"Sasuke-kun! Sasuke-kun!"

"Berhenti mengangguku, Sakura! Aku sedang sibuk!"

"Ahh, kau selalu begitu. Padahal aku kan ingin memberimu bekal makan siang. Aku sendiri yang membuatnya, lho!"

"Aku tidak butuh."

"Ta-Tapi Sasuke-kun… Yah, dia pergi…"

"Sudahlah Sakura-chan… Kenapa kau selalu saja mengejar Sasuke? Lebih baik kau menyerah saja dan pergi kencan denganku hehehe…"

"Enak saja! Aku tidak akan menyerah! Kan yang bisa membahagiakan Sasuke di dunia ini cuma aku seorang…"

.

.

.

NARUTO FANFICTION

ETERNAL FLAME

DISCLAIMER : Naruto belongs to Masashi Kishimoto

NaruHina, slight NaruSaku, SaiHina, SasuSaku

WARNING : Typo(s), OOC, AU. Don't Like? Don't Read!

Keterangan: Perubahan umur character. Di sini umur Naruto 25 tahun, dan Hinata 20 tahun. Saat mereka menikah, Naruto berumur 21 tahun dan Hinata 16 tahun.

.

.

.

Kelopak mata itu mengerjap perlahan sebelum menampakkan sepasang iris sapphire sebiru langit itu terbuka. Mencoba mengembalikan kesadarannya, Naruto mengusap rambut dan kelopak matanya. Matanya berkeliling memandangi kamar miliknya hingga ingatannya kembali kepada sang gadis musim semi yang akhirnya ia jumpai lagi setelah lima tahun lamanya.

Haruno Sakura.

Jantungnya seakan mencelos saat nama itu kembali memasuki pikirannya. Gadis yang menarik hatinya dan sangat ia sukai bahkan sejak mereka masih berada di masa kanak-kanak dulu. Masih jelas dalam ingatannya seberapa gencarnya dan seberapa keras usahanya untuk menarik perhatian gadis itu. Puluhan ajakan kencan, bunga, dan hadiah hanyalah sebagian kecil bukti dari usahanya. Dan penolakan mentah selalu menjadi balasan dari semua itu.

Namun ternyata, takdir sama sekali tidak berpihak pada pemuda itu. Sama halnya seperti ia yang mengagumi Sakura sejak masa kanak-kanak, gadis itu menyukai sahabatnya, Uchiha Sasuke. Jika dipikir lagi, Sakura selalu ada dimanapun Sasuke berada. Ia tidak peduli sekalipun Sasuke sama sekali tidak mempedulikannya. Ia selalu menjaga dan menyayangi Sasuke tanpa mengharapkan balasan dari pemuda Uchiha itu. Hingga sekarang, selalu seperti itu. Membuat Naruto tidak mampu melangkah lebih jauh dan hanya berdiri diam dengan menerima semua realita yang ada di hadapannya.

Menyedihkan.

Ia benar-benar sangat menyedihkan.

Naruto tersenyum miris. Dengan langkah malas ia melangkah memasuki kamar mandi dan menyiapkan diri sebelum menuruni tangga untuk menikmati sarapannya. Aroma roti panggang dan ramen yang menggoda indera penciumnya membuatnya mempercepat langkah menuruni tangga. Namun, melihat sosok yang sibuk menata makanan di meja, Naruto menghentikan langkahnya.

"Hinata?"

Hinata membalikkan tubuhnya dan tersenyum manis melihat Naruto yang ada di hadapannya. "Ohayou, Naruto-kun. Duduklah. Aku sudah membuatkan ramen untukmu."

Naruto mengernyit, "Kau yang membuatnya? Untuk apa? Bukankah sudah banyak pelayan yang bertugas membuat sarapan?"

Hinata menjawab ragu, "Karena… Aku ingin Naruto-kun makan makanan buatanku sendiri… Selama ini Naruto-kun belum pernah satu kalipun mencoba makanan buatanku, kan?"

Ada jeda panjang karena Naruto hanya mampu mencerna kata-kata Hinata tanpa berniat membalasnya sama sekali, namun satu getaran asing yang tidak ia mengerti mulai merasukinya ketika melihat Hinata yang sekejap seperti orang asing bagi dirinya.

Hinata yang kini tersenyum manis dan mampu berkata apa adanya setelah empat tahun mereka hidup bersama.

Memilih untuk mengabaikannya, Naruto mengambil tempat dan mulai menikmati makanan yang sudah dibuat oleh Hinata.

"Bagaimana… Naruto-kun? Apa masakanku cocok dengan seleramu?"

Naruto mengunyah makanannya sebelum mengangguk pelan. "Tidak buruk."

Meskipun hanya menerima jawaban yang singkat dari Naruto, itu sudah cukup membuat Hinata tersenyum senang. Tidak sia-sia ia bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk 'sang suami' sebagai salah satu titik awal untuk memulai kehidupan pernikahan yang sesungguhnya. Ia pun mengambil tempat di depan Naruto dan menikmati sarapan paginya. Suasana pagi berjalan tenang seperti biasanya sampai mendadak Naruto bangkit berdiri dan mencengkram pergelangan tangan Hinata, sangat kuat, membuat Hinata memekik sakit sekaligus terkejut melihat Naruto yang tiba-tiba bertindak aneh seperti ini.

"Na-Naruto-kun… Sakit… Kena-"

"Kenapa kau memakai cincin ini?"

"Eehh? A-Apa maksud-"

"Kenapa kau memakai cincin pernikahan kita? Bukankah aku sudah mengatakan kau tidak boleh memakainya? Bagaimana jika orang lain melihatnya?"

Hinata memandang takut ketika mendengar nada suara Naruto yang berat dan sangat tajam. Gadis itu menggeleng keras, tidak menyadari air mata memenuhi kedua matanya. "A-Aku hanya-"

"Lepaskan cincin itu sekarang juga, Hinata!"

Hinata kembali menggelengkan kepala sambil menahan sakit di pergelangan tangannya, "Ti-Tidak… Kumohon Naruto-kun… A-Aku hanya ingin memakainya selama aku berada di rumah… Se-Sebentar saja… Izinkan aku memakai cincin pernikahan kita…" Suara Hinata terdengar serak dan terputus-putus bersamaan dengan rintihan kesakitannya. Namun ia berusaha mempertahankan cincin yang melingkar di jari manisnya saat Naruto berusaha menarik lepas cincin itu darinya, sama sekali tidak mempedulikan Hinata yang semakin merintih kesakitan.

"Tidak! Sejak kapan kau jadi berani membantahku? Lepaskan seka-"

"Sebentar saja… A-Aku janji akan melepaskannya saat aku pergi kuliah nanti… Tapi sekarang… Ku-Kumohon… biarkan aku memakai cincin ini… Walaupun hanya sebentar… Kumohon Naruto-kun…"

Melihat air mata yang memenuhi sepasang mata amethyst indah itu, membuat Naruto sadar dan melepaskan tangannya. Ia mencengkram dan meremas rambutnya sebelum pergi meninggalkan Hinata begitu saja diiringi suara debaman pintu yang ditutup kencang.

.

.

.

Hinata melangkah pelan menuju kampus. Sekali-kali ia mengelus pergelangan tangannya yang membiru. Ia tersenyum miris mengingat kejadian pagi tadi. Padahal ia sudah merasa bahagia ketika ia memasak sarapan dan Naruto mau memakan masakan buatannya. Ini pertama kalinya Naruto bertindak seperti ini pada dirinya. Mengingat mata tajam itu… Bentakan dan rasa sakit di pergelangan tangannya…

Kenapa? Salahkah dia karena ingin sebentar saja memakai cincin yang menjadi tanda pengikat satu-satunya antara dirinya dan Naruto?

Sebesar itukah penolakan Naruto atas pernikahan mereka?

Hinata menggeleng, tanpa sadar ia mengencangkan genggamannya pada pergelangan tangannya yang membiru. Semua ini salahnya. Ya, ini memang salahnya. Tidak seharusnya ia melanggar perintah Naruto… Sekalipun itu hanya sebuah keinginan sederhananya untuk sebentar saja merasakan bagaimana menjadi seorang istri dengan cincin di jari manismu.

"Ohayou, Hinata!"

Sapaan yang mendadak terdengar membuat Hinata tersentak. Di depannya Yamanaka Ino, sahabatnya sejak ia masuk universitas, tampak tersenyum sambil melambaikan tangan dan menghampirinya.

"Kenapa kau datang terlambat hari ini? Biasanya kau selalu datang lebih awal dari biasanya?"

Dengan sedikit panik Hinata mencoba tersenyum seperti biasanya, mencoba menutupi perasaan hatinya. "Ah… Aku bangun terlambat tadi pagi, Ino-chan."

Ino mengerutkan dahi. "Benarkah? Ini tidak seperti kamu saja. Bukankah kau tidak pernah bangun terlambat?"

Otak Hinata berputar cepat untuk mencari alasan. "Mu-Mungkin aku terlalu lelah karena tidur terlalu larut untuk menyelesaikan tugas dari Anko-sensei…"

Ino terdiam sesaat. "Ya sudah kalau begitu. Ayo kita ke ruang klub! Oh ya, Shion bilang akan ada anggota baru di klub kita, lho! Gosipnya sih, dia pemuda yang sedikit misterius tapi tampan. Aaahhh, kira-kira orangnya seperti apa ya? Aku jadi penasaran… "

Hinata hanya tersenyum simpul mendengar celotehan sahabatnya, namun mendadak Ino terdiam saat melihat pergelangan tangan Hinata yang membiru. Segera ia menyambar pergelangan tangan Hinata yang tentunya disertai rintihan sakit dari Hinata.

"Astaga! Kenapa tanganmu bisa membiru seperti ini, Hinata?"

Gawat! Apa yang harus aku katakan?

Hinata meneguk ludah panik. "I-ini… Tidak apa-apa... Kau tenang saja Ino-chan…"

"Apanya yang tidak apa-apa! Sampai membiru seperti ini… Siapa yang membuatmu seperti ini, Hinata?"

"I-Ino…"

Ino yang kehabisan kesabaran tidak mempedulikan air mata yang sudah memenuhi mata Hinata, ia justru mengencangkan genggamannya di kedua pundak Hinata. "Katakan Hinata! Orang kejam mana yang tega menyakitimu seperti ini? Katakan!"

Hinata menggeleng. "Tidak Ino…"

"Katakan, Hinata!"

"Tidak Ino! Tidak! Dia bukan orang yang kejam! Dia tidak pernah menyakitiku! Selama ini dia selalu melindungiku. Dia selalu menjagaku. Dia tidak pernah menyakitiku! Ini semua salahku! Aku yang membuatnya marah! Aku yang salah karena tidak menuruti keinginannya! Aku yang salah! Ini salahku, Ino…"

"Hina-"

"Aku yang salah… Aku yang salah, Ino…"

Ino segera memeluk Hinata sebelum tangisannya keluar membasahi pipi putihnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Hinata. Namun melihat Hinata yang menangis di pundaknya, membuatnya tidak mampu untuk bertanya lebih dari ini. Lagipula ia sadar ia sudah terlalu memaksa Hinata hingga gadis itu menjadi seperti ini.

"Maafkan aku, Hinata… Aku tidak bermaksud menyudutkanmu… Tenanglah. Aku tidak akan bertanya macam-macam lagi padamu. Jadi kumohon, tenangkan dirimu Hinata…"

.

.

.

"Haahhhh~"

"Ini sudah kedelapan kalinya kau menghela nafas. Kau tahu itu, Naruto?"

Naruto menatap Kiba tanpa semangat. Sejak tadi ia merasa tidak tenang. Bayangan air mata dan wajah kesakitan Hinata memenuhi pikirannya hingga saat ini. Sebagian hatinya ingin meminta maaf pada gadis itu, namun di sisi sebaliknya, ia justru merasa telah melakukan hal yang benar dengan tidak membiarkan gadis itu jatuh pada kenyataan yang akan segera berakhir.

"Apa kau ingin menunda pengambilan gambarmu hingga besok? Aku bisa mengatakannya pada Kakashi,"

Naruto menggeleng. "Tidak. Aku bisa melakukannya. Aku hanya merasa sedikit tidak enak badan. Ayo, kita mulai sekarang, Kiba!"

Karena tidak akan ada kau dan aku dalam cerita masa depan. Itulah kenapa aku harus melakukan ini. Kuharap kau bisa mengerti, Hinata…

.

.

.

"Kau yakin kau sudah tidak apa-apa Hinata?"

Hinata mengangguk pelan sambil tersenyum, "Aku baik-baik saja. Maafkan aku yang sudah menyusahkanmu, Ino-chan…"

Ino cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Aku yang seharusnya minta maaf padamu, Hinata. Seharusnya aku tidak terlalu memaksamu…"

"Sudahlah. Bisakah kita melupakan hal ini sekarang dan memulai hari kita seperti biasanya, Ino-chan?" Hinata tersenyum sebaik mungkin., berusaha menghilangkan atmosfer tidak menyenangkan yang baru saja terjadi antara mereka berdua. Ia sungguh berharap Ino tidak akan mengungkit lagi masalah ini dan bertanya macam-macam setelah tanpa sadar ia hampir saja membuka rahasianya sendiri.

Seakan mengerti keinginan Hinata, Ino mengangguk dan mengenggam tangan Hinata menuju ruang klub melukis. Universitas mereka memang mempunyai klub melukis yang belum terlalu lama dibentuk oleh para senior mereka terdahulu. Dan karena mereka berdua sangat suka melukis, mereka bergabung di klub ini sejak mereka masih menjadi mahasiswa baru.

"Hinata! Ino! Akhirnya kalian datang juga!"

Shion, sahabat mereka di klub melukis menghampiri mereka ketika mereka masih berada di depan pintu. "Hehehe, maaf kami datang terlambat. Oh ya, dimana anak yang baru bergabung itu? Aku ingin melihatnya."

Shion menggeleng pelan. "Dia belum datang. Mungkin sebentar lagi dia akan ke sini. Aku juga belum melihatnya."

Klek!

"Ah, kalian sudah berkumpul," Sabaku Temari, senior mereka di klub melukis menghampiri mereka, disusul seorang pemuda berkulit putih pucat dan berambut hitam di belakangnya.

Merasa asing dengan sosok pemuda di belakang sang senpai, Ino menyipitkan mata dan tersenyum lebar. "Senpai… Apa dia ini-"

Temari mengangguk. "Seperti yang kalian semua sudah tahu, dia anggota baru di klub ini. Namanya Uchiha Sai. Kuharap kalian dapat membantunya dan bekerja sama dengan baik."

Melalui sudut matanya, Hinata menangkap sosok yang kini asyik dengan kegiatannya menatap sekeliling hingga pandangan mata mereka bertemu. Hinata membungkukkan badan, berusaha bersikap sopan dengan orang yang baru ia kenal. Tidak ada balasan yang berarti hingga mendadak pemuda itu berdiri di hadapan Hinata dan mengangkat dagunya hingga Hinata mampu melihat mata sehitam langit malam itu dengan sangat jelas, membuat Hinata bingung sekaligus gugup.

"Aaa… Ma-Maaf… Kenapa-"

"Ekspresimu sama sekali tidak bagus, nona polos. Lain kali kau harus lebih pintar memanipulasi ekspresimu jika ingin menyembunyikan perasaanmu dan menipu semua orang."

Mata Hinata melebar, sementara tiga orang lainnya hanya terdiam. Sama sekali tidak mengerti apa maksud pemuda itu.

Apa maksudmu sebenarnya… Uchiha Sai?

.

.

.

TBC

A/N: Aku baru ingat di chapter 1, aku lupa bilang Ino itu sahabat Hinata #plaaakkk!# yah, tapi udah dijelaskna di chap ini kan? Hehehe. Dan maaf chaper ini pendek. Harus mengejar yang lain soalnya hehehe.

Terima kasih buat yang udah review chapter kemarin asna-chan, Hyuna toki, gece, Uchiha Hime is Poetry Celemoet, Neerval-Li, ika-chan, Demaiko Sakakigara, Anzuka 16, Paris Violette, Naru GankSter, amexki-chan, airashii-chan desu, Nara Kazuki, flowers , dan buat yang udah fav dan follow, Arigatou! ^_^

Btw, apa readers setuju kalau fict ini akan naik ke rate M nantinya? #smirk#

Mind to review again? ^_^