal itu cuma akan menjadi mimpi belaka. Ia sadar akan beban besar yang menimpa bahunya yang kecil. Ia sadar ia tidak akan mungkin bisa berteman dengan orang lain. Ia sadar bahwa manusia itu musuhnya. Ia sadar ia bahkan tak pantas untuk tersenyum dan tertawa bersama TEMAN.

Perlahan-lahan sosok pemuda ringkih itu menutup pintu kamarnya dengan pelan. Tidak ingin orang lain menyadari kehadirannya sedikitpun. Ia membaringkan tubuhnya kembali ke kasur yang menurutnya nyaman dan mulai mendengarkan earphone yang memutarkan lagu yang disukainya

Spend all your time waiting for that second chance
For the break that will make it ok
There's always some reason to feel not good enough
And it's hard at the end of the day
I need some distraction oh beautiful release
Memories seep from my veins
They may be empty and weightless and maybe
I'll find some peace tonight

In the arms of an Angel fly away from here
From this dark, cold hotel room, and the endlessness that you fear
You are pulled from the wreckage of your silent reverie
You're in the arms of an Angel may you find some comfort here

Perlahan matanya terpejam sebelum lagu yang diputarnya itu selesai.

#

Setelah saling bertanding satu sama lain, akhirnya Eric kalah dari Ronald. Kekalahan yang sangat tipis. Ronald memperoleh skor 2 sementara Eric 1. Permainan dilanjutkan dengan Claude melawan Alan. Tak disangka-sangka oleh Claude. Alan yang berwajah manis nan imut seperti perempuan itu ternyata jago bermain Winning. Terbukti pada menit ke lima babak pertama tim Manchaster United yang dimainkan Alan mencetak gol pertama.

"Hahahaha...memang kita tidak bisa menilai penampilan orang dari luarnya saja ya...". Ucap Ronald yang sangat disetujui oleh Claude. Tak terasa babak kedua telah berakhir. Pertandingan dimenangkan oleh tim yang dimainkan Alan dengan perolehan skor 3-0. Claude takjub dengan Alan

"Meskipun Alan memiliki wajah perempuan, tapi kemampuannya bermain game Winning mengalahkanku lho!" Puji Eric

"Hah...bukan salahku mempunyai wajah seperti ini. Kenapa semua orang bilang kalau wajahku seperti perempuan sih...". Protes Alan

"Memang kenyataannya begitu. Kalau kau jadi cewek, aku yakin aku sudah menjadikanmu pacarku hahahaha". Jawab Ronald yang malah membuat Alan ingin memukul kepala pirang itu

"Aku juga". Timpal Eric sambil menyalakan korek api untuk rokoknya

Sebelum Alan sempat menjawab perkataan Eric, Grell memotongnya

"AH~ Manusia yang paling cantik di dunia ini adalah akyuu~...".

"Bukannya wajahmu itu wajah gagal ya?". Ejek Ronald sinis

"APA KAU BILANG?". Balas Grell tak terima

"Sudahlah...kau tidak kasian dengan mataku yang melihat wajahmu terus-terusan Grell?". Ronald menutupi matanya dengan kedua tangannya sambil berlari menjauh

"HEI!JANGAN SEMBARANGAN KAU YA". Teriak Grell mengejar Ronald

"Mereka sering begitu kan?". Tanya Claude melihat aksi mereka berdua

"Terlalu sering malah". Jawab Eric menghisap rokoknya

"Tapi semoga saja kau nyaman berada di sini". Tambah Will membenarkan letak kacamatanya. Claude mengangguk

"Sepertinya ini tempat yang penuh kebersamaan teman ya". Ucap Claude lagi

"Terima kasih". Kata Alan tersenyum lembut

TING TONG...

Ronald yang menyadari bel depan rumah berbunyi segera bergegas membuka pintu dan keluar.

Tak lama kemudian, Ronald masuk lagi dengan pintu yang hanya dibuka seperempat sambil nyengir. Membuat siapa saja penasaran dengan kedatangan tamu itu.

"Kita kedatangan teman baru lagi selain Sebastian dan Claude". Ucap Ronald membuat semua orang kaget dan lebih penasaran. Kecuali Will. Mungkin saja Will sudah tahu siapa orang yang dimaksud Ronald. Dan Ronald membuka pintu itu lebih lebar dan terlihatlah sosok pemuda baru yang akan menghuni kost ini

"TARA...INILAH ORANGNYA!". Teriak Ronald heboh.

"Salam kenal semuanya...". Ucap pemuda baru itu ceria. "Namaku adal—". Ia tak sempat melanjutkan perkatannya karena menyadari keberadaan pemuda berambut ungu kehitaman di ruangan itu. Claude juga kaget melihat pemuda baru yang masih berdiri di ambang pintu itu

"Alois?". Ucap Claude kaget

"Claude?". Begitu juga dengan pemuda yang bernama Alois itu

"Nah...selesai". Ucap Sebastian lega. Ia melepaskan celemek yang dipakainya dan keluar dari dapur menuju ruang tamu.

"Hei...makanannya sudah siap lho". Ucap Sebastian kepada teman-temannya yang asyik duduk-duduk di sofa ruang tamu. Dan seketika itu, mata Sebastian menyadari keberadaan pemuda baru yang juga sedang duduk itu. Tunggu dulu, sepertinya ia familiar dengan pemuda baru itu. Rambutnya yang berwarna pirang pucat, matanya yang berwarna Sapphire Aquamarine. Benar Sebastian mengenalnya.

"Alois?". Panggil Sebastian

"Ah...Sebastian! Lama tak jumpa ya!". Ucap Alois histeris sambil menghampiri Sebastian dan menjabat tangannya

"Iya...Bukannya kau di Jepang?". Tanya Sebastian

"Iya...aku kembali lagi ke Inggris karena pekerjaan Ayahku". Jelas Alois.

"Hei daripada kalian berdiri seperti itu lebih baik duduk di sini". Tawar Ronald sambil menepuk-nepuk kursi sebelahnya yang kosong. Sebastian dan Alois menerima tawaran itu.

"Tadi aku sempat mampir ke rumahmu dan rumah Claude di London. Tapi kalian berdua tak ada. Dan ternyata kalian berdua berada di sini?". Ucap Alois diangguki oleh Claude dan Sebastian

"Tunggu kata Sebastian, kau pindahan dari Jepang?". Tanya Ronald

"Iya. Memang kenapa?"

"Di Jepang ceweknya cantik-cantik tidak?". Tanya Ronald lagi yang kemudian dilempari bantal oleh Will

"Banyak kok yang cantik. Teman-temanku di sana sama ramahnya dengan teman-temanku di sini". Jawab Alois ceria

"Wah...aku jadi ingin punya kenalan cewek di sana". Ucap Ronald lagi

"Ngomong-ngomong kau kelas berapa? Kok sampai kost di Oxford?". Tanya Alan sambil tersenyum manis

"Sebenarnya aku sekarang ini kelas tiga SMP. Tapi aku baru saja di terima di Universitas Oxford tahun ini". Jelas Alois santai tapi semua di ruangan itu yang mendengarnya terbelalak kaget.

"Apa? Kau loncat kelas lagi?". Tanya Claude

"Berarti kau loncat berapa kelas?". Tanya Eric

"Jadi sekarang aku, kau dan Claude satu angkatan?". Tanya Sebastian

"Ihh...satu-satu dong kalau tanya!". Protes Alois

"Kujelaskan ya. Em...entahlah aku sudah loncat berapa kelas. Pada saat aku kelas dua SMP aku loncat kelas ke satu SMA. Pada saat itu Sebastian dan Claude kelas tiga SMA. Mereka berdua satu SMA denganku. Pada saat aku akan naik kelas dua SMA, aku loncat kelas dengan mendaftar di Universitas Oxford sebagai murid baru". Lanjut Alois menerangkan

"Lalu kau tidak sekolah di Jepang?". Tanya Alan

"Aku sekolah di sana selama sepuluh bulan saja waktu kelas satu SMA".

"Oh...jadi kau pindah ya...". Ucap Alan dijawab dengan anggukan dari Alois

"Katamu tadi kau kenal Sebastian dan Claude dari kecil?". Tanya Ronald

"Iya...karena rumah kita berdekatan. Mereka loncat 2 kelas aku jadi ingin loncat kelas juga agar kita seangkatan. Kan lebih enak kalau seangkatan". Jelas Alois tersenyum ceria

"Apa? Jadi Sebastian dan Claude juga loncat kelas?". Ucap Ronald

"Iya...". Jawab Alois

"Ah...aku hampir lupa. Masakanku sudah jadi lho...". Ucap Sebastian tersenyum ceria

"Wah...jadi bau yang daritadi enak ini masakanmu ya?". Ucap Ronald nyengir

"Sudahlah daripada kau ngomong seperti itu mendingan bantu aku membawanya ke ruang makan".

"Oke deh, Sebs". Kata Ronald

Semuanya langsung berhamburan ke ruang makan dan duduk di tempat masing-masing. Meja makan di kost ini berbentuk persegi panjang besar dengan kursi-kursi yang ditata banyak. Sesuai dengan jumlah kamar kost di tempat ini.

Sebastian, Ronald dan Grell keluar dari pintu dapur. Sambil membawa tiga mangkuk besar di tangan mereka berdua dan meletakkannya di tengah meja besar itu.

"Hei yang lainnya ambil piring sendiri-sendiri". Ucap Sebastian membuat semua orang yang ada di situ beranjak menuju dapur dan mengambil piring masing-masing. Setelah itu kembali duduk di tempat mereka tadi

"Kok sepertinya ada yang kurang ya?". Pikir Sebastian

Menyadari perubahan ekspresi Sebastian, Alois bertanya

"Ada apa Sebs?".

"Sepertinya ada yang kurang". Jawab Sebastian sambil mencoba mengingat-ingat

"Kurang?". Tanya Alois lagi

"Ah iya...di sini ada penghuni lainnya kan? Yang namanya Ciel, keponakannya Madam Red". Ucap Sebastian

"Oh...Ciel. Memang ada apa?". Tanya Grell

"Kenapa ia tidak kalian panggil kemari?". Tanya Sebastian heran

Semua yang ada di ruangan itu diam. Kecuali Claude dan Alois yang menunjukkan ekspresi heran

"Percuma saja. Dia mungkin sedang tidur saat ini". Ucap Will

"Tidur? Kenapa tidak dibangunkan?". Tanya Sebastian lagi

"Anak itu susah sekali dibangunkan kalau waktu tidur ahahaha". Jawab Ronald sambil tertawa dipaksakan

"Kalau tidak bisa kalian bangunkan, biar aku saja". Kata Sebastian sambil beranjak dari ruang itu

"Jangan Sebastian". Cegah Grell

"Kenapa?"

"Ah...Anak itu sedang sakit saat ini jadi biarkan dia beristirahat dahulu ya...Nanti kita sisakan saja makanan ini untuk dia". Ucap Ronald

"Oh...begitu ya. Ya...sudah ayo kita makan". Sebastian kembali duduk di kursinya

"AYO SERBUUUUU!". Teriak Ronald

"Tunggu dulu biar aku yang membaginya ke piring kalian". Ucap Sebastian

"Apa? Kenapa?". Protes Ronald

"Biar pas jatahnya. Lagi pula aku punya insting kalau makanmu itu banyak, Ronald". Ucap Sebastian

"Instingmu itu betul". Tambah Eric

Sebastian lalu membagikan masakannya itu sama rata ke semua penghuni yang ada di kost ini. Termasuk punya Ciel. Setelah itu ia kembali duduk.

"Oke...Perayaan makan ini untuk teman baru kita. Yaitu Alois, Sebastian dan Claude. Untuk itu mari kita makan". Ucap Will. Dan tepat setelah Will selesai dengan ucapannya semuanya mulai memakan masakan Sebastian. Setelah semuanya—kecuali Sebastian dan Claude—memakan suapan pertama, semuanya melongo tak percaya

"Ada apa?". Tanya Sebastian heran

...

...

...

"Hei ada apa dengan kalian?". Kali ini Claude yang bertanya

...

...

...

"ENAK SEKALIIIIII!". Jawab mereka semua serentak dan mulai memakannya lagi

"Enak sekali Sebs, ini namanya apa?". Tanya Eric

"Macaroni avec des petits pois en sauce a l'ail". Jawab Sebastian

"Aku nggak ngerti itu bahasa apa, tapi ini sungguh enak sekali. Mengalahkan masakan restoran bintang lima". Ucap Eric sambil mulai makan lagi

"Masakan Ibuku saja kalah". Tambah Ronald

"Hahaha. Terima kasih. Kapan kapan ku buatkan lagi deh". Kata Sebastian terbawa suasana

"Orangnya yang masak ganteng, dan juga masakannya enakkkkk sekaliii". Ucap Grell lebay

"Masakanmu tetap saja enak Sebastian". Tambah Alois

"Macaroninya besar-besar". Tambah Alan

Setelah tak henti-hentinya memberikan pujian kepada Sebastian sambil makan, akhirnya mereka selesai makan dan kembali ke ruang tamu setelah mencuci piring mereka masing-masing. Tentu saja yang menyuruh adalah Sebastian

"Habis makan, main game lagi. Ayo siapa giliran selanjutnya?" Ucap Ronald

"Aku boleh main?". Tanya Alois

"Boleh saja. Tidak ada taruhannya kok".

"Baiklah, aku lumayan jago bermain Winning". Lanjut Alois

"Wah...apakah Alois ini juga mempunyai kemampuan bermain Winning yang hebat seperti Alan? Mereka kan sama-sama seperti perempuan". Komentar Eric

"Hei Will, giliranmu lho". Ucap Ronald

"Iya...iya".

Dan pertandingan antara Alois dan Will mulai berlangsung setelah memilih tim yang mereka mainkan. Sementara Sebastian teringat akan sesuatu

"Ah iya...makanannya Ciel". Gumamnya yang terdengar oleh Ronald

Sebastian kembali menuju ruang makan, mengambil satu piring yang berisi makanan itu dan hendak akan menuju ke kamar Ciel. Ronald yang mengetahui Sebastian mulai menaiki tangga bertanya

"Mengantar makanan ke Ciel, Sebs?". Tanya Ronald

"Iya". Jawab Sebastian pendek

"Sebaiknya kau persiapkan mentalmu ya". Ucap Ronald yang tak dimengerti Sebastian. Sebastian tak ambil pusing oleh perkataan Ronald. Ia melanjutkan menaiki anak tangga itu satu persatu. Menuju ke kamar Ciel yang terletak di sebelah kamarnya. Setelah sampai ke depan pintu kamar Ciel yang tertutup, Sebastian mulai mengetuknya agak pelan

Tok...tok...

Tak ada jawaban

...

.

...

.

"Kurang keras kau mengetuknya". Ucap Ronald dari bawah

Sebastian mengikuti intruksi Ronald

TOK...TOK...

...

...

Masih juga tak ada jawaban

Sebastian menoleh ke Ronald yang ada di bawah. Ronald hanya menaikkan kedua bahunya

Karena belum menyerah, Sebastian mulai mengetuk pintunya lagi

TOK...TOK...

...

...

Belum juga ada jawaban

#

"Uh...siapa sih yang mengetuk pintuku?". Gumam pemuda berambut kelabu itu sambil mengucek-ucek matanya

Karena malas membuka pintu akhirnya pemuda itu kembali membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya kembali.

#

TOK...TOK...

Sebastian masih juga belum menyerah dengan hal ini

"Emm...Ciel? Bisakah kau buka pintunya?". Ucap Sebastian

#

Pemuda yang bernama Ciel itu langsung membuka matanya kembali

"Suara siapa ini? Apakah ini suara orang baru itu? Darimana ia tahu namaku? Dan kenapa ia harus tahu namaku?". Batin Ciel heran sambil menatap pintu kamarnya yang belum dibukanya itu

"Apa maunya orang ini?". Gumamnya sambil melihat geram ke arah pintu

TOK...TOK

"Ciel? Bisakah kau buka pintunya?Aku membawakanmu makanan masakanku. Teman-teman yang lain sudah memakannya, tinggal kau saja yang belum memakannya". Ucap seseorang di balik pintu kamar Ciel itu

Ciel mendesah kesal. Ia tahu, orang yang mengetuk pintunya ini tidak akan menyerah sebelum ia meresponnya. Entah mengapa ia mempunyai perasaan seperti itu

TOK...TOK...

Pintu diketuk lagi. Ciel semakin merasa kesal. Ia lalu menyambar kertas dan bolpoint di meja dekatnya. Dan menuliskan sesuatu di sana.

#

Entah mengapa Sebastian belum menyerah untuk hal ini. Kemudian matanya menangkap kertas yang baru saja keluar dari selipan pintu bawah. Kertas itu bertuliskan

"Pergi! Jangan ganggu aku. Aku tak butuh makanan masakanmu".

Sebastian mulai agak syok. Entah mengapa perasaannya kacau setelah membaca surat dari Ciel itu.

.

.

.

ToBeContinued

Gimana nyambung nggak ceritanya?

Mungkin chapter ini panjang ya...

Oke tolong review dan kritiknya ya...sekian terima kasih banyak ^^

.

.

.

Review kalian akan sangat menyemangatkan saya!