The Everlasting Lily

A Harry Potter Fanfiction


Summary: Makhluk malam itu memandang pemuda di hadapannya dengan sorot mata berkilau keperakan. Pertemuan pertama antara dua jiwa ini menjadi awal dari kisah yang akan terus bergema bersama waktu. Slash. Vampire fic.


Warnings: Alternate Reality, modified canon, language, violence, mature themes, OOC. Male slash (male x male pairing).

Genre: Romance/ Angst


Disclaimer: Harry Potter and its characters are created by J.K. Rowling. The book series published by Bloomsbury (UK) and Scholastic (US), also multiple publishing companies around the world. I'm not using this fanfiction to gain any financial profit.


Perhatian! Mungkin/ pasti pembaca sekalian akan kebingungan dengan nama-nama pada fic ini, tetapi pada akhirnya nanti, mendekati akhir cerita (bukan akhir chapter) semuanya akan menjadi lebih jelas. Setelah fic mencapai final ending, Author's Note pada akhir cerita niscaya dapat membantu memberikan tambahan informasi.

Terima kasih telah bersedia membuka fanfiksi ini. Saya ucapkan selamat membaca.


Chapter 1. Pertemuan dan Perjanjian

Tubuh wanita bergaun biru itu roboh ke atas tanah. Raganya yang memucat tidak lagi menopang kehidupan. Kaku, dingin. Mata cokelat mudanya yang terbelalak memantulkan refleksi langit malam yang kelam. Sebentuk kecil rupa dari sesosok lain yang masih berdiri tegap dan tengah memandangi tubuh statis sang wanita ikut terpantul di sana.

Sosok itu milik pria muda yang tengah mengusap bibirnya. Seberkas warna merah terulas di sudut yang segera terhapus oleh belaian lidah. Raut ketidakpuasan terbentuk di wajahnya yang nyaris seputih kertas.

Tapi ia bukan satu-satunya makhluk yang masih bernapas di sana. Terduduk di tepi semak-semak, seorang wanita belia lainnya memandangi adegan di depannya dengan tubuh bergetar hebat. Teror yang memenuhi wajahnya membuat ekspresinya nyaris identik dengan temannya yang telah terbujur. Berlumur keringat dingin, telapak tangannya mengepal sia-sia, merindukan kehadiran tongkatnya yang telah terlempar entah kemana. Situasinya jelas; pria itu adalah predator yang telah menghabisi mangsanya dan kini masih ada satu mangsa lain yang siap untuk dibantai.

"Jangan mendekat!" seru si gadis, ia masih sanggup menunjukkan sejumlah kegarangan impresif dalam keadaan terdesak. "Aku tidak sudi monster sepertimu mengambil darahku!"

Melangkah perlahan – terlalu perlahan – mendekati sang calon mangsa yang tak sanggup melarikan diri, sang lelaki misterius menyeringai merendahkan. "Jangan menilai dirimu terlalu tinggi, Nona," ejek si lelaki berjubah hitam itu.

Memperlambat gerak kakinya, ia seolah sengaja bermain-main dengan ritme detak jantung si gadis yang jelas berbanding terbalik dengan tempo langkahnya. Satu langkah senilai dengan sepuluh kali degup jantung. "Aku melakukan ini bukan karena aku punya pilihan. Sesungguhnya aku tidak berselera akan darahmu atau perempuan itu. Tetapi dahagaku yang tidak bisa berkompromi memaksaku menyerang manusia manapun yang bersilangan jalan denganku, sejelek apapun aroma atau rasa darahnya."

Dengan napas tertahan, wanita itu tergagap, mencari celah lain untuk bertahan hidup. "T-tidak c-cukupkah darah temanku itu? Bukankah…"

Beranjak keluar dari bayangan hitam pohon ek yang menyelubunginya, mata kelabu pria muda itu terlihat berkilauan, nyaris seperti perak. Rambutnya yang sewarna emas pudar seolah menantang keremangan malam. Senyumannya menampilkan deretan gigi di mana terdapat sepasang yang jauh lebih runcing dari yang lainnya. "Sayang sekali, Nona, aku sama sekali tidak berniat untuk menyisakan mangsa ataupun saksi mata."

Tak ada lagi basa-basi, ia kini benar-benar menerjang maju ke arah mangsanya yang malang. Jeritan si gadis menutupi bunyi ketukan langkah dari pria muda yang mendekat.

Namun, sebelum mencapai calon korbannya, mendadak sang penghisap darah terdiam di tempat. Angin malam yang membelai hidungnya membawa sebuah aroma… begitu memabukkan, menjanjikan kenikmatan yang berlimpah.

BUK!

Sebuah hantaman menerpa pelipis kanan sang lelaki berjubah hitam, memaksa wajahnya berpaling ke arah berlawanan. Sebongkah benda bulat kasar yang menggelinding di atas tanah membuatnya menyadari bahwa ada seseorang yang melemparinya dengan batu. Suara langkah milik sepasang kaki yang berlari mendekat menyadarkan dirinya dari keterkejutan, membuatnya menengok ke arah suara hanya untuk disambut sebuah hantaman lagi dari batu yang lebih besar. Terdorong hingga terjatuh, wajah sang vampir mengucurkan darah dari hidungnya yang patah.

Terengah-engah, seorang pemuda memegangi sebentuk batu pipih dengan kedua tangannya. Menatap si gadis yang tercengang, pemuda berambut hitam itu berteriak, "LARI!"

Walau tergopoh-gopoh, wanita bergaun hijau itu segera melesat meninggalkan tepian semak-semak. Pemuda penyelamat hanya menyaksikan pelarian itu sekilas saja. Ia sadar bahwa si penyerang masih belum takluk dan jika ia bertindak lambat maka ia akan menerima resikonya. Mengangkat batu temuannya tinggi-tinggi, si pemuda asing itu siap membenturkannya kepada makhluk penghisap darah yang masih terjerembab di tanah.

Dan mendadak pemuda berjubah hitam itu menghilang.

Terkesiap, tangan pemuda berambut hitam itu terhenti. Sebuah lengan melingkari tubuhnya kuat-kuat dari belakang, memaksanya menjatuhkan senjata pemukulnya dan membuatnya meronta hebat.

"Lepaskan!" pekiknya panik saat tubuh kokoh menempel di punggungnya. Rontaannya disambut suara terkekeh di sebelah telinganya.

"Seharusnya kau berpikir panjang dahulu sebelum kau bermain pahlawan-pahlawanan di sini," ujar si pemilik suara rendah yang membangkitkan bulu tengkuk sang penyelamat yang sekarang berbalik terancam bahaya. "Vampir mampu bergerak jauh lebih cepat dari manusia, Tuan Pahlawan."

Menggapai saku jubahnya, sang vampir mengeluarkan sebuah tongkat dari sana. Dengan santai ia membidik ke arah wanita yang masih berlari di antara pepohonan.

"Stupefy," katanya lantang.

Bunyi ambruk dari kejauhan membuat si pemuda tawanan terpaku. Gagal sudah aksi penyelamatan nekatnya. Ia malah dengan suksesnya mengumpankan dirinya kepada sang penghisap darah yang mendapatkan satu lagi tambahan makan malam. Keringat dingin mengalir di sisi wajahnya yang sedikit tergetar.

Kembali terkekeh, vampir pirang mengecap rasa darahnya sendiri. Hidungnya telah pulih kembali, hanya menyisakan sisa aliran darah. Kini ia mengendus sosok di dekapannya dengan penuh minat dan penghargaan.

Pemuda berambut hitam ini sangat harum. Aroma alami yang menguar dari tubuh dan darahnya sangat membangkitkan selera sang vampir bermata abu-abu – aroma terbaik yang pernah dihirupnya selama ini. Ia bahkan tidak mengingat dengan jelas apakah ia pernah membaui seseorang yang begitu sempurna. Betapa halus percikan aromatik yang dilepaskan permukaan tubuh yang berbaur dengan partikel-partikel udara yang menerpanya… Betapa merdunya desir gesekan aliran darah dengan dinding pembuluh yang mengalir di bawah lapisan kulit rapuh sewarna krim itu… Bukan hanya itu, keharuman tubuh milik pemuda ini begitu murni, menari dengan jernihnya dalam rongga hidung. Pemuda ini masih suci, belum pernah tercemari oleh sentuhan seksual.

Kedua taring sang vampir pirang seolah tergelitik, dahaganya meraung-raung dan menggedor riuh batang kerongkongan, minta dipuaskan. Jika ia tidak meminum darah wanita bergaun biru tadi, mungkin ia akan terlalu haus untuk sanggup menahan diri dari godaan ekstrim ini. Tak hanya itu, godaan yang dipancarkan pemuda ini pun merembet ke gairah karnal.

Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menggauli tubuh manusia? Membelai serta menjamah kulit telanjang yang memancarkan kehangatan, membenamkan diri dalam liang badaniah lembut yang mendekap dirinya erat-erat? Menyentuh dan menghabiskan malam bersama seorang perawan murni?

Salah satu dari tangannya yang menahan tubuh ramping bergerak untuk meraba dada si pemuda. Beringsut turun, melintas di atas permukaan perut yang terbalut pakaian, merembet ke tepian kemeja dan menyusup masuk. Manusia yang memberontak dari rengkuhan makhluk buas mendadak mematung. Si vampir bisa mengira-ngira bagaimana ekspresi pemuda tersebut; mata terbelalak dan mulut ternganga lebar.

Tangan itu dingin, seperti tangan yang dimiliki oleh mayat, membuat kulit yang dijangkaunya meremang. Ia merayap di atas perut datar yang terasa hanya dilapisi sekerat daging tipis saja. Naik ke atas, jemari dimanjakan kelembutan dada dan menjamah salah satu dari sepasang bagian kulit yang menguncup lunak di atas sana.

Tersadar dari syok, pemuda tersebut menjerit kencang. Meronta lebih hebat, sang pemuda menumbukkan kaki kirinya kuat-kuat kepada tulang kering si vampir tukang raba-raba lalu menghantamkan bagian belakang kepalanya pada hidung si vampir yang baru saja pulih. Menyalak terkejut, si vampir melonggarkan kedua lengannya dan sang pemuda berambut hitam merosot untuk melepaskan diri.

Sambil mengusap bagian belakang kepalanya, pemuda yang lolos itu melompat mengambil jarak sejauh yang ia mampu lalu berbalik menghadap si vampir dengan tongkat teracung. Ia tahu bahwa melarikan diri begitu saja dari vampir yang memiliki kecepatan dan tenaga yang jauh di atas kemampuan manusia bukanlah tindakan yang paling bijaksana.

Memegangi hidungnya, pemangsa berambut pirang untuk pertama kalinya melayangkan pandangan kepada wajah manusia di hadapannya. Mata abu-abunya kemudian melebar selama beberapa detik.

Di hadapannya berdiri sosok berfitur halus. Wajahnya terbingkai dalam rahang yang anggun, rambutnya yang hitam memberontak melawan hembusan angin. Hidungnya yang mungil menjadi penghubung sempurna dari dua buah elemen wajah yang menakjubkan, bibir merah merekah dan sepasang mata berbentuk seperti buah badam. Di dalam keremangan dan cahaya samar rembulan, mata hijau kristal itu nyaris terlihat bersinar. Rona merah muda merambati kedua pipi yang masih belum kehilangan lemak bayi - indikasi bahwa si pemuda masih menginjak usia remaja. Dari jeda fisik yang diurai si pemuda, sang vampir dapat melihat dengan sempurna figur tubuh yang tengah menggenggam tongkat dengan penuh determinasi ini. Ia langsing, memiliki kekurangan baik dari segi berat dan tinggi badan.

"Jangan bergerak!" pemuda itu menggertak, alisnya bertaut garang. Ujung tongkatnya di arahkan kepada dada sang pemburu malam dari kejauhan.

Lelaki pirang di depannya terlihat seperti hendak menahan tawa. Dengan kedua lengan melintangi bagian depan tubuhnya, ia bersedekap penuh arogansi. "Ya?" cetusnya santai.

Si rambut hitam membuka mulut namun tidak menemukan kata-kata yang bisa diucapkan. Sebagai gantinya, dia mengacung-acungkan tongkatnya, jelas berpikir bahwa gestur itu dapat terlihat sebagai ancaman. "Kondisi kita sekarang berbalik."

Lelaki pirang nampaknya semakin kesulitan menahan tawa. Manusia muda kurus berwajah polos yang bahkan tidak setinggi jakunnya berlagak seolah dirinya berbahaya, di hadapan dirinya yang adalah vampir pembunuh. Akhirnya ia menarik sebuah kesimpulan yang teramat jelas.

"Aaah," ucapnya dengan nada mengolok, "berdiri memegang tongkat tetapi tidak bertindak apa-apa. Belum cukup umur untuk menggunakan sihir dengan bebas, eh? Mencengangkan, lebih memikirkan tentang teguran sekolah dan resiko dikeluarkan ketimbang nyawa."

Mata sang vampir yang tajam sanggup menangkap perubahan warna di kulit wajah si pemuda yang terlihat memudar dua tingkat di dalam keredupan malam. Sebelum ia sempat bereaksi, si vampir telah mencabut tongkatnya.

"Expelliarmus!"

Dan tongkat di tangan pemuda beraroma menggoda itu terhempas dari genggaman, meluncur dengan mulus ke rerumputan tinggi di dekat rumpun pohon cemara. Mata hijau yang membulat mengikuti arah letak jatuhnya si tongkat, mulutnya sedikit terbuka.

Lagi-lagi si vampir kesulitan menahan tawa. "Kondisi kita sekarang berbalik… lagi."

Kedua manik giok kembali berputar ke arah pemuda pirang dengan kecepatan yang sedikit lambat nan dramatis. Parasnya yang menawan berkerut-kerut aneh sebentar lalu sekali lagi alis itu bertaut. Kedua tangannya yang terpaku pada udara kosong mendadak dibawanya ke depan tubuh, dua buah tinju terkepal. Ia memasang kuda-kuda, siap bertarung dengan tangan kosong.

Rahang bawah si vampir melonggar drastis. Manusia muda kurus berwajah polos yang bahkan tidak setinggi jakunnya menantang dirinya, vampir pembunuh berfisik prima dengan tongkat siaga di tangan, untuk bertarung. Merlin, pemuda ini nekat dan sudah tidak waras!

Akhirnya tawa si pirang pun pecah. "Kau tidak mau menyerah, ya?"

Dan secepat kerjapan mata, kedua tubuh telah menempel tanpa jarak. Kedua tinju milik pemuda bermata cantik tertahan di antara dua dada yang menghimpit. Sepasang tangan menyegel punggung sang manusia dalam dekapan erat.

"Kau seharusnya tadi buang keraguanmu lalu melempariku dengan kutukan yang bagus selagi punya kesempatan."

Terhenyak, keterkejutan dan horor terpatri wajah rupawan sang pemuda nekat dengan begitu lezatnya. Degup jantungnya menggedor-gedor tulang rusuk, merambat langsung ke tubuh pemuda pirang yang memandanginya dengan lidah yang menjilati sudut bibir. Darah segar mengalir deras di dalam jalur-jalur pembuluh darah, memompa wewangian sedap dari pori-pori dan memenuhi udara di antara tubuh dua makhluk berbeda jenis. Vampir pirang menghela napas dengan khusyuk. Darah seorang perawan, tubuh yang belum pernah terjamah…

Telapak tangan yang menahan punggung menggelincir turun, menangkup kedua sisi bulatan bokong laki-laki berambut hitam. Penuh daging dan liat dalam remasan tangan, berbanding terbalik dengan tipisnya daging yang membalut perut yang disentuh sang vampir sebelumnya.

Untuk kedua kalinya, wajah pemuda pirang dipaksa berpaling ke sebelah sisi. Rasa nyeri yang panas menyengat kulit menjelaskan bahwa sejurus yang lalu si manusia melayangkan sebuah tamparan kepadanya. Dengan segera, bekas merah berbentuk cap tangan memudar dari atas kulit bersamaan dengan rasa sakit berdenyut. Dan dengan segera pula, wajah pemburu pirang yang baru saja kembali diputar untuk menghadap mangsanya dipaksa menengadah menatap langit hitam.

Aliran darah baru menitik dari lubang hidungnya. Si manusia baru saja meninju hidung yang masih rapuh dari pemulihan. Tenaganya tidak kuat, tetapi pemuda ini tahu cara melayangkan pukulan di bagian yang tepat.

Kedua sudut bibir si vampir melebar. Ia tidak tahu perasaan mana yang lebih kuat, hendak meluapkan kemarahan ataukah ingin tertawa. Setelah memberi remasan terakhir, tangannya meninggalkan bokong hangat dan berpindah untuk membelenggu pergelangan tangan si lelaki muda liar dalam satu detik. Pemuda itu memberontak sia-sia dalam cengkeraman yang bergeming kokoh.

"Wow," komentar si rambut keemasan, "Sudah cukup lama aku tidak merasakan darahku sendiri. Dua kali dalam semalam malah." Seolah mempertegas, lidahnya meliuk ke atas bibir, menangkap tetesan darah yang masih mengucur. "Oleh pemuda mungil bertubuh molek pula," tambahnya dengan alis mengibas naik turun dengan sugestif.

Mata hijau berkilat penuh emosi bertakhta di atas paras merah padam. Dengan gigi mengertak dan upaya memberontak yang enerjik, dia menyemburkan cacian pedas, "Lintah bertaring sialan! Bajingan mesum! Makhluk brengsek! Lepaskan aku, dasar kurang ajar!"

"Ow wow wow," sambut si vampir seraya tergelak. "Tinju tidak berguna lagi, sekarang pakai makian? Kata-kata kotormu itu membuatku bergairah, kau tahu?" Napasnya memburu, ia sudah tidak sabar lagi.

Teriakan sang manusia muda tersumbat udara saat dirinya didorong paksa ke atas tanah dingin berumput kasar. Berbaring dengan kaki terbuka, badannya dipaksa untuk menerima kehadiran badan lain di antara kedua pahanya. Menyadari posisi yang sangat intim, ia tak berhenti meronta-ronta dan mencoba menanduk-nanduk kepalanya ke wajah si vampir yang sayangnya tidak terjangkau.

Menyeringai lebar, pemuda berambut emas pucat menyaksikan perlawanan sia-sia di hadapannya dengan kepala penuh pemikiran yang dipelopori insting animalistik. Bagaimana sekarang? Apa ia akan menghisap dulu darah manusia elok ini? Atau melucuti pakaiannya lebih dulu? Mungkin ia akan meminum darahnya dulu sedikit… Kemudian, sambil menggagahi si pemuda ia bisa sekaligus menghisap lagi sisa darahnya. Ia pun bisa mengulur kapasitas darah yang dihisap seiring dengan berapa kali banyaknya ia ingin melepaskan hasrat seksualnya, untuk menjaga agar tubuh manusia ini tetap hangat – ia benci meniduri mayat. Berkali-kali dan terus menerus, hingga ia mendapatkan kepuasan jasmani penuh dan tak ada lagi setitik darah pun yang tersisa. Setelah semuanya selesai, ia akan meninggalkan jenazahnya lalu kembali ke tengah hutan dan kembali berburu di malam-malam berikutnya. Ya, rencana yang sempurna.

Diraupnya dagu pemuda yang menggeliat hebat di bawahnya dan memaksa menghadapnya hingga mata keduanya bertemu. Bola mata abu-abu itu sekali lagi bernuansa keperakan. Sang manusia merasa kekuatannya menguap dan sekelilingnya terasa mengabur kecuali mata yang menyala itu.

"Tenang dan diam. Jangan melawan," pemilik mata supranatural itu memerintah dan mangsanya menanggapi dengan anggukan pelan.

Melepas dagu si anak manusia beraroma manis, sang vampir tak bisa menahan senyum kemenangannya. Sihir pemikat adalah salah satu senjata vampir dalam menaklukan buruan. Menumpulkan kerja otak serta kehendak personal mangsanya dan mereka akan menuruti segala keinginan yang dikatakan sang vampir. Memiliki julukan Kutukan Imperius eksklusif para vampir. Lakukan kontak mata dalam jarak dekat maka semuanya akan menjadi sangat mudah. Dengan korban yang bisa diajak bekerja sama, akan lebih sedikit darah yang tercecer sia-sia. Anak-anak dan para manusia berjiwa polos jauh lebih mudah jatuh dalam trik ini, dan pemuda berjiwa penolong ini jelas merupakan salah satu di antaranya.

Jemari pucat panjang mulai mempreteli kancing-kancing kemeja sang pemuda yang kini berbaring jinak. Mata hijaunya yang sangat cantik menatap nanar ke langit berbintang. Begitu kosong, tidak berkedip. Menarik turun kerah putih yang dikenakan si pemuda hingga bahu, vampir berambut emas memandangi leher jenjang dan pundak yang terlihat begitu ringan. Melihat secuplik dari keindahan yang tersembunyi dari tubuh sang pemuda rupawan, vampir pirang bisa mengatakan dengan jelas bahwa merupakan fenomena mengherankan jika seandainya pemuda ini memiliki kekasih yang tidak pernah berusaha menyentuh lebih lanjut.

Membenamkan hidung ke sana, sang predator menghirup dalam-dalam wewangian tubuh yang memabukkan. Hidungnya yang dingin disambut lelehan panas suhu tubuh manusia, sensasi yang menyenangkan. Sebelum lidahnya menyentuh kulit lembut pemuda yang tidak ia ketahui namanya, mendadak tubuh yang ditindihnya terasa bergetar. Kening si vampir berkerut. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Dia bergegas mengangkat kepalanya dan memandang wajah calon korbannya.

Wajah itu berkerut-kerut seperti menahan sakit. Mata hijau masih tidak terpejam, tetapi pupil matanya membesar dan mengecil dengan cepat. Segera saja, sepasang mata zamrud itu terbelalak. Sembari meneguk udara banyak-banyak, fokus mulai kembali menyatu dalam penglihatannya dan syok merajai sekujur tubuhnya saat paras penuh sisi tajam sang vampir adalah hal pertama yang ia lihat. Sedang menindih tubuhnya. Angin malam membuat dadanya menggigil serta membuatnya menyadari kekurangannya dalam kerapihan pakaian.

Syok bertransformasi menjadi histeria. Rontaan hebat kembali dan dorongan keras pada dada sukses mengirimkan si vampir yang masih tertegun terlempar dari atas tubuh sang mangsa yang belum tertaklukan dan menyediakan jarak beberapa meter darinya.

Sementara si pemuda mengancingkan kembali kemejanya, vampir pirang menatap mangsanya dengan tidak percaya. Manusia ini bisa menolak sihir pemikat vampir! Hal ini tidak pernah terjadi ataupun terdengar sebelumnya.

Manusia ini telah menggagalkan dia dari membunuh mangsa keduanya, melemparinya dengan batu bahkan menghantamkan yang lebih besar sampai hidungnya patah, menendang kakinya, beradu kepala, menamparnya, meninju hidungnya, memakinya dan berhasil memutus teknik pemaksaan halusnya. Menggeram dengan taring terpampang sempurna, dada sang vampir dipenuhi amarah menggelegak. Otot-otot dan urat di sekitar jari-jarinya menegang, kukunya yang keperakan berubah runcing dan memanjang seperti cakar hewan karnivora. Makhluk kecil ini tidak akan bisa mempermainkannya lagi!

Matanya menyapu mangsanya yang masih tak sanggup berdiri tetapi terus berupaya menyeret tubuhnya menjauh. Rerumputan mengeluarkan bunyi mirip desisan di bawah badannya. Kancing kemejanya salah pasang sehingga kancing kanan paling bawah dan lubang kiri teratas tidak memiliki pasangan. Wajah elok pemuda itu pucat namun rona merah begitu pekatnya mewarnai kulit yang tipis hingga terlihat seperti berbintik-bintik. Terengah, bibir semerah arbei sedikit terbuka. Sepasang mata hijau berkerlip basah dengan cemerlang. Gemuruh jantungnya berdentum di telinga peka sang vampir. Geliat darah yang terpompa deras membuat gelombang keharuman pembangkit selera semakin memangil-manggil.

Vampir berambut emas bangkit, siap menyerang. Rasa haus yang telah diredam oleh darah seorang manusia utuh sebelumnya kembali muncul. Amat besar sehingga air liurnya sendiri terasa pedih di rongga mulutnya yang mengering. Ia tinggal menghambur maju dan membenamkan taringnya pada tubuh mungil di depannya.

Tetapi rasanya sayang sekali.

Sedikit banyak sang vampir terkesan oleh manusia remaja ini. Belum pernah ia menemukan bocah senekat ini. Belum pernah ia menemukan mangsa sebandel ini. Belum pernah ia menemukan… manusia semenarik ini. Terasa amat sia-sia jika ia langsung menghisap habis darah menakjubkan tersebut dalam sekali santap. Darah harum yang entah kapan lagi bisa ia temui dalam diri seorang manusia. Tidak dengan kondisi terkutuknya.

Mungkin ia bisa bermain-main lebih lama lagi.

Sebuah rencana tersusun di kepalanya. Sembari menyeringai, sang vampir berjalan maju dengan kasual. Kuku-kukunya kembali normal dan ujung-ujung runcing gigi taring tersembunyi di balik bibir bagian bawah yang ditarik dengan sudut yang telah dipelajari dengan mahir. Wajah yang tidak sampai semenit lalu terlihat seperti serigala kelaparan bertransformasi drastis menjadi begitu normal dan ramah dengan begitu tiba-tibanya.

Terkesiap, si mata hijau menyipit waspada akan sosok berjubah hitam yang mendekatinya. Vampir muda berambut pirang itu tersenyum kepadanya. Apa maunya?

Berjongkok elegan di hadapan pemuda berambut hitam berantakan, vampir misterius dengan maksud tak kalah misterius membuka suara. "Hai," sapanya.

Mimik yang terbentuk di atas wajah rupawan si pemuda sangat tidak ternilai hingga membuat sang vampir nyaris terkikik gemas.

"Siapa namamu?"

Sepasang mata hijau membulat kaget lalu memicing dingin. Bibirnya merapat ketat.

"Ayolah, mungkin dengan memberitahu namamu situasi tidak menguntungkanmu ini bisa berubah menjadi lebih baik."

Sebuah pancingan. Tetapi si manusia tetap diam, bibirnya lebih merapat dibanding sebelumnya.

"Hei, jangan begitu," ujar sang vampir, masih terlihat ramah. "Mungkin hal ini menentukan keputusanku atas kelangsungan hidupmu dan wanita tadi."

Sang vampir tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan apa yang ingin diketahuinya. "Harnet Porter!" seru si pemuda dengan segera.

"Harnet Porter," ulang sang vampir. Senyumannya melebar. "Salam kenal, Harnet. Namaku Dragon Malvonian."

Dahi pemuda bernama Harnet berkerut, masih tidak mengerti alasan di balik perkenalan tiba-tiba dari seorang vampir yang belum lama ini hendak membunuh dan memerkosanya. Hal yang terakhir itu membuat wajahnya terasa memanas, sebagian disebabkan kemarahan, sebagian lagi karena malu.

"Boleh kutahu sebelumnya?" Vampir dengan nama Dragon – naga – membuka pertanyaan. "Apa yang kau lakukan di tepian hutan malam-malam begini?"

"Bukan urusanmu!" jepret si manusia dengan garang.

"Sikap kooperatif juga membantuku memberi keputusan yang menguntungkan untukmu lho, Nettie." Bibir Dragon menahan lengkungan senyum yang disebabkan oleh perubahan raut muka sang manusia ketika mendengar nama panggilan yang diberikannya.

"Pertama-tama, nama panggilanku Harry." Gigi pemuda itu mengertak geram. "Kedua, aku tidak memerlukan basa-basimu. Cepat katakan apa maumu!"

Terkekeh, Dragon yang terlihat terkesan oleh sikap si pemuda menjawab santai, "Baiklah, Harry. Pertama, apa yang menjadi keinginanku sudah jelas. Aku ingin darah dan tubuhmu." Kulit Harry memucat. "Kedua, aku mengajakmu bicara adalah bentuk itikad baikku untuk membuatmu memeroleh suatu pilihan."

Mata hijau Harry melebar sedikit tetapi penuh kewaspadaan. "Apa maksudmu?"

"Aku menawarkan sebuah perjanjian. Antara kau dan aku. Jika kau setuju, aku tidak akan mengambil nyawamu dan perempuan itu juga akan kulepaskan."

Setelah terdiam sejenak dan menimbang-nimbang, Harry mulai terlihat tertarik. "Jelaskan."

"Akan kujelaskan, tetapi tidak di sini. Aku tahu tempat yang lebih nyaman dari permukaan tanah hutan."

Pemuda tersebut langsung melotot dan tersentak hebat, seolah ada lonceng tanda bahaya berdentang ribut di dalam kepalanya. "Tidak, tidak, tidak! Jika kau mau bicara, lakukan di sini. Aku tidak akan sebodoh itu untuk bersedia pergi berdua saja dengan seorang pembunuh sekaligus pemerkosa ke tempat yang tidak aku kenal!"

Dragon menggetuk-getukkan sebelah kakinya dengan tidak sabar. "Ada tiga hal." Dia menyorongkan tiga jari paling tengah dari tangan kanannya ke depan muka Harry. "Pertama, aku tidak pernah memerkosa siapapun di tempat ini." Jari manisnya terlipat ke dalam telapak, meninggalkan dua jari lain. "Kedua, perempuan di sana itu pingsan dan tak bisa melakukan apa-apa, jadi secara teknis, kita sudah berdua saja sedari tadi." Hanya jari telunjuk yang tersisa. "Ketiga, aku jauh lebih kuat darimu. Jika mau, sekarang aku sudah memegangi dan memerkosamu. Buktinya, aku tidak melakukannya."

"Dengar ya, Tuan Vampir," Harry menyambar pedas, sama sekali tidak terlihat bahwa dirinya adalah pihak yang terdesak di sini. "Pertama, jika otakmu masih berfungsi dengan benar, maka kau akan ingat bahwa tidak sampai sepuluh menit yang lalu kau berusaha memerkosaku. Jika seandainya tadi aku tidak lepas dari trik kendali otak entah-apa-itu-namanya, maka pasti sekarang…" Pemuda berambut gelap itu menghela napas dengan sedikit tersendat.

"…Kedua," lanjutnya, "kau sama sekali tidak membantah dirimu adalah pembunuh, artinya kau mengakuinya. Bukan hanya gadis itu, tapi aku yakin kau juga bertanggung jawab akan kematian dua orang penyihir dan tiga orang Muggle lain. Mereka ditemukan terbunuh dengan tubuh kehabisan darah selama dua minggu terakhir di dua desa sebelah yang masih termasuk kawasan Great Hangleton. Jelas perbuatan vampir."

Dragon hanya diam saja. Hal tersebut memang benar adanya.

"Ketiga, kau benar. Kau jauh lebih kuat dariku. Oleh karenanya wahai Tuan Pembunuh dan Pemerkosa Potensial, sama sekali tidak ada alasan aku, tanpa senjata, percaya untuk mengikutimu ke 'tempat yang lebih nyaman'. Persetan dengan perjanjian atau apapun yang kau rencanakan! Jika kau memang mau bicara, lakukan di sini!"

Dragon menggeleng-geleng tidak percaya. "Kau benar-benar lupa kedudukanmu di sini, ya? Kau tawananku, kau ikuti caraku. Jika kau tidak setuju sebaiknya aku batalkan perjanjian yang kutawarkan dan aku akan melakukan apapun yang kumau. Kita mulai dari wanita itu. Akan kubunuh dia di depan matamu, lalu…"

"Baik!" hardik Harry, "aku setuju!" Wajahnya terlihat merana seperti baru menandatangani persetujuan akan hukuman mati dirinya sendiri.

"Aah, seorang martir. Sedang apa malaikat sepertimu berkeliaran di bumi dengan raga seorang manusia?" Seringai Dragon tidak pernah terlihat begitu lebar.

"Jika kau berbuat macam-macam…" Harry meremas-remas tangannya sendiri yang terlihat bergetar. "Jika kau sampai macam-macam…"

"Jangan khawatir." Nada suara Dragon terdengar seperti seseorang yang berusaha meyakinkan temannya, tetapi diiringi senyuman nakal. "Banyak hal 'macam-macam' yang ingin kuperbuat kepadamu." Setelahnya ia mengangkat dan memanggul tubuh Harry ke pundak kirinya hanya dengan sebelah tangan.

"TURUNKAN AKU!" Pemuda itu memekik-mekik, tangan dan kakinya bergerak ofensif, memukul-mukul dan menendang-nendang.

"Mr. Porter, ini bagian dari perjanjian bukan?" Telapak tangan si vampir menepuk-nepuk pelan bokong molek sang pemuda.

"Aku tidak pernah setuju digotong-gotong olehm- SINGKIRKAN TANGANMU!" Harry mulai menyesal akan persetujuannya dibawa pergi oleh si vampir berambut emas.

Langkah Dragon terarah kepada tubuh wanita muda yang dihantamnya dengan Stunning Spell. Harry, yang meskipun kepalanya tengah menghadap punggung Dragon menyadari ke mana tujuan sang vampir berjubah hitam.

"Apa yang…"

Dragon tidak menjawab. Langkahnya malah semakin cepat.

"Hei, kau sudah berjanji! Kau bilang akan melepas gadis itu!" Harry mendaratkan sejumlah pukulan ke punggung Dragon.

"Ya, di situ, lebih keras lagi. Kau punya tangan yang terampil memijat…"

"Jawab aku, brengsek! Apa ya- AH!" Kata-kata Harry terhenti saat Dragon menampar pantatnya.

"Harap tenang," katanya. Mencabut tongkatnya, Dragon mengarahkan ujungnya kepada gadis pingsan yang berjarak hanya beberapa meter darinya. "Obliviate."

Pelafalan jampi memori tersebut segera membungkam Harry dari segala dugaan.

"Aku memegang janjiku, Harry," tukas Dragon, "aku mungkin akan melepaskan mangsa, tetapi aku tidak ingin ada saksi mata."

Harry hanya memejamkan mata dalam kelegaan.

"Apa wanita pingsan itu temanmu?"

Kepala Harry di punggung Dragon terasa bergerak menggeleng. "Aku tahu dia, tetapi dia sama sekali bukan temanku." Ia berterus terang sekaligus berharap bahwa dengan tidak adanya hubungan apapun di antara dirinya dan gadis itu akan membuat si vampir meninggalkan si gadis dan tidak menggunakannya untuk mengancamnya lagi.

Sebuah senyuman terulas di bibir Dragon tanpa sepengetahuan Harry. Ia lalu berbalik ke arah yang berlawanan, kembali melewati pohon ek besar tempat pembunuhan terjadi malam ini. Dari punggung Dragon yang berbalik Harry dapat melihat sosok gadis yang masih tak sadarkan diri, Anette Pucey namanya dan juga akhirnya sekilas menyaksikan rupa dan kondisi tubuh tak bernyawa gadis yang Harry kenali sebagai Miranda Fynn. Harry memalingkan wajahnya agar tidak berlama-lama menyaksikan wajah teramat pucat dari jenazah Miranda.

"Accio tongkat Harnet Porter."

Sebatang kayu kurus terlontar dari rumpun pohon cemara – tongkat Harry. Secara mantap, Dragon menangkap tongkat tersebut dengan sebelah tangan.

"Kau tidak berpikir aku akan melupakan tongkatmu begitu saja, bukan? Nah, aku sudah menunjukkan salah satu niat baikku. Sekarang kau diam dan nikmati perjalanan kita, oke?" Ia kemudian mengantongi tongkat tadi di saku yang jauh dari jangkauan Harry.

Sepanjang perjalanan mereka berdua absen dari penggunaan kata-kata. Dibawa ke dalam hutan, Harry memandangi cahaya-cahaya penerangan dari desanya yang semakin memudar di balik dedaunan rimbun. Beginilah ia sekarang, tanpa senjata di tangan, tanpa saksi mata, berdua saja dengan seorang vampir yang sempat hendak memerkosanya menuju tempat yang entah di mana.

Tangan sang vampir yang tengah memegangi dan menyatukan kedua pahanya, nyaris menyentuh area yang lebih atas. Harry merinding. Bagaimana jika vampir ini belum menyerah dan memindahkannya ke tempat yang jauh dari pemukiman warga agar tidak ada yang mendengar teriakannya? Lagipula ia berhasil lepas dari kendali pikiran yang tadi dilakukan kepadanya… Bisa saja si vampir berniat memaksanya dengan jalan lain yang penuh kekerasan sehingga tidak mau memancing kehadiran pengganggu seribut apapun ia berteriak…

Debaran jantung meningkat drastis dan dengan kepala yang diposisikan lebih rendah dari pinggangnya serta bobot tubuh yang bertumpu pada perutnya, napasnya semakin berat dan sulit. Si vampir terdengar mengerang pelan.

"Apapun pikiran menegangkan yang ada di kepalamu, sebaiknya buang itu semua. Sudah cukup sulit bagiku untuk menahan diri dengan kehadiranmu, terlebih-lebih dengan tubuh menempel, detak jantung seriuh itu dan aroma darah yang menguat."

Harry menyentakkan tangannya dengan kesal. "Mudah bagimu bicara begitu! Bagaimana aku bisa tenang dibawa olehmu ke dalam hutan?"

"Percayalah padaku," jawab Dragon sembari menggesek-gesekkan pipi kirinya ke sisi bokong Harry.

Jika Harry berada di hadapan Dragon, maka ia pasti menyaksikan cengiran lebar di wajah pucat si vampir. Jika Dragon berada di hadapan Harry, maka ia pasti menyaksikan paras Harry ditelan kobaran warna merah.

"Kalau kau sampai berani macam-macam…" Buku-buku jari Harry memutih dalam kepalan.

Kepala sang vampir menggeleng-geleng tak percaya, membuat rambut emas pudarnya menyapu pinggang kurus Harry. "Kau masih berusaha mengancamku? Seingatku, Mr. Porter, kau tak bersenjata dan tenaga manusiamu jauh lebih inferior dariku. Kau tak punya hal yang bisa digunakan untuk mengancamku."

"Punya!" sambar pemuda berambut hitam. "Jika kau berani menyentuhku dan membunuhku, maka aku bersumpah aku akan jadi hantu lalu menggentayangimu seumur hidup!"

Tawa Dragon meledak. Manusia yang satu ini benar-benar menarik. "Sayangnya ada cacat besar dalam rencana balas dendammu itu. Jika aku memutuskan hanya untuk 'menyentuhmu' tetapi tidak membunuhmu, maka apa kau akan mengakhiri hidupmu sendiri? Lagipula jika kau jadi hantu dan menggentayangiku maka kau justru memanjakanku setiap saat dengan wajah manismu itu."

"Saat kau berani menyentuhku dan membiarkanku hidup setelahnya adalah saat di mana sisa hidupmu akan dipenuhi teror. Aku akan memburumu, Dragon Malvonian! Aku akan memburumu dan membuat perhitungan denganmu! Lalu aku akan memotong bagian tubuh yang telah menyentuhku dan ayo kita saksikan, apa kemampuan memulihkan dirimu bisa menumbuhkan bagian itu kembali!" serang Harry berapi-api. "Dan jika kau membunuhku, mari kita lihat, apa kau masih bisa bilang aku manis saat aku menggentayangimu dengan wajah pucat pasi, mata nyaris keluar dan mulut penuh sumpah serapah!"

Perjalanan pun diramaikan oleh ancaman dan gertakan dari Harry yang harus Dragon akui, beberapa di antaranya cukup mengesankan. Harry baru saja sampai pada bagian 'akan menusukkan pasak berkait ke dalam tenggorokan si vampir sial sampai menembus jantung hingga tersangkut lalu menariknya keluar' ketika Dragon akhirnya memotong kata-katanya.

"Kita sudah sampai." Ia lalu menurunkan si pemuda yang segera memandangi daerah sekitarnya dengan waspada dan tubuh sedikit oleng karena berusaha memeroleh kekuatan kakinya kembali.

Mereka telah jauh ke dalam hutan. Tidak sejauh yang dibayangkan Harry, tetapi jelas tak ada pemukiman manusia di sekitarnya. Di hadapannya terdapat tanah kosong yang dikelilingi pepohonan tinggi. Ia tidak pernah berada sejauh ini ke dalam hutan, tidak pula saat ia masih kanak-kanak. Daerah ini juga terlihat amat jarang dikunjungi manusia walaupun arena kosong di depannya terlihat begitu ganjil. Lengan kokoh sang vampir menyentuh punggung Harry, membuat pemuda itu hampir melompat kaget.

"Ayo," ajak Dragon dan Harry terpaksa menurut. Lari dari si vampir adalah tindakan gegabah, walau ikut dengan makhluk buas berwujud manusia itu juga merupakan hal yang sama gegabahnya.

Berdua mereka berjalan menuju tanah kosong dan sebelum Harry sempat berspekulasi, ia merasakan adanya barikade aliran sihir di mana ia dan Dragon tengah berjalan menembusnya. Sebuah gubuk kayu tua tiba-tiba saja berdiri di tanah kosong tersebut.

Harry mengerjap dalam pemahaman. Ward. Ada lapisan sihir pelindung menyelubungi rumah itu dan dibuat untuk menyembunyikan keberadaannya dari mata manusia. Setiap rumah penyihir umumnya dipasangi ward, tetapi jarang yang sampai menyembunyikan bentuk fisik bangunan itu sendiri.

"Aku baru saja mengundangmu melewati kubah sihir yang kupasang yang adalah satu-satunya cara untuk masuk ke dalam rumah ini. Jika kau adalah penyusup yang tidak kubawa masuk dan menerobos paksa, kau akan mendapatkan kejutan tidak menyenangkan. Yah, walau sebelumnya aku telah memasang beberapa mantra yang membuat orang-orang tidak berminat mendekati 'tanah kosong' ini. Tetapi setelah ini, kau dapat melihat keberadaan gubuk ini dari luar pelindung dan keluar masuk sesuka hati."

"Dan kau memberitahuku tentang ini karena?" Harry melirik Dragon dengan curiga. Ia terpaksa menyeret langkahnya karena tangan sang vampir yang masih menempel di punggungnya membimbingnya untuk menaiki anak tangga di depan pintu gubuk.

"Bagian dari perjanjian yang akan kubahas nanti," jawab Dragon ringan sambil memasang senyum. Ia membuka pintu gubuk. Menjentikkan tongkatnya, empat buah obor di masing-masing dinding menyala, begitupun dengan sebatang lilin besar di atas meja.

Gubuk itu tidak besar, area dalamnya sederhana. Jelas merupakan bangunan yang telah lama ditinggalkan dan dipakai Dragon sebagai tempat tinggal sementara, tetapi bagian dalamnya relatif bersih dari debu. Terdapat perabot-perabot usang yang sepertinya merupakan peninggalan pemilik aslinya.

Di depan pintu, pada pojok ruangan terdapat meja kayu persegi dengan tiga buah kursi. Di dinding sebelah kiri dari pintu terdapat sebuah perapian tanpa api berdekatan dengan sebuah tungku api yang tidak dinyalakan. Sebuah kuali kosong untuk meramu nampak siap di atas tungku. Terdapat tiga buah lemari tua berbeda ukuran, dua buah jendela dan sebuah pintu lain – mungkin kamar kecil. Pada sisi kanan nampaklah sebuah tempat tidur yang muat untuk satu hingga dua orang. Hal yang terakhir membuat Harry menolak melangkah masuk meskipun lengan Dragon memberi tekanan di punggung untuk memintanya maju.

Harry menggeleng. "Kita bicara di luar saja."

Sang vampir menggeram tidak sabar. Lengan kekarnya mendorong tubuh kurus pemuda itu ke tengah ruangan. Pemilik rambut segelap arang itu baru memeroleh keseimbangannya kembali saat ia mendengar pintu ditutup. Bunyi logam menjadi pertanda pintu dikunci.

Menoleh ke arah sang vampir yang berdiri di depan pintu, Harry menemukan pemuda pirang itu terlihat begitu dingin, tak memasang wajah ramah penuh senyum seperti saat mengajaknya ke gubuk. Ia terlihat kembali sepenuhnya ke dirinya pada awal mereka bertemu, saat ia mencoba memaksa Harry. Sepasang mata abu-abunya terlihat memancarkan kemilau samar keperakan.

Harry mengutuk kebodohannya sendiri. Tentu saja si vampir hanya berpura-pura mau menawarkan perjanjian. Dari awal dia ingin membawanya ke 'tempat yang lebih nyaman dari permukaan tanah hutan' lengkap dengan tempat tidur. Bagaimana bisa Harry tidak mengindahkan kenyataan bahwa vampir ini mengincar tubuhnya – selain darahnya? Mata batu giok segera mengawasi jendela. Ia akan berlari lalu melompat keluar dengan mendobrak daun jendela beserta kacanya jika seandainya vampir pirang itu berupaya mendesaknya.

"Tidak perlu melompat ke jendela," ujar Dragon, terlihat tengah mengurut dahinya dengan tangan kiri. "Sesaat tadi aku sulit menguasai diri karena aroma tubuhmu menjadi semakin tajam di dalam ruangan tertutup. Sekarang aku mampu mengontrol instingku."

Masih terlihat ragu, Harry memandangi sekitarnya, mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Sebuah peti kayu ceri dengan ornamen keperakan di atas meja menarik perhatiannya. Ukurannya sedang dan Harry berharap benda itu tidak terlalu berat untuk diangkat dan dihantamkan.

"Aku bisa dengan mudah menghancurkan peti itu jika kau berpikir untuk memukulku dengan itu." Lagi-lagi Dragon bisa memahami pikiran Harry. "Hanya karena kau berhasil memukulku dengan batu bukan berarti aku semudah itu untuk diserang. Waktu itu perhatianku tersita oleh aroma tubuh dan darahmu yang muncul tiba-tiba, tetapi saat ini aku tidak lengah sama sekali. Kayu ataupun batu akan remuk oleh terjanganku. Sebaiknya kau duduk dan kita bicara."

Melangkah mundur mendekati salah satu kursi, Harry duduk perlahan seraya mengawasi Dragon yang duduk di tepi ranjang. Jarak mereka tidak jauh, Dragon bisa dengan mudah melompat ke arahnya kapan saja tanpa bisa dihindari.

Dragon mengabaikan kesangsian yang begitu kentara di air muka Harry dan mulai bicara ke inti persoalan. "Baik. Kita akan membahas mengenai perjanjian."

Dalam ketegangan Harry memilin ujung kemejanya yang salah kancing. Pelipisnya dialiri sebutir jernih keringat dingin.

"Apa yang kau ketahui tentang vampir, Harry?"

Menggigit bibir bawahnya, Harry mengingat-ngingat hal yang ia tahu. "Vampir memiliki taring, pucat dan dingin seperti mayat. Mereka memiliki kekuatan dan kecepatan di atas kemampuan manusia. Sinar matahari mengganggu mereka, bahkan dapat mengakibatkan luka bakar serius. Mereka mengonsumsi darah baik hewan atau manusia dan dapat menginfeksi manusia untuk berubah menjadi seperti mereka lewat gigitan jika seandainya korban gigitan masih menyisakan darah di tubuhnya. Menurut sejarah, puluhan tahun yang lalu vampir bukan ancaman tetapi tiba-tiba, kira-kira tiga puluh tahun lalu hingga sekarang mereka menyerang dan memangsa manusia baik Muggle dan penyihir dengan serampangan."

Dragon mengangguk-angguk. "Sebagian besar memang benar, tetapi beberapa di antaranya adalah kesalahpahaman. Aku akan memberitahumu sedikit tentang kami." Mata abu-abunya tidak tertuju pada Harry melainkan memandang tembok di seberangnya seolah tengah menghimpun sesuatu.

"Mengenai penampilan fisik kami, ya, kau benar. Kami bertaring dan berkulit sedingin tubuh orang mati. Umumnya kami pucat dan terlihat seperti tidak memiliki pori-pori. Mengenai matahari… ada hal yang harus kau ketahui. Tidak semua vampir dapat terpengaruh sedemikian rupa akan matahari. Aku contohnya. Aku dapat berjalan di tengah matahari terik tanpa mengalami luka bakar. Bagiku sinar matahari memang tidak terasa menyenangkan di kulit, sedikit melemahkan kekuatanku, tetapi tidak memberikan rasa sakit yang teramat besar apalagi luka."

Harry terlihat tertarik. Ia mendapatkan informasi tentang vampir langsung dari salah satu kaum mereka.

"Terdapat jenis vampir yang berbeda. Ada kaum kami yang seperti istilah di antara kaummu sebagai Pureblood – Berdarah Murni, mereka adalah vampir yang terlahir sebagai vampir dan merupakan buah pernikahan antara vampir yang juga terlahir sebagai vampir, tidak terkontaminasi. Aku adalah vampir Berdarah Murni. Kami, para vampir Berdarah Murni, memiliki kekuatan yang teramat besar dibandingkan vampir yang lain. Kami tidak akan terluka bakar karena matahari, kami lebih cepat dan kuat, lebih cepat menyembuhkan diri, lebih mampu mengendalikan keinginan fisik.

"Golongan vampir yang lain adalah Madeblood – Berdarah Ciptaan. Mereka tidak terlahir sebagai vampir, mereka pada awalnya adalah makhluk lain, umumnya manusia. Saat digigit, jika darah mereka yang masih tersisa disuntikkan racun kami, maka mereka akan berubah menjadi vampir lainnya. Mereka lebih lemah dari kaum Darah Murni juga memiliki kontrol yang lebih lemah atas nafsu utama vampir dewasa, yaitu darah dan seks. Mereka lebih terpengaruh sinar matahari dan beberapa di antara mereka dapat mengalami luka bakar. Yang terakhir, Half-Blood - Berdarah Campuran. Mereka buah pernikahan dari vampir Berdarah Murni dan Berdarah Ciptaan. Kekuatan mereka berada di tengah-tengah. Sedangkan vampir Berdarah Ciptaan yang memiliki keturunan dengan sesamanya akan tetap menghasilkan peranakan yang sama dengan mereka.

"Banyak di antara kami yang terlahir dengan kekuatan sihir, terutama dari kalangan Berdarah Murni. Itu sebabnya aku bisa memiliki dan memakai ini." Dragon mengeluarkan tongkatnya sekilas lalu mengantonginya kembali. "Walaupun vampir yang awalnya adalah manusia penyihir juga banyak yang mampu mempertahankan sihirnya. Dan kami mampu mengonsumsi makanan dan minuman manusia, tetapi darah tetaplah yang paling pokok dan tak dapat tergantikan, juga kadang sulit untuk ditolak."

Setelah terdiam sebentar, Harry tidak tahan untuk tidak bertanya. "Apa maksudmu dengan racun yang disuntikkan?"

"Pengamatan bagus," puji Dragon. "Kami para vampir dapat memilih untuk memasukkan 'venom' pengubah ke dalam tubuh mangsa atau tidak. Jadi, walaupun mangsa masih hidup setelah digigit, mereka tidak akan berubah menjadi vampir. Akan tetapi kenyataan akan selalu ditemukannya korban vampir yang kehabisan darah – dikarenakan vampir lapar umumnya selalu menghabiskan hingga tetes darah terakhir - mungkin membuat manusia berspekulasi bahwa hanya perlu sisa darah untuk mengubah mereka."

"Dan kau menceritakan semua ini kepadaku karena?"

Seringai yang khas terbentuk di paras pualam Dragon. "Ini sedikit banyak akan menjelaskan perjanjian di antara kita."

Mata hijau cemerlang terlihat terbelalak. "K-kau… ingin aku memberikanmu darahku. Kau bisa mengambil darahku tanpa mengubahku… artinya kau bisa saja menjadikanku sapi perah!"

"'Sapi perah' adalah istilah yang buruk, Harry. Tetapi aku senang, kau cukup intelek untuk langsung mengetahui arah pembicaraan kita." Dragon menumpukan dua lengannya ke atas kasur sehingga bisa menopang tubuhnya dengan santai.

"Kenapa harus aku?" desis Harry yang nyaris menjadi penyerupaan sempurna dari desisan seekor ular.

"Aromamu, Harry," Dragon menjawab dengan begitu ringan seolah hal itu merupakan hal yang sejelas dan seawam fakta bahwa matahari itu terbit di pagi hari. Ia memejamkan mata sebentar dan menarik napas panjang penuh apresiasi akan keharuman sang manusia. "Vampir gemar minum darah manusia, ya, tetapi terdapat manusia-manusia tertentu yang memiliki aroma tubuh dan darah yang jauh lebih istimewa dibandingkan dengan yang lain. Para manusia itu membuat para vampir tergila-gila hingga akan melakukan banyak hal untuk memeroleh darah mereka. Jika manusia itu adalah seorang perawan, darah mereka akan lebih jernih di penciuman dan rasanya lebih segar, tetapi itu bukan hal yang terlalu utama. Aroma esensi asli jauh lebih penting." Dragon melirik Harry. "Walau itu jelas bukan masalah di sini."

Napas Harry tertahan. "Jadi… aku memiliki aroma tubuh dan darah yang menarik bagimu dan juga karena aku seorang… virgin – perawan, kau…"

"Ya, Harry. Kau salah satu dari para manusia yang memiliki aroma lebih menggoda dibanding manusia lainnya, setidaknya bagiku." Dragon menjilati bibirnya. "Ini perjanjian di antara kita. Kau memberikan darahmu kepadaku secara rutin maka aku tidak akan memburu manusia di kawasan Great Hangleton ini. Aku tidak takut sinar matahari, jadi kau tidak bisa menghindar dariku dengan memanfaatkan siang hari. Jika kau mencoba kabur, akan kubunuh lebih banyak penduduk di desamu."

"Dengan kata lain aku memang sapi perah bagimu," sembur Harry pedas.

"Sudah kubilang, istilah itu-"

"Tetapi bukankah memang benar begitulah peranku di perjanjian sial ini?" Mata hijau memantulkan cahaya api obor dengan sempurna, mewakili kemarahan yang meluap-luap. "Kau memanfaatkan para penduduk yang tidak bersalah dalam perjanjian ini untuk mengancamku dan memaksaku untuk tunduk! Kau juga merampas kebebasanku dengan melakukan rutinitas pemberian darah yang hanya akan menguntungkanmu!"

"Karena aku tahu seseorang yang berjiwa martir sepertimu akan berusaha melindungi dan menyelamatkan orang-orang. Kenekatanmu dan kegigihanmu untuk menyelamatkan orang yang bahkan bukan temanmu tadi telah menunjukkan cukup banyak kepadaku. Tidak ada yang lebih efektif dibandingkan memakai ancaman yang benar-benar kau takutkan, bukan?"

"Iblis," desis Harry.

Senyuman kembali tersungging di paras pucat Dragon. "Begitulah aku, Harry. Dan karena kau sudah tahu betapa iblisnya aku, maka sebaiknya sekarang kau lepas bajumu lalu duduk di pangkuanku. Aku menginginkan hal lain selain darahmu diikutsertakan ke dalam perjanjian kita."

Terlihat jauh lebih pucat dari Dragon, Harry berkata tergagap, "T-tapi k-kau bilang… D-darah perawan…"

"Aku bilang darah seorang perawan lebih jernih di hidung dan lebih segar, tetapi itu hanya berupa bonus kecil yang tidak terlalu penting. Mereka seperti makanan yang baru selesai dimasak, aromanya lebih jelas dan tajam, tetapi yang jauh lebih penting adalah inti dasar dari aroma dan rasa darah itu sendiri. Aromamu akan sedikit berubah tetapi akan tetap sangat menarik bagiku. Bukankah tadi aku sempat bilang bahwa darah dan seks adalah kebutuhan utama vampir dewasa?"

"Aku menolak!" Harry menggebrak meja.

Mengusap poni yang bergelayut di dahinya, sang vampir kembali memainkan kartunya. "Jadi kau tidak keberatan jika aku melakukan kunjungan malam ke beberapa rumah penduduk? Desamu bukan desa penyihir murni, Harry. Ada banyak Muggle tinggal di sana yang tidak punya kesempatan sama sekali untuk membela diri. Oh ya, jangan lupakan si gadis pingsan di hutan tadi. Mungkin ia masih belum sadar dan dengan kecepatanku dan Apparation bukan masalah untuk kembali ke tempat tadi dalam tempo singkat."

Tubuh Harry bergetar hebat. "K-kau memintaku untuk melacurkan diri kepadamu sebagai ganti keselamatan penduduk? Kau benar-benar makhluk rendah, pemerkosa biadab!"

"Selalu ada hal yang dipertaruhkan untuk kepedulian akan sesama, Harry. Yang mana yang akan kau pilih, nyawa penduduk yang mungkin adalah temanmu atau tubuhmu." Sang vampir menyeringai teramat lebar; deret giginya terlihat memantulkan penerangan layaknya mutiara. Sudah final. Pemuda di depannya pasti akan menyerah dan melayaninya malam ini. Darah nikmat dan tubuh hangat seorang manusia yang belum pernah disentuh siapapun… malam ini, dia adalah vampir paling beruntung di dunia.

Pemuda bermata zamrud itu seperti sedang memeluk dirinya sendiri. "Aku sudah punya kekasih…," bisiknya lirih.

Dragon pasti akan mengira pengakuan itu merupakan kebohongan dalam upaya menghindar dari tuntutannya jika ia tidak melihat bagaimana bola mata cantik nan basah tersebut memandang. "Kau kira dengan mengatakan begitu maka aku akan melepasmu begitu saja? Aku sudah cukup bermurah hati dari memaksa secara kasar menjadi menawarkan dengan halus, Harry."

"Kau boleh ambil darahku, tetapi jangan… jangan yang satu itu."

"Putuskan saja pacarmu itu," desak Dragon sembari bersedekap. "Lagipula kau laki-laki, dengan sedikit ramuan obat, semua bekasnya akan hilang dan tidak akan ada yang tahu."

Tangan Harry menyentak sedikit seolah hendak menampar Dragon namun ia mengurungkan niatnya. "Dasar egois! Semurah dan semudah itukah kau menilai kehormatanku? Kau kira jika aku setuju menyerahkan diriku padamu maka itu akan jauh lebih baik dari perkosaan? Tidak! Kau tetap adalah pemerkosa yang memaksa diriku untuk merendahkan diri dan bahkan membiarkanmu melakukannya! Jikalau semuanya terjadi, selamanya aku akan menanggung aib atas perbuatanmu! Aku tidak akan lagi mampu mengangkat kepalaku dan memandang wajah orang-orang yang berarti bagiku! Oh, mungkin pembicaraan tentang harga diri sama sekali tidak akan masuk ke otakmu yang isinya hanya pembunuhan, darah dan seks!"

Si vampir memandanginya dalam-dalam dengan dagu terangkat tinggi. Manusia muda ini amat mengesankannya. Tempramental memang. Juga naïf, polos, sekaligus kuat, bermoral, penuh keberanian, kebaikan dan berhati lembut. "Jangan bilang kau adalah salah satu dari orang melankolis yang menganggap bahwa saat pertama kali berhubungan adalah dengan orang yang tepat, dengan hati yang siap, di momen yang spesial dan segala tetek bengeknya, Harry."

Manusia menarik itu tidak membuang waktu untuk membalas, "Ya! Tidak ada yang salah dengan semua itu! Aku bangga menganut pandangan seperti itu! Aku menghargai diriku sendiri!"

Rahang sang vampir yang mengeras menjadi rileks, wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda keramahan seperti ketika mengajak Harry bicara di hutan. "Walaupun aku akan mengajarimu banyak hal yang bisa kau pelajari untuk menyenangkan kekasihmu?" Senyuman jahil yang cukup lama hilang kembali mampir di wajah runcing Dragon.

Harry tersentak seolah baru disembur dengan sesuatu yang najis. "Kau… menjijikkan!"

"Ayolah," bujuk Dragon, "dengan pengalaman, teknik dan kemampuanku aku bisa menunjukkan cara hebat untuk memanjakan gadismu itu. Aku bisa menjadi teladan yang baik untukmu." Ia lalu mengedipkan sebelah mata.

Harry terdiam sejenak. "B-bukan perempuan," Harry berkata gugup, "dia laki-laki."

"Impotensi," putus Dragon mendadak.

Harry mendelik. "M-maaf?"

"Pacarmu impotensi. Dari baumu aku tahu jelas bahwa dirimu benar-benar masih sepolos anak ingusan. Dengan tubuh seperti milikmu, aneh sekali jika dia tidak pernah berbuat macam-macam." Mata abu-abu pun menggerayangi tubuh pemuda berambut hitam.

Hening sesaat.

"Hei!" bentak Harry, wajahnya merah padam. Menyadari tatapan Dragon, pose duduknya menjadi defensif dengan kaki merapat dan tangan bersilang. "Tidak semua orang itu punya otak sekotor kau! Jangan samakan dia dengan dirimu!"

"Hmm," Dragon bersedekap, matanya seperti menerawang menembus langit-langit. "Anunya kecil kalau begitu. Mungkin dia malu menunjukkannya padamu. Memang 'sih, dengan lampu padam pun kamu pasti tetap bisa merasakannya, jadi dia tidak mau ambil resiko."

"Anunya tidak kecil!" tampik Harry panas, membela kekasihnya. Setelahnya ia terbelalak dan membekap mulutnya sendiri dengan keras, nyaris seperti tamparan.

Tawa Dragon pecah. "Wah wah wah! Kau tidak selugu dugaanku ya? Katakan, apa yang kau lihat? Sejauh apa kalian 'bermain'?" Untuk kedua kalinya, alis pirang tua mengibas naik turun dengan sugestif.

Wajah Harry lebih merah dari sebelumnya. Kali ini bahkan merambati lehernya. "T-tidak seperti itu! Keluarkan pikiranmu dari selokan!"

"Tapi kau bilang anunya tidak kecil dengan yakin seolah berdasarkan fakta," Dragon mengingatkan, "artinya kau memperhatikan apa yang ada di antara kedua kakinya itu atau melihat langsung dari balik celananya. Nakal kau, Harry. Apa diam-diam kau berfantasi tentang itu?"

"Hei!" Tangan Harry terkepal. Seandainya tongkatnya ada bersamanya, ia sudah melempar guna-guna kepada si vampir mesum. "Itu bukan mauku! Kami pernah berenang di sungai dengan baju lengkap. Pakaian basah memberikan cukup banyak informasi, kau tahu? Dan bukannya maksudku untuk melihatnya. Lagipula kami berdua laki-laki, tubuh kami sama, tak ada alasan bagiku untuk berfantasi tentang hal tersebut!"

Kedua siku sang vampir bertumpu di atas paha sehingga membuat badannya tertekuk tajam. "Kau baru saja memberiku ide. Berenang berdua denganmu tidak terdengar buruk. Aku jelas tidak keberatan jika kau 'memberiku banyak informasi'." Ia lalu mengirimkan senyuman bertaring ke arah Harry.

Berdecak sebal, pemuda itu menggumamkan sesuatu yang di telinga si vampir terdengar seperti 'kayak aku akan bersedia saja' kepada dirinya sendiri.

"Oh ya. Kau bilang punyanya tidak kecil, artinya kau membandingkannya dengan milik orang lain," simpul Dragon. "Jangan-jangan kau membandingkannya dengan milikmu sendiri?"

Pemuda itu hanya diam, tetapi kedua kakinya merapat. Cengiran lebar seolah membagi dua wajah Dragon. Manusia ini sangat menyenangkan untuk digoda dan kadang sangat mudah ditebak.

"Bagaimana kalau kau bandingkan milik pacarmu dengan punyaku?" tawar Dragon dengan penuh percaya diri. "Aku penasaran, sebesar apa 'sih anu pacar kesayanganmu itu?"

Raut muka pemuda bermata hijau tertekuk aneh, seolah ada yang sedang menyodorkan kotoran naga ke bawah hidungnya. "'Kami berdua laki-laki, tubuh kami sama'," ia mengulang kata-kata yang pernah dilontarkannya. "Aku saja tidak berminat berkhayal tentang tubuh pacarku sendiri, jadi kenapa pula aku mau melihat punyamu?"

"Aku pria dewasa yang telah berkembang sempurna," tandas pria muda berambut pirang tersebut, "apa kau tidak penasaran ingin melihat bagaimana milik seorang lelaki yang lebih dewasa darimu?" Lagi-lagi alisnya naik turun.

Di luar dugaan, Harry tidak bertambah merah. Ia hanya memutar bola matanya. "Dia juga lebih tua dariku, jelas sudah dewasa, jadi argumenmu tidak valid."

"Astaga!" seru Dragon, bahasa tubuhnya dilebih-lebihkan. "Kupikir masalah impotensi itu bukan sungguhan, tapi ternyata! Berapa umurnya? Delapan puluh? Sembilan puluh?"

Pemuda berambut hitam mengilat itu melotot. "Dia masih belasan tahun, terima kasih!" Semakin lama Harry semakin sebal.

Cengiran mewarnai rupa Dragon yang sudah putih pucat dengan kemilau putih gigi. Suasana yang tadinya berat di antara mereka terasa lebih ringan. "Tawaranku masih tersedia jika kau berminat untuk belajar cara melayani dan menyenangkan kekasihmu itu. Saat kalian melakukannya nanti, dengan bimbinganku kau pasti mampu membuat malam begitu eksplosif, kau akan mengguncang dunianya."

Mengerutkan hidung dengan jijik, Harry menggeleng kuat-kuat.

Memasang wajah sedih yang jelas dibuat-buat, Dragon menjatuhkan bahunya dengan lesu. "Aku tidak bisa mengubah pendirianmu, ya?"

Sedetik kemudian mata Harry berbinar saat menyadari maksud Dragon. Vampir itu mengubah pendiriannya terhadap tuntutannya akan seks dari Harry. "Hanya darahku. Hanya itu yang akan aku setujui."

"Baik!" Sang vampir berambut emas menepuk tangan keras sebanyak satu kali seolah telah menetapkan keputusan. "Perjanjian di antara kita telah ditetapkan. Kau akan memberikanku darahmu secara rutin. Untuk beberapa minggu pertama, kau akan datang kemari setiap malam. Setelah waktu yang kutentukan, jeda antara kunjungan akan kurenggangkan sesuai kebutuhanku. Perjanjian ini berlaku selama aku menetap di Great Hangleton."

Harry melotot. "Se-setiap malam?"

"Kompensasi akan tubuh molekmu yang lolos dariku," jawab Dragon mantap yang membuat Harry memutar matanya sekali lagi. "Kuharap kau ingat dengan baik rute yang kutempuh saat kemari tadi. Aku tidak ber-Apparate dan malah menggotongmu dengan alasan itu."

"Mengenai jarak dari rumahku kemari mungkin bisa kuusahakan, tetapi aku harus mengelabui Silias setiap malam untuk kabur diam-diam!" Muka Harry dipenuhi kepanikan hebat.

Dragon terlihat tertarik dengan nama yang tergelincir tidak sengaja dari mulut Harry. "Silias?"

"Ayah baptisku," terang Harry yang kelihatannya berusaha untuk tidak mengacak rambutnya sendiri yang sudah acak-acakan. "Aku tinggal bersamanya. Bisa mati aku diinterogasi olehnya kalau dia tahu aku menyelinap keluar malam-malam!"

Dragon hanya mengedikkan bahu. "Itu urusan dan masalahmu."

"Oh ya?" cecar Harry jengkel, "gara-gara siapa ya aku bisa terbelit masalah seperti ini?"

"Bukan salahku kau beraksi sebagai pahlawan tadi dan punya aroma yang begitu menggiurkan."

"Jika kau tidak membunuh wanita tadi dan berusaha menyerang yang lainnya maka aku tidak akan menghambur dan ikut campur!"

"Kau tidak bisa memprotes insting dasarku sebagai vampir, Harry." Mata abu-abu menatap manik seindah warna giok dalam-dalam. "Sekarang, aku menagih darahmu sebagai bagian dari perjanjian."

"Sekarang?" Tubuh Harry terasa lemas. "Tetapi kau baru saja membunuh dan menghisap habis darah seorang manusia..."

"… Yang beraroma darah jelek."

"Vampir pilih-pilih makanan?" tanya Harry heran.

"Pada umumnya tidak, walau jelas manusia dengan keharuman istimewa sepertimu sulit untuk ditolak. Dan," Dragon memotong dengan cepat saat Harry baru saja membuka mulut yang sepertinya akan mengatainya 'rakus', "aku memiliki kondisi khusus."

Lidah yang hendak meneriakkan 'rakus' segera melemparkan konten yang berbeda karena didera penasaran. "Yaitu?"

"Banyak manusia yang tidak tahu, tetapi penyebab perilaku begitu banyak vampir berubah selama tiga puluh tahun terakhir ada pemicunya. Dunia vampir tengah kacau. Terdapat intrik di kalangan vampir berkuasa dan para petinggi. Kaum-kaum, baik yang tinggi sampai yang lebih rendah terutama Madeblood ikut berulah di mana-mana. Di salah satu peristiwa pada awal-awal kekisruhan, aku dikutuk."

"Aku tidak heran ada yang mengutukmu gara-gara sikapmu itu," gumam Harry pelan kepada dirinya sendiri tetapi pendengaran peka Dragon mendengarnya.

"Intinya," tandas Dragon, tidak acuh pada kata-kata Harry, "karena kutukan itu seleraku akan darah menjadi… sulit. Darah manusia pada umumnya jadi begitu jelek, baik bau dan rasanya bagiku. Tetapi kau langka, kau begitu harum dan manis di penciumanku. Dan aku juga sering mengalami kesulitan mengontrol hasrat seksualku seperti kalangan Madeblood. Kurasa kau tahu sekarang kenapa aku sempat hampir memerkosamu dan begitu inginnya berhubungan denganmu."

Kening Harry mengernyit dalam ketidaknyamanan akan percakapan soal seks. "Uhm," sergah Harry, ia seperti sadar akan sesuatu di cerita Dragon barusan. "'Pada awal-awal kekisruhan'? Jika itu kira-kira tiga puluh tahun yang lalu maka berapa umurmu sekarang?"

"Empat puluh tujuh."

"Lihat siapa yang kakek-kakek!" cetus Harry, mengingat tuduhan impotensi dan tua renta yang dilontarkan Dragon pada kekasihnya.

"Apa aku terlihat seperti kakek-kakek?" Dragon melambaikan telapak tangannya ke sekujur fisiknya yang terlihat begitu bugar, muda dan tegap.

"Itu tidak mengubah kenyataan bahwa kau yang pantas menjadi ayahku dari segi umur berusaha meniduriku yang jauh lebih muda!" sungut Harry tidak percaya.

"Memang berapa umurmu?"

Harry menyandarkan badannya ke meja. "Sebentar lagi enam belas."

"Sedap," komentar Dragon yang membuat Harry berjengit geli dan mual.

Tiba-tiba saja Dragon mengeluarkan tongkatnya, membuat Harry tersentak dan secara reflek memasukkan tangan ke saku untuk mencabut tongkatnya yang tidak ada. Kekalutan Harry teralihkan oleh Dragon yang menyodorkan tangannya seperti mengajak bersalaman.

"Kita membuat sumpah akan perjanjian kita."

Mendelik kaget, Harry terbata-bata. "S-Sumpah Tak-Terlanggar?"

"Tidak seberat itu," tampik Dragon. "Ini hanya memastikan bahwa kau akan memenuhi tugasmu dan merahasiakannya. Jika gagal, maka akan ada kejutan tak menyenangkan siap menyambutmu." Seringai bertaring Dragon terlihat seperti wujud Boggart di mata Harry.

"Apa ganjaran yang kuterima jika… aku gagal?"

"Kusisakan itu sebagai kejutan."

"Mana mungkin aku setuju begitu saja dengan vampir mesum sepertimu tentang sesuatu yang tidak kuketahui pasti?" Harry nyaris histeris.

"Tenang saja, kau tidak akan menerimanya jika kau patuh pada tanggung jawabmu."

"Bagaimana jika ada kondisi tertentu?" tanya Harry berang. "Bagaimana jika aku sakit atau mendapat halangan? Lagipula kau meminta aku yang kemari, pasti akan banyak kesulitan yang kutemui. Kenapa pula bukan kau yang menemuiku agar lebih mudah?"

"Tiga puluh tahun aku tersiksa oleh kutukan, Harry. Aku ingin bersantai dan menikmati hidup sejenak. Pemuda manis bertubuh indah datang kepadaku membawakan makanan… Menawarkan diri…" Mata Dragon menerawang jauh, membuat Harry ingin menggamparkan kesadaran kepadanya.

"Tapi tenang saja," lanjut Dragon yang sudah kembali ke bumi. "Jika kau tidak secara sengaja tidak memenuhi tanggung jawabmu untuk memberikan darah, atau mengatakan tentang aku beserta perjanjian ini di luar kehendakmu atau dengan seizinku, maka hukuman tidak akan berlaku."

Pemuda berambut hitam memandangi tangan Dragon yang terulur dengan ragu. "Hukumannya," tuntut Harry, "aku ingin tahu hukumannya." Ia tidak mau mempertaruhkan hal yang riskan seperti sihirnya.

"Tidak berat," bilang Dragon dengan keceriaan yang mengkhawatirkan. "Jika kau gagal maka hukumannya adalah kau mendadak akan merasa pakaian adalah hal yang tidak menyenangkan dan lebih memilih tanpa mengenakan mereka, memamerkan tubuhmu kepada dunia."

"Bisa tidak 'sih otakmu lepas dari hal-hal porno sekali saja?" tanya Harry ngeri. Ia tidak mau menyambut tangan Dragon.

"Harry," sebut Dragon dengan rendah dan dalam. Matanya berkilat sekejap. "Ingat bahwa malam masih panjang bagiku untuk melakukan kunjungan keliling."

Mendadak Harry teringat kembali bahwa vampir riang yang tadi menggodanya dan banyak berkelakar ini adalah vampir yang sama dengan yang bertanggung jawab atas pembunuhan enam orang. Vampir yang dengan mudah dapat membunuh dirinya yang tidak bersenjata atau bahkan memerkosanya.

Mati-matian melawan kebimbangan, Harry akhirnya memutuskan untuk menyodorkan tangannya, membiarkan tangan dingin Dragon melingkupinya. Bulu roma Harry menegang atas kontak yang tercipta.

"Aku, Dragon Malvonian dan pemuda di hadapanku, Harnet Porter melakukan sebuah perjanjian," tutur Dragon sambil melambaikan tongkatnya di atas tangan yang terhubung. "Bahwa Harnet Porter akan memberikan darahnya untuk aku konsumsi secara berkala dan tidak lalai kecuali jika keadaan tidak mengizinkan atau dengan persetujuanku."

Debar jantung Harry bergemuruh cepat. Jika vampir ini mengajukan syarat yang di luar kesepakatan, ia akan menarik tangannya.

"Dan Harnet Porter memegang kerahasiaan atas kesepakatan ini juga mengenai keberadaanku dan rumah persembunyian ini kecuali atas izinku dan situasi di luar dugaan. Dan aku, Dragon Malvonian, tidak akan memburu manusia di kawasan Great Hangleton selama perjanjian ini berlangsung. Jika terdapat perubahan dalam perjanjian maka akan kami sepakati dan diputuskan olehku. Perjanjian ini berlangsung hingga aku melepas Harnet Porter dari tanggung jawabnya.

"Jikalau Harnet Porter gagal memenuhi tuntutan, maka jauhlah pakaian atau penutup apapun dari tubuhnya dalam tempo yang akan aku tentukan baik awal dan akhirnya. Bersediakah kau, Harnet Porter, memenuhi semua perjanjian ini?"

Kerongkongan Harry terasa kering. "Aku bersedia."

Bunga api meluncur dari ujung tongkat lalu mengitari tangan mereka berdua yang saling sentuh dengan begitu cepatnya.

Mata hijau membulat besar dalam kesadaran saat bunga api selesai memateraikan perjanjian. Tidak ada lanjutan setelah pernyataan setuju darinya. Tidak ada konsekuensi untuk Dragon seandainya ia melanggar kesepakatan. Juga tidak ada kepastian bahwa Dragon tidak akan berusaha mengambil keuntungan darinya…

Harry lantas menarik tangannya seolah ia disengat lebah dan membekap mulutnya sendiri. Ia lengah. Dragon sekarang punya kuasa atasnya tetapi ia tidak mendapatkan perlindungan apapun. Semuanya ditentukan oleh Dragon dan ia tidak bisa menolak. Ingin rasanya ia segera kabur dari tempat ini tetapi perjanjian telah terlanjur tersegel. Ia jatuh ke dalam perangkap vampir ini.

Sang vampir pirang terlihat puas dan tidak peduli akan ketakutan yang terpancar dari diri si pemuda. "Sekarang, berikan aku lehermu, Harry."

"Tidak," tolak Harry, "jangan di leherku." Pikirannya masih gamang.

Wajah bersudut tajam milik si vampir terlihat tidak senang. "Lehermu, Harry."

Menggeser bangkunya mundur, Harry berusaha menjauh dari Dragon. Membiarkan Dragon minum dari lehernya terasa begitu intim dan tidak nyaman. "Pergelangan tanganku. Kau meminum darah dari tubuhku, maka kita bermain dengan aturanku."

Berdecak, Dragon semakin tidak sabar. "Baik. Ulurkan tanganmu."

"Prosesnya…," Harry kembali menginterupsi. "Aku tahu kau akan menggigitku, tetapi bagaimana prosesnya… sebanyak apa darah yang akan kau ambil dan apa yang akan terjadi dengan diriku setelahnya."

"Tidak akan sampai tahap membahayakan nyawamu. Aku tahu bagaimana tubuh manusia bekerja dan sebanyak apa darah yang bisa kuambil tanpa membunuh. Air liurku akan membuat luka berhenti mengalirkan darah." Kemudian telunjuk Dragon terangkat, tepi kukunya tertuju pada peti kayu ceri di atas meja. "Aku ahli ramuan. Di sana terdapat berbotol-botol Ramuan Penambah-Darah. Aku akan memberimu satu setiap kali kau selesai memberiku darah. Setelah beristirahat sebentar dan ramuannya bekerja, kau akan pulih kembali. Setelahnya aku akan mengoleskan salep obat ke atas luka untuk menyembuhkan dan menghilangkan bekasnya."

Ia lalu memajukan tangannya ke depan dengan jemari bergerak-gerak tidak sabar, meminta tangan Harry. "Tanganmu, Harry."

Dengan jemari bergetar Harry menyingsingkan lengan kirinya lalu mengusap pelan kulit pergelangannya dengan ujung kemeja putihnya. Ketika menyerahkan lengannya kepada dinginnya rengkuhan Dragon, Harry bisa melihat nafsu berkobar di mata kelabu itu. Memejamkan mata, Harry menunggu rasa sakit yang akan segera menyerang.

Dua buah gigi tajam menyentuh kulitnya lalu melesak masuk menembus permukaan. Harry merintih. Digenggamnya tepi kemejanya erat-erat, kedua kakinya saling bertaut. Gemerisik darah yang berlarian dari pembuluhnya menuju luka untuk masuk ke dalam mulut dingin yang menghisap dengan berisik mendominasi telinganya. Terus dan terus…

"D-Dragon…," Harry melenguh, tubuhnya semakin melemas.

Tapi sang vampir bergeming. Tangan kiri Harry ditahannya dengan kokoh sementara Harry menopang bobot tubuhnya sepenuhnya ke tepi meja. Anggota tubuhnya kehilangan kekuatan, penglihatannya menggelap.

"D-Dragon…," bisik Harry parau. Napasnya melambat, paru-parunya berjuang keras untuk mempertahankan jalannya udara. Detak jantungnya melambat… terlalu lambat…

Mungkin seperti ini akhir hidup Harnet Porter yang lugu dan bodoh, batinnya pada dirinya sendiri. Tetapi ia mencoba menghimpun sisa tenaganya dan memusatkan kepada perangkat penghasil suaranya.

"DRAGON!"

Seperti pintu yang didobrak, mata sang vampir menjeblak terbuka. Hisapan dan tegukan terhenti. Darah yang mengalir di pergelangan Harry disapu oleh lidah sang vampir. Bersamaan dengan terhapusnya darah, luka gigitan sang vampir juga ikut terhenti alirannya namun tidak tertutup sempurna.

Tanpa energi, tubuh Harry segera ambruk yang langsung ditahan oleh Dragon. Di kesadarannya yang samar, pemuda itu merasakan dirinya dibopong dan dibaringkan ke atas tempat tidur. Panik dengan kemungkinan yang bisa terjadi, dengan lemah Harry berusaha meronta. Dalam keadaan seperti ini ia sama sekali tidak sanggup melawan Dragon jikalau vampir itu ingin berbuat macam-macam kepadanya.

Tak perlu susah payah bagi Dragon untuk mengatasi perlawanan Harry. Sebuah bantal empuk mengganjal kepala Harry dan Dragon menyentuhkan sesuatu ke bibirnya. Menjerit tertahan, Harry memalingkan wajahnya, berusaha menjauhi sentuhan asing tersebut.

"Minum, Harry."

Masih setengah sadar, Harry akhirnya menyadari bahwa apa yang disentuhkan ke bibirnya sama sekali bukan kulit ataupun bibir si vampir. Benda itu keras, kaku, bulat dan memiliki lubang yang menganga. Sebuah botol. Bau yang tercium dikenali Harry, mengindikasikan konten botol berupa Ramuan Penambah-Darah. Diteguknya pembawa jalan untuk bertahan hidup tersebut dengan semangat dan tenaga yang ia tidak tahu masih tersisa di tubuhnya.

Segera setelah cairan kental tersebut mencapai lambung, warna karamel dan kemerahan kembali membalut kulit Harry. Pandangan Harry mulai kembali fokus dan wajah si vampir masuk ke dalam jangkauannya. Vampir pirang itu duduk di tepi ranjang, memandanginya.

"Maaf," katanya, "aku terlalu… berlebihan. Aku kira aku bisa mengontrol diri, tetapi rasa dan aromamu terlalu memabukkan dan membuai… Aku meminum terlalu banyak dari yang seharusnya tetapi kau akan segera pulih. Istirahatlah dahulu. Aku tidak akan berbuat apapun kepadamu."

Mengangguk tanpa tenaga, Harry memejamkan mata dan tertidur beberapa saat. Saat matanya terbuka kembali, vampir berambut emas itu masih berada di posisi yang sama.

"Jadi," ucap Dragon, "apa sekarang kau mau mengatakan apa yang kau lakukan di tepi hutan malam ini?"

Meskipun masih lemas, Harry membuka mulutnya. "Aku bekerja di kedai makan milik keluarga temanku sepanjang liburan musim panas. Hari ini aku mendapat giliran tugas malam. Jalan di tepian hutan tadi adalah rute menuju rumahku. Lalu aku mendengar teriakan dan berlari ke arah suara. Di sana aku melihat kau tengah menghisap darah dari wanita pertama lalu aku mulai mencari senjata di sekitarku."

"Gegabah." Dragon menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dan kau terlalu patuh pada aturan sihir di bawah umur. Kau bisa melakukan banyak hal dengan tongkatmu jika kau mau melanggarnya. Benar-benar gegabah."

"Aku tahu," Harry menyetujui. Kehangatan telah memenuhi tubuhnya kembali dan ia mengangkat tubuhnya ke dalam posisi duduk. Tongkatnya segera menyambut di hadapan saat badannya menegak.

"Kukembalikan. Jika kau mencoba mencelakaiku dengan sihir maka kau akan gagal memenuhi perjanjian dan kau akan sepolos tubuh bayi baru lahir."

Darah yang telah kembali memenuhi Harry berhamburan di balik kulit pipi. Digenggamnya tongkatnya dengan lembut dan dimasukkan kembali ke saku tempatnya biasa berdiam.

"Hari esok pasti akan dipenuhi kegemparan atas perbuatanmu hari ini."

Menatap keluar jendela, sang vampir terdiam sejenak. "Ya, gadis itu pasti sudah sadar sekarang dan meskipun tanpa ingatan, kondisi temannya akan membuatnya mencari-cari pertolongan. Kurasa Hit Wizard ataupun para Auror akan datang esok seperti yang sudah-sudah di dua desa sebelumnya." Ia lalu mengeluarkan toples kecil dari kantongnya dan perlahan-lahan mengoleskan isinya yang berupa salep kepada luka di pergelangan tangan Harry.

"Mungkin tidak akan selama itu," sahut Harry, lukanya yang mulai lenyap terpantul pada bulatan matanya. "Ayah baptisku adalah Auror. Ia pasti sudah pulang dari Kementerian lewat Floo dan mungkin telah mendengar tentang peristiwa pembunuhan yang kau lakukan tadi."

"Ups," cetus Dragon, tetapi seringainya menunjukkan kegirangan. "Aku suka bermain kucing dan tikus dengan para Auror. Tapi biasanya akulah si kucing dan mereka adalah tikus yang mengira diri mereka kucing."

Harry hanya berdecak. "Kau ingat? Kau melibatkanku di dalamnya. Sekarang aku harus memeras otak untuk memenuhi perjanjian setiap malamnya sekalian mengelabui Silias."

"Semoga beruntung."

Pemuda berambut hitam itu nyaris tidak bisa menahan diri untuk melayangkan tinju untuk kali keduanya. "Jika kau sampai mencelakai Silias…"

Bangkit berdiri, vampir jangkung itu merapikan jubah hitam panjangnya. "Kau bilang kau tinggal dengannya bukan? Artinya dia adalah penduduk Great Hangleton. Ia tercakup dalam perlindungan perjanjian kita dan oleh karenanya aku akan berupaya menghindari konfrontasi dengannya."

Kali ini Harry yang mengucapkan, "Semoga beruntung."

Si vampir hanya tersenyum nakal. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang."

Membatalkan niatnya berdiri, Harry menengadah dengan bingung dan curiga. "Apa tujuanmu?"

"Kau pasti lelah. Lagipula mungkin ayah baptismu tersayang khawatir akan betapa terlambatnya kepulanganmu. Aku juga ingin mengetahui lokasi rumahmu. Mungkin suatu saat nanti hal tersebut akan membantu memuluskan perjanjian kita."

Harry membelalakkan mata jernihnya. "Kau… mau mengawasiku?"

Dragon menggeleng. "Aku tidak bilang begitu, tetapi mungkin aku akan melakukan ramah tamah ke rumahmu. Dan sebaiknya aku mempelajari letak kamar tidur dan kamar mandimu."

Rona merah merambat sampai ujung hidung Harry. "Kau…" Tetapi kata-katanya terpotong menjadi pekikan kaget ketika dalam sekejap tubuh Harry telah dibopong oleh kedua lengan Dragon.

"Kita berangkat."

Cengiran nakal Dragon tidak menyusut meskipun Harry mencecarnya dengan berbagai protes. Setelah membuka pintu, dia membawa manusia yang menarik perhatiannya tersebut menuju hutan. Ia memandangi wajah rupawan manusia muda tersebut dalam-dalam, masih tidak percaya dengan bagaimana jalannya peristiwa yang telah berlangsung di antara mereka malam ini. Harnet Porter adalah manusia pertama yang pernah lolos dari takdir maut yang telah digariskan seorang vampir bernama Dragon Malvonian.

"The Boy Who Lived," bisik Dragon, nyaris tidak terdengar.

"Hah?" Harry mengangkat kepalanya dengan mata hijau terpicing, berusaha menangkap kata-kata sang vampir bermata abu-abu.

Tertawa melodik, Dragon hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa."

Kemudian sosok mereka berdua menghilang ditelan bayangan pepohonan.


To be continued...


Author's Note:

Readers pasti bingung dengan nama-nama yang berbeda. Saya tegaskan kembali ini memang adalah fic Harry Potter. Tetapi penggunaan nama yang berbeda memiliki maksud dan pada akhir kisah nanti semua akan menjadi jelas. Fic ini sesungguhnya adalah one-shot yang dipanjangkan dan dipecah menjadi beberapa bagian karena saya merasa terlalu panjang untuk reader yang membutuhkan rehat. Waktu update akan tergantung mood saya untuk mengedit dan mungkin akan melakukan beberapa perubahan/ penambahan.

Dalam kisah ini, Harnet "Harry" Porter tidak memakai kacamata, oleh karenanya tidak ada penjabaran akan kacamata jika di antara pembaca sekalian ada yang menyadari.

Awalnya saya akan memakai Draconian Malfross untuk si 'Draco', tetapi saya akhirnya memilih Dragon Malvonian yang lebih sederhana.

Memang terdapat penjelasan panjang akan dunia vampir di fic ini, tetapi sayangnya fokus dan plot cerita tidak akan berkisar di sana atau tentang dunia vampir. Saya tidak dalam mood dan semangat untuk menuliskan sesuatu yang rumit dan panjang. Fic ini ceritanya jauh lebih sederhana, tetapi penjelasan tadi dibutuhkan agar cerita terasa lebih detil dan realistik.