DISCLAIMER :

Togashi-Sensei

PAIRING :

Absolutely KuroPika^^

SUMMARY :

She knew nothing, but she acted like she knew everything. This is my sin...for those who suppossed to live happily together.

WARNING :

OOC. FemKura. Made for fic based-on-movie challenge!

.

Happy reading^^

.

.

.

Tiga minggu sebelumnya...

Di sebuah rumah sakit yang telah lama berdiri, sekelompok gadis berseragam perawat berbaris rapi mengikuti seorang perawat lain yang tampaknya adalah perawat senior. Semuanya masuk ke sebuah bangsal yang penuh dengan pasien.

"Roda ranjang harus disejajarkan," kata perawat yang bernama Mito itu tegas. "Jangan lupa rodanya dihadapkan ke dalam."

Lalu ia membuka lemari yang berada di salah satu sisi dinding bangsal itu, melihat selimut-selimut yang disimpan di sana dan memeriksanya sebentar. Terdengar Mito menghela napas kecewa, lalu bertanya, "Siapa yang bertugas melipat selimut hari ini?"

"Aku," jawab gadis berambut hitam bernama Alluka sambil tersenyum manis. Tapi rupanya senyumnya sama sekali tidak berpengaruh untuk Mito.

"Tidak bisakah kau mengingat hal paling dasar tentang melipat selimut? Labelnya harus dilipat ke dalam."

"Ah...maafkan aku..."

Alluka menunduk malu. Mito hanya meliriknya sekilas, sementara yang lainnya tak ada yang berani bicara.

"Perbaiki pekerjaanmu. Semuanya, bubar. Suster Kuruta, ikut aku ke ruanganku sekarang."

Alluka segera menghampiri lemari, sementara yang lainnya mulai bergerak meninggalkan bangsal itu untuk mengerjakan tugas mereka yang lain. Tinggallah seorang murid yang berdiri di paling belakang...yang menatap lurus ke depan dengan tatapan dingin. Ia mulai melangkah mengikuti Mito.

Sesampainya di ruangan, ia berdiri di hadapan wanita itu.

"Kemarin aku menerima sebuah laporan yang tidak menyenangkan," Mito mulai bicara sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Saat kau ditugaskan di ruang bedah, yang pertama ditanyakan pasien pria itu setelah sadar dari obat bius adalah seorang gadis bernama Bisuke. Kutegaskan padamu, di sini kau adalah Suster Kuruta. Tak ada Bisuke."

Dalam melaksanakan tugasnya, perawat tidak boleh memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan pasien karena hal itu dapat mempengaruhi segalanya. Mereka melaksanakan tugasnya, yaitu merawat pasien dengan baik, namun tidak boleh terlibat secara emosional. Dan aturan mengenai nama adalah upaya pencegahan yang pertama.

Percakapan mereka terhenti saat seorang perawat masuk dan meminta bantuan Mito. Mito pun keluar, meninggalkan gadis itu sendiri.

Bisuke tetap tidak bergerak. Setelah beberapa saat, ia menoleh ke arah jendela yang tertutup. Melihat bayangan dirinya yang terpantul di sana. Tatapan matanya masih seperti dulu, namun rambut coklatnya kini dipotong sebatas dagu dan sebuah topi perawat terpasang di kepalanya.

'Tidak ada Bisuke,' ulangnya dalam hati.

.

.

Malam pun tiba. Asrama para perawat terlihat ramai. Sebentar lagi waktunya tidur, tapi masih saja ada yang terlihat sibuk bercerita dengan teman-temannya dan melakukan apapun yang mereka inginkan.

Di atas tempat tidurnya, Alluka duduk bersila. Bisuke bertekuk lutut di hadapannya sambil memegangi tangan kiri gadis itu. Ia sedang membantu Alluka menggunting kukunya.

"Sudah," kata Bisuke. Ia melepaskan tangan Alluka sambil tersenyum.

Alluka tampak senang sekali. "Terima kasih...aku tak bisa menggunting kuku kiriku. Biasanya, ibuku yang melakukannya..."

"Sudahlah, ayo cepat tidur."

Bersamaan dengan itu, lampu pun dipadamkan. Alluka segera menarik selimutnya, demikian pula halnya dengan Bisuke. Tapi Bisuke tak memejamkan matanya, ia menunggu hingga semuanya terlelap.

.

.

Di loteng yang dingin, Bisuke duduk di depan mesin tik yang ia bawa dari rumah. Lembar demi lembar kertas ia isi dengan untaian kalimat yang membentuk suatu cerita. Sesekali ia merapatkan mantelnya.

Bisuke berhenti mengetik saat terdengar suara langkah seseorang menaiki tangga menuju ke tempatnya berada sekarang. Ia pun menoleh.

"Tenanglah, ini aku," kata orang itu. Ternyata dia adalah Alluka. Sambil tersenyum-senyum gadis itu melangkah menghampiri Bisuke.

"Aku kira kau diam-diam menemui seorang pemuda setiap kali kau menghilang di tengah malam seperti ini," kata Alluka lagi.

Bisuke tertawa pelan. "Tidak mungkin aku begitu," ucapnya.

Alluka melirik ke tumpukan kertas yang berada di sebelah mesin tik. "Apa itu? 'Love on The Fountain?' Kau menulis novel?"

Saat tangan Alluka terulur hendak mengambil kertas yang berada di tumpukan paling atas, Bisuke segera mencegahnya. Alluka sedikit terkejut, ia tertawa kikuk.

"Bukankah seseorang menulis cerita untuk dibaca? Kenapa aku tidak boleh membacanya? Apa yang kautulis sebenarnya?"

Sesaat Bisuke merasa ragu. Apakah ia bisa menceritakannya pada Alluka?

"Ceritanya rumit..."

"Oya? Coba ceritakan padaku."

Alluka menatap Bisuke dengan antusias. Gadis itu menghela napas sebentar...lalu mulai menjelaskan,

"Ini tentang seorang gadis kecil, gadis muda dan lugu, yang melihat sesuatu dari jendela kamarnya. Dia kira dia memahami apa yang dilihatnya."

Dahi Alluka mengernyit mendengarnya. Dia tak mengerti apa yang dikatakan Bisuke. Yah, lagipula yang dijelaskan temannya itu terlalu samar.

"Sudahlah," kata Bisuke lagi. "Lagipula mungkin aku tak akan pernah bisa menyelesaikannya."

.

& Skip Time &

.

Bisuke berdiri menghadap meja counter di bagian tata usaha rumah sakit. Ia mmandangi ruangan yang ada di belakang meja itu, ke arah seorang wanita yang sedang sibuk membuka-buka buku seolah sedang mencari sesuatu.

Tak lama kemudian, wanita itu keluar dan segera menghampirinya. Sorot mata Bisuke terlihat lega.

"Ini dia, alamat Kurapika Kuruta," kata wanita itu sambil memberikan sehelai kertas memo.

Bisuke segera mengambilnya, menggenggam kertas itu dengan erat.

.

.

Kurapika Tersayang, tolong jangan buang surat ini tanpa membacanya. Seperti yang kau lihat dari kertasnya, sekarang aku berada di Rumah Sakit Pulcheria menjalani pelatihan perawat. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah ke tempatmu kuliah dulu. Aku ingin melakukan sesuatu yang lebih berguna saat ini. Tak peduli betapa keras aku bekerja, tak peduli berapa panjang jam kerjanya, aku tak bisa memungkiri apa yang telah kulakukan dulu dan apa maknanya, yang kini baru mulai kupahami secara keseluruhan.

Pika-Chan, tolong balas suratku ini dan katakan bahwa kita bisa bertemu.

Adikmu,

Bisuke

.

.

Bisuke mengawali hari dengan mengepel koridor rumah sakit, lalu membersihkan kerangka tempat tidur pasien bersama Alluka. Ia menggunakan sikat dan menggosoknya. Setelah hari agak siang, Bisuke mencuci semua peralatan yang baru saja digunakan. Sesekali ia mengusap peluh yang menetes di keningnya, tapi Bisuke tak mengeluh sedikitpun.

Saat ini, dia sedang berada di gudang obat. Kebetulan jadwalnya kembali bersamaan dengan Alluka.

"Bisuke, pernahkah kau jatuh cinta?" tanya Alluka dengan pipi yang merona.

"Kurasa pernah," jawab Bisuke sambil menyusun beberapa kotak obat ke dalam rak. "Tapi hanya sebatas...yah kau tahu, cinta sedalam apa yang mungkin kau rasakan saat berumur tiga belas tahun? Cinta monyet saja."

"Benarkah? Siapa dia dan kenapa kau jatuh cinta padanya?"

"Seseorang...yang selalu menatapku dengan hangat dan ramah, bersedia meluangkan waktunya untuk membaca cerita-ceritaku."

Untuk sesaat, Bisuke mengenang masa lalu...mengingat Kuroro saat itu.

"Bahkan aku pernah sengaja menerjunkan diri ke danau karena ingin ditolong olehnya."

"Apa? Benarkah?"

Suasana gudang obat pun menjadi ramai oleh tawa cekikikan kedua gadis itu. Perbincangan yang menyenangkan ini membuat mereka lupa akan segala masalah yang ada walau hanya untuk sebentar.

Tiba-tiba salah seorang teman Bisuke dan Alluka datang.

"Ada hal buruk yang terjadi, kita semua diperintahkan segera pergi ke halaman!" katanya dengan nada suara yang terdengar cemas.

Bisuke dan Alluka saling bertukar pandang, lalu segera berlari mengikuti yang lain menuju ke halaman rumah sakit.

Apa yang menunggu di sana terlihat begitu mengerikan dan mengkhawatirkan. Banyak korban perang, yaitu para tentara, berkumpul dengan tubuh penuh luka.

Bisuke terkejut saat merasa melihat seseorang yang dikenalnya.

"Kuroro!" panggilnya. Ia menarik bahu tentara itu agar menoleh padanya, tapi ternyata dia salah. Itu bukan Kuroro.

Semua perawat segera bergerak, tak terkecuali Bisuke. Ia beberapa kali berjalan bolak-balik mengangkut pasien bersama temannya. Menjahit luka besar di punggung salah seorang tentara dengan tangan yang gemetar dan berlumuran darah, sementara pasien di sebelahnya terus saja muntah.

Alluka menangis di sudut bangsal, ia merasa ketakutan dan tertekan. Situasi ini memang baru pertama kali dihadapi oleh gadis-gadis yang mengikuti pelatihan perawat saat itu. Banyak dari mereka yang belum siap mental menghadapi situasi genting seperti ini.

.

.

Ketika malam tiba, situasi baru terkendali. Semua pasien sudah berhasil ditangani dan saat ini sedang beristirahat. Para perawat pun baru bisa berhenti menangani pasien.

Bisuke sedang mencuci tangannya di wastafel. Ia masih merasa ngeri dan mual mengingat tangannya berlumuran darah saat menangani pasien. Bisuke menggosok tangannya dengan keras dan wajahnya terlihat tegang.

Saat baru saja selesai, Mito sudah menunggunya.

"Kudengar kau bisa berbahasa asing," kata Mito.

"Aku hanya sempat mempelajarinya di sekolah," Bisuke menjawab.

"Ada pasien gawat...kepalanya terluka parah dan saat ini dia sedang gelisah. Bisakah kau temani dia sebentar?"

Bisuke pun mengiyakan. Ia masuk ke salah satu bangsal, menghampiri tempat tidur pasien yang dikelilingi tirai merah. Bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa asing, pastilah pasien itu tentara dari pihak musuh.

Bisuke menyingkap tirai perlahan dan duduk di tepi tempat tidur. Seorang tentara muda dengan perban di kepalanya menoleh, tersenyum lirih pada Bisuke. Bisuke merasa gugup dan takut, tapi ia berusaha mengendalikan dirinya.

Perlahan Bisuke menggenggam tangan pasien itu.

"Suster mengirimku untuk mengobrol denganmu sejenak," katanya.

Tentara itu terdiam sebentar. Dengan raut wajah yang ramah, ia membuka mulutnya dan mulai bicara, "Siapa namamu?"

"Kuruta. Aku Suster Kuruta."

Pria itu tersenyum lagi setelah matanya menerawang sejenak seolah berusaha mengingat sesuatu.

"Aku masih ingat kakakmu. Dia sangat manis...Apa yang dia lakukan sekarang?"

Sesaat Bisuke tersentak. Kakak? Apakah kakaknya memang mengenal pria ini? Tapi akhirnya Bisuke segera sadar...dia sedang terluka parah, mungkin saja sedang berhalusinasi. Bisuke pun berupaya untuk menanggapi kata-kata pria itu sebisanya.

"Dia juga perawat...sama sepertiku," akhirnya Bisuke menjawab.

"Apakah dia berhasil menikah dengan pria yang sangat dicintainya itu? Siapa namanya? Aku lupa..."

"Ngg...Kuroro?"

"Kuroro? Itukah namanya?"

Bisuke mengangguk dengan gugup.

"Aku ingat kau...si gadis bangsawan. Aku hafal logatmu. Ingat saat kau pertama kali ke Milau? Apakah kau menyukai makanan khas di sana?"

"Aku suka...rasanya sangat enak."

"Ya, itu karena menteganya."

Pria itu sedikit mendongak, menggerakkan kepalanya dengan tidak nyaman.

"Perbannya terlalu kencang...bisakah kau melonggarkannya sedikit?"

"Tentu saja."

Bisuke beranjak dari duduknya lalu mulai membuka perban yang melilit kepala pria itu. Napasnya tertahan saat melihat luka terbuka di kepalanya. Segera saja ia menutup luka itu kembali dengan dressing lalu memasang perbannya lagi dengan tangan yang gemetar dan terkena darah.

"S-sudah," ucap Bisuke. Ia mengelap keringat dingin yang membasahi kening dengan punggung tangannya, membuat wajahnya kotor oleh darah...lalu kembali duduk di kursinya.

"Aku selalu ingat adikku...apakah dia masih suka menyanyikan lagu itu?" pria itu berkata lagi.

"Dia akan bernyanyi untukmu saat kau pulang nanti," Bisuke segera menjawab.

"Ibuku menyukaimu...Katanya, sebaiknya kita menikah di musim panas. Apa kau mencintaiku? Bisakah kau tinggal lebih lama sedikit? Aku takut..."

Perlahan pria itu menutup matanya. Bisuke tersentak. "Namaku Bisuke!" katanya sambil berdiri dan mencondongkan badannya lebih dekat.

Tapi terlambat. Pria itu sudah menghembuskan napas terakhirnya. Mata Bisuke membelalak terkejut karena kematiannya yang tiba-tiba, dan terkejut akan dirinya sendiri yang bisa terbawa emosi dengan begitu mudahnya.

Tirai tersibak, Mito masuk menghampirinya.

"Dia sudah meninggal. Terima kasih atas bantuanmu, Suster Kuruta. Pergi bersihkan darah di wajahmu dan beristirahatlah."

.

& Skip Time &

.

Sore ini, para perawat dan pasien menonton film bersama. Yang mereka tonton adalah film tentang tokoh kepahlawanan. Memang tema yang cocok di masa peperangan seperti saat ini.

Setelah itu, layar menampilkan berita tentang pemimpin negara mereka yang mengunjungi pabrik coklat milik seorang kaya raya yang tak lain adalah Hisoka. Waktu serasa berhenti saat Bisuke melihat Neon berada di samping pria itu.

"Hisoka menyatakan, dia akan segera menikahi tunangannya yang manis, Neon, dalam waktu beberapa hari lagi."

Bisuke mendengarkan dengan seksama, mencoba mengingat tanggal pernikahan Neon dan Hisoka beserta tempat acara itu diadakan nantinya.

.

& Skip Time &

.

Bisuke mengenakan mantelnya dan berjalan menyusuri trotoar menuju ke sebuah katedral. Setelah tiba di sana, ia langsung duduk di deretan kursi paling belakang dan menyaksikan pengambilan sumpah pernikahan.

"Adakah yang akan menyatakan keberatan atas pernikahan ini?" Pastur itu berkata. "Bicaralah sekarang atau diam selamanya."

Bisuke menatap lurus ke depan. Ingatannya kembali ke malam itu...saat ia menemukan Neon sedang ditindih seseorang. Kenyataan yang berat menghantam benaknya saat menyadari bahwa orang itu adalah Hisoka, bukan Kuroro seperti yang ia duga sebelumnya.

"Aku melihatnya. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."

Di hadapan Bisuke, Neon dan Hisoka resmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya bergandengan tangan menuju ke luar, dan terkejut saat melewati Bisuke. Hisoka kembali mengalihkan pandangannya sedangkan Neon berusaha menghindari tatapannya. Bisuke berdiri mematung.

.

.

Setelah itu, dengan hati berdebar-debar Bisuke pergi ke tempat Kurapika berdasarkan alamat yang ia dapat dari rumah sakit. Rasanya ia tak percaya saat mengetahui Kurapika tinggal di sebuah apartemen sederhana dengan lingkungan yang kumuh.

Bisuke melihat ke sekelilingnya, lalu berdiri di depan sebuah tangga. Seorang wanita setengah baya melihatnya dengan tatapan curiga.

"Aku ingin menemui Kurapika Kuruta," kata Bisuke sopan.

Wanita itu menoleh ke pintu yang berada di sampingnya lalu berseru, "Kuruta! Ada tamu untukmu!"

Bisuke terlihat kaget melihat cara wanita itu memanggil kakaknya, tapi kemudian rasa kagetnya langsung sirna saat pintu terbuka dan nampak Kurapika di sana, menatapnya dengan terkejut namun tak mengatakan apapun.

.

.

Dengan langkah ragu Bisuke melangkah masuk ke apartemen Kurapika. Apartemen itu sederhana. Bisuke mengamati sekeliling, rasanya tak percaya Kurapika-lah yang tinggal di situ.

Mereka saling diam selama beberapa saat. Untuk mencoba mencairkan suasana, Bisuke mencoba berbasa-basi sedikit, "Apakah kau masih menjadi perawat?"

"Ya, begitulah," jawab Kurapika sambil berdiri membelakangi Bisuke.

"Aku mencoba menyuratimu...tapi kau tak membalas."

"Mau apa kau ke sini?"

Pertanyaan Kurapika mengingatkan Bisuke akan tujuannya datang ke tempat itu.

"Pika-Chan..."

"Jangan panggil aku dengan nama itu lagi!" Kurapika segera berkata sambil menatap adiknya itu dengan tajam. "Tolong...jangan lagi."

Bisuke menelan ludah dengan gugup lalu melanjutkan ucapannya, "Aku mau merubah kesaksianku di hadapan hakim."

Sepertinya Kurapika tak menyangka Bisuke akan mengatakan hal itu, karena ia segera menoleh dan terlihat kaget.

"Aku tahu, perbuatanku tak bisa dimaafkan. Kau tak perlu mengampuniku."

"Tak akan, tenang saja," jawab Kurapika dingin sambil membalikkan badannya kembali.

"Aku bisa pulang dulu sebentar, menjelaskan semuanya pada Ayah, Ibu dan Leorio, lalu-"

"Kenapa kau tak segera melakukannya?"

"A-aku...ingin bertemu denganmu dulu."

"Mereka tak akan mendengarkanmu. Apa yang terjadi malam itu, sudah dibereskan berkat bantuan kesaksianmu. Terima kasih banyak."

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari kamar tidur. Bisuke tersentak, secara naluri ia dapat menebak siapa orang itu. Bisuke segera masuk ke dapur dan diam di sana.

"Kukira kau pergi," terdengar suara seorang pria yang familiar di telinga Bisuke.

Kemudian Kurapika menanggapinya dengan tertawa pelan, dan Bisuke dapat mendengar beberapa suara kecupan setelah itu. Saat terdengar suara pintu depan dibuka dan ditutup kembali, Bisuke baru bisa menghela napas lega. Ia pun berbalik dan kembali ke ruang tengah...Kurapika kembali menatapnya.

"Tadi dia sedang tidur dengan nyenyak," kata Kurapika tanpa ditanya.

Bisuke tahu orang yang dibicarakan kakaknya adalah Kuroro, tentu saja suara pria yang tadi didengarnya juga suara Kuroro.

Bisuke mulai merasa takut. Kesaksiannya membuat Kuroro dijebloskan ke dalam penjara, dan sekarang pria itu ada di tempat yang sama dengannya. Apakah dia akan kembali dari balik pintu itu? Akankah mereka sempat bertemu?

Baru saja berpikir begitu, pintu depan terbuka lagi. Kuroro masuk dan matanya langsung tertuju pada Bisuke.

"Mau apa dia di sini?" tanya Kuroro geram sambil menatap Bisuke dengan tajam.

Bisuke berusaha menengadahkan kepalanya, menghadapi Kuroro dengan berani tapi ternyata dia tak mampu. Dengan tubuh gemetar, Bisuke sedikit menundukkan kepalanya dan menghindari tatapan Kuroro.

"Aku ingin membicarakan tentang kesalahan yang kuperbuat dulu," jawab Bisuke takut-takut.

Kurapika menyadari tekanan yang ada di antara mereka. Ia memandang Bisuke, dan mengamati raut wajah Kuroro dengan waspada. Terlihat jelas sekali, Kuroro sangat marah dan sakit hati pada Bisuke.

Kuroro melangkah perlahan mengelilingi Bisuke tanpa melepaskan tatapannya dari gadis itu. Kedua tangannya mengepal erat. Sementara itu sesuatu tiba-tiba menarik perhatian Bisuke. Matanya tertuju ke tempat tidur yang berantakan di dalam kamar Kurapika. Ia menatapnya dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi, seolah mencoba menerka apa yang terjadi di sana sebelumnya.

"Saat ini ada beberapa pilihan dalam benakku dan aku ragu harus memilih yang mana," Kuroro berkata lagi, menyadarkan Bisuke dari lamunannya. "Apakah aku harus mematahkan lehermu atau membawa ke luar dan melemparmu dari atas tangga. Apakah kau tahu bagaimana rasanya hidup di dalam penjara? Tentu saja kau tidak tahu!"

Bentakan Kuroro membuat Bisuke semakin takut. Kurapika pun tambah waspada.

"Apa kau senang membayangkan aku berada di penjara?"

"Tidak!"

"Tapi kau tak mengatakan apa-apa! Kau benar-benar berpikir bahwa aku memperkosa sepupumu?"

"Ya," jawab Bisuke dengan suara pelan. "T-tapi...antara ya dan tidak. Kurasa dulu aku salah..."

"Lalu apa yang membuatmu yakin sekarang?"

"Kedewasaan. Waktu itu aku baru berumur tiga belas tahun!"

"Perlu berumur berapa tahun untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Banyak tentara seumur dirimu dianggap cukup tua untuk mati dan ditinggal begitu saja di pinggir jalan!"

"A-aku tahu..."

"Empat tahun lalu kau sama sekali tak peduli! Kau sama saja seperti keluargamu yang menganggapku rendah, walaupun aku berpendidikan, tetap dianggap pembantu lalu bersatu melawanku dan menjebloskan aku ke penjara!"

Kemarahan Kuroro mencapai puncaknya. Ia mendekati Bisuke namun untunglah Kurapika segera mnghalanginya.

"Kuroro! Kuroro, tenanglah!" ucap wanita itu segera. "Shh...Sayangku, lihat aku..."

Kurapika memegangi wajah Kuroro agar menoleh padanya, lalu berusaha menenangkannya. Bisuke merapat ke dinding, menjauhkan diri dari pria itu. Saat Kuroro dan Kurapika berciuman berkali-kali, ia merasa tak enak dan berdiri menghadap ke jendela.

"Bisuke," ucap Kurapika beberapa saat kemudian. "Kuroro harus segera pergi untuk bertugas. Kita tak punya banyak waktu. Jadi duduklah, ada yang harus kaulakukan untuk kami."

.

.

Kurapika dan Bisuke duduk berhadapan, ada dua buah cangkir teh dan kue di antara mereka. Namun tak cukup untuk menghangatkan suasana. Kuroro masih terlalu marah untuk duduk bersama mereka, ia hanya berdiri sambil menatap Bisuke.

"Pergilah ke orangtuamu, beritahukan yang sebenarnya agar mereka yakin bahwa kesaksianmu saat itu palsu," Kuroro memberikan perintahnya. "Temui pengacara, berikan kesaksian lalu tandatangani dengan saksi, kirimkan salinannya padaku dan Kurapika. Tulis juga surat terperinci yang ditujukan padaku, yang menceritakan apa yang sebenarnya kau lihat malam itu saat menemukan Neon."

Kurapika pun ikut bicara, "Sebutkan nama pelakunya dengan jelas...Siapa sebenarnya yang melakukannya, Bisuke? Shalnark? Ataukah Neon sudah memiliki kekasih rahasia?"

Bisuke terlihat terkejut. Mulutnya terbuka perlahan, seolah akan mengatakan sesuatu yang sangat sulit baginya.

"Pelakunya...Hisoka..."

Kurapika terdiam, begitu pula halnya dengan Kuroro. Mata Kurapika membelalak terkejut.

"Apa? Bisuke...aku tidak percaya padamu," kata Kurapika dengan suara gemetar.

"Hisoka menikahi Neon...tadi aku menghadiri pernikahannya."

"Tapi dengan begitu, Neon tak bisa bersaksi melawan Hisoka! Hisoka sudah menjadi suaminya sekarang!"

Emosi Kuroro langsung naik kembali, napasnya memburu. Melihat hal ini, Bisuke segera berdiri...menundukkan kepalanya lalu berkata,

"Aku sungguh-sungguh minta maaf...atas segala penderitaan yang telah kusebabkan. Aku minta maaf..."

Tak ada gunanya lagi sekarang melakukan apa yang diminta Kuroro dan Kurapika, nama Kuroro sudah tercemar dan tak mungkin dipulihkan dengan dasar hukum. Tapi Kurapika segera berpikir jernih. Tak ada salahnya mencoba, setidaknya nama Kuroro bisa kembali pulih di mata keluarganya.

"Lakukan saja apa yang kami minta," kata Kurapika putus asa. "Setelah itu...jangan ganggu kami lagi."

"Baiklah, aku berjanji," Bisuke menjawab.

Dengan perasaan tak menentu, Bisuke segera keluar. Ia bersandar di pagar mencoba menenangkan diri. Sementara itu, terlihat dari balik jendela, Kuroro dan Kurapika berpelukan sambil berciuman dengan mesra.

Setelah tenang, Bisuke naik kereta yang membawanya kembali ke Pulcheria. Kejadian di apartemen Kurapika tadi terus berkelebat di benaknya.

.

& Skip Time &

.

Masa kini, lima puluh tahun kemudian...

Wing menghentikan pertanyaannya saat wanita tua yang berada di hadapannya mengibaskan tangan, memberi isyarat untuk berhenti.

Wing meminta kameramen untuk berhenti merekam sesi wawancara mereka, lalu wanita itu beranjak dan pergi ke kamar pas. Ia bercermin menatap pantulan wajahnya yang kini sudah keriput dan rambutnya yang sudah memutih. Setelah meminum obat, wanita itu menghela napas dalam-dalam lalu kembali ke studio.

.

.

"Bisuke Kuruta, akan kita bicarakan kembali tentang novelmu yang kedua puluh satu...'Atonement', yang akan diterbitkan beberapa hari lagi saat kau berulangtahun," kata Wing.

Bisuke tersenyum, membuat kerutan di wajahnya semakin nampak. "Sebenarnya...ini adalah novel terakhirku."

"Kenapa kau memutuskan untuk berhenti?"

"Dokterku bilang, aku menderita demensia vaskular...serentetan stroke kecil di mana otak mulai macet, perlahan-lahan kehilangan kata-kata dan ingatan. Kau tahu sendiri Tn. Wing, itu adalah hal utama bagi seorang penulis."

"Kapan kau mulai menulisnya?"

"Sebenarnya...ini adalah novel pertamaku, yang kutulis saat aku masih menjalani pelatihan perawat lima puluh tahun yang lalu. Dari awal aku sudah memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. Tanpa kata-kata puitis, dan tanpa embel-embel apapun."

"Itukah sebabnya kau memutuskan untuk memakai namamu sendiri?"

"Ya, semua nama yang kugunakan dalam novel ini adalah asli."

"Jadi cerita dalam novel ini adalah suatu kejujuran?"

"Tapi hasil dari kejujuran atau kenyataan ini sangat kejam. Pada bulan Juni lima puluh tahun yang lalu, sesungguhnya aku tak berani untuk menemui kakakku, Kurapika. Adegan pengakuan itu hanya khayalan. Kuroro meninggal di hari terakhir pengungsian...pada tanggal 1 Juni. Saat temannya yang bernama Phinks membangunkannya pagi itu, dia sudah tak bernapas lagi. Aku pun tak pernah berhasil berbaikan dengan Kurapika. Dia meninggal pada tanggal 15 Oktober...oleh bom yang menghancurkan pipa gas dan air di atas stasiun bawah tanah di daerah tempat tinggalnya. Saat berlindung bersama para warga, air mengalir deras ke stasiun itu dan menewaskan semua orang yang ada di sana."

Bibir Bisuke terlihat gemetar menahan tangis.

"Kuroro dan Kurapika tak pernah dapat kesempatan menjalani hidup bersama yang telah lama dirindukan dan layak diterima oleh mereka berdua. Tapi kepuasan apa yang didapat pembaca dengan akhir cerita seperti itu?"

Mata Bisuke yang mulai basah menerawang jauh. Dalam benaknya, Kuroro dan Kurapika tengah berlari bersama mengejar ombak di tepi pantai sambil tertawa gembira. Sesekali mereka berpelukan, lalu masuk ke dalam rumah kayu bercat putih dengan jendela berwarna biru. Kuroro menatap langit biru yang cerah dengan sorot mata bahagia.

Akhirnya air mata Bisuke pun jatuh.

"Dalam novel ini, aku beri Kuroro dan Kurapika apa yang tidak mereka dapatkan dalam hidup. Aku beri mereka kebahagiaan..."

THE END

.

.

A/N :

Akhirnya fic ini selesai juga...Yup, fic ini dibuat berdasarkan film Atonement. Terima kasih untuk semua yang udah R & R ^^