Disclaimer : I own nothing. All cast in this fic belong to God and their self. Hanya fic ini yang murni punya saya, Jung Hyun Hyo ^^ Don't copy without permission, please!

Main cast : - Jung Yunho

- Kim (Jung) Jaejoong

Warning : Genderswitch, OOC, OC, AU, typo(s). So, if you DON'T LIKE, DON'T READ! NO BASHING!

.

.

.

Chapter 9 : Words

"Jaejoong masih tidak mau makan?" tanya Kangin. Nada suaranya pahit saat bertanya pada sang istri yang baru keluar dari kamar anak tengahnya. Leeteuk menggeleng dengan wajah pucat seraya mengangkat sebuah nampan berisi semangkuk bubur dan teh hangat yang tidak tersentuh.

"Kangin-ah…" sahut Leeteuk –suaranya serak. "Kau… harus minta maaf pada Jaejoong…"

"Tapi –"

"Aku mengerti semua rentetan kejadian ini terjadi bukan karena salahmu. Tapi, seandainya kau bisa mengendalikan amarahmu, mungkin… hiks… tidak akan seperti ini jadinya…" Lagi. Entah sudah keberapa kalinya yeoja paruh baya itu menangis dalam sehari. Mengusap lembut air mata yang bergulir dipipi sang istri, Kangin seolah tersadar. Ya, beberapa sumber masalah memang disebabkan olehnya, tepatnya oleh amarah yang tidak terkontrol. Seandainya ia tidak memukul Jaejoong malam itu, mungkin semua akan berbeda…

Tuhan, ia baru sadar bahwa ia bejat sekali! Ia memukul anak perempuannya sendiri, yang sudah menangis tidak berdaya, terlebih ia sedang hamil! Tidak heran mentalnya terguncang hebat!

"Arasseo." Respon Kangin singkat. Leeteuk mengerjap saat melihat suaminya masuk ke dalam kamar Jaejoong.

Kangin menelan ludah pahit saat melihat sosok sang anak. Ia belum pernah melihat Jaejoong menderita seperti itu dengan mata kepalanya sendiri –mungkin ini puncak dari segalanya. Kalau bukan Hangeng dan Heechul yang memaksa memasang infus dilengan Jaejoong, mungkin tubuh itu sekarang kurus dengan wajah yang tirus.

Baju Jaejoong sudah berbeda dari yang semalam ia lihat –pasti istrinya yang menggantinya. Rambut Jaejoong juga terlihat agak basah sementara badannya sendiri beraroma harum yang samar. Mungkin Leeteuk juga sekaligus memandikannya.

Melihat pandangan Jaejoong yang lurus ke depan, membuat Kangin berasumsi bahwa Jaejoong mungkin saja tidak menyadari kehadirannya. Mengepalkan tangan erat-erat dan memantapkan hati, Kangin lalu membuka mulutnya.

"Jaejoong…"

Dan reaksi Jaejoong benar-benar diluar dugaan.

Alih-alih menoleh atau tetap diam dengan pandangan lurus tak bergerak seperti dugaan Kangin, tubuh Jaejoong justru memperlihatkan reaksi yang… Kangin harap tidak akan pernah lagi ia lihat, sampai kapanpun. Mata doe Jaejoong terbelalak lebar, sementara kedua tangannya terangkat hingga sebatas kuping. Tubuhnya gemetar kecil.

Jaejoong takut padanya –ayah kandungnya sendiri.

Petir serasa menyambar persis di ubun-ubun Kangin. Kekagetan merambati setiap senti tubuhnya. Hatinya remuk melihat mata sang anak yang membola ketakutan hanya dengan mendengar suaranya. Belum lagi kedua tangan Jaejoong yang terangkat –seolah melindungi kepalanya saat akan dipukuli lagi. Suara Kangin menghilang ditelan kepedihan jiwa. Ia baru sadar, betapa banyak pukulan, hantaman, dan penderitaan yang dialami anak keduanya ini. Mentalnya begitu rapuh layaknya porselen.

Dan sekarang, putri yang kau besarkan dari kecil dan yang selalu kau banggakan, takut setengah mati hanya dengan mendengar suaramu. Ayah macam apa kau?

Kangin menggeleng-geleng. "Tidak. Aku… tidak bisa…" bisiknya perih. Ia tidak mau melihat betapa takut Jaejoong saat melihat dan mendengar suaranya… seolah-olah ia adalah seekor monster besar. Ia juga punya perasaan. Tidak. Cukup!

Mata Kangin basah saat ia mundur perlahan dari tempat tidur Jaejoong. Di dalam hatinya terus tergaung kata maaf, yang tidak bisa ia lontarkan sama sekali.

"Kangin-ah? Yeobo?!" sahut Leeteuk bingung saat suaminya keluar dari kamar Jaejoong dan turun dengan kaki yang disentak-sentakkan.

.

.

Gadis yang sudah resmi bermarga Jung itu masih tetap duduk diam ditempat tidurnya. Tidak bergerak barang seinci pun. Kibum menghela nafas –yang sudah miliaran kali ia lakukan sedari pagi sebelum berangkat sekolah. Ia menarik anak sofa kecil yang ada dikamar Jaejoong, lalu menariknya ke dekat tempat tidur sang kakak dan mendaratkan pantatnya. Hatinya meringis kecil melihat kantung infus Jaejoong yang sudah hampir kosong. Sang umma berkata bahwa itu adalah kantung infus ketiga yang dihabiskan Jaejoong. "Annyeong eonni!" sapa Kibum ceria, meski senyumnya tidak terlihat seperti senyum gembira.

"Apa kabar keponakanku yang hebat ini?" tanya Kibum sambil mengelus perut Jaejoong –masih mempertahankan nada suaranya yang ceria. Meski nyatanya bibirnya bergetar saat menanyakannya. Yang merespon hanya bayi dalam rahim kakaknya dengan sebuah tendangan, sementara Jaejoong sendiri tetap tidak merespon.

Tidak putus asa, Kibum berdiri dan menuju piano yang terletak di sudut kamar Jaejoong. "Eonni tahu tidak? Hari ini aku memainkan lagu kesukaan eonni di kelas Musik loh. Dan aku mendapatkan nilai paling tinggi! Eonni dengarkan aku main ya?!" tanya Kibum riang. Kali ini, ia gagal menyembunyikan sirat kegetiran dalam suaranya.

Kibum benar-benar rindu bermanja-manja dan mendapat limpahan kasih sayang dari kedua kakaknya. Ia anak bungsu, dan ketika Heechul dan Jaejoong menikah, semua kasih sayang itu mendadak lenyap. Saat-saat dimana ia bisa berkumpul lengkap dengan kedua kakaknya merupakan hal langka, dan hal itu terjadi justru saat Jaejoong sedang tertimpa musibah –membuat Kibum bingung, apakah harus merasa senang atau sedih.

Tanpa menunggu jawaban Jaejoong –yang mungkin tidak akan pernah ada, Kibum mulai menarikan kesepuluh jari lentiknya di atas piano klasik milik Jaejoong dan memainkan lagu indah itu. Kiss The Rain-nya Yiruma. Sebentar saja bermain, ia sudah terbuai begitu dalam dengan rangkaian indah melodi tersebut.

Kibum terus menekan tuts piano dengan penuh perasaan. Berharap nada-nada ini dapat menyampaikan rasa sayangnya kepada Jaejoong, berharap lagu manis ini dapat membawa perubahan saat didengar oleh Jaejoong, berharap instrumental ini bisa menenangkan Jaejoong.

Namun Tuhan masih mengujinya.

Tidak ada reaksi apapun yang ia harapkan dari Jaejoong. Kibum nyaris menangis meraung-raung. Seharusnya tidak seperti ini. Kiss The Rain dan River Flows In You dari Yiruma adalah dua lagu instrumental favorit seorang Kim Jaejoong. Kala mendengarkan atau memainkannya dengan sepenuh hati, ia bisa sampai berderai air mata. Menurutnya, kedua lagu tersebut adalah lagu paling menyentuh dibanding apapun dan cocok dimainkan dengan segala jenis alat musik. Jaejoong bisa mendengarkannya seharian penuh tanpa henti ditemani secangkir teh hangat lalu duduk di ceruk dekat jendela, hanya untuk melihat tetesan air hujan yang berlomba jatuh ke bumi.

"Eonni…" isak Kibum sedih. Matanya kembali meneteskan buliran air yang hangat –membuat Kibum membatin heran. Ia pikir air matanya terkuras habis karena sejak hari pertama keadaan Jaejoong yang seperti zombie ini, ia sudah menangis habis-habisan.

"Jae-eonni…" panggil Kibum. Langkahnya tersaruk menuju tempat tidur. Digenggamnya erat tangan Jaejoong dan tangisnya meledak. Seluruh beban dihatinya keluar begitu saja. "Eonni! Ini aku, eonni! Kim Kibum! Aku adikmu sendiri! Hiks… Katakan sesuatu, Jaejoong-eonni, kumohon! Aku bersumpah tidak akan ada yang akan memukulmu atau… hiks… menamparmu atau bahkan mencoba membunuh bayimu disini… hiks… Eonni harus percaya padaku…"

Untuk membuat semuanya lebih buruk, Jaejoong tidak bergeming. Wajah itu tetap sempurna –layaknya patung yang terbuat dari tanah lilin dan baru selesai dipahat. Emotionless –tanpa emosi.

"Eonni… hiks..."

.

.

.

2 weeks later…

" A-annyeong…"

Leeteuk menghela nafas saat ia membuka pintu dan mendapati sesosok laki-laki tinggi. "Yunho…"

Merasa dipanggil, namja itu mengangkat kepala, lalu kembali menundukkannya sopan. "Annyeong si-eomoni…"

Dalam diam, Leeteuk melebarkan daun pintu –menyilakan 'tamu'nya masuk. Menurut, Yunho melangkahkan kedua kakinya masuk ke kediaman mewah keluarga Kim. Keluarga ini memang tergolong keluarga yang berada, tidak heran pesona bling-bling kuat terpancar dari tiap perabot mahal yang ada dirumah ini.

Untuk pertama kalinya sejak Yunho masuk ke kehidupannya secara paksa, Kangin mendongak dan tersenyum lemah padanya. Yunho menahan nafas –ia betul-betul tidak percaya siapa yang baru saja melemparnya sebuah senyuman. Namja Jung tersebut nyaris mengucek mata untuk memastikan bahwa orang yang tengah duduk di single sofa itu adalah Kim Youngwoon. Mertua yang tidak pernah menerima kehadirannya dalam bentuk apapaun. Seorang laki-laki penuh wibawa yang selalu menatapnya berapi-api penuh dendam amarah karena menganggap Yunho sebagai salah seorang yang berusaha mempermalukannya dengan merusak anak gadisnya.

"S-si-abeoji, annyeong…" Sekali lagi Yunho menunduk sopan.

Alih-alih menjawabnya, Kangin justru berkata, "Jika kau benar-benar mencintainya… buktikan pada kami…" Yunho tercekat, sekali lagi nyaris tidak mengenali suara tersebut. Suara itu sama sekali berbeda saat membentak dan meneriakinya penuh amarah yang meluap nan menggebu. Itu suara… orang yang tidak mampu bangkit dari lembah keputusasaan.

Yunho tercenung. Keluarga ini jelas sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, hingga mereka memanggilnya kesini. Tak lama, ia mengangguk.

"Oppa, ikut aku." sahut sebuah suara memanggilnya. Yunho menoleh dan menemukan Kibum yang berdiri di dekat tangga dengan mata yang bengkak, merah, plus kantong mata yang mulai menghitam. Pemandangan yang sama ia temukan pada wajah kedua mertuanya. Namja Jung itu meringis dalam hati. Sepertinya semua orang betul-betul tidak tidur karena Jaejoong..

.

.

Keheningan menyelimuti Yunho dan Kibum yang menaiki tangga dalam diam. Kedua insan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yunho yang kalut, sedih, dan khawatir dengan keadaan istrinya, bercampur dengan perasaan senang karena akhirnya ia bisa melihat lagi sosok yang nyaris sempurna itu. Kibum yang kalut –bimbang apakah ia harus memberitahukan alasan sebenarnya pada Yunho mengapa Jaejoong bisa shock berat seperti itu. Ia yakin kakak iparnya ini sebenarnya penasaran, tapi berhubung keadaan juga sedang sulit, ia tidak berani bicara macam-macam. Apalagi, sebenarnya ini adalah sebuah kemajuan. Kalau jalan satu-satunya agar bisa mengembalikan Jaejoong seperti sedia kala adalah dengan mempertemukannya kembali dengan Yunho, maka sang ayah harus belajar untuk merelakan putrinya pergi untuk menjemput kebahagiannya sendiri.

DAN melihat pertemuan pertama mereka tanpa ada teriakan setelah pertengkaran hebat sebulan yang lalu, jelas ini sebuah kemajuan besar.

Sampai akhirnya kedua pasang kaki itu sampai di depan kamar Jaejoong, masih ada keheningan yang menggantung. Kibum berdeham sambil menyilangkan tangan di dada, "Tidakkah kau ingin menanyakan sesuatu?"

Yunho gelagapan sesaat. Ia mengusap leher, lalu bertanya, "Ah ya. Rasanya aku tidak melihat Heechul sama sekali. Dimana dia?"

Kibum menggeram dalam hati. Memangnya tidak ada hal lain yang bisa ditanyakan selain keberadaan Heechul? Meskipun begitu, ada setitik rasa senang dihati yeoja 'tengah' itu, menandakan bahwa Yunho perhatian pada keluarganya –walau sedikit. "Hee-eonni sudah pergi ke Jepang menemani suaminya seminggu lalu." Sebagai respon, Yunho mengangguk.

Kim Kibum lalu menarik nafas sambil menggenggam handle pintu kamar kakak keduanya. "Nah, masuklah," katanya. Pintu itu berayun terbuka dengan suara decitan kecil pada engselnya.

Dan tampaklah sebuah ruangan remang-remang dimana sumber cahayanya hanya berasal dari dua bedside lamp. Meski samar, namun Yunho bisa melihat secara jelas isi ruangan yang tergolong besar itu. Ia tersenyum saat matanya tertumbuk pada belasan foto dirinya dan Jaejoong yang terbingkai dan tersusun sangat rapi diatas meja. Apik.

"Eonni sangat mencintaimu, kau tahu oppa?" bisik Kibum pedih.

"Aku tahu. Aku sangat tahu," jawab Yunho singkat.

Kibum tersenyum, lalu ia berkata dengan nada getir yang kental didalamnya, "Aku turun oppa. Dan kumohon, dengan amat sangat, jangan kecewakan kami… Oppa satu-satunya harapan kami… Kalau tidak bisa…"

Kibum menggeleng.

.

.

.

"Boo…" bisik Yunho lirih seraya menutup pintu kamar perlahan. Takut mengagetkan seorang perempuan cantik yang tengah duduk diam seperti patung diatas tempat tidur. Tanpa ekspresi dan tidak bergerak sama sekali. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan dari boneka hidup itu –selain paru-parunya yang masih bekerja mengolah oksigen.

"Annyeong, Boo…" sapa Yunho lembut. Ia berjalan dengan perasaan campur aduk ke sisi tempat tidur spring bed Jaejoong. Di satu sisi, ia senang –setengah mati gembira saat ia bisa bertemu lagi dengan istrinya, meski dalam keadaan… seperti ini. Rasa penat dan gerah yang menempel di dirinya dari lokasi syuting seluruhnya hilang tidak berbekas melihat sosok seorang Kim Jaejoong. Di sisi lain, tidak bisa ia gambarkan seperti apa rasanya mengetahui orang yang ia cintai… tidak punya jiwa lagi.

"Boo… Yunnie duduk disamping Boo ya?" bergetar suara Yunho saat ia naik ke tempat tidur dan menyamankan diri disamping Jaejoong. Hatinya seolah ditusuk-tusuk kala Jaejoong masih tidak bereaksi saat ia menjulurkan lengan kiri dan merangkulnya. Bukan ini yang ia harapkan sama sekali. Yunho tidak pernah harus meminta izin jika ingin duduk disebelah istrinya. Heck, memangnya Jaejoong itu big boss? Yang selalu ia dapatkan setiap harinya adalah, persis ketika ia membuka pintu, Jaejoong akan selalu menoleh ke arahnya dan melemparkan senyum paling cantik yang pernah ada. Lalu Jung Jaejoong akan mengucapkan satu kata paling indah saat sosoknya masuk ke dalam kamar –namanya.

"Apa kabar, Joong-ie? Yunnie kangeeen sama Joong-ie ~ " Jemari Yunho mengelus pipi bulat Jaejoong yang begitu halus dengan perlahan. Ia benar-benar tidak ingin memperlakukan Jaejoong dengan kasar seperti yang sudah-sudah. Mata Yunho menghangat melihat Jaejoong tidak bergeming. Seharusnya tidak seperti ini… Jaejoong seharusnya tertawa malu mendengarnya, bukan tidak merespon sama sekali.

"Boo… Kim Jaejoong…" bisik Yunho penuh perasaan. Mencurahkan segala perasaan rindu dan kesepiannya. Ia dekatkan kepala Jaejoong, dan seketika, hidungnya mencium aroma yang begitu memabukkan dari surai coklat sang istri. Diciumnya lembut kepala Jaejoong, lalu ciumannya turun hingga ke pipi. Satu-satunya respon yang ia dapat hanya kedipan mata kosong. Panas dari mata Yunho menjalar hingga ke hidung –mendadak, ia merasa seperti sedang pilek.

Yunho menarik nafas dalam-dalam, lalu tanpa ia sadari, sebuah pertanyaan terlontar begitu saja. Pertanyaan yang membuatnya menyakiti diri sendiri. "Kenapa Boo diam? Boo enggak kangen ya, sama Yunnie?" Suaranya betul-betul bergetar sementara nafasnya sesak, membuat Yunho sendiri terkejut. Yunho tahu, yang menyuarakan itu barusan adalah hati kecilnya. Hati kecil yang hancur melihat belahan jiwanya tidak menjawab balik, bahwa ia juga merindukan sang suami. Hati kecil yang kehilangan harapan kala Jaejoong masih tetap memasang topengnya bahkan saat Yunho mengelus lembut tangannya.

Kepingan hati Yunho yang hancur jatuh ke jurang dan menjadi serpihan saat Yunho menautkan jemarinya dengan jemari Jaejoong. Pertahanannya runtuh. Dengan wajah memerah menahan siksaan batin, ditambah dengan air mata yang bergulir dipipinya, Yunho mengangkat tautan tangan tersebut dan menciumnya berkali-kali. Ia tatap lekat-lekat cincin pernikahannya dengan Jaejoong. Cartier putih yang berkilau lembut dibawah sinar lampu bedside. "Jaejoong…" Yunho terus mengulang nama itu di dalam hatinya. Ia begitu merindukan sentuhan hangat Jaejoong yang menenangkan dan menyejukkan jiwa. Tangan ramping dimana ketika ia mengelus wajah Yunho atau mengacak rambutnya dengan seulas senyum, selalu membuatnya yakin bahwa wanita ini akan terus bersamanya. Tetap setia disampingnya. Sampai kapanpun.

Tapi ternyata…

Dua detik kemudian, Yunho terperangah. Ia menangkap kilau sesuatu yang bening diwajah istrinya, dan ketika ia menoleh… wajah Jaejoong juga sudah berurai air mata. Bedanya, tetap tidak ada ekspresi apapun yang bisa Yunho baca, baik dari raut wajah ataupun dari sepasang mata doe itu. Tidak ada ekspresi kesedihan, kemarahan, ataupun kekecewaan yang tergambar disana. Hampa.

Yunho melepas tautan tangan dan memutar wajah Jaejoong untuk menghapus air matanya. Setetes air mata kembali lolos dari pelupuk mata Yunho saat matanya bertemu dengan mata coklat indah Jaejoong. Ia seperti sedang menatap ke cermin, bukan ke manusia yang masih hidup. Pantulannya tergambar nyaris sempurna disitu, namun tidak ada apa-apa lagi. Hanya itu. "Boo… Aku minta maaf, Kim Jaejoong… Aku benar-benar minta maaf… Jeongmal mianhaeyo… Kau boleh membenciku, Boo… Tapi kau tidak boleh seperti ini…" ucap Yunho lembut seraya menghapus sebulir air mata yang kembali turun dan menjejak dipipi Jaejoong. Namja itu meringis di dalam hati melihat kantong mata sang istri yang mulai menghitam.

"Boo… Katakan sesuatu… Aku tidak akan marah… Kau boleh bilang kau membenciku… Marahi aku, Boo, maki-maki aku… Jangan diam seperti ini… Aku tidak akan mengerti… Aku tidak mengerti dimana kesalahanku, Boo… Kumohon…" pinta Yunho sesaat setelah ia mencium dahi Jaejoong penuh kasih sayang. Ia benar-benar nyaris putus asa –tidak tahu harus berbuat apalagi untuk sekedar menggerakan hati Jaejoong agar mau berbicara, paling tidak kepadanya, Jung Yunho, suaminya sendiri.

Jaejoong tetap –dan masih– diam, membuat ruangan itu dilingkupi keheningan beberapa menit lamanya.

Berusaha tegar, Yunho menyenderkan kepala Jaejoong ke bahunya perlahan dan menjulurkan tangannya ke perut besar sang istri. "Boo… Apa kabar little Yunnie? Dia sehat kan?"

Persis saat kalimat itu terucap, mata Jaejoong melebar sepersekian detik. Sayang sekali Yunho tidak melihatnya karena terlalu sibuk mengelus perut Jaejoong. Yunho sendiri tidak mengerti kenapa tubuhnya melakukan hal ini. Padahal dulunya Yunho membenci anak yang meringkuk terlampau nyaman dirahim Jaejoong itu kan? Yang jelas, sekarang Yunho hanya ingin memastikan bahwa sang istri dan darah dagingnya ini, keturunannya, baik-baik saja. Entah kenapa. Mungkin inilah naluri seorang calon ayah. Meski anak itu adalah hasil perbuatan haram sekalipun.

"Hei, aegya. Kau sama sekali tidak menyusahkan umma kan? Appa benar-benar minta maaf pernah berlaku kasar padamu… Kau boleh membenci ayahmu ini, tapi kau tidak boleh melampiaskannya pada ibumu, arraseo?" Lagi, air mata bergulir jatuh dari ujung mata Jaejoong saat Yunho mencium dan mengelus perutnya –lembut dan penuh kasih sayang, untuk pertama kalinya. Bibirnya bergetar kecil ketika sang suami tertawa kecil saat bayinya menendang dari dalam, merespon perbuatan dan kata-katanya. Jaejoong bisa merasakan ada cinta disana.

Hatinya dilingkupi perasaan hangat yang aneh. Meski terasa ganjil, namun Jaejoong mencoba untuk menikmatinya. Disisi lain, ia mencoba untuk percaya.

Namja ini sudah berubah. Jung Yunho bukan sosok suami yang seperti monster lagi…

"Kau semakin kurus, Boo…" sahut Yunho miris seraya mengelus punggung tangan Jaejoong. "Kau sudah 2 hari tidak makan apapun kan, Boo?" Masih tidak ada jawaban dari Jaejoong –membuat Yunho sedikit terbiasa berbicara dengan angin lalu. Mau bagaimana lagi… Kondisi mental Jaejoong memang jauh lebih memprihatinkan, jauh lebih mengenaskan daripada kondisi fisik Jaejoong yang sekarang ini ia lihat. Dan Yunho harus bersabar.

"Boo tidak boleh seperti ini… Kau dan bayi kita bisa sakit, Boo… Aku tidak mau itu terjadi…" Tangan kiri Jaejoong membentuk kepalan tanpa Yunho sadari. "Makan ya, Boo? Tadi Kibum dan Heechul sudah membuatkan bubur untukmu…" bujuknya.

Lama tidak ada jawaban dari Jaejoong. Yunho serasa ingin menangis lagi. Walau nyatanya Jaejoong memang sedang 'sakit', namun ia tidak sanggup dianggap layaknya butiran debu yang menunggangi angin –tidak terlihat dan tidak terdengar. Ia tidak kuat melihat wajah Jaejoong yang datar tanpa ekspresi –seolah seluruh perasaannya pergi bersamaan dengan hatinya yang hancur.

"Boo… Makan ya?" bujuk Yunho lagi.

Dan keajaiban itu terjadi.

Jung Yunho melihat semuanya, dengan mata kepalanya sendiri. Matanya terbelalak lebar.

Jaejoong mengangguk lemah, menyetujui ucapan Yunho. Kontan, beban ratusan ton terangkat dari pundak Yunho –ia merasa tubuhnya lebih ringan. Tidak bisa menahan luapan kegembiraannya, Yunho tersenyum bahagia, sampai ia nyaris menangis lagi –karena terharu. Diciumnya lagi dahi Jaejoong, lembut dan lama. "Kau hebat, Boo! Aku sangat mencintaimu!"

Tubuh Jaejoong menerima kehadiran Yunho –seseorang yang benar-benar ia cintai, walau sulit pada awalnya. Merespon ungkapan cinta Yunho, Jaejoong meraba tangan besar sang suami dan menggenggamnya. Membuat Jung Yunho nyaris gila. Tangan itu hangat, lembut, dan punya efek menenangkan yang dahsyat. Menyiratkan perasaan rindu dan cintanya yang tidak bisa terungkap dengan kata-kata.

Sebelah tangan Yunho terjulur mengambil semangkuk bubur hangat yang disiapkan Kibum, lalu menyendoknya sedikit. Ia sodorkan sendok itu ke depan mulut pucat Jaejoong yang masih tertutup rapat. Ada sedikit rasa khawatir merayap dihati Yunho melihat Jaejoong diam seperti sedia kala. Ia takut ditolak lagi. Namun ketakutan itu sama sekali tidak terbukti. Yeoja bermarga Jung itu perlahan membuka mulutnya dan membiarkan Yunho memasukkan sesuap bubur. Yunho tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan rasa bahagianya begitu lidah Jaejoong mengemut makanan itu dan menelannya.

Sebuah ciuman lembut mendarat dipipi Jaejoong kala ia menelan setiap sendok bubur yang Yunho sodorkan. Dan lagi. Lagi. Membuat hati Jaejoong menghangat seutuhnya. Ia benar-benar ingin mengatakan sesuatu, namun pita suaranya yang tidak mengucapkan sebuah huruf pun selama nyaris dua minggu sama sekali tidak membantu. Ia seolah bisu –tidak mengerti bagaimana caranya bicara.

Sampai beberapa suap selanjutnya, semua baik-baik saja. Namun saat bubur dalam mangkuk hampir tersisa setengah, sesuatu mengaduk perut Jaejoong begitu kencang hingga yeoja itu terbungkuk memegangi perutnya. "Aaargghh…" erang Jaejoong tersiksa. Wajahnya seketika dibanjiri keringat dingin. Yunho yang panik reflek mengambil gelas kosong dan menaruhnya persis dibawah bibir Jaejoong. "Tidak apa, Boo! Muntahkan saja, itu asam lambung yang timbul karena perutmu kosong berjam-jam!" rentetnya kala melihat istrinya tergugu.

Semakin Jaejoong menekan perutnya karena ada rasa tidak nyaman yang timbul dari dalam, semakin naik asam lambungnya hingga akhirnya ia betul-betul memuntahkan semuanya –semua, termasuk apa yang baru saja masuk ke dalam lambung. Perutnya seolah benar-benar menolak makanan apapun karena bergantung pada kondisi mental Jaejoong.

"Minum ini Boo…" ujar Yunho menyodorkan secangkir teh hangat dari dalam termos. Patuh, Jaejoong membuka mulut dan meminumnya sementara Yunho mengambil gelas berisi isi perutnya.

Tangis Jaejoong pecah setelah minuman itu membasahi tenggorokan dan lambungnya yang kembali kosong. Kedua matanya terpejam sementara ia menangis tersedu-sedu. Yeoja itu akhirnya menampakkan ekspresinya yang pertama setelah 2 minggu –kesakitan sekaligus kesedihan. "Boo… Mana yang sakit?" tanya Yunho. Ia betul-betul merasa nelangsa melihat keadaan istrinya. Tidak bisa berbuat apapun karena Jaejoong terus menangis, Yunho memutuskan untuk menarik tubuh ringkih itu ke dalam sebuah pelukan hangat. Kali ini, ia percaya Jaejoong tidak akan menolak kontak dengannya.

Firasatnya benar. Jaejoong justru melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Yunho dan merebahkan kepala di dada tegap sang suami. Posisi yang sudah begitu lama tidak mereka lakukan. Rasanya seabad sudah berlalu semenjak mereka saling berpelukan seperti ini. Mencurahkan kasih sayang dengan saling menyalurkan kehangatan tubuh, merasa nyaman dengan mencium aroma tubuh masing-masing, merasa terlindungi kala saling membisikkan kata-kata cinta dan romantic satu sama lain.

Mata Yunho kembali basah. Kali ini, ia tidak sanggup menahan gemuruh hebat di dada. Ada perasaan senang dan sedih yang bercampur aduk, dan itu membuat perutnya mual. Bulan-bulan tanpa Jaejoong adalah siksaan sesungguhnya untuk seorang Jung Yunho. Meski awal dari semua bencana ini adalah dirinya sendiri, dan Yunho tidak memungkiri itu. Ia harus belajar untuk bertanggung jawab, paling tidak untuk kesalahan yang ia buat sendiri.

Dan saat ini, Yunho tengah berusaha.

Ia mengumpulkan retakan dan serpihan rumah tangganya yang hancur berantakan, dan mencoba menyatukannya lagi. Walau itu lebih sulit daripada mencari jarum ditumpukan jerami, karena ada begitu banyak hal yang harus ia benahi dari awal untuk membuat pecahan yang retak itu dapat terekat lagi satu sama lain.

"Hiks… Yunnie… Aku rindu…" Jaejoong menumpahkan seluruh air mata yang ia tahan selama 2 minggu. Ia luapkan semua perasaan yang ia pendam dengan meremas kaos Yunho. Tangisnya semakin kencang tatkala kata 'rindu' itu keluar, membuatnya tersedak-sedak.

Setetes air mata meluncur di hidung Yunho, jatuh di philtrum, lalu mendarat dikulit kepala saat Yunho mencium pucuk kepala Jaejoong. Darah Jaejoong berdesir. Bekas tetesan itu terasa hangat –entah kenapa. "Sssh… Yunnie juga rindu padamu, Boo… Aku nyaris sekarat tidak bisa menemukanmu disampingku tiap pagi…" Jawaban Yunho membuat Jaejoong mengeratkan pelukannya.

Oh Tuhan, andai Yunho tahu betapa Jaejoong juga sangat merindukannya…

Andai Yunho tahu bahwa Jaejoong betul-betul diambang batas kewarasannya karena tidak bisa mendengar suara yang begitu ia rindu…

"Aku takut…" bisik Jaejoong lirih. Saat ini, hanya untuk saat ini, ia pasrah. Hatinya tidak bisa berbohong walau ia menyangkalnya jutaan kali –bahwa ia ingin tetap seperti ini. Tetap dalam posisi seperti ini, tetap terbungkus kehangatan badan Yunho, tetap terlindungi oleh tangan besar Yunho, tetap merasa aman… Sampai kapanpun.

"Tidak apa-apa, Boo… Tidak apa-apa… Semua baik-baik saja… Aku disini…" ucap Yunho menenangkan.

Seperti inilah yang seharusnya terjadi. Terima kasih, Tuhan…

.

.

.

Yunho dan Jaejoong tidak tahu, bahwa persis didepan pintu kamar Jaejoong, ada seseorang yang juga sedang menangis tersedu-sedu. Kibum membekap mulut untuk mencegah tangisnya meledak hingga terdengar oleh sang kakak dan suaminya. Yeoja yang masih duduk di bangku SMA itu merasa… tidak terima. Ia bisa berada seharian dikamar Jaejoong, mencoba membujuk gadis tersebut untuk makan dan mengajaknya berbicara. Namun respon yang ia dapatkan hanya mata yang berkedip kosong.

Yunho baru berada dikamar itu selama kurang lebih 3 jam, tapi ia sudah bisa membuat Jaejoong makan, menangis, dan berbicara. Benar-benar kemajuan pesat. Hati Kibum benar-benar sakit. Seolah menandakan bahwa Jaejoong lebih percaya pada Yunho yang notabene 'bukan siapa-siapa' dibanding dia, adik kandungnya sendiri.

Tapi, ya sudahlah. Kibum mengusap ingus di philtrum -nya dengan punggung tangan.

Mencoba berbesar hati, ia akhirnya pergi dari depan kamar Jaejoong menuju kamarnya sendiri.

Kalau memang itu yang terbaik… Apa boleh buat…

.

.

.

TO BE CONTINUED

A/N : Hai hai hai semua /tebar bunga melati/

How are you today, eperibodeh? /nari hulahup/

Sewaktu nge-buka email, ternyata oh ternyata, masih banyak sekali orang-orang yang membaca FF yang sudah lumutan ini! Aku benar-benar terkejut, tidak percaya apakah ini benar apa adanya *ala sinetron!

Intinya, terimakasih banyak ya, untuk semua reviewer alias reader yang sudah mau memberikan saran dan komentarnya untuk kehidupan FF ini ^^ Hyo juga sangat berterimakasih sama silent reader yang gak memberikan komen apapun, tapi mem-follow atau mem-favorite-kan Hyo maupun cerita ini, yang membuat Hyo sadar ada orang yang membaca karya abal ini setelah berabad-abad ^^

Satu chapter gaje dari FF gaje ini selesai. Hasilnya sungguh gaje sekali, abisnya yang terror dan nagih update FF ini yeoja-yeoja rada gaje juga, apalagi aidafuwafuwa, gajenya sungguh tidak tertolong #plak! POKOKNYA MIANHAE KALO HASILNYA ANEH, KALIMAT DIATAS BUKAN UNTUK MENGEJEK READER YAA, JANGAN ADA YANG SALAH SANGKA KUMOHON UWOOO -_-

Hyo udah abis dikeroyok massa yang kebanyakan YJs karena membuat orangtuanya menderita. Jadi penderitaan Jung Jaejoong chapter kemarin cukup sampai sini deh ya, muehehe :'D

Tapi kedepannya masih banyak yang lebih parah loh! #digorengYJs #Crispy (?)

Dan mohon maaf kalau reviewnya gak ada yang Hyo bales. Abisnya yang komen di chapter terakhir kemaren itu banyak banget #speechless Tapi setiap komen dan saran yang masuk ke kotak review Hyo baca kok, jadi tenang saja ^^

Maaf ya, Hyo lagi stress gara-gara IP jeblok. Dari 3 koma (nyaris) 5, jadi 2 koma (nggak nyampe) 5. Huhu. Perih, jendral.

Pokoknya, silakan kirimkan komentar, kritikan, dan cucian (?) anda melalui tombol dibawah ini.

Salam gaul! Sampai jumpa!