REPLY REVIEW and GIVE THANKS:

THANKS for fave&alert: Kitsune Syhufellrs, Chaos Seth, ben4kevin, irmina, RukaAna SixthGuns

akira: hehe... emang nggak panjang kaya biasanya. soalnya lagi males bikin yang panjang-panjang, hhe.. maap. makasih reviewnya ya.. :)

evanthe beelzenef: hahaha.. begitu ya.. dimaapin yah :D Ini baru balik dari webe, jadinya kosakata ancur banget deh.. kelamaan hiatus malah jadi webe =='. makasih ya reviewnya.. ^^

Ahiru-chan: hehe.. iya nanti ditambah sesuai porsi kok #plak# :D makasih buat kesabarannya :) Makasih juga udah mau review ^^

Tsukishiro Rei: apa ya itu? haha.. dilihat aja nanti ya.. :D Makasih udah mau review and nunggu ^^

AYAKIRA: semoga chapter ini menghibur ya .. kekeke XD

Lovers KanZe: Makasih.. ^^ Di dunia saya mah Zero selalu uke XD

And them who login first before review, thanks a lot ^^ Shiki Akira, Chaos Seth, zero BiE, Kitsune Syhufellrs, ben4kevin, RukaAna SixthGuns


Title: Inside

Cast: Kaname, Zero, Ichiru, Yuuki, other VK's chara

Pairing: KanamexZero, IchiruxZero, KanamexYuuki

Disclaimer: I didn't own the chara(s). If I did, I'll make sure that Kaname will be marrying Zero XD

Rating: T

Genre: Yaoi | Romance, gender-bender, school life, semi-canon

Warning: AT/AR. PWP (? bisa dikatakan begitu, tapi nanti ya..). Yaoi, Smut, hardcore(?), containing BoyxBoy so don't read if you feel unpleasant.
MPREG (?lihat nanti deh ya...). GAJEness. OOCness. Don't blame the chara.

Summary: Apa? Ia pun tak pernah mengira jika akhirnya akan seperti itu. Dalam sadar atau tidak, tak pernah sekalipun kejadian seperti itu ia pikirkan. Terlintas di kepalanya barang beberapa detik pun tak pernah, jadi bagaimana caranya ia bisa menjelaskan keadaannya itu sekarang? Meski memang apa yang ia harapkan adalah berdamai dengan keturunan darah murni itu, tapi tak pernah sekalipun ia memikirkan akan jadi seperti ini. Dan untuk alasan lain, di lain pihak, Kaname merasa memang benar begitu adanya. Ia melakukan sesuatu yang harusnya ia lakukan sejak ia bertemu dengan pemuda mantan hunter itu. Karena, hanya dengan cara seperti itulah rasnya tak akan pernah binasa.


Zero terengah panik. Jantungnya berdetak cepat memompa darah di dalam sana, membawa oksigen ke seluruh tubuhnya. Pikirannya mengirimkan sinyal bahaya kepada seluruh sistem-sistem sarafnya, menyuruh mereka untuk tetap bergerak. Berlari entah ke mana menjauhi sesosok itu. Sesekali kepalanya menengok ke belakang mencari sosok yang mengejarnya. Dalam pelariannya itu, ia mencari sebuah celah, entah itu jalan ataupun cahaya yang dapat membawanya keluar dari hutan itu.

Ya, hutan. Hutan yang gelap dan penuh dengan pohon-pohon besar yang rimbun. Ia yakin ini masih belum melewati jam makan siang, tapi sedikitpun matanya tak bisa menembus daun pohon-pohon di sana. Tak sedikitpun ia bisa melihat langit biru atau awan putih yang berada di atas sana.

Sejauh apapun matanya memandang, ke manapun pandangannya terarah, hanya pohon besar dengan akar-akar yang hampir sebesar dirinya yang ia lihat. Ia tak ingat mengapa ia bisa sampai ke tempat itu. Ia juga tak ingat di mana hutan itu berada. Apa sekolahnya dekat dengan hutan seperti ini? Tidak. Apa ia memburu vampir hingga ke sini? Tidak menurutnya, karena akhir-akhir ini ia tak pernah lagi menemui vampir-vampir yang membahayakan. Jadi, tentu saja bukan karena hasrat memburunya yang membawa dirinya ke sini.

Namun, sejauh apapun ia berlari, seolah hanya di situlah ia berada. Semua sisi hutan itu sama. Pohon besar dengan akar-akar hampir sebesar tubuh manusia, keheningan bagaikan tak ada makhluk yang tinggal di dalam situ, dan tentu saja bau-bau lumut lembab memenuhi indranya.

Zero tersenggal dan larinya mulai melambat. Ah, benar. Ia bahkan tak bisa menggunakan kekuatan vampirnya di situ. Entahlah... sepertinya kekuatannya itu tidak ada dan ia hanyalah seorang manusia biasa di sana. Ia merasa seperti itu. Dan makhluk apa sebenarnya yang mengejarnya itu? Ia yakin itu bukan vampir atau werewolf atau jenis monster-monster seperti dalam film. Buram. Ia tak bisa mengingat sosok itu dengan jelas, hanya sebuah bayangan hitam yang ia lihat tadi. Ia tahu bahwa sosok itu mengincarnya, entah untuk alasan apa. Tapi yang pasti, nyawanya terancam kali ini.

Zero berhenti. Ditengok kembali ke arah belakang, tak ada tanda-tanda bahwa makhluk itu masih mengejarnya. Lalu, ia berjalan mendekati satu pohon yang ada di sana. Sebuah pohon berbatang besar. Sepertinya ruang di dalam batang pohon itu akan sangat cukup jika digunakan sebagai tempat berteduh.

Didudukkannya tubuhnya dan bersandar pada batang pohon itu. Ia mencoba mengatur napasnya yang tak karuan itu. Dengan memejamkan matanya, ditarik-hembuskan napasnya, menormalkan detak jantungnya. Sesekali ia melihat sekeliling, berharap ada sesuatu yang bisa membawanya keluar dari tempat itu. Lama ia dalam keadaan seperti itu hingga akhirnya keheningan yang menyelimuti membawanya tidur.

Sebuah siluet dari arah belakang tempat Zero beristirahat itu mulai mendekat. Dengan amat pelan, menuju ke tubuh pemuda ex-hunter yang sedang tertidur pulas. Terlihat sekali bahwa pemuda bersurai perak itu kelelahan akibat ulahnya. Ia bisa maklum karena di dunianya itu, tak akan ada seorangpun yang bisa menggunakan kekuatan mereka, bahkan vampir keturunan darah murni sekalipun, apalagi Zero yang merupakan calon vampir level E.

Menyeringai, sosok itu berjongkok di hadapan Zero. Ia memandang tajam pemuda di hadapannya. Kilat-kilat bahaya dari matanya terpancar.

Ditelusurinya tiap inci wajah Zero yang tengah pulas tertidur. Dan kemudian, tangannya mulai bergerak, terulur ke arah wajah pemuda pemilik iris violet di depannya. Saat tangan dinginnya menyentuh salah satu pipi Zero, saat itulah Zero membuka matanya, Zero terbelalak.

Kaget, napas Zero tercekat. Ia langsung bangun dari posisi tidurnya. Sambil duduk, ia memegangi dadanya yang kembali berdetak tak karuan. Napasnya juga kembali memburu. Beberapa kali ia megkerjap-kerjapkan matanya, mengitari ruangan di mana ia berada kini dengan kedua iris matanya. Ini adalah kamarnya. Berarti yang tadi hanya mimpi. Sejenak ia lega karena kejadian tadi hanyalah mimpi. Tapi bisa ia ingat dengan jelas sosok yang tadi mengejarnya itu. Sosok yang ia kenal betul. Sosok itu adalah...

"Mimpi buruk, Kiryuu?" sebuah suara yang tiba-tiba menyeruak itu kontan membuat Zero langsung memasang sikap waspada.

"Heh.. tak usah bertampang seperti itu, Zero. Aku tak akan berbuat macam-macam," seru suara itu lagi.

Zero meningkatkan sikap waspadanya ketika ia menyadari suara siapa itu. Meski dalam gelap, tapi auranya yang khas itu menjelaskan bahwa sosok yanga ada di sana adalah Kaname.

"Ka.. Kaname..?"

Kaname keluar dari kegelapan di ruang itu. Mendekati daerah dekat jendela yang terang karena cahaya bulan. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia memandang intens ke arah Zero.

"Kenapa kau ada di sini? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke ruanganku?" tanya Zero garang. Jelas ia tak suka Kaname ada di situ, karena Kaname adalah rivalnya. Dan untuk alasan yang baru, karena darah Kaname kini ada di tubuhnya. Itu yang membuatnya tambah membenci keturunan darah murni tersebut.

"Tidak bolehkah aku berada di sini? Aku hanya ingin mengecekmu. Itu saja," jawab Kaname. Ditolehkannya wajahnya ke atas langit. Melihat bulan purnama yang bertengger indah di sana. Sebuah senyuman tipis pun tersungging.

"Tidak usah repot-repot mengecekku. Kondisiku bukan urusanmu," kata Zero dingin. Ia masih mengamati sosok Kaname dan ia juga dapat melihat sebuah senyuman yang tersungging di wajah pureblood itu.

'Sial. Itu pasti senyum mengejek untukku kan? Brengsek kau, Kaname!" batin Zero, salah mengartikan makna senyum itu. Kaname tertawa mendengus mendengar jawaban yang dilontarkan rivalnya itu. Ia memalingkan wajahnya kembali ke arah Zero.

"Aku hanya menebak apakah kau akan baik-baik saja setelah meminum darahku. Kau tahu sendiri bahwa aku 'tak bisa bergerak' hari ini kan? Dan tentu kau tahu kenapa..."

Zero memalingkan mukanya dari tatapan Kaname. Ia menundukkan kepalanya, tahu apa yang dimaksud orang itu.

"Zero..." panggil Kaname lembut. Ia masih memandangi orang yang kini tengah menundukkan kepalanya itu. Sebuah rasa bersalah yang tiba-tiba memenuhi ruang di benaknya membuatnya sedikit terusik jua. Tapi, bersalah untuk apa? Bukan Kaname yang membuat Zero menjadi seperti itu. Bukan dia juga yang mengkhianatinya. Bukan Kaname pula yang membuat ia jadi sebatang kara. Apa karena ia tak bisa membantu pemuda itu melewati masa sulitnya sekarang ini? Apakah ia merasa bersalah karena ia tak bisa mengubah garis takdir pemuda itu? Mungkin itu benar... Batin Kaname.

Tidak. Kaname tentu saja tak akan membiarkan Zero jatuh ke level E begitu saja. Tentu saja ia tak akan membiarkan hal itu terjadi, karena Kaname tahu, ada sesuatu dalam diri Zero yang entah mengapa bisa memberikannya kekuatan. Kekuatan untuk hidup, kekuatan untuk menyelamatkan kaumnya, dan kekuatan untuk selalu merasa bahagia. Namun begitu, tetap saja Kaname masih belum mengerti sebenarnya apa yang ada pada diri pemuda ex-hunter itu. Ia ingin tahu.

Zero masih memikirkan kata-kata Kaname barusan. Benar ia yang telah menyebabkan Kaname sakit seperti tadi. Benar ia telah meminum darah Kaname, berapa banyaknya itu ia tak bisa ingat. Benar pula bahwa kini ia harus menerima kenyataan bahwa darah Kaname ada di tubuhnya. Memang ia tak terlalu memusingkan hal itu lagi kali ini, tapi ia merasa sesuatu terjadi padanya. Entah itu pada dirinya, pada lingkungannya, atau hanya perasaannya saja? Ia tak tahu. Ia hanya merasa ada yang berbeda saat dulu dan setelah darah pureblood itu mengalir di nadinya. Apa ini termasuk yang namanya efek samping meminum darah seorang keturunan darah murni? Zero hanya bisa menebak. Memang ia ingin tahu, namun jika ia merasa seperti ini ia takut sisi monsternya akan memburu terus-menerus jika memang benar begitu adanya.

Zero menutupkan matanya. Ia mencoba unutuk tidak menyesali atau merasa ada yang salah mengingat bahwa Kaname masih ada di kamarnya saat ini.

Zero hendak mengalihkan wajahnya menatap Kaname, tapi kemudian ia tersentak kala mendapati wajah Kaname kini berada dekat sekali dengan wajahnya. Dapat dirasanya dengan jelas bau darah dan aura khas pemilik mata cokelat itu.

Napas Zero tercekat, matanya membesar menatap Kaname yang kini juga tengah menatap tajam ke arahnya. Darahnya berdesir cepat. Jantungnya kembali berdetak tak karuan, mengingatkannya pada malam kemarin saat di mana mereka berdua berciuman.

Rona merah tipis terlukis samar dikedua pipi Zero mengingat hal itu. Namun sayangnya, rona itu tambah menjadi ketika dengan tiba-tiba Kaname merebahkan tubuhnya dengan paksa dan menciumnya penuh ambisi.

"Ngh! Mmmnghh..!" Kaget, Zero ingin berteriak namun hanya suara itu yang dapat keluar dari mulutnya. Sedang Kaname kini tambah bersemangat mencium Zero. Menghisap bibir itu kuat-kuat. Mencoba memasukkan lidah, Zero langsung mendorong tubuh Kaname kuat. Dengan sekali dorongan itu, mereka berhenti berciuman.

"Hah..haa..hah…. Kau! Apa sebenarnya maksudmu melakukan itu? Apa sebenarnya yang kau inginkan?" seru Zero. Marah? Tidak, ia tak marah. Karena, jujur, sedikit—menurutnya—Zero menikmati sensasi yang ditimbulkan dari ciuman mereka. Ia hanya kesal dan sebal karena Kaname melakukan itu dengan tiba-tiba dan tanpa basa-basi.

Eh? Berarti jika Kaname memintanya untuk berciuman, Zero akan mengizinkan? Tidak. Tidak. Bukan itu maksudnya. Lalu? Entahlah… Zero tak bisa memikirkan itu saat ini karena kini ia tengah sibuk mendorong tubuh Kaname menjauh dari tubuhnya yang berusaha untuk semakin menindihnya. Menawan bibirnya penuh hasrat.

"Eungh! Lep—nnh.."

Sekuat apapun Zero mendorong tubuh itu, usahanya adalah sia-sia. Bukankah darah Kaname kini ada dalam tubuhnya? Dan itulah yang Kaname lakukan saat ini. Ia membuat tubuh Zero hanya pasrah menerima perlakuan Kaname.

Mau tak mau, Zero hanya bisa terdiam menerimanya. Melawan pun percuma karena Kanamelah yang memegang kendali tubuhnya saat ini. Oleh karena itu, Zero hanya bisa mendesah saat Kaname kemudian menyelusupkan tangannya yang dingin itu ke tubuh Zero. Membuka satu per satu kancing piyama yang ia kenakan dan membelai perutnya yang putih mulus itu.

"Nnh~ ah…," desah Zero mengeras. Bagaimana ia tak mendesah jika sang pureblood itu memainkan bibirnya dengan sangat amat lihai? Terlebih lagi rangsangan yang diberikan dikedua tonjolan di dadanya itu dan napas Kaname yang hangat sesekali membelai leher Zero. Bagaimana mungkin ia tak akan mendesah begitu? Meski pada awalnya ia menolak, tapi darah dalam tubuhnya pasti akan merespon, bukan?

Kaname melepaskan bibirnya dari bibir Zero. Ia tertarik untuk mencicipi leher sang ex-hunter itu.

Sebelum ia mulai mencium leher putih sang ex-hunter calon vampir level E itu, dibisikkannya nama pemuda itu tepat di telinganya.

"Zero…" bisiknya dalam dan penuh hasrat. Zero? Hanya bisa mendesah mendengar namanya dipanggil seperti itu oleh Kaname yang kabarnya terdengar dingin—dan hangat hanya dengan Yuuki.

Saat nama Yuuki dengan tiba-tiba melintas di pikirannya, Zero kembali mendapati alam sadarnya. Dengan spontan dan tanpa basa-basi, ia mendorong tubuh Kaname. Membuat posisi mereka sekarang menjadi posisi duduk.

Kaname memandang datar pada Zero, namun dari sorot matanya ia bingung mengapa Zero berubah seperti itu. Dan setelah agak lama ia memandang lekat pada mata violet dihadapannya, barulah ia bisa mengerti alasan perubahan sikap Zero tersebut.

"Kau—"

"Aku tidak mempermainkanmu, Kiryuu. Aku memang ingin menyentuhmu. Dan ini tak ada hubungannya dengan Yuuki," Kaname dengan segera memotong perkataan yang akan dilontarkan Zero. Ia memandang sosok itu dalam. Tangan kanannya yang tadi masih berada di leher Zero, kini beralih membelai pipi ex-hunter itu. Sedang tangan kirinya masih berada di dalam baju Zero.

Zero terdiam mendengar jawaban itu. Mungkin memang benar ini tak ada kaitannya dengan Yuuki atau persaingan mereka—apa itu bisa disebut persaingan jika kenyataan yang tak diketahui keduanya adalah bahwa mereka bukan memperebutkan gadis itu melainkan menginginkan satu sama lain? Entah, author tak tahu. #plak!ini apa sih?*digorok*Abaikan kalimat terakhir.

Zero memalingkan mukanya saat tatapan Kaname semakin intens. Jujur, saat ini ia sulit untuk bernapas. Bukan! Bukan karena Kaname mencekiknya atau bagaimana, tapi karena ia bingung terhadap perasaannya kini.

Hatinya ternyata merasakan sakit saat Kaname menyebut nama Yuuki tadi. Seharusnya tadi ia tak memikirkan gadis itu agar kegiatan mereka tak terganggu. Eh? Itu artinya Zero memang menginginkan Kaname?

Tangan kanan Kaname yang bergerak membelai wajahnya, mau tak mau membuat Zero kembali melayangkan pandangannya ke arah sang pemilik iris coklat itu.

"Kau percaya padaku?" tanya Kaname. Lembut sekali hingga rasanya Zero hanya bisa mengangguk dan melupakan segala keraguan dalam hatinya. Meski begitu, nyatanya Zero hanya diam. Ia tidak mengangguk, juga tak menggeleng. Hanya menatap iris coklat itu penuh tanya.

Dalam pencariannya pada tatapan mata yang ia layangkan, ia dapat menemukan sebuah titik di mana apa yang Kaname nyatakan tadi adalah benar.

Hening. Hanya suara angin malam yang berhembus yang dapat terdengar di malam itu. Kedua pemuda itu hanya terdiam menatap satu sama lain. Mencoba saling mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh lawannya. Mereka terpaku dengan saling menatap mata masing-masing lawan.

Dan kemudian, setelah keheningan cukup lama untuk mereka menemukan jawaban atas apa yang kini tengah terjadi, walau hanya jawaban samar yang mereka temui, dengan pelan Kaname kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Zero. Satu tangannya masih setia pada pipi Zero, sedang yang satunya kini berada pada pundak pemuda itu. Mendorong pemuda itu untuk merebahkan dirinya kembali di atas kasur yang diikuti dengan aktivitas cium-mencium.

Kali ini, nafsu yang tadi telah terumbar di udara seakan hilang bersama sang angin. Tak ada nafsu yang menyelimuti ciuman mereka. Hanya sebuah ciuman pembuktian bahwa mereka membutuhkan satu sama lain. Ciuman yang penuh kasih untuk menunjukkan hati mereka sebenarnya. Kehangatan ciuman yang diberikan itu, mampu membawa mereka menuju alam mimpi. Dan di malam itu, angin dingin yang berhembus entah mengapa juga membawa kehangatan dalam hati mereka masing-masing.

"Suki desu…."


Nah, ini dia lanjutannya. Kaname versi saya kok jadinya OOC banget ya dari aslinya... o.O? Haish.. sudahlah, intinya itu adalah KaZe wkwk *digilas

Yang udah review, makasih yah... Terutama yang udah login dulu, makasih banget ya. Cek inbox, ok! :)

Para SiDer, makasih juga, sayangnya kenapa kalian nggak review?#abaikan.

Segala kesalahan yang luput dari perhatian juga lamanya waktu yang dibutuhkan untuk update, saya minta maaf *bow*

Sekian dari saya, dan... mind to review again?

($)Ne, ini Ryuu. Cchi nggak mau disuruh buat 'begituan' langsung. padahal gw pengen banget 'adegan gituan'nya dimunculin pertama kali. ck =A='