Title: Mermaid

Summary: Duyung peliharaannya tidak mau berbicara. Cih, bagaimana dia bisa mencari tahu nama duyung ini kalau begini caranya?

Pairing: Roppi/Tsuki

Rate: Masih T (nanti berubah)

Disclaimer: durarara! masih tetap bukan punyaku. Aku berencana untuk merubah fakta itu di masa depan nanti.


"Ah, Hachimenroppi-sama, anda sudah datang," sambut seorang butler sembari membukakan pintu untuknya. "Apa sebaiknya saya buatkan teh panas untuk anda?"

"Hentikan basa-basinya. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan hal ini," balasnya ketus. Dia sudah menuggu lama di luar, dan hal itu sama sekali tidak menyenangkan karena udara di luar sangat dingin. Dan basah karena hujan.

"Ah, Hachimenroppi. Kau tidak sabar, kulihat," sapa sebuah suara dari ujung koridor gelap itu. Dan muncul dari sana, seorang pemuda berambut pirang platinum dengan jas khas Viscount berwarna putih. Dia mengambil tangan kanan Hachimenroppi dan membungkuk dalam-dalam sebelum mencium tangan yang dia pegang.

Pemuda berambut raven itu, Orihara Hachimenroppi, anak kedua dari keempat anak dari keluarga Orihara, hanya menarik tangannya cepat-cepat sebelum akhirnya mendengus pelan dan merapatkan jaketnya. Udara di tempat ini terlalu dingin untuknya.

Kedua orang di depannya berbalik dan si butler menyalakan lentera di tangannya, sementara tuannya terkekeh pelan melihat Hachimenroppi. "Mungkin kau ingin kuhangatkan, Hachimenroppi? Aku baru membeli selimut sutra asli dari Kairo. Kau boleh menjadi orang yang pertama menodainya bersamaku."

Hachimenroppi bergidik sedikit. "Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik dengan manusia."

"Hm? Hanya kau yang sanggup menolak diriku; Viscount Louvre, yang tentunya sudah kau ketahui reputasinya. Kukira, alasanmu kesini juga karena rasa bencimu pada manusia?"

Yang ditanya hanya dia, wajahnya menunjukkan ekspresi 'kalau sudah jelas, untuk apa bertanya? Apa kau tolol?' dengan jelas sekali.

"Cepat jalan, aku tidak butuh basa-basi, kan, kubilang tadi?"

Dan Viscount Louvre hanya diam tersenyum sambil berjalan maju, membawa Hachimenroppi ke sebuah ruangan jauh di bawah tanah. Di dalamnya, entah mereka semua itu makhluk apa, percampuran tidak jelas manusia dengan binatang, makhluk-makhluk yang biasanya hanya dapat kau temui di buku-buku dongeng.

Seekor, ah bukan, seorang, tapi bukan juga, wanita bersayap dengan mata yang hitam sepenuhnya menghampirinya dan membelai dagunya pelan sebelum si butler menjambak rambutnya dan melemparnya ke tengah ruangan. Aneh, suara teriakan itu lebih terdengar seperti pekikan burung.

"Jadi, kau ingin yang mana?" tanya Viscount itu dengan mata yang dikilapi oleh… sedikit kegilaan.

"Aku tidak ingin yang seperti mereka."

"Hm… seleramu bagus juga. Aku menganjurkan Kyora, kalau begitu, dia wanita setengah jaguar, aku yakin dia cukup?"

"Tidak, tidak. Aku tidak ingin pelacur tidak berkelas. Kukira kau punya barang bagus kali ini?"

Viscount itu menghela nafasnya sedikit. "Tidak, aku belum menemukan barang bagus lagi."

"Kau yakin?"

"Ya, seratus persen."

"Kudengar akhir-akhir ini kau membeli beberapa akuarium berukuran besar. Aku yakin, kau tidak mengoleksi ikan, kan?" ujar Hachimenroppi sambil memandang pria di depannya dengan matanya yang merah.

Mendengar itu, Viscount Louvre tertawa terbahak-bahak. "Ah! Baiklah, aku menyerah. Aku tidak akan pernah bisa berbohong pada putra keluarga Orihara. Reeve!"

"Siap, tuan."

"Bawa Hachimenroppi-ku sayang ke tempat 'dia'."

"Anda yakin, tuan?"

"Ya. Aku yakin Hachimenroppi akan menyukai 'dia'."


Dan di sebuah ruangan lain, yang sedikit lebih terang karena cahaya bulan yang langsung menerangi ruangan itu karena atap yang hanya berupa jeruji, Hachimenroppi dikejutkan oleh sesosok cantik yang terikat di sebuah pasak tinggi di tengah ruangan itu. Tubuh sosok itu terendam dalam air di akuarium sampai ke pahanya, atau lebih tepatnya bagian yang seharusnya merupakan pahanya, sementara sebagian atasnya dibiarkan di udara, kedua tanganya dirantai di atas kepalanya pada pasak tinggi itu.

"Bagaimana? Kau suka padanya?"

Nafas Hachimenroppi tercekat. Sosok itu memandangnya ketakutan dengan matanya yang hampir semerah darah. Rambut pirangnya agak panjang, terlihat begitu indah terurai di atas kulitnya yang seputih marmer.

"Pernah dengar makhluk bernama putri duyung?" ujar pria berambut pirang platinum di sampingnya, membuyarkan perasaan aneh yang menjalari tubuhnya. "Anggap saja, dia ini putra mahkotanya."

"Setahuku, duyung semuanya gadis."

"Sudah kubilang, anggap saja dia ini putra mahkotanya. Apa kau tidak tahu, dari ribuan duyung yang lahir, hanya ada satu saja yang laki-laki? Dia ini sangat langka, bahkan di dunianya sendiri." Lalu dia menyuruh butler-nya menemani Hachimenroppi menaiki tangga di samping akuarium untuk mendekati makhluk cantik yang tersekap itu.

"Kenapa kau belenggu dia seperti ini?"

"Ya, saat dia berada di dalam air, dia seperti monster yang sangat kuat, ketika dia berada di darat, dia tetap kuat walaupun tidak sekuat di air. Tapi, ketika dia setengah-setengah seperti ini, bahkan seekor kucing pun bisa membuat dia sekarat."

"Aku tahu bukan hanya itu tujuanmu."

"Ya, duyung juga hanya boleh diam di satu alam saja. Darat ya darat, air ya air, tidak boleh keduanya secara bersamaan. Kau bisa lihat dia sekarat kan? Aku sedang menghukumnya."

"Kenapa kau hukum dia?"

"Bilang saja aku ingin balas dendam. Aku senang melihat matanya yang putus asa begitu."

Hachimenroppi agak mual melihat sikap manusia di depannya. Dan sekali lagi, dia memang benci manusia. "Lalu, apa yang begitu istimewa darinya?"

"Lihat ekornya? Seharusnya, ekornya tidak berbentuk seperti itu karena dia bukan gadis. Harusnya lebih seperti… naga. Tapi kuakui, aku lebih senang yang seperti ini, naga bagiku agak terlalu… kurang anggun," jawab Viscount.

"Dan kukira, duyung sangat langka."

"Ya, sepuluh ekor lahir saja sudah bagus. Makanya, bisa kau bayangkan betapa langkanya anak ini?"

"Ya, aku sedikit terbayang," jawab Hachimenroppi sambil membuka rantai di tangan duyung itu dengan sebuah jepit rambut yang entah kenapa dia bawa, dan sebelum Reeve bisa menghentikannya, belenggu yang menahan duyung itu lepas dan si duyung langsung berenang ke dasar tabung kaca bening itu.

Setelah agak lama meringkuk di dasar tabung kaca itu, duyung dengan ekor bersisik putih mengkilap dengan sedikit sisik merah terselip diantara yang perak, seperti ceceran darah diatas salju, itu berenang ke permukaan dan hanya setengah wajahnya saja menyebul ke permukaan air, menatap Hachimenroppi dengan kedua mata merahnya yang mirip dengan mata si pemuda berambut hitam

Perlahan, makhluk itu mengulurkan tangannya yang berselaput diantara jemarinya ke arah Hachimenroppi, seakan mengajaknya pergi. Dan, entah apa yang menghasutnya, dia mengambil uluran tangan itu, hanya untuk tiba-tiba ditarik ke dasar akuarium.

Duyung itu terlihat marah. Tapi dengan wajah marahnya pun, dia tetap terlihat cantik. Dan Hachimenroppi merasa sesuatu yang tajam menggores pungung tangannya sampai terluka dalam. Kuku dari duyung itu.

Semuanya seakan berjalan begitu cepat, tapi juga lamban. Kaca akuarium tiba-tiba saja pecah dan seketika saja dia sudah terbaring di lantai dengan duyung berada di atas tubuhnya. Dengan ekor yang berubah menjadi sepasang kaki yang ramping.

"Reeve," perintah Viscount Louvre hanya dengan memanggil nama butler-nya.

Hanya dalam seketika pula, si butler menarik duyung itu dari atas tubuhnya dengan menjambak rambutnya. Hanya terdengar pekikan-pekikan yang tidak terdengar seperti suara manusia sama sekali, tapi Hachimenroppi tahu, duyung itu akan menangis.

"Sudah, hentikan. Aku tidak apa-apa," ujar Hachimenroppi sambil memandang kesal ke arah Viscount.

"Masalahnya, bukan hanya kau saja yang telah dia lukai. Aku hampir dia bunuh ketika mencoba menidurinya."

"Kalau itu beda cerita. Dia hanya ketakutan, lepaskan dia," perintah Hachimenroppi dengan nada mengancam.

Viscount hanya memandang butler-nya sebentar, dan butler itu melepaskan duyung yang sekarang meringkuk di tengah genangan air, seakan mencoba untuk menenggelamkan dirinya dalam air yang bahkan tidak bisa menenggelamkan bayi sekalipun.

Hachimenroppi mendekati si duyung dan menanggalkan jaketnya yang sekarang sudah basah lalu memakainya untuk menutupi tubuh duyung yang telanjang itu. "Nah, begini lebih baik."

"Hachimenroppi, ayo ikut denganku. Kau harus melihat Tori. Dia benar-benar seperti malaikat, tidak seperti kembarannya yang tadi menggodamu."

"Tidak usah. Kurasa aku sudah menemukan yang cocok denganku," cegahnya sambil menjilat luka di punggung tangannya.

Viscount mengerti maksud si pemuda bermata merah itu, dan dia tidak tampak senang akan hal ini. "Kau lihat sendiri, dia berbahaya."

"Hey, dari tadi kau memanggilnya 'dia', 'dia', 'dia' terus. Apa dia tidak punya nama?"

"Tidak. Aku tidak mau menamai monster seperti ini."

"Kalau begitu kubeli dia. Berapa?"

"Kau masih belum mengerti? Dia berbaha—"

"Kutanya, berapa?"

"Hachimenroppi, mungkin kita bisa makan malam dulu sebelum—"

"Jangan membuat aku mengeluakan pisauku. Berapa?"

Viscount meghela nafas, lalu menyebutkan sebuah jumlah yang sangat besar, berharap Orihara yang satu ini tidak akan bisa membayarnya.

"Kubayar tunai. Uangnya ambil saja di beranda, kalau belum dicuri orang. Kalau hilang, nanti akan kuminta kakakku mencarikan siapa yang mengambilnya," ujar Hachimenroppi sambil berbalik dan mengangkat tangannya, seakan mengucapkan selamat tinggal pada ruangan pengap ini.

"Reeve, tolong suruh siapa saja untuk mengantarkan dia pulang."


Sesampainya di rumah, akuarium raksasa di belakang mobil itu dipecahkan oleh seorang bawahan Viscount Louvre yang mengantarkannya pulang.

Duyung itu berteriak pelan ketika ekornya perlahan berubah menjadi sepasang kaki. "Ayo jalan," perintah si bawahan itu kasar sambil menarik tangan duyung itu dengan kasar.

"Sudah, tinggalkan saja dia di sini. Aku akan bawa dia sendiri," printah Hachimenroppi.

"Tapi…"

"Biarkan saja. Dengan caramu menangani barang, kau bisa merusak barang dagangan tuanmu, dan aku tidak suka barang yang kubeli rusak."

Orang itu langsung melepas duyung berambut pirang itu dan berjalan ke arah Hachimenroppi dan mencengkram dagunya. "Kuberitahu satu hal, aku benci diperintah."

"Oh, dan kukira kau bekerja sebagai bawahan Louvre."

"Heh. Bicaramu tajam. Sudah, kubiarkan saja dia disini," ujar orang itu sambil menatap mata Hachimenroppi yang berwarna merah. "Mungkin suatu saat kau akan menjadi salah satu koleksi Viscount karena matamu."

Hanchimenroppi hanya mengebas tangan di rahangnya dan langsung menggendong duyung pirang yang ditinggalkan si bawahan. "Kau seharusnya tahu, duyung tidak boleh sering-sering berjalan karena memang mereka bukan makhluk yang biasa berjalan dengan kaki."

Dengan sebuah dengusan kesal, orang itu pergi meninggalkan Hachimenroppi yang menggendong duyung itu seperti menggendong pengantin.

"Jadi, kau harus kuberi nama apa ya?"


"Roppi-kuuuunnnn!" sapa sebuah suara ketika dia membuka pintu masuk rumahnya.

"Selamat pagi, Psyche," balas Roppi sambil menghindari rangkulan Psyche.

"Iza-nii! Roppi-kun tidak mau kupeluk!"

Izaya hanya terkekeh melihat kedua adik kembarnya. "Jadi, kau kesal karena keperawananmu hampir diambil kemarin? Hah? Roppi-chan?"

"Diam. Dan tidak, aku bukan kesal karena itu."

Di samping Roppi, atau di belakangnya lebih tepatnya, berdiri seorang pemuda berambut pirang dengan mata merah. Pemuda itu terlihat ketakutan dan dia terus-terusan memeluk lengan Roppi. "Dia tidak mau berbicara sama sekali," ujar Roppi geram.

Dari kemarin malam dia mencoba membuat duyung 'peliharaannya' itu berbicara, tapi si pirang itu tetap saja diam dan malah meringkuk dalam bathtub yang diisi air oleh Roppi. Dan hal itu benar-benar membuat Roppi kesal. "Dia juga terus-terusan mencoba untuk mengelupas sisiknya, jadi kuikat tangannya semalaman."

Izaya dan Psyche hanya bisa memandangi Roppi dengan pandangan 'kau lakukan apa padanya?' terbaik yang mereka miliki. "Kalau aku tidak mengenalmu, Roppi, aku pasti akan menuduhmu punya kelainan."

"Roppi-kun sadistic."

"Ya, aku memang sadistic dan masochist, kan, kata kalian?"

Sementara kedua saudaranya hanya diam menanggapinya.

"Jadi, kapan kau akan mempersilakan kami masuk?" akhirnya Izaya memecahkan keheningan yang tidak enak.

"Kalau bisa, sih, tidak akan pernah."

"Roppi…"

Roppi hanya menggidikan bahunya dan membuka pintu lebih lebar agar kedua saudaranya bisa masuk.

Psyche langsung berbaring di sofa, Izaya langsung mengoprek kulkas, Roppi hanya bisa diam menahan rasa kesal melihat kedua saudaranya yang tidak tahu diri.

"Jadi, siapa namanya?" suara Izaya terdengar dari dapur.

"Kalau aku tahu juga, sudah dari kemarin kupanggil dia dengan namanya."

Psyche langsung berdiri dan dengan lincah berlari setengah melompat ke arah si pirang di samping Roppi dan memandang sepasang mata merah itu dengan mata magentanya yang sekarang berkaca-kaca. "Roppi kejam, ya? Dia tidak mau memberimu nama, ya? Maafkan kakakku itu, ya?"

Dan Roppi meledak. "Aku tidak tahu namanya karena dia tidak mau bicara, tahu! Aku tidak mungkin memberi dia nama sembarangan! Siapa tahu dia sudah punya nama! Otakmu itu jangan hanya jadi pajangan saja, Psyche!"

Dan Psyche menangis, pura-pura, sambil berlari ke Izaya yang masih berkutat dengan minuman apa yang dia inginkan. "Huuweee… Iza-nii, Roppi-kun membentakku…"

"Cup, cup, cup. Ayo, jangan berkelahi terus."

Roppi benar-benar tidak tahan kali ini. "Kalian berdua, keluar sekarang," perintahnya dengan wajah kesal terbaiknya.

"Eh? Aku bahkan belum meminum—"

"KE-LU-AR. Sekarang juga."

Izaya dan Psyche akhirnya hanya menurut sebelum pisau-pisau Roppi beterbangan menghujam mereka. Roppi tentu tidak akan segan-segan walau mereka itu saudaranya sekalipun.


Kedua saudaranya memang selalu membuat kepalanya sakit. Dia tidak membenci keduanya, hanya saja dia lebih memilih kalau mereka berdua bisa lebih diam, lebih sopan, lebih menghormati privasinya sedikit, atau setidakya bersikap seperti Hibiya. Walaupun dia sebenarnya lebih tidak suka dengan sikap 'tinggi' Hibiya, tapi si bungsu itu punya rasa 'tahu diri', setidaknya, walaupun, lagi, memanggil hampir setiap orang dan bahkan kakak-kakaknya dengan sebuatan 'rakyat jelata' tidak bisa dibilang tahu diri.

"Mereka benar-benar ribut, eh?" tanya Roppi pada duyung yang sekarang tengah berendam dalam bathtub berisi air. Pertanyaanya dijawab dengan sebuah anggukan kecil.

Roppi memandang duyung 'peliharaannya' yang berusaha untuk melipat badannya kecil-kecil agar muat sepenuhnya ke dalam bathtub. Seharusnya akuarium yang dia pesan sudah datang sejam lalu, tapi sepertinya hujan agak menghambat.

"Mungkin kau harrus tahan dengan bathtub untuk beberapa saat lagi, ya?"

Sebuah anggukan lagi.

"Rambutmu panjang, apa tidak mengganggu?"

Diam sebentar lalu anggukan.

"Mau kupotongkan?"

Sebuah anggukan.

Untuk beberapa saat, mereka diam dan Roppi sibuk memotong rambut pirang si duyung. Sebenarnya agak sayang juga dipotong, rambut itu bagus sekali, warna pirangnya agak keemasan dan terasa begitu lembut di tangannya. Tapi kalau duyung itu mau rambutnya dipotong, ya, sekalian dipotong saja.

"Selesai," ujar Roppi sambil meletakkan gunting ke rak lagi. "Kau suka?" tanyanya kemudian. Duyung itu menggerakkan kepalanya sedikit lalu mengibas-ngibas kepalaya agak kuat. Lalu dengan senyum puas, dia mengangguk pada Roppi.

Baiklah, Roppi menyerah. Dia tidak akan mencoba membuat duyungnya bicara sekarang.


Akhirnya setelah beberapa jam menunggu, hujan berhenti dan akuarium besar setinggi dua setengah meter pesanannya sampai juga setengah jam setelah hujan berhenti.

Roppi langsung menyuruh keempat kuli angkut yang mengantarkan akuarium itu untuk menaruh benda itu ke loteng rumahnya yang merangkap sebagai tempat dia merenung, atau melamun lebih tepatnya. Ya, melamun di tempat itu benar-benar menenangkan karena dia tidak harus melihat manusia yang berlalu-lalang dan dia bisa melihat bulan setiap kali merenung pada malan hari, kalau ada bulan.

Setelah keempat orang itu pergi, Roppi langsung mengisi akuarium dengan air dan menyuruh duyung yang tadi dia suruh bersembunyi saja di kamar mandi itu masuk ke dalam akuarium. Dia sudah sekalian menaruh tangga di samping akuarium agar gampang jika ingin naik turun dari akuarium.

Si pirang terlihat senang berenang mondar-mandir dalam akuarium yang tentu saja jauh lebih besar dari bathtub.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Roppi terangkat sedikit. Ya, duyung ini bukan manusia, apa salahnya menyayanginya walaupun hanya sedikit?


Malam tiba juga dan Roppi menemani duyungnya di loteng. Hujan besar sepanjang siang sampai sore tadi sepertinya bagus juga. Sekarang tidak ada sama sekali awan hujan di langit dan mereka bisa melihat bulan purnama malam itu dengan jelas.

Duyung tidak bernama itu bertumpu pada pinggiran akuarium untuk tetap berada di atas air sementara ekornya di dalam air bergerak pelan-pelan. Matanya terpaku pada bulan keperakan di langit.

"Kau suka bulan?"

Duyung berambut pirang itu menoleh sedikit ke arah Roppi, mengangguk, lalu kembali memandang bulan purnama malam itu. Cahaya dari bulan menembur air dan menerpa ekor bersisik putih bercampur merah, membuat sisik-sisik itu berkilauan dan membuat Roppi tidak bisa berpaling dari duyung itu.

"Tidak apa-apa kau setengah dalam air begitu? Kukira hal itu tidak baik untuk kesehatanmu."

Si pirang kali ini menggelengkan kepalanya.

"Kalau hanya sebentar, tidak apa-apa, ya?" tanya Roppi lagi.

Si duyung mengangguk.

Untuk sesaat, keheningan kembali menyelimuti mereka sampai akhirnya Roppi bertanya lagi, "Apa dulu kau sering melihat bulan di tempat asalmu?"

Sebuah anggukan.

"Apa sama cantiknya?"

Anggukan lagi.

"Kau ditemani seseorang?"

Lagi-lagi anggukan.

"Kekasihmu?"

Kali ini gelengan.

"Kau tahu? Obrolan ini hanya menjadi obrolan searah," keluh Roppi, pada akhirnya hampir menyerah membuat duyung 'peliharaannya' berbicara.

Duyung itu agak menunduk sebelum masuk ke dalam air dan memandang Roppi dengan setengah wajahnya di permukaan air. Matanya terlihat… meminta maaf.

"Sudahlah, lupakan saja."

Duyung itu mengangguk seakan mengatakan, "Baiklah, aku mengeerti," lalu kembali mengangkat setengah tubuhnya dan bertumpu pada dinding akuarium dengan tangannya agar tidak masuk lagi ke air.

'Jadi dulu dia tinggal di tempat dimana bulan terlihat,' batin Roppi. 'Mungkin sebuah pulau terpencil… atau mungkin di pantai. Tapi sepertinya pulau terpencil lebih mungkin. Pulau… yang ada bulannya. Pulau… bulan… ah, 'Pulau Bulan'?'

"Hm… bagaimana kalau kau kunamai 'Tsukishima'?" ujar Roppi setelah beberapa saat berpikir dalam diamnya. Mendengar itu, si pirang langsung menatap Roppi kaget. Entah kenapa. "Eh? Kenapa? Kau tidak suka?"

Gelengan cepat.

"Kau menyukainya?"

Anggukan tegas, lalu gelengan kecil.

"Kau suka tapi tidak suka?" Roppi bingung sendiri. "Ya, aku mengerti kalau kau tidak suka. 'Pulau Bulan'? aku menamaimu sembarangan, ya? Tidak usah memaksakan dirimu untuk menyukainya, aku tidak akan marah, kok."

Duyung itu seakan-akan menggeleng dengan putus asa.

"Eh? Bukan juga?"

Akhirnya setelah lebih dari setengah jam menebak buta, si duyung pirang mengangguk senang. Dan tebakan Roppi kali itu adalah, "Itu namamu yang sebenarnya?"


End of Chapter 1


Munyahaw~!

Saia kembali lagi dengan cerita baru~! Padahal, agenda saia lagi penuh, tapi saia masih bikin cerita lagi… duh, saia baru saja menggali lubang kubur untuk diri saia sendiri. ==a

Argh! Tapi saia lagi mabuk RoppiTsuki akhir-akhir ini! Ada yang tahu dimana saia bisa dapet doujin dengan pair mereka?

Ya, dan saia menge-post cerita ini dengan alasan yang sama dengan alasan saia menge-post cerita 'Their Abnormal Normal Daily Life'; karena kalo ga saia post, nanti pasti ga bakal saia bikin karena ga merasa ada kewajiban untuk bikin, padahal saia suka banget sama plot saia kali ini, ga tau kenapa.

Jadi, supaya saia terus membuat benda ini, tolong dengan amat sangat, minta ripiunya ya~!

Tee-hee~! Hito Rabu~! (masih ketularan Izaya).