Character : Sakura. H & Sasuke.U

Genre : Romance and Hurt/Comfort

Rate : T

Disclaimer : Masashi Kishimoto

WARNING : TYPO, ALUR AGAK BORING, EYD AGAK/ BANYAK YANG KACAU (MOHON DIPERBAIKI), DLL.

FLAME? BOLEH, TAPI YANG MEMBANGUN.

Autumn In My Heart

By AishaMath

Summary :

/"Cumlaude?"/

/"Get married? Is it important?''/.

.

.

Sakura menggenggam erat kedua tangannya. Jantungnya berlomba. Menyebabkan napasnya naik turun tak karuan. Keluarga, kerabat dan semua yang ada diruangan itu pun juga merasakan hal yang sama. Dilihatnya para dosen yang saling berbisik memutuskan hasil akhir jenjang akademis keduanya. Ia harap kali ini ia juga mendapat predikat cumlaude. Tak berapa lama kemudian suasana menjadi hening. Dekan sudah siap mengumumkan hasil prestasi akademisnya selama dua tahun terakhir, yaitu lamanya Sakura menempuh jenjang spesialis di Fakultas Kedokteran Kyoto.

"Dokter Haruno Sakura, hari ini anda resmi menjadi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan predikat…" kalimat dekan terputus. Menyebabkan jantung Sakura hampir lupa berdetak.

"…dengan predikat…" lagi-lagi kalimat dekan terputus. Ia melihat beberapa dosen di sebelah kiri dan kanannya untuk memastikan bahwa keputusan mereka tidak salah. Seorang lelaki berambut merah marun menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum akhirnya sedikit melotot pada ayahnya yang merupakan dekan di Fakultas itu. Yang dilototi malah tersenyum nakal.

"Ehm!" suara deheman dekannya membuat Sakura dan para audience terkejut dan bersiap-siap untuk mendengar pengumuman hasil prestasi akademisnya. Sakura menunduk pasrah. Jika kali ini ia tidak mendapat predikat cumlaude, ya tidak apa-apa. Ia sudah berusaha keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

"Dokter Haruno Sakura, selamat, anda meraih predikat cumlaude!" kalimat yang barusan keluar mulut dekannya bagaikan es krim yang mencair begitu cepat di lidah. Terasa dingin. Namun ada rasa nikmat yang ditimbulkan. Sakura diam. Berusaha mencerna ulang kalimat yang baru saja didengarnya. Belum habis ia mencerna kalimat itu, teman-temannya sudah berhambur memeluk dirinya. Beribu-ribu kata selamat didengarnya. Ditambah suara tepuk tangan yang riuh memaksa ia untuk memberi senyuman terbaik yang pernah dimiliki.

"Segala puji untuk Tuhanku!" teriaknya dalam hati.

Dilihatnya ayah dan ibunya yang masih berdiri menunggu dirinya. Teman-teman yang tadi berhambur memeluk dirinya pun tahu diri dan segera memberi jalan untuk Sakura. Ia berlari menuju di mana ayah dan ibunya berada. Kedua orang tua dan anak itu saling berpelukan dengan perasaan bangga.

Sebuah BMW SUV hitam melintas sepanjang kota Kyoto. Melewati gedung-gedung tinggi berpenghuni sibuk tak peduli satu sama lain. Sakura memandangi suasana kotanya. Negeri ini memang diberi rezeki yang melimpah oleh Tuhan. Diantara gedung-gedung tinggi tadi terdapat berpuluh-puluh market yang siap menerima beratus-ratus produk bergengsi karya negeri. Dan diantara ratusan produk-produk itu, produk yang berlambang kipas merah putihlah yang paling mendominasi. Semua orang yang melihat pun tahu kalau produk itu pastilah milik sebuah perusahaan ternama di negeri Sakura itu, Uchiha Group.

Senyum Sakura masih mengembang. Begitu pula dengan dua orang yang duduk di depannya. Predikat cumlaude yang telah dan baru saja didapatnya membuatnya sungguh-sungguh bertekad untuk menjadi seorang dokter sejati, yaitu seorang dokter yang menggunakan segenap kemampuannya untuk menolong orang lain dengan tulus. Agar tak ada lagi orang yang berputus asa karena tidak memiliki uang untuk mengobati penyakitnya.

.

.

"Sakura," ayah Sakura membuka pembicaraan. Yang dipanggil spontan menjawab, "Iya, Ayah."

"Selamat, Nak. Ayah dan ibu bangga sekali padamu. Jadilah seorang dokter yang hebat," lanjut ayahnya.

"Ayah, aku akan berusaha melakukan yang terbaik kok,"

Keluarga Haruno, mulai dari buyut sampai keturunan terakhir mereka saat ini, Haruno Sakura, semuanya merupakan dokter. Mereka mendirikan sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari University of Kyoto, Haruno Hospital. Rumah sakit ini bekerja sama dengan The Medical Center of Kyoto yang pendirinya tidak lain adalah dekan Sakura di Fakultas Kedokteran Kyoto tempat Sakura menimba ilmu, Prof. dr. Sabaku, Sp. BS.

"Sakura," kali ini ibu Sakura yang angkat bicara.

"Ya, Bu." jawab Sakura dengan wajah yang masih berbinar-binar.

Sebelum meneruskan kalimatnya, ibu Sakura terlebih dulu melihat suaminya untuk meyakinkan keputusan mereka. Setelah suaminya mengangguk mantap, barulah sang ibu meneruskan kalimatnya.

"Sakura, kau ingat kan berapa umurmu sekarang?"

"Tentu, Bu. Dua puluh enam tahun." jawab Sakura santai.

"Lalu, sekarang apa rencanamu, Sayang?" tanya ibunya.

"Aku akan lebih fokus mengobati pasien dan membantu negara-negara yang tingkat kesehatannya masih rendah. Kalau bisa segera mengambil subspesialis, " jawab Sakura bangga. Tidak mengerti kemana arah pembicaraan itu sebenarnya.

Ayah dan ibunya menghela napas. Mereka mengerti bagaimana Sakura. Ia adalah anak yang tidak peduli dan tak mau tahu soal rumah tangga. Namun ia sangat peduli dengan keluarga, karib dan karirnya. Orang tuanya sengaja menunggu dirinya untuk menyelesaiakan pendidikan spesialisnya agar Sakura puas dengan karirnya. Namun ternyata, di umur yang biasanya orang sudah memiliki satu anak ini, Sakura justru belum kepikiran untuk menikah.

"Sakura, maksud ibu dan ayah bukan rencana yang itu," lanjut ibunya.

"Lho, jadi rencana yang mana, Bu?"

"Emm… begini, Sayang, maksud kami kapan kau menikah?"

Sakura terdiam. Ia sama sekali tak menyangka akan ditodong pertanyaan seperti itu oleh orang tuanya. Pertanyaan yang membuat Sakura menyerah untuk menjawab.

"Gomen, aku belum tahu, Bu." jawab Sakura seadanya. Ia melemparkan pandangannya keluar. Berharap orang tuanya tidak akan meneruskan pembicaraan itu.

"Sakura, apa kau tidak mau membahagiakan Ayah dan Ibu?" tanya ibunya lagi.

Sakura terlonjak. Rasanya ia sudah melakukan segala yang terbaik untuk keluarganya. Ia patuh pada orang tua, baik dan punya karir yang bagus. Apa itu belum cukup untuk membahagiakan orang tuanya?

"Apakah harus dengan menikah, Bu?" Suara Sakura sedikit meninggi.

"Sakura, orang tua mana pun di dunia ini pasti ingin melihat anaknya bahagia bersama orang lain. Ayah dan ibu sebenarnya juga ingin sekali menggendong cucu. Ya kan, Yah?" jawab ibunya sambil menyenggol lengan sang ayah. Yang disenggol hanya manggut-manggut.

"T-t-tapi…" Sakura tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Ia merasa kalah. Dan pikirannya sedikit kacau. Bagaimana pun ia adalah sosok wanita yang berbeda dengan kebanyakan wanita lainnya. Ia hanya berhubungan dengan laki-laki jika ada hal yang benar-benar penting dan membantu karirnya. Jadi bagimana mau menikah?

Dulu saat SMA Sakura pernah terpikir untuk memiliki suami seperti apa. Ia hanya ingin menikah dengan seorang dokter. Dokter yang baik, berwibawa, sabar dan tulus menolong orang lain. Tapi semenjak ia menduduki bangku kuliah, tak ada satu pun laki-laki yang ia temui memenuhi kriteria yang diinginkan. Yang menjadi dokter banyak, namun yang tulus menolong sangat sedikit. Apalagi yang sabar? Sejak itulah Sakura menjadi berhenti berharap.

"Sakura, kau ingin suami yang seperti apa, Sayang? Biar kami yang mencarikannya untukmu."

"What?" teriak Sakura dalam hati. "Apakah menikah itu penting? Sampai-sampai harus dicarikan suami segala! Aku bahagia kok walaupun tanpa suami!" lanjutnya dalam hati.

"Sakura, kok diam? Jangan berpikir buruk dulu soal nikah dong, Nak. Kalau kau sudah menikah nanti kau pasti menemukan kebahagiaan yang berbeda dengan yang sebelumnya. Percaya pada ibu." kata ibunya sambil tersenyum. Ia benar-benar memahami watak putrinya itu.

Sakura menghela napas panjang. Demi membuat ayah dan ibunya senang, ia pun menurut saja.

"Aku mau seorang dokter, Bu. Dokter yang baik, sabar, suka menolong dan berwibawa. Bagaimana?" jawab Sakura. Ia yakin pasti orang tuanya akan menyerah untuk mendapatkan lelaki seperti itu. Namun dugaannya meleset. Justru dengan tenang orang tuanya berkata "Oke, deh!". Dan jawaban itu sukses membuat Sakura bertambah galau.

BMW SUV hitam milik keluarga Haruno tetap melaju santai. Pengemudi dan orang yang ada di sebelahnya juga tersenyum. Kali ini senyumnya lebih lebar dari yang tadi. Akhirnya anak semata wayang mereka akan segera menikah. Karena terlalu senang, si pengemudi tak melihat ada seorang anak kecil di tengah jalan.

"Ayah, awaaaas!" Sakura berteriak.

"Krieeeeeet!!"

Suara decitan rem itu sukses memecah konsentrasi para pekerja yang sibuk bekerja. Tiga orang yang berada dalam mobil itu jantungan tak menentu. Bukan hanya kaget akan menabrak seorang anak kecil, tapi juga karena kehadiran sosok berbaju putih yang berlari sangat kencang tepat di depan mobil mereka sebelum pengereman dilakukan. Bagaikan flash! Suasana hening menyelimuti mobil itu. Para pekerja yang tadi pikirannya terpecah kembali sibuk dalam pekerjaannya. Tak menghiraukan apa yang terjadi.

"A-ayah dan ibu…tidak apa-apa kan?" tanya Sakura.

"I-iya. Maafkan ayah ya, Bu, juga Sakura."

"Tidak apa, Ayah. Tapi anak kecil itu di mana?" tanya Sakura. Mata Sakura mencari-cari anak kecil yang hampir tertabrak tadi.

"Bukankah itu anak kecil yang tadi?" tunjuk ibu Sakura ke seberang jalan arah kiri mereka.

Tampak anak kecil tadi menangis histeris dan terlihat ketakutan. Ia memeluk erat seorang pemuda berbaju putih. Wajah orang berbaju putih itu tidak terlihat karena punggungnya membelakangi jalan. Tuan Haruno dan istrinya segera berlari menuju anak kecil itu, sedangkan Sakura memungut tas yang sedikit terbuka dan botol minuman miliknya yang tercecer di jalan. Saat mengancing tas anak kecil itu, Sakura melihat cover buku berlambang kipas merah putih di dalam tasnya. Barulah ia sadar bahwa ternyata anak kecil itu bersekolah di Uchiha Boarding School. Sekolah asrama elit yang dikhususkan untuk anak-anak terlantar dan indigent. Mereka sengaja ditampung untuk diasah kepintarannya. Setelah tamat dari sekolah tersebut, anak-anak itu akan dikuliahkan ke Yale University dan akan bekerja di perusahaan milik Uchiha Group itu sendiri.

"Maaf, ini kesalahan kami. Seharusnya kami lebih berhati-hati," kata tuan Haruno kepada si penolong.

"Oh, iya, lagi pula bukan salah Tuan sepenuhnya. Sepertinya anak ini yang salah lihat orang. Tadi ia melihat laki-laki berjas putih di sini. Mungkin ia pikir itu ayahnya. Lalu ia mengejar laki-laki itu dan ketika di tengah jalan ia berhenti karena menyadari bahwa laki-laki itu ternyata bukan ayahnya."

Tuan dan Nyonya Haruno hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari pemuda itu. Tapi dari mana dia tahu kalau anak kecil itu salah lihat orang?

"Hue…Papa…hiks...hiks…Papaaa…" suara tangis anak kecil itu memecah lamunan Tuan dan Nyonya Haruno.

"Cup, cup, jangan nangis dong, Sayang. Mari ibu gendong!" kata nyonya Haruno lembut. Anehnya, sang anak mau saja digendong, justru menyandarkan kepalanya di bahu nyonya Haruno.

"Ayah, Ibu, ini barang-barang milik anak itu. Wah, sudah tidak menangis lagi, ya?" Sakura lega melihat anak kecil itu berhenti menangis ketika digendong ibunya.

"Oh, ya, nama adik siapa, ya?" tanya Tuan Haruno pada si penolong.

"Nama saya Sasuke, Tuan."

Sakura yang mendengar percakapan ayahnya dengan si penolong yang bernama Sasuke itu menolehkan sedikit wajahnya pada Sasuke. Merasa dilihat, Sasuke pun reflek melakukan hal yang sama. Akibatnya kedua bola mata mereka bertemu. Jantung keduanya berdesir. Dengan spontan mereka mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Sasuke, ya. Sepertinya saya sering melihat adik. Tapi di mana, ya?"

Sakura dan Nyonya Haruno yang mendengar percakapan itu juga merasakan hal yang sama. Sepertinya wajah itu sudah tidak asing lagi. Baru saja Sasuke mau menjawab, tiba-tiba seseorang berjas hitam yang mengendarai Mercedes Benz turun menghampiri dirinya dengan membawa sebuah jas hitam.

"Tuan muda Sasuke, anda sudah ditunggu keluarga. Ayo kita pergi." kata orang berjas hitam tadi sambil memakaikan jas hitam yang dibawanya pada Sasuke.

"Baiklah kalau begitu. Tuan dan Nyonya saya berpimisi dulu ya. Mengenai anak itu, tidak usah khawatir. Bawa saja dia ke sekolahnya yang di seberang jalan itu." kata Sasuke sambil menunjuk sebuah sekolah megah pada mereka. Di depan sekolah itu terpampang jelas tulisan Uchiha Boarding School.

"...sebentar lagi Papanya juga datang. Sampai bertemu lagi, Tuan dan Nyonya." lanjut Sasuke sambil mengelus-elus kepala anak kecil yang digendong Nyonya Haruno.

Tuan dan Nyonya Haruno mengangguk. Demikian pula Sakura. Entah kenapa mulut mereka membisu setelah ingat siapa pemuda itu. Dia adalah Uchiha Sasuke, putra terakhir dari keturunan Uchiha saat ini. Wajahnya sedang membanjiri banyak kota di Jepang dan televisi sebagai kabar bahwa ia akan dilantik menjadi Presiden Direktur Uchiha Group cabang Industri. Pelantikan akan dilaksanakan malam ini di hotel Granvia Kyoto. Sebuah hotel berbintang lima di kota mereka tercinta.

"Tiin!" klakson mobil mewah itu memaksa ketiga orang tadi menoleh. Sasuke melambaikan tangannya pada mereka. Lagi, tanpa disengaja pandangan Sakura dan Sasuke bertemu. Keduanya spontan mengalihkan pandangan karena malu. Jantung Sakura kembali berdesir. Entah mengapa hatinya senang sekali. Apakah karena Sasuke sudah menolong anak kecil tadi, dan juga terlihat berwibawa seperti kriteria suami yang diinginkannya? atau karena wajah Sasuke yang begitu tampan? Entahlah. Yang jelas, satu jenis senyuman yang belum pernah ia miliki, kini menghiasi wajahnya.

.

.

"Hahahahaha, ups!" ledak tawa seorang ayah sukses membuat anak yang duduk di sebelahnya sweat drop.

"Ayah, kalau tertawa itu harus tutup mulut," ujar anaknya yang kalem.

"Iya, iya. Lagi pula kau mengada-ngada saja. Mana mungkin anak ayah yang Jepang tulen ini bisa dikira orang Rusia di Jerman?"

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi orang Jerman itu luar biasa. Aku belajar banyak dari mereka."

"Syukurlah kalau begitu. Tidak sia-sia Ayah menyekolahkanmu di sana. Yang penting, kau harus menjadi dokter yang baik untuk siapa pun."

"Memang sudah cita-cita."

"Hahahaha! Anak ayah kok cool sekali, sih?"

"Bukankah Ayah menikah dengan wanita kalem? Wajar kan kalau anaknya begini,"

"Iya juga ya! Hahahahhaahah, ups! Harus tutup mulut!"

Gaara sweat drop untuk yang kesekian kalinya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya karena melihat tingkah ayahnya. Dokter Sabaku, dokter terkenal yang merupakan seorang dekan di Fakutas Kedokteran Kyoto, biasanya terlihat sangat berwibawa kini berubah seratus delapan puluh derajat ketika bersama keluarganya.

"Acting yang luar biasa!" seru Gaara dalam hati.

"Ayah, bisa dipercepat sedikit? Aku tidak sabar ingin bertemu anak-anak. Mereka pasti sudah menungguku."

"Okee!" Sang ayah pun mempercepat laju mobilnya.

"Hip-pop-pip-pip-" handphone Gaara berdering.

"Selamat siang, ini nona Ayame, ya? Saya sudah mau sampai kok. A-apa? Hampir tertabrak? B-baiklah."

Setelah pembicaraan selesai, tubuh Gaara melemas. Tanpa banyak mengoceh, Gaara menyuruh ayahnya untuk lebih mempercepat laju mobil Aston Martinnya menuju Uchiha Boarding School.

.

.

To be continued

Huft! Ficnya gak kepanjangan kan? Hehehe. Saya harap readers sabar dengan fic yang membosankan ini. Saya tahu, fic ini banyak banget kekurangannya. Karena itu, jangan lupa kritik dan sarannya ya. O, iya, semoga fic ini ada manfaatnya. Ja ne Minna-san! :)