A/N : Fic Multichap ke dua saya. Doakan semoga bagus dan pembaca suka. Oke, ini fic abal dengan genre romance dan pair ShikaTema pertama saya. Semoga memuaskan ya. Semoga tidak OOC juga. Note : Ibu Shikamaru namanya Marumi, ibu Temari namanya Karura.

Dengan ini, saya persembahkan~

Buku yang Mengubahku dan Temari #1

Naruto © Masashi Kishimoto

Story and Plot © Sapphire Namikaze

Pair : ShikamaruxTemari

.

.

Don't like? Hush! Hush! Don't read!

.

Ini sudah larut malam ketika Shikamaru sampai di mematikan mesin mobilnya, dan keluar dari mobil tersebut. Dengan langkah malas, ia menuju depan pintu rumahnya. Ia memegang kenop pintu dan membukanya. Sekilas ia melihat keadaan sekitar rumahnya yang gelap. Ia tak memperdulikannya. Segera saja ia menuju kamarnya—dan kamar Temari tentunya—, yang berada di samping ruang keluarga. Tapi, saat ia melewati ruang keluarga, ia melihat istrinya sedang menonton televisi—atau tepatnya tertidur di depan televisi. Shikamaru pun menyapanya, "Tema-chan,"

Temari pun terbangun, ia mengerjapkan matanya, dan melihat ada sosok sang suami di depannya. Muka Temari menjadi berubah, ia terlihat marah.

"Shika! Ke mana saja kau? Ku telepon tidak mengangkat, ku sms tidak membalas! Dan kenapa kau tidak pulang kemarin?" tanyanya langsung bertubi-tubi. Shikamaru hanya menghela napasnya, "Hah, sudah ku duga kau akan menanyakan ini. Hm, aku kemarin banyak pekerjaan—kau tahu kan, jabatanku baru naik. Jadi, tentu saja pekerjaanku pun bertambah,"

"Oh, ya? Kalau yang tadi siang itu namanya apa?" tanya Temari lagi. Shikamaru mengernyit, "Tadi siang?"

"Ya, ya, tadi siang di kedai bir. Jangan berpura-pura tidak tahu!" ujar Temari. Shikamaru hanya menghela napas—lagi, dan menjawab, "Oh,, itu, aku di ajak klien ke kedai bir. Ku pikir itu tidak masalah, karena aku hanya minum sedikit,"

"Bukan itu maksudku!" seru Temari. "Lalu, apa?" tanya Shikamaru malas.

"YANG SAAT KAU DUDUK MESRA BERSAMA WANITA LAIN, BODOH!" Temari meraung.

"Sstt, kau bisa membangunkan tetangga kalau begitu," ujar Shikamaru sabar. Tapi, Temari malah menangis. Shikamaru berusaha menjelaskannya, "Itu klienku. Katanya, bahunya pegal, jadi ia memintaku untuk me—"

"Memijitnya? Kau pikir aku buta, hah! Kau merangkulnya! Bukan memijitnya! Tega sekali kau semalaman tidak pulang dan malah bersama wanita itu! Apa jangan-jangan kau sudah—"

"Jangan berpikir aneh-aneh, Temari! Aku dan ia hanya punya hubungan kerabat kerja! Tidak lebih!" seru Shikamaru.

"Huh? Kenapa sekarang kau jadi marah? Harusnya aku yang marah!" kata Temari sambill menangis—dan marah.

"Itu karena kau tak pernah percaya padaku! Aku suamimu, seharusnya kau memper—"

"'Mempercayaimu', katamu? Oh, Shikamaru! Kau minta aku mempercayaimu, setelah kau selingkuh! Padahal usia pernikahan kita belum menginjak tiga bulan tapi kau sudah begitu!" seru Temari. Ia sekarang berjalan mengelilingi Shikamaru, pertanda kalau ia frustasi.

"Hei! Siapa yang bilang aku selingkuh! Aku hanya minum di kedai bersama—"

"Klien? Itukah yang disebut 'klien'? Ah! Aku tahu, itu adalah klien yang menjadi 'simpanan'mu kan?" ujar Temari lagi.

Shikamaru geram, ia berteriak, "CUKUP, TEMARI! Ini sudah malam dan kalau kau hanya berniat untuk menuduhku, lebih baik buang saja jauh jauh prasangka burukmu! Aku sudah lelah!" seru Shikamaru dan meninggalkan Temari yang menangis sendiri di ruang keluarga.

"Oke! Kalau itu maumu, Shikamaru, kita cerai sekarang!" seru Temari.

"Terserah! Perempuan memang merepotkan," ujar Shikamaru tak peduli.

.

Kini sudah tiga tahun setelah peristiwa itu. Secara status, mereka memang tidak bercerai, karena agama melarang perceraian. Tapi, tetap saja, dipikiran mereka masing-masing, mereka merasa kalau mereka sudah tidak ada hubungan lagi. Mereka memang masih tinggal satu rumah, tapi mereka tak pernah menghiraukan satu sama lain. Mencari uang masing-masing. Makan selalu sendiri-sendiri, mobil sendiri-sendiri, bahkan kamar pun sendiri-sendiri. Pantas saja sampai saat ini mereka belum punya anak. Mereka juga kerap bertengkar karena masalah kecil, seperti ketika dompet Temari hilang, dan Shikamaru menemukannya, Temari malah marah pada Shikamaru. Yang lebih parahnya lagi, mereka enggan memakai cincin kawin mereka! Mereka tampaknya telah memutuskan untuk bercerai—tapi tidak bisa.

Pagi ini, Shikamaru telah memakai pakaian rapi dan akan segera berangkat ke kantor. Lagi-lagi tanpa menghiraukan isterinya, Shikamaru pergi menaiki mobilnya. Setelah menempuh perjalanan selama tigapuluh menit, akhirnya ia sampai di perusahaanya. NUU Electronics Konoha, corp. itulah nama perusahaan shikamaru. Shikamaru menjabat sebagai Direktur gudang, yang tugasnya adalah menghitung jumlah barang yang ada di gudang, dan mengawasi pengiriman barang. Dengan langkah malas, ia memasuki lobby NUU. Saat ia akan menaiki lift, ia bertemu dengan rekan kerja sekaligus sahabatnya, Naruto Uzumaki.

"Shika! Baru datang?" sapa Naruto. Shikamaru membalas sapaannya, "Ya, aku baru saja sampai. Gimana kabar Hinata?"

"Dia selalu baik, Shika. Ngomong-ngomong, gimana keadaan Temari?" tanya Naruto. Shikamaru menggelengkan kepalanya, "Tidak tahu, dan tidak mau tahu," ujarnya. Naruto memukul bahu Shikamaru main-main, "Sebagai suami yang baik, harusnya kau tahu keadaan istrimu. Bukan malah tidak peduli,"

"Yah, yah, sudah ratusan kali kau bilang begitu padaku," kata Shikamaru malas.

"Bukan begitu, sebaiknya kau cepat-cepat baikan dengan Temari. Sebelum semua terlambat," saran Naruto.

"Apa maksudmu?" tanya Shikamaru penasaran.

"Yah, mungkin saja, ia sudah terpengaruh oleh lelaki lain. Kau tahu maksudku, kan?" kata Naruto.

"Temari tak mungkin seperti itu, Naruto! Kau tidak me—"

"Wahh, sepertinya ada yang sedang cemburu bila isterinya di rebut oleh lelaki lain. Hahaha," goda Naruto. Shikamaru terlihat kesal, "Huh, merepotkan," ujarnya, lalu berjalan lebih cepat dan meninggalkan Naruto.

"Hei, Shikamaru! Jangan marah begitu!" serunya, "Dasar tukang ngambek," ujar Naruto lalu menyusul rekannya itu.

.

Sementara itu, Temari sekarang sedang berada di ruang guru. Memang, pekerjaannya adalah seorang guru. Ia adalah guru pelajaran Fisika di Konoha International High School. Mengingat itu adalah sekolah internasional, gajinya sebagai seorang guru bisa dibilang cukup besar. Sekarang ia tengah memeriksa hasil ujian siswanya. Tiba-tiba, Tenten—rekan kerjanya yang sesama guru juga menghampirinya, "Temari-san," sapanya.

"Ah! Tenten-san, baru datang?" tanya Temari.

"Yah, seperti yang kau lihat," jawab Tenten.

"Hm, apa kabar, Tenten-san? Bagaimana juga kabar Neji-san?" tanya Temari berbasa basi.

"Ya, kami berdua baik. Bagaimana denganmu? Dan err—Shikamaru?" tanya Tenten hati-hati.

"Aku baik. Anak pemalas, pelit, dan tukang selingkuh itu? Cih, jangan harap aku mau mengurusinya."

"Kau kasar sekali. Tapi, eh? Shikamaru pelit?" tanya Tenten bingung.

"Ya! Anak itu pelit! Kau tahu, dulu, waktu aku belum bertengkar dengannya, aku hanya diberi uang belanja ¼ dari penghasilannya! Sudah penghasilannya pas-pasan, Cuma diberi seperempatnya lagi! Memang pelit! Sisanya? Entahlah digunakan untuk apa. Paling untuk berselingkuh," ujar Temari.

"Huh, kalau aku punya suami sepertimu, pasti aku ceraikan dari dulu, Temari-san," kata Tenten memprovokasi.

"Ya! Aku juga ingin menceraikannya! Tapi, berhubung ayahnya adalah Pendeta, yang menjunjung tinggi aturan dan larangan yang ada di kitab suci, jadi kami tidak bisa bercerai secara sah,"

"Hm, tapi, memang benar sih, dari cerita yang kutangkap darimu, kau sangat menderita hidup bersamanya," ujar Tenten lagi.

"Yah, begitulah kehidupanku. Aku menyesal memilihnya sebagai suamiku,"

"Kalau aku jadi kau, aku pasti akan minggat," kata Tenten.

"Tidak bisa sayangnya," ujar Temari lirih.

"Mengapa?" tanya Tenten.

"Aku tak tahu. Setahun lalu aku pernah coba, tapi ia menemukanku, dan memarah-marahi aku,"

"Dasar cowok sialan! Berani sekali ia melukai sahabatku!" ujar Tenten dan mengepalkan tangannya.

"Yah, sudahlah, yang jelas, aku akan menuruti katamu untuk tidak memaafkan Anak Pemalas itu," ujar Temari, "Sekarang aku ada kelas, aku pergi dulu, Tenten," lanjutnya.

"Hm, ya."

.

Pada malam harinya, sebelum Shikamaru pulang, ia bertemu lagi dengan Naruto, "Shika!" ujar Naruto.

"Aa..?"

"Mau pulang ya?" tanyanya.

"Ya, seperti yang kau lihat," jawab Shikamaru.

"Hm, aku punya ide untukmu, bagaimana kalau pulang nanti kau membeli bubur?" saran Naruto.

"Untuk apa?" tanya Shikamaru.

"Untuk isterimu lah," jawabnya.

"Huh, ngapain? Maaf ya, aku tak mau membuang uangku untuk hal begitu,"

"Kau memang pelit, Shika," ujar Naruto, "Sudah berapa tahun kan kau tak berbuat baik padanya? Cobalah, mungkin ini akan memperbaiki hubunganmu dengan Temari,"

"Yang jelas, aku tak mau membuang uangku untuk hal merepotkan begitu."

"Ya sudah, setidaknya saat kau pulang, kau menyapanya," ujar Naruto.

Shikamaru memang ingin memperbaiki hubungannya yang telah rusak selama tiga tahun belakangan ini. Tapi, ada perasaan gengsi juga terhadap isterinya. Karena isterinya tampaknya sudah tidak memperdulikan Shikamaru sama sekali.

"Hei—Shika! Jangan bengong!" ujar Naruto.

"Hm? Maaf, um, baiklah akan kupertimbangkan saranmu yang merepotkan itu," ujar Shikamaru.

"Hn, sebaiknya kau lakukan! Jangan sampai ada lelaki lain yang menarik perhatian Temari!" seru Naruto.

Shikamaru hanya menggumamkan kata 'merepotkan' setelah itu meninggalkan Naruto dan pulang.

.

Saat Shikamaru sampai rumah, ia terkejut karena Temari masih menonton padahal ini sudah jam duabelas malam. Teringatlah ucapan Naruto tentang menyapa isterinya. Akhirnya, Shikamaru memberanikan diri untuk memanggil Temari, "Temari, kau belum tidur?" tanya Shikamaru lembut.

Temari agak sedikit terkejut karena tiba-tiba suaminya menyapanya. Ini bisa dibilang keajaiban dunia ke delapan!

Temari awalnya ingin menoleh ke arah Shikamaru. Tetapi, kembali terlintas dipikirannya kata-kata Tenten bahwa Shikamaru itu pecundang dan sialan. Maka, ia mengeraskan hatinya dan tidak menghiraukan Shikamaru.

Shikamaru pasrah saja, lalu ia segera ke kamarnya, membersihkan dirinya dan mengganti bajunya, lalu tertidur pulas.

.

Keesokan paginya, ponsel Shikamaru berdering. Ia mengambil ponselnya dan melihat siapa penelpon itu. 'Ternyata Ayah.' pikir Shikamaru. Ia pun menekan tombol hijau pada ponselnya dan mulai berbicara, "Halo, Ayah?"

"Ah! Shikamaru! Ayah rindu padamu," ujar Shikaku dari sebrang sana.

"Aku juga rindu pada ayah. Bagaimana kabar ibu?" tanya Shikamaru.

"Hm, dia sangat baik. Oh ya, Shika, kau ingat sekarang tanggal berapa?" tanya Shikaku. Shikamaru buru-buru mendekati kalender, dan melihat tanggal yang di lingkari dan diberi tulisan, "Mom's B'day"

"Ah! Ayah! Hari ini ulang tahun ibu! Astaga, aku sampai lupa," kata Shikamaru sambil menepul dahinya.

"Nah, kalau begitu, kau datang ke sini ya. Bawa istrimu, jangan lupa." ujar Shikaku. Mendengar ucapan Ayahnya, Shikamaru kaget, "Hah?"

"Baiklah, Nak. Ayah tidak bisa berlama-lama menelponmu. Segera datang ya. Bawa istrimu, dan kado untuk ibumu. Kami akan menyiapkan makanan di sini. Sampai ketemu, Nak," ujar Shikaku. Belum sempat Shikamaru memprotes, ayahnya sudah memutuskan sambungan telepon.

"AH! MEREPOTKAN!" raung Shikamaru dan melempar ponselnya ke tempat tidurnya.

Shikamaru berpikir sejenak, 'Ah! Bagaimana caraku untuk mengajaknya? Padahal, saat ulang tahun ibu sebelumnya, ayah tidak memaksaku datang. Dasar merepotkan,'

Setelah mencari kata yang tepat untuk mengajak Temari, akhirnya Shikamaru memberanikan diri untuk keluar kamar dan menemui Temari. Untungnya, Temari sedang ada di ruang keluarga, jadi, Shikamaru tidak perlu repot-repot ke kamarnya.

Shikamaru mengambil napas panjang sebelum akhirnya memanggil Temari, "Temari?" ujarnya.

Temari tak menjawab. Shikamaru mencoba memanggilnya lagi, "Tema—"

"Cepat katakan maumu," ujarnya sinis.

"Um, aku hanya ingin mengajakmu ke rumah ayah, untuk merayakan hari ulangtahun ibuku. Kau siap-siap sekarang ya, kita berangkat setengah jam lagi," kata Shikamaru terburu-buru.

"Apa katamu? Mengajakku? Cih! Seenaknya saja!" kata Temari senewen.

"Itu harus, karena kau isteriku. Kau tak berhak menolak." Ujar Shikamaru.

"Ha? Apa aku tak salah dengar? Isterimu? Mimpi apa aku menjadi isterimu? Maaf saja ya, Tuan Pemalas, Pelit dan tukang selingkuh, aku sudah tak ada hubungan lagi denganmu,"

"Hm? Kita belum cerai! Kalau kau bilang begitu, berarti kau cerai secara sepihak! Orang tuaku tak setuju aku cerai!" ujar Shikamaru.

"Yeah, yeah, terserah!" bentak Temari dan meninggalkan Shikamaru. Shikamaru menghela napasnya lagi, dan ia segera bersiap-siap.

.

Selama di perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam untuk sampai ke kampung halaman Shikamaru, mereka berdua hanya terdiam. Temari sibuk dengan ponselnya dan Shikamaru sibuk dengan jalanan. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Hingga akhirnya, Shikamaru menguap lebar, dan membuat Temari berkata, "Iyuh, ditutup dong jorok!"

Shikamaru tak memperdulikannya, malah bicara topik lain, "Temari, selama berada di sana, bersikaplah seperti tidak terjadi apa-apa," pesan Shikamaru.

"Heh, untuk apa? Orang tuamu juga tahu kalau kau dan aku mau cerai,"

"Terserah," ujar Shikamaru. Dan mereka kembali diam.

.

Mereka akhirnya sampai di rumah ayah Shikamaru. Shikamaru dan Temari turun dari mobil. Udara segar langsung masuk ke indra penciuman mereka. Pemandangan yang asri dan enak dipandang pun menyegarkan penglihatan mereka. Shikamaru menguap keras ketika sampai di sana.

Ayah dan Ibunya langsung menyambut Shikamaru dan Temari ketika mereka baru datang. Shikaku memeluk dan menepuk punggung Shikamaru sedangkan ibunya—Marumi, memeluk Temari dan menanyakan kabar. Temari hanya tersenyum kecil melihat kelakuan mertuanya yang begitu protektif.

Setelah dipersilahkan masuk, mereka segera merayakan hari ulangtahun Marumi yang ke enam puluh dua. Setelah itu, mereka berbincang-bincang mulai dari kegiatan Shikaku dan Marumi di kampung, lalu Marumi yang melakukan tingkah konyol karena tak sabar menunggu kedatangan Shikamaru dan Temari, lalu berujung pada lelucon yang dibuat Shikaku. Mereka semua tampak tertawa senang.

"Hm, bagaimana rumah tangga kalian? Apakah Temari sudah 'isi'?" tanya Marumi kemudian. Shikamaru menundukan kepalanya, Temari pun demikian.

"Maaf, Ayah, Ibu, kami belum bisa memberikan anak. Kalian tahu kan, masalah kami?" ujar Shikamaru. Shikaku dan Marumi bertukar pandang, lalu Shikaku mengajak Shikamaru ke suatu tempat, "Shika, ayo ikut Ayah."

Shikamaru hanya menuruti apa kata ayahnya, ia pun mengikuti ke mana ayahnya membawa ia pergi. Ternyata, mereka pergi ke kamar Shikaku.

"Ada apa, Ayah?" tanya Shikamaru kemudian.

"Mengapa kau belum memperbaiki hubunganmu dengan Temari? Sudah ku bilang kan, kau harus berusaha, Shikamaru," ujar Shikaku to the point.

"Ayah, aku sudah mencobanya, tapi ia tidak mau menerimaku! Aku juga saat itu tidak selingkuh, tapi, ia terus berprasangka buruk. Sudah tiga tahun aku menderita, ayah!" ujar Shikamaru frustasi.

Shikaku mengela napasnya, "Berapa kali kau mencoba?" tanyanya.

Shikamaru kaget, ia menjawabnya dengan lirih, "Sekali, baru kemarin. Tapi ia tidak menghiraukanku," ujar Shikamaru.

"Kalau begitu lakukan terus! Kau juga harus berdoa pada Tuhan."

"Kau terus bilang begitu, Yah," jawab Shikamaru malas.

"Sudah berapa kali kau ke gereja dalam dua bulan ini?" tanya Shikaku.

"Belum pernah," jawabnya. Shikaku terlihat agak marah, tapi ia coba redam, "Bagaimana kau bisa memperbaiki hubunganmu, kalau kau tak pernah berdoa?" ujar Shikaku. Shikamaru hanya diam.

Shikaku pun membuka laci mejanya, mengeluarkan satu buku bersampul hitam, yang terlihat seperti diari. Shikaku pun memberikannya pada Shikamaru, "Shikamaru, ini," katanya dan menjejalkannya ke tangan Shikamaru, "Buku ini, berisi tentang cara Ayah dalam memperbaiki hubungan Ayah dengan Ibumu dulu. Kami juga pernah mengalami hal yang sama sepertimu. Pakailah ini sebagai pedomanmu selama sebulan kedepan. Lakukan apa yang diperintahkan di situ setiap hari, maka kau akan melihat hasilnya," ujar Shikaku.

"Terimakasih Ayah, kau sangat membantu," ujar Shikamaru.

"Satu lagi, kau harus melakukan semua yang ditulis, tidak peduli dengan keadaanmu," ujar Shikaku. Shikamaru mengangguk, dan menerimanya dengan senang.

.

Sementara di ruang tamu, Marumi bersama Temari sedang terlibat percakapan ringan, tapi cukup berat bagi Temari.

"Kau masih belum memaafkan Shikamaru?" tanya Marumi. Temari menggeleng lemah, "Maaf, Ibu, tapi, aku belum bisa melupakan kejadian saat ia selingkuh itu," ujar Temari.

"Tidak apa-apa kalau begitu. Tapi, satu hal yang mau aku beritahu, kalau kau janganlah melakukan hal yang sama dengan Shikamaru. Karena itu akan memperumit keadaanmu," kata Marumi.

"Baik, Ibu. Tapi, aku mau bercerita padamu. Shikamaru itu, tidak ada mesranya padaku sama sekali, Ibu. Ia selalu kasar padaku, tak pernah memperdulikanku kala aku sakit. Aku sangat kesal dengannya," ujar Temari.

"Ya, ia memang begitu. Asal kau tahu, dulu aku pernah lebih parah masalahnya dibandingkan kamu. Shikaku dulu selalu santai seenaknya dan tak memperdulikanku. Dulu, Shikaku adalah anak yang tidak peduli terhadap agama, seperti Shikamaru sekarang. Ia selalu berbuat seenaknya. Tapi, ia perlahan-lahan dapat mengubah sikap buruknya. Jadi, percayalah pada Shikamaru, pasti dia bisa berubah," kata Marumi menyemangati.

Temari tersenyum, "Terimakasih Ibu, aku akan coba bersabar," katanya. Tapi, di hatinya masih tersirat kebencian atas perlakuan Shikamaru tiga tahun lalu.

.

Shikamaru dan Shikaku pun kembali. Hari sudah semakin gelap, dan Shikamaru dan Temari pun memutuskan untuk pulang. Mereka pamit pada Shikaku dan Marumi, lalu meninggalkan kediaman orang tua mereka. Dijalan, suasana sama seperti ketika mereka berangkat. Tak ada pembicaraan yang menghiasi perjalanan mereka. Mereka hanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Ketika mereka sampai di rumah, mereka langsung menuju kamar masing-masing dan lagi-lagi tidak bicara satu kata pun. Tiba-tiba, Shikamaru teringat dengan buku pemberian ayahnya. Segera ia ambil dari sakunya, dan membaca halaman pertama.

'Mungkin, besok adalah hari untuk memperbaiki hubunganku dengan Temari. Baiklah, sesuai isi dari halaman pertama, besok aku harus…..'

~TO BE CONTINUE~

A/N : Akhirnya selesai chapter 1.. Ada yang tahu, cerita ini saya ambil darimana? Saya ambil dari sebuah film entah apa judulnya dan entah siapa pengarangnya. Haha.. Saya ubah sedikit, tapi, kelihatannya gak ada perubahan ya? Ini mirip sama film itu-_-

Huah, baiklah, semakin banyak review, makin cepat update!

Saya tunggu review yang membuat saya semangat,

Maaf kalau fic ini ada unsure SARA sedikit. Gak akan terlalu berpengaruh kok.

Yasud, review ya?

Cheerio,

Sapphire Namikaze