Autumn In My Heart

by AishaMath

Summary :

Di waktu sore yang hangat itu Sakura percaya bahwa Tuhan selalu mendengar doanya.

.

.

.

"...namun, aku tegaskan sebelumnya bahwa tim dokter dari RS Haruno hanya bertindak sebagai konsultan resep obat dan pengujiannya. Hal-hal diluar bidang kerja kami seperti membantu "promosi" obat ke pasien dan sebagainya tidak akan kami lakukan. Kami akan tetap memberikan pelayanan yang baik kepada pasien-pasien kami." Dokter muda bersurai merah muda itu mengakhiri perkataannya. Cukup membuat beberapa klien di depannya mengagumi ketegasan tersebut.

Pemuda berambut raven di depannya yang merupakan presiden direktur bidang Industri Uchiha Corporation itu sedikit menyeringai. "Tim Dokter tidak perlu khawatir. Uchiha Corporation sangat menjaga keprofesionalisme dalam bekerja. Hal-hal seperti menyuap klien, memberikan sponsor lebih untuk menyuburkan produk kami, atau pun sejenisnya yang melanggar kode etik kedokteran tidak akan kami lakukan. Jadi, cukup bekerja sesuai profesi anda dalam kerjasama ini." kata pemuda itu meyakinkan. Membuat klien mereka yakin untuk bekerjasama dengan perusahaan raksasa tersebut. Satu jam kemudian, penghuni meja bundar dalam ruangan itu keluar. Menandakan meeting telah selesai.

"Kakkoiii, Sasuke-kuuun!" bisik Mikoto pada anaknya. "Mereka percaya pada kita berkat dirimu," matanya berbinar-binar.

"Hn? Aku kan hanya melakukan yang harusnya kulakukan, Ibu."

"Iya Ibu tahu, tapi yang tadi keren sekali!"

Mendengar pujian itu, pemuda bernama Sasuke itu hanya tersenyum.

"Sasuke-kun," Mikoto menyikutkan lengannya pada Sasuke.

"Hn,"

"Ajak dokter Sakura makan siang bersama dong!" bisik ibunya, sambil melirik dokter Sakura yang tengah bersiap-siap pulang.

"A-apa?" wajah Sasuke blushing.

"Ayo cepaat!"

"Kalau ibu mau ya ibu saja yang mengajaknya,"

"Iiihh! Kau ini! Cepat sana, ini permintaan ibu!"

Sasuke menghela napas. Sedikit gerogi namun kakinya perlahan mendekati dokter muda itu, "Sakura, setelah ini kau ada agenda?"

"Tidak. Ada apa?"

"Ibuku mengajakmu makan siang, kau bersedia?"

Sakura melihat Mikoto yang malu-malu, kemudian tersenyum. "Boleh saja kalau tidak merepotkan,"

"Hn,"

Selama perjalanan Mikoto sangat antusias pada Sakura. Ia menanyakan ini dan itu meskipun Sasuke berkali-kali memberikan kode 'jangan bertanya macam-macam' melalui matanya. Sehingga tidak heran dalam waktu 30 menit mereka layaknya dua orang yang sudah kenal begitu lama. Mobil mereka berhenti di sebuah restoran tradisional jepang.

"Baiklah kalian mau pesan apa?" tanya Mikoto pada dua anak muda serasi di depannya.

"Takoyaki,"

"Eh?" Sakura dan Sasuke saling menoleh. Kemudian tertawa karena serempak mengatakan pesanan mereka.

"Ya ampun... kompak sekali!" seru Mikoto senang. Tidak lama kemudian Fugaku menyusul dan mereka berempat persis double date.

" Sakura-chan, masakan kesukaanmu apa?" tanya Mikoto.

"Takoyaki, Bu." jawab Sakura kalem.

"Araa! Sama dengan Sasuke-kun kalau begitu. Kalian serasi sekali," perkataan terakhir itu jelas untuk memprovokasi keduanya. Mata Sasuke kembali memberi kode ke ibunya. Yang diberi kode malah mengerling senang.

"Dokter Sakura, kalau boleh tahu kau sudah menikah?" pertanyaan Fugaku membuat kegiatan makan ketiga orang yang lain berhenti.

Sakura tersenyum miris, "Belum, Fugaku-sama."

Sasuke melirik Sakura cepat-cepat, takut gadis itu kembali terbayang kematian calon suaminya, Gaara.

"Haha, begitu. Sama seperti Sasuke. Aku bahkan berinisiatif menjodohkannya karena dia jomblo terus," wajah Fugaku sedikit meledek.

Sakura terkekeh kecil. Meskipun jantungnya sedikit berdebar mendengan perjodohan Sasuke.

"Bagaimana ini, Sasuke? Tidak mau menyerahkan masalah ini pada Ayah?"

Sasuke terdiam. "Sial! Kenapa pembicaraannya jadi seperti ini?"

"Tidak! Aku bisa mengurus sendiri," Sasuke kembali melahap takoyakinya. "Lagi pula cepat atau lambat menikahnya seseorang tidak menjamin rumah tangganya akan awet,"

Sakura menoleh. "Bijaksana sekali!"

"Ayah, lihat putra kita! Dia berjuang keras meskipun kejombloannya sudah akut. Hahhaha!" tawa Mikoto diikuti Fugaku dan Sakura. Sasuke menghela napas.

"Selamat berjuang ya, Putraku! Semoga masih ada yang mau dengan dirimu yang perjaka tua itu!" derai tawa kembali menggelegak. Tidak peduli dengan wajah Sasuke yang sudah semerah tomat.

"Ngomong-ngomong aku juga jomblo. Aku jadi tersipu," Sakura menahan perutnya yang sakit karena tertawa.

"Dengar itu, Ibu!" Sasuke menyeringai.

"Ups! Ibu tidak bermaksud meledek Sakura-chan kok. Ibu hanya ingin mengganggu Sasuke. Gomen ne, Sakura-chan!"

"Aku mengerti. Daijobu dayo," Sakura tersenyum.

"HA!" bagai kerasukan setan, Mikoto berseru hingga mengagetkan teman makannya.

"Sasuke-kun, kenapa kau tidak melamar Sakura-chan saja? Yah... itu pun kalau Sakura-chan mau padamu. Hahhaha!" Mikoto dan Fugaku serempak tertawa.

"Ibu!" seru Sasuke cepat. "Bercanda mereka keterlaluan!" Sasuke menggigit bibir bawahnya dan melirik Sakura yang wajahnya memerah.

"Suminasai," bisik Sasuke pada Sakura.

"Daijobu," balas Sakura tersenyum.

Tanpa terasa pembicaraan seru itu berakhir di petang hari. Gelak tawa mulai berhenti. Sasuke mengantar Sakura pulang dengan segudang rasa malu.

"Maafkan Ayah dan Ibuku. Terkadang mereka bercanda sedikit keterlaluan," kata Sasuke. Tatapannya tetap fokus ke depan.

"Tidak apa-apa. Selera humor mereka lumayan juga,"

"Mereka suka sekali membullyku karena status," nada Sasuke tampak dongkol.

Sakura tertawa kecil. Kemudian ragu-ragu bertanya, "B-benarkah mereka akan menjodohkanmu?" nada itu sedikit khawatir kalau dihayati.

"Hn. Ayah pernah mengamcamku seperti itu. Tapi aku bersikeras menolak,"

"Yokatta..." lirih Sakura dalam hati. Sebenarnya ia tidak bisa memungkiri bahwa ia senang ketika Mikoto memprovokasi Sasuke untuk melamarnya tadi. Meskipun itu hanya sekedar gurauan.

Mobil Sasuke masuk ke halaman keluarga Haruno. Di sana terlihat sepi, namun dokter Haruno sepertinya pulang cepat karena terlihat sedang duduk di teras rumah.

"Terima kasih karena sudah mengundangku makan siang dan mengantarku,"

"Hn. Sama-sama,"

Setelah berpamitan dan mengobrol sebentar dengan Tuan Haruno, Sasuke pamit pulang. Belum lama tiba dirumahnya, ia disambar kembali oleh ibunya dengan beribu-ribu pertanyaan.

"Kau sudah mengantarnya?" tanya Mikoto.

"Hn,"

"Hah... padahal ibu harap kau berada di sama lebih lama,"

Mata Sasuke memicing. "Ibu, jangan membicarakan hal yang aneh-aneh lagi. Kumohon. Apalagi pembicaraan seperti siang tadi, aku tidak ingin mendengarnya." Sasuke langsung beranjak ke kamarnya.

Mikoto hanya terdiam sambil menatap punggung Sasuke. "Ya ampun, dia dingin sekali sih!". Tidak kehabisan energi, Mikoto membututi Sasuke hingga ke kamarnya.

"Sasuke-kun, maafkan ibu." Mikoto duduk di ranjangnya anaknya.

"Itu yang terakhir. Aku tidak ingin mendengarnya lagi," kata Sasuke sambil melepas kemejanya.

Mikoto terdiam sebentar sambil meremas tangannya. "Sa-Sasuke-kun, sebenarnya ibu... ingin menjodohkanmu dengan Sakura-chan."

CETAR!

Bagaikan disambar petir di petang hari, Sasuke mematung. Kemudian dengan cepat menoleh pada ibunya, "Tidak!"

"Eh? K-kenapa? Dia kan gadis yang ba−"

"−Tidak bu! Aku tidak akan pernah melakukan itu!" Sasuke terlihat emosi. Meskipun sebenarnya hatinya tidak bisa memungkiri keinginan itu. Memikirkan siapa Sakura membuat hatinya sedikit terluka.

"Sasuke... kau kenapa?" Mikoto bangkit dari duduknya dan mendekati putranya. "Apa yang kau sembunyikan?"

Sasuke hanya diam. Namun matanya menjelaskan semuanya. "Ada apa, Anakku?" Mikoto memegang pipi Sasuke dengan lembut. Kalau sudah begini, seberapa dinginnya hati lelaki itu akhirnya akan luluh juga. Bibir Sasuke gemetar. Tangannya tergenggam erat. Namun ia tetap diam.

"Ya sudah... ibu tidak memaksa. Nanti ceritakan kalau kau sudah siap ya," Mikoto berbalik namun sebelum keluar Sasuke memanggilnya.

"Ibu!"

"Ya Sayang?"

"Se-sebenarnya... Sakura itu... Sakura, dia..." Sasuke menggigit bibir bawahnya. Tangannya dingin bagai menggenggam batang es.

"Sasuke, tenanglah... ayo duduk," Mikoto mendudukkan Sasuke di tepi ranjang. Membiarkan putranya sedikit lebih tenang.

"Ibu..."

"Hm?"

Sasuke memejamkan matanya. "Sakura itu... adalah wanita yang dulunya dilamar Gaara. Dia... calon istri Gaara!"

"Apa?!"

Sasuke menghela napas. Matanya masih terpejam. Pertanda ia berusaha menenangkan diri, dan membuat ibunya tidak terlalu kecewa.

"Kalau begitu... dia adalah wanita yang kau suka kan, Sasuke-kun?"

Sasuke hanya diam. "Aku tidak ingin membahas itu lagi, Ibu."

"Kenapa?"

"Ibu bertanya "kenapa"? Tentu saja dia adalah orang yang dicintai Gaara dan hampir saja menjadi istrinya. Aku tidak akan pernah menghianati sahabatku!" napas Sasuke memburu.

"Sasuke, siapa bilang kau menghianati Gaara? Sekarang, Sakura sudah terlepas dari itu semua. Sejujurnya ibu senang kalau dia adalah gadis yang kau suka. Dengan begitu kau tidak akan keberatan untuk melamarnya," Mikoto tersenyum.

"Ibu, tidak mungkin! Kumohon hentikan," suara Sasuke memelas.

"Tidak, Sasuke-kun! Dari sikapmu ibu tahu perasaanmu sungguh-sungguh pada Sakura-chan. Kalau masalahmu ada pada Gaara, jangan khawatir ibu akan menemui Karura-san." Mikoto bangkit dengan cepat.

"Tidak Ibu, jangan!" Sasuke menahan pergelangan tangan ibunya.

"Sasuke-kun, dengar ibu. Kalau sikapmu seperti ini, ibu yakin Gaara juga tidak senang. Bukankah Gaara adalah sahabatmu yang baik? Sedih sekali dia karena mengetahui keraguanmu terhadapnya!"

Sasuke terdiam. Petuah ibunya benar-benar menusuk. Ia terduduk.

"Sadarlah, Nak. Semua itu tidak serumit yang kau pikirkan. Jangan melukai dirimu sendiri!" Mikoto keluar dan menutup pintu kamar Sasuke.

"Gaara... maafkan aku. Maafkan aku... aku tidak tahu yang terbaik. Apa yang harus kulakukan?" tanpa sadar pipi Sasuke basah.

.

.

.

"Pekerjaanmu membosankan, Gaara!"

"Hahaha! Tapi dengan begitu aku bermanfaat bagi orang banyak,"

"Heh, benarkah? Lalu apa yang kau lakukan jika suatu saat aku menderita penyakit jantung kronis?"

"Tentu saja aku akan melakukan apa pun demi kesembuhanmu, termasuk memberikan jantungku untukmu,"

"Dasar gila! Kau bisa mati!"

"Haha... Aku serius!"

"Gaara..." Sasuke membuka matanya perlahan. Keringat membasahi tubuhnya. Ingatannya bersama Gaara beberapa tahun lalu terputar dalam mimpi yang singkat. Ia bangkit dengan lesu.

"Gaara, apa itu jawabanmu? Kalau dipikir-pikir mimpi itu sama dengan kondisiku sekarang. Hatiku sedang kronis. Gaara, kau memberikan hatimu untukku. Haha, aku ini bodoh ya? Meragukanmu yang bahkan bersedia menukar hidupnya untukku. Bodoh, padahal aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu tapi Tuhan sangat mencintaimu. Apa boleh buat? Tapi asal kau tahu, aku merindukanmu... Sahabatku."

Sasuke tertawa kecil namun sebentar kemudian menyeka air matanya berulang-ulang. Betapa ia sangat menyayangi dan merindukan sahabat berharganya.

.

.

.

Jika niat telah diurungkan dan tantangan habis dilawan, tidak ada hal yang menghalangi Mikoto untuk melaksanan planning-nya. Maka pagi-pagi sebelum Karura berangkat ke rumah sakit ia langsung menyambar wanita paruh baya itu dan mendudukkannya dengan intens di salah satu cafe favoritnya.

"Karura-san, gomen ne aku menggangu jadwalmu,"

"Oh, tidak, tidak. Lagi pula sudah lama sekali kita tidak bertemu sejak hari itu." Karura diam sejenak. Hari yang dimaksudnya adalah hari pemakaman Gaara.

Mikoto menggenggam tangan Karura, "Pangeran tampanmu sudah tenang di sana, Karura-san." Nada yang dilontarkan menunjukkan pengertian yang mendalam bagi sesama ibu.

Karura tersenyum. "Arigatou. Ah, Mikoto-san apa yang ingin kau bicarakan denganku? Kelihatannya serius sekali ya?"

Mikoto tersipu malu, kemudian tertawa kecil. Ia membetulkan posisi duduknya. "Ano... si Sasuke lho, Karura-san..."

"Hm. Ada apa dengan Sasuke-kun?" Karura menyeruput teh hijau panasnya pelan-pelan.

"Aku tidak mengerti dengan pikiran anak itu, sampai sekarang ia masih jomblo sampai-sampai aku dan Fugaku mau menjodohkannya," Mikoto menopang wajahnya dengan murung.

"Hahha! Gaara juga seperti itu. Makanya aku menyuruhnya melamar putri dokter Haruno,"

Mikoto terperanjat. Ia semakin gelisah harus mulai pembicaraan dari mana.

"Um... Karura-san, putri dokter Haruno itu dokter Sakura bukan? Kebetulan dia sedang mengerjakan proyek bersama kami,"

"Ya, ya. Benarkah? Wah, bagus itu. Dokter itu sangat bisa diandalkan. Mikoto-san silahkan diminum dulu tehnya,"

"Ah iya. Aku terlalu fokus," Mikoto menyeruput teh hijaunya sambil memikirkan perkataannya selanjutnya. "Karura-san, dokter Sakura itu bagaimana?" tanyanya kemudian.

"Dia itu gadis yang sangat baik. Selain pintar dia juga tekun dan punya hati yang lembut tapi juga tegas. Sayangnya dia tidak berjodoh dengan Gaara. Padahal aku ingin sekali dia menjadi menantuku," Karura memutar-mutar cangkir teh di depannya. Mengingat-ingat bagaimana dirinya dulu mendorong Gaara untuk menikahi gadis itu.

"Sou ka... aku juga menyukainya. Um... Karura-san, apa kau keberatan kalau..."

Karura menatap Mikoto dengan tanda tanya, "kalau?"

Bibir Mikoto bergetar, "Kalau aku... menjadikan Sakura sebagai menantuku? Aih, gomen!" Mikoto menggenggam erat tangannya.

Hening. Mata Karura membulat. "Honto?" tanyanya meyakinkan.

"Hm!" Mikoto mengangguk mantap sambil menahan malu.

Karura diam lagi, kemudian tersenyum. "Kenapa tidak?" katanya sambil tersenyum lebar.

"Ka-Karura-san..." Mikoto mengedip-ngedipkan matanya tidak percaya.

"Gaara tidak tidak ditakdirkan berjodoh dengan Sakura. Dari pada membiarkannya dengan laki-laki lain, lebih baik kuberikan saja dia pada sahabat putraku. Lagi pula ini kan wewenang Sakura, mana mungkin aku tidak mengizinkan." Karura menahan tawanya.

Mata Mikoto berkaca-kaca. "Karura-san, aku terharu... arigatou ne," katanya sambil mengusap air matanya dengan tisu.

"Hahaha! Mikoto-san, kau berlebihan. Ne, aku doakan semoga perjodohan mereka lancar dan rumah tangga mereka harmonis. Jika diperlukan aku akan membantu perjodohan ini!" wajah Karura tersenyum tulus. Ia juga yakin Gaara juga senang dengan keputusannya.

"Arigatou ne, Karusa-san. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih," Mikoto menggenggam tangan Karura erat-erat sambil sesekali menyeka air matanya.

"Hai, hai, hahaha! Mikoto-san ternyata juga mellow ya!"

"Hahaha. Jadi ketahuan ya?"

Pembicaraan pagi itu terasa sangat hangat dan tidak sia-sia. Silaturahmi itu tidak pernah tidak berguna.

.

.

.

"Sakura, bagaimana perkembangan kerjasama kita dengan Uchiha Group?" di ruang makan yang dihadiri tiga orang itu Tuan Haruno membuka suara.

"Baik. Kami baru saja merumuskan beberapa jenis produk dan indikasinya. Rapat akan dilanjutkan lagi besok, Ayah." Dalam makannya yang tenang, Sakura pun tampak bersemangat menceritakan perkembangan proyeknya.

"Bagus kalau begitu. Jangan sungkan-sungkan bila butuh bantuan kami ya, Sayang."

"Tentu saja, Ibu." Sakura menambah kuah kari ke piringnya. Semangatnya mempengaruhi semangat makannya.

Perbincangan keluarga kecil itu berlanjut hingga tak satu pun diantara mereka yang mengunyah lagi.

"Oh ya, bagaimana keadaan Nak Sasuke?" pertanyaan Tuan Haruno membuat jantung Sakura berdebar-debar.

"Baik, Ayah. Dia luar biasa. Luar biasa dari yang kita lihat di media!" Sakura berdecak kagum. Pipinya merona karena wajah pangeran itu berkelebat dalam pikirannya. Sampai-sampai ia butuh minum untuk menenangkan debaran jantungnya.

"Benarkah? Pria muda yang hebat. Ayah dengar katanya dia akan dijodohkan dengan seseorang apa itu benar?"

"Uhuk!" Sakura tersedak dalam minumnya. Kemudian terbatuk-batuk karena air minumnya masuk ke saluran hidung.

"Sayang, hati-hati..." Nyonya Haruno menepuk-nepuk punggung Sakura. Kemudian membantu putrinya minum kembali.

Setelah merasa tenang. Sakura mencerna kembali kalimat ayahnya. "Apa ayah tadi bilang perjodohan?" wajah Sakura yang tadinya merona kita memucat.

"Hm. Ayah dengar sih begitu. Makanya ayah bertanya denganmu,"

Sakura terdiam. Sesak sekaligus tidak percaya. "Aku juga dengar bahwa orang tuanya ingin menjodohkannya, tapi aku pikir tidak jadi. Namun ternyata jadi ya..." Sakura meremas tangannya. "Sasuke..."

"Yah, kita doakan saja yang terbaik untuk Nak Sasuke." Nyonya Haruno menimpali.

"Sakura," panggil Tuan Haruno.

"Hm?" Sakura menoleh tak semangat.

"Setelah kepergian Gaara, Ayah sangat khawatir denganmu."

"Aku tidak apa-apa, Ayah. Semua sudah takdir," Sakura menunduk lesu di kursinya.

"...oleh karena itu ayah berniat kembali mencarikanmu pendamping hidup yang bisa menemanimu, dan kebetulan ada teman ayah yang ingin menjodohkan putranya."

Sakura terperanjat. Ada aura sedih dalam wajahnya.

"Sasuke..."

"Sakura, apa kau keberatan?" tanya Tuan Haruno lagi.

Bibir Sakura gemetar. Pikirannya melayang pada Sasuke yang sebenarnya diinginkannya. Namun apa boleh buat, pria itu pun sudah dijodohkan sehingga percuma saja ia menanti.

"Aku serahkan semuanya pada ayah dan ibu. Kalau kalian setuju, aku pun setuju. Um, sepertinya aku harus ke kamar..." dengan cepat Sakura meninggalkan kedua orang tuanya. Air matanya tak sanggup lagi dibendung. Orang tuanya tahu itu. Namun bukannya bersimpati, Tuan dan Nyonya Haruno saling mengerling senang.

.

.

.

"Apa?!" Sasuke berdiri di kursinya.

"Sasuke, jalankan sesuai perintah ibu. Semuanya sudah setuju dan sudah direncankan dengan sangat matang, oke? Kau hanya perlu mendatangi keluarga Haruno secara resmi untuk pelamaran." Mikoto kembali memotong steak dagingnya dengan damai.

"Ibu, kenapa tidak bilang dulu padaku?" jantung Sasuke berdebar. Entah senang, entah panik.

"Untuk apa? Rencana ibu akan berantakan kalau berunding denganmu!" Mikoto tidak memperdulikan putranya yang terlihat frustasi.

"Hahaha! Sebentar lagi keluarga ini bakal ramai!" Itachi, kakak Sasuke menimpali.

"Masih beruntung kami menjodohkanmu dengan Sakura. bagaimana jika kami menjodohkanmu dengan janda dua anak? Kau mau bilang apa?" spontan tawa penghuni rumah makan mewah itu menggelegak mendengar celetukan Fugaku.

Sasuke kembali duduk. Ia kalah telak. Jantungnya berdebar karena terlampau senang dan gugup. Wajahnya bersemu merah karena keluarganya meledeknya.

"Sudahlah, Sasuke. Terima saja. Lagipula kan kau juga yang senang." Itachi kembali menimpali.

Meski kesal bercampur malu, sebenarnya Sasuke pun merasa lega. "Heh, baiklah. Akan kubuktikan kalau aku tidak sekolot yang kalian kira!"

Derai tawa kembali membahana.

"Jangan tertawa! Aku serius!" pangeran Uchiha itu berusaha membuktikan diri. Namun keluarganya tetap tertawa karena melihat sikap pria cool itu yang canggung.

"Sakura, tunggu aku!"

.

.

.

Dalam balutan kimono merah muda bermotif bunga Sakura, gadis bersurai merah muda itu terduduk muram. Hatinya pasrah namun berat. Sore itu pria yang hendak melamarnya akan berkunjung.

"Sasuke..."

Tuan Haruno mondar-mandir di teras rumahnya menunggu kedatangan keluarga mempelai. Dan sekejap kemudian terdengar sebuah Ferrari memasuki halaman. Tubuh Sakura gemetar hebat. Ia berdoa agar pria itu membatalkan pernikahan dengan dirinya atau alasan lain yang membuat ia tidak menikah dengan pria itu.

"Sasuke... Oh, Tuhan dengarlah doaku,"

Hatinya merintih-rintih memanggil pemuda yang sebenarnya mencuri hatinya. Derap langkah kaki memasuki rumah. Sakura menggigil.

"Ya Tuhan, tolong..."

Tanpa Sadar pelupuk mata Sakura basah. Segera dihapus air matanya menggunakan ujung lengan baju.

"Sakura, beri salam Nak," Tuan Haruno mendekati Sakura.

Dengan lemas gadis itu berusaha berdiri. Kemudian mendongakkan kepalanya pelan-pelan hendak memberi salam. Namun tepat saat ia ingin menarik suara, napasnya tercekat. Sakura mematung beberapa detik. Jantungnya berpacu tak karuan. Bibirnya gemetar mendapati pria yang mencuri hatinya berdiri dengan elegan di depan matanya. Sakura mengerjap-ngerjap tidak percaya.

"Sas... Sasuke?"

"Hn," Pria bernama Sasuke itu pun tersenyum. Tampan sekali. Sakura terasa melayang dibuatnya.

Di waktu sore yang hangat itu Sakura percaya bahwa Tuhan selalu mendengar doanya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Setelah berusaha meregang nyawa untuk melanjutkan fic ini, akhirnya terpublish juga chap 9. Serius aku kapok nulis romance yang berchapter-chapter. #Ah masa?

Mudah-mudahan segera bisa mengakhiri fic ini yang wew! aku sendiri ragu apakah antar chapter nyambung atau nggak. #PLAK!

Minna, makasih banyak sudah repot-repot review. I like your footprint! Apalagi yang ngasih semangat, huwaa terharu! Sekali lagi makasih sudah menyediakan waktu untuk membaca fic gak jelas, mellow, dan kualitasnya masih dipertanyakan ini... T_T

Ja na! ;)