Naruto by Masashi Kishimoto

Saya hanya meminjam karakter di dalamnya dan sama sekali tidak mengambil keuntungan material apa pun dari fiksi ini.


Dalam Hatimu


Kakashi keluar dari pondok kecilnya, sambil meregangkan otot-ototnya dia menarik napas dalam-dalam, menikmati semilir angin pagi yang menenangkan. Pria dengan warna mata yang berlainan itu sudah merencakan akhir pekannya kali ini. Dia ingin menghabiskan akhir pekannya dengan berguling di tempat tidur, membalas jam-jam tidurnya selama beberapa minggu ini yang benar-benar memprihatinkan.

Kakashi melirik pondok kecil di samping pondoknya. Pondok itu cukup sederhana, dengan warna putih mendominasi dindingnya. Kakashi senang menamainya dengan Pondok Putih. Ada sepetak lahan yang ditanami beberapa tumbuhan obat di halaman depannya. Beberapa tanaman rambat yang indah—sepertinya memang sengaja dipelihara—menghiasi sisi pagar kayu yang mengelilingi pondok itu. Kakashi sendiri belum pernah bertatap muka secara langsung dengan pemilik pondok itu. Terdengar sangat tidak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi? Dengan kesibukannya selama menjadi polisi di kota, dia nyaris tak pernah mengunjungi pondok kecilnya di pinggir kota ini kecuali jika dia mendapat libur di akhir pekan atau cuti selama beberapa hari, seperti sekarang ini. Beruntung sepupunya, Ayame, bersedia membantunya merapihkan dan merawat pondoknya selama dia tidak berada di sini. Bisa dibayangkan betapa tebalnya debu dan ramat di langit-langit jika Ayame tidak membantunya.

Meski begitu, bukan berarti Kakashi buta total mengenai keadaan di sekeliling pondoknya, setidaknya dia tahu siapa tetangga yang tinggal di Pondok Putih itu. Ayame bilang, pondok itu dihuni seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal ketika bertugas, kabarnya suaminya adalah seorang tentara.

Pintu Pondok Putih itu terbuka. Seorang wanita keluar dari dalam pondok itu, tangannya membawa seember cucian yang nampaknya ingin dijemurnya di jemuran yang terbuat dari tali yang dibentangkan di antara tiang-tiang dari bambu yang berada di samping pondok itu—tepat di samping pondok Kakashi.

Kakashi memerhatikan saat wanita itu keluar dari pondok. Cara wanita itu berjalan, berhenti di tempat jemuran, sampai cara membungkuk wanita itu ketika mengambil baju dari ember cuciannya benar-benar membuat Kakashi tertarik. Dia tidak memungkiri bahwa wanita yang baru dilihatnya sekali itu menarik perhatiaannya. Terlebih warna rambut wanita itu yang tidak lazim untuk wanita pada umumnya. Warna rambutnya merah muda—lebih ke merah jambu pucat.

Kakashi berjalan ke samping pondoknya. Tepat di depan pagar samping pondok wanita itu, dia berhenti. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Kakashi.

Wanita itu sedikit melonjak. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Kakashi yang tersenyum tipis menatapnya. Kini Kakashi dapat melihat dengan jelas paras wanita itu. Wanita itu memiliki warna mata yang indah, hijau terang. Hidung wanita itu tidak terlalu mancung, tapi pas, seolah memang hidung itu harus seperti itu untuk melengkapi parasnya. Bibir wanita itu tidak terlalu tebal, tapi juga tidak bisa dibilang tipis. Secara keseluruhan wanita itu tidak terlalu cantik, hanya saja semua yang ada pada wajahnya terasa pas di mata Kakashi. Kakashi tidak mengatakan dia menyukai paras wanita itu, tapi dia juga tidak bisa dibilang tidak menyukainya.

"Selamat pagi," kata wanita itu. Dia tersenyum tipis pada Kakashi demi kesopanan, sebelum melanjutkan kegiatan menjemurnya.

"Maaf jika aku mengganggumu, tapi percayalah aku tidak memiliki maksud apa-apa," kata Kakashi. "Maksudku, aku hanya menyapamu sebagai tetangga." Kakashi mengendikkan kepalanya ke arah pondok miliknya.

Wanita itu menghentikan kegiatannya, dia tertawa kecil. "Tidak, tidak apa-apa," katanya. "Aku tidak merasa terganggu."

Kakashi mendecih. "Nampaknya aku seperti pria yang sedang berusaha menggodamu."

Wanita itu memandang Kakashi dengan penuh arti, sebelum mengulum senyum. "Terima kasih atas keramahanmu, Tuan. Kurasa kau Tuan Hatake, pemilik pondok di samping, bukan?"

Kakashi tertawa ringan, dia cukup lega wanita itu tidak beranggapan buruk tentangnya. "Ya, pemilik rasanya lebih tepat, dibandingkan dengan penghuni. Aku jarang pulang ke sini."

"Aku tahu," kata wanita itu. Dia tetap melanjutkan kegiatan menjemurnya.

"Wow, kau tahu banyak tentangku?"

"Ayame, dia yang memberitahuku. Gadis cantik itu bilang sepupunya yang memiliki pondok itu."

Kakashi memerhatikan setiap gerakan yang dibuat wanita itu. "Kurasa kau mengenalku, tapi aku sama sekali tidak mengenalmu," katanya.

Sesaat Kakashi merasakan tatapan wanita itu seperti menjadi waspada.

"Oh, maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu," katanya. "Hanya ingin mengenal tetangga lebih jauh."

Sekali lagi wanita itu tersenyum kecil menyadari kekikukkan sikap Kakashi. Kakashi mendecih dalam hati. Tidak pernah ada wanita yang membuatnya kikuk seperti ini. Tapi kenapa wanita ini malah membuatnya seperti anak remaja yang takut kehilangan kekasihnya karena ketololannya.

"Namaku Uchiha Sakura," katanya.

Kakashi tertawa kecil. "Cocok," katanya.

Sakura ikut tertawa kecil bersamanya. "Pasti karena rambutku. Semua orang bilang begitu."


Kakashi sama sekali tidak merasa menyesal mengambil cuti kali ini. Dia tidak pernah merasa senyaman ini dalam menghabiskan masa cutinya. Selama beberapa hari ini, dia mengenal Sakura. Dia tahu Sakura tinggal di pondoknya dengan anak laki-lakinya yang berusia dua tahun. Anak laki-lakinya bernama Keitaro. Kakashi sendiri sudah cukup akrab dengan bocah itu. Biasanya, sore hari Keitaro akan bermain di serambi pondok mereka dengan Sakura, dan dia akan berkunjung sambil menemani Keitaro bermain. Seperti yang Kakashi tahu, suami Sakura sudah meninggal ketika Sakura sedang mengandung Keitaro.

Kakashi masih suka mengamati kegiatan yang dilakukan Sakura. Mulai dari ketika wanita itu menjemur baju di setiap pagi, berkebun di petak-petak kecil halaman depan pondoknya, sampai ketika wanita itu pulang berbelanja kemarin dari pasar tradisional yang terletak tidak begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Kakashi tidak tahu apa yang menyebabkan dia begitu nyaman memerhatikan gerak-gerik wanita itu. Sakura berbeda. Jelas. Dari awal pertama kali dia melihat Sakura keluar dari pondoknya, Kakashi sudah tertarik pada wanita itu. Ada sesuatu yang membuatnya memiliki rasa ingin lagi dan lagi untuk terus memerhatikan wanita itu.

Kakashi sedang mencoba membuat sarapannya sendiri ketika pintu pondoknya diketuk pagi ini. Dia mematikan mesin pemanggang rotinya. Kakashi berjalan melintasi ruang tamu sebelum membuka pintu pondoknya.

Sakura sedang berdiri di depan pintu pondok Kakashi ketika Kakashi membukakan pintu untuknya. Wanita itu sedikit terkejut melihat penampilan Kakashi pagi ini.

Kakashi yang menyadari keterkejutan Sakura segera memandang dirinya sendiri dari atas sampai bawah. Astaga! Dia baru sadar ternyata dia hanya mengenakan celana pendek dan membiarkan angin pagi menyapu dadanya yang polos tanpa kaus. Pantas saja Sakura terkejut ketika melihatnya.

"Maaf," kata Kakashi. Dia berbalik, masuk ke dalam pondoknya. Baru selangkah, dia kembali menghadap Sakura. "Tunggu sebentar, aku akan kembali," katanya. Kemudian dia masuk ke dalam pondoknya.

Sakura mengatur napasnya sejenak. Dia sama sekali tidak tahu harus bersikap seperti apa. Pagi hari harus sudah melihat pemandangan yang hampir tiga tahun tidak dilihatnya. Pemandangan seorang pria bertelanjang dada. Sakura mencoba melupakan apa yang baru saja dilihatnya.

Kakashi tiba tidak lama kemudian. Kini pria itu telah mengenakan pakaian lengkap, kaus putih polos tanpa lengan, meski dia sama sekali tidak mengganti celana pendek yang dikenakannya. Tapi setidaknya, Sakura bisa bernapas lega melihat Kakashi telah memakai kaus.

"Nah, pertama-tama, aku minta maaf karena telah memberi sedikit pemandangan yang kurang sopan pagi-pagi begini. Kuharap kau maklum, aku terbiasa hidup sendiri."

Sakura tertawa kecil.

"Hei, aku serius," kata Kakashi. "Aku terbiasa hidup sendiri, maksudku benar-benar sendiri, paling-paling hanya bertemu sesama teman seperjuangan di rumah dinas yang kutempati bersama dua orang pria tegap dan besar. Yang paling jelas, tidak ada tetangga wanita cantik yang memungkinkan untuk mengetuk pintu rumah di pagi hari."

"Kau pintar mengambil hati wanita," kata Sakura.

"Kuanggap itu pujian." Kakashi tersenyum lebar.

Sakura memandang Kakashi dengan penuh perhatian. Dia tidak bisa menolak fakta bahwa pria yang kini sedang berdiri di hadapannya adalah pria yang mempesona. Jenis pria yang mampu menaklukan setiap wanita hanya dengan menatap kedua matanya. Membicarakan mata, Sakura terpesona pada dua warna mata Kakashi yang berlainan. Kedua mata itu seperti menariknya semakin dalam untuk jatuh ke dalam pesona pria itu. Sakura tersenyum tipis, dia tidak perlu memikirkan hal-hal semacam itu lagi dalam hidupnya. Cukup sekali. Ya, cukup sekali. Dan dia tidak akan merasakan kehilangan lagi.

"Nah, apa yang membawa seorang wanita ke pondok pria yang sedang cuti pagi-pagi seperti ini?"

"Apa kau keberatan jika aku ingin meminta bantuanmu?"

"Silakan, aku sama sekali tidak keberatan," kata Kakashi.

Sakura tertawa. "Kau benar-benar percaya diri sekali."

"Ibuku bilang, percaya diri itu bagus, Sakura."

Sakura yakin penilaiannya tidak salah. Kakashi benar-benar tipe pria yang mampu membuat wanita jatuh hatinya padanya hanya dalam sekejap. Tapi sayangnya, itu bukan untuknya. "Baik-baik. Kau memang benar," katanya. "Begini, pipa di bawah tempat cucian piringku sedikit bocor. Apa kau bisa membantuku?"

Kakashi diam.

"Maaf, aku tidak bermaksud merepotkanmu. Tadi aku menghubungi tukang ledeng yang biasa, sayangnya dia sama sekali tidak menjawab panggilanku."

Kakashi tertawa melihat reaksi Sakura. "Kau meremehkanku, Sakura. Tentu saja kau tidak perlu menghubungi tukang ledeng jika memiliki tetangga sepertiku. Tinggal mengetuk pintu pondokku dan aku akan membantumu."

"Baiklah, kau menang, Tuan Serba Bisa."


Kakashi kini telah berada di dalam pondok Sakura. Dia sedikit mengamati keadaan di dalam pondok Sakura. Sama seperti pondoknya, lantai pondok Sakura juga terbuat dari kayu yang sudah dipelitur, dengan wallpaper snowflake menghiasi dinding ruang tengah pondok itu, hanya saja snowflake itu berwarna merah jambu, bukan putih seperti pada umumnya. Ada satu sofa panjang dengan meja tamu berukuran sedang di depannya, yang diapit oleh dua sofa pendek. Kakashi melirik lemari pajangan di sudut ruangan. Ada beberapa bingkai foto yang diletakkan di dalam lemari pajangan itu. Kakashi tertarik pada satu foto yang memajang seorang wanita cantik beriris hijau terang yang tampak sedang hamil, sedang mengamit mesra lengan seorang pria yang mau tidak mau Kakashi mengakui pria itu cukup tampan. Ada sedikit perasaan dalam diri Kakashi yang menginginkan jika dialah yang berdiri di samping wanita di dalam foto itu.

"Kakashi, bisa ke sini sebentar," panggil Sakura.

Kakashi tersadar dari lamunannya. Dia melintasi ruang tamu, menuju dapur.

Sakura sedang berdiri di depan tempat cucian piringnya. Kakashi menghampirinya. Dia memerhatikan pipa di bawah tempat cucian piring yang sedikit bocor, meski begitu jika dibiarkan, air dari pipa akan terus merembes dan menggenangi lantai pondok.

Kakashi bersiul kecil. "Bukan masalah," katanya. Kakashi mulai berjongkok di depan pipa, kemudian dia membenahi posisinya agar mudah memperbaiki pipa cucian piring. "Sakura, apa kau punya pipa siku cadangan? Pipa kecil ini harus diganti. Oh iya, aku juga memerlukan tang kecil."

"Tunggu sebentar, aku ambilkan dulu di gudang." Sakura bergegas menuju gudang.

Beberapa menit kemudian wanita itu sudah datang dengan sebuah pipa siku kecil berdiameter lima centimeter dan sebuah tang.

"Ini," kata Sakura. Dia memberikan pipa itu pada Kakashi. Sakura meletakkan tang di lantai dekat Kakashi.

Kakashi mengambil pipa dari tangan Sakura dan mulai bergerak memperbaiki pipa yang bocor. Dia merunduk memeriksa pipa itu, sebelum memutuskan untuk berbaring terlentang di kolong tempat cucian piring, menghadap sambungan pipa di atasnya.

"Kashi, apa kau butuh bantuan lagi?"

Kakashi melirik Sakura yang sedang berjongkok tak jauh darinya. Dia mengedipkan matanya dengan jenaka. "Tidak perlu khawatir, Saku. Kau cukup diam di sana, dan pipamu akan kembali berfungsi dengan baik beberapa menit lagi."

Sakura tertawa kecil. "Kuharap kau tidak memperparahnya."

"Hahahaha … kau meremehkanku, Saku."

Sakura memerhatikan setiap gerakan yang dibuat Kakashi ketika memperbaiki pipa tempat cucian piringnya. Gerakan pria itu begitu luwes, gagah, dan … seksi. Sakura menelan ludahnya sendiri ketika mengingat kata terakhir yang dipikirkannya tentang Kakashi. Sakura tidak menampik, Kakashi adalah sosok pria yang diidamkan oleh hampir setiap wanita. Pria itu ramah, dengan postur tubuh yang mampu membuat setiap wanita melirik dua kali ke arahnya.

Dari tempatnya berada, Sakura dapat melihat dengan jelas otot-otot di balik lengan kekar Kakashi yang sedang berkonsentrasi memperbaiki pipa. Butiran peluh yang membasahi dahi pria itu justru semakin membuat Kakashi terlihat gagah. Sakura bisa merasakan debaran aneh dalam dirinya. Sakura berusaha menghapus segala pikirannya tentang pria itu. Dia menyadarkan dirinya sendiri bahwa Kakashi hanyalah tetangganya. Ya, tetangganya. Dan pria itu pun pasti hanya menganggapnya sebagai tetangganya, tidak lebih, hanya itu.

Dengan sedikit sentuhan akhir, Kakashi telah selesai memperbaiki pipa tempat cucian piring Sakura. Dia bangkit dari posisinya, duduk di lantai tak jauh dari tempat cucian piring. Sakura sedang mengetes pipa di tempat cucian piringnya. Dia tersenyum pada Kakashi. "Terima kasih," katanya.

Kakashi membalas dengan senyumnya.

"Kau sudah sarapan?" tanya Sakura. Wanita itu kini beralih pada pemanggang roti di meja.

"Belum."

"Tinggalah di sini sebentar, aku akan membuatkan sarapan untukmu," kata Sakura. "Roti panggang?"

"Tidak masalah," katanya. "Omong-omong, di mana Kei? Aku tidak melihatnya pagi ini."

Sakura sedang mengolesi roti yang sudah dipanggangnya tadi sebelum meminta tolong ke pondok Kakashi. "Kei masih tidur. Biasanya aku akan membangunkannya setelah menyiapkan sarapan untuknya. Kau mau selai apa?"

"Nanas kalau kau tidak keberatan."

Sakura tertawa kecil.

"Apa ada yang salah dengan rasa nanas?"

"Tidak. Hanya saja itu selai kesukaanku."

Kakashi mengangkat kedua bahunya. "Kurasa itu takdir."

Sakura hanya menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum tipis.

Kakashi menyelonjorkan kedua kakinya, mengusap peluh di dahinya dengan punggung tangannya. Dia menoleh ke arah Sakura yang sedang menyiapkan sarapan.

Sakura mengenakan kaus bahan katun berwarna hitam yang agak terlihat kebesaran di tubuhnya dengan panjangnya menutupi hampir seluruh pinggulnya, dipadukan dengan celana training panjang berwana putih. Penampilan yang biasa, bahkan terlalu biasa di mata Kakashi yang sudah sering bertemu wanita dengan pakaian yang menampilkan kecantikan dan kemolekan tubuh wanita.

Pakaian yang dikenakan Sakura sama sekali tidak menampilkan lekuk tubuh wanita itu. Malah terkesan ingin menutupi lekuk tubuhnya. Kakashi tidak bisa menerka-nerka atau memperkirakan tubuh di balik pakaian itu. Kini dia memandang wajah Sakura. Mulai dari kedua mata wanita yang yang sewarna dengan batu zamrud, tulang hidung wanita itu, hingga bibirnya yang entah kenapa saat ini begitu menggoda untuk dicicipi. Kakashi membayangkan jika dia mengecup bibir ranum itu. Bibir yang ranum, basah, dan menggoda. Ada sesuatu yang bergolak di dasar tubuhnya ketika membayangkan hal itu. Kini dia sadar perasaan apa yang selama beberapa hari ini mengganggu pikirannya.

Tanpa sadar Kakashi bangkit dari duduknya. Dia berdiri di belakang Sakura, menyebabkan tubuh Sakura yang hanya setinggi dadanya, menabrak dada bidangnya ketika wanita itu membalikkan tubuh. Kakashi meraih pinggang Sakura, menahan tubuh Sakura yang sedikit kehilangan keseimbangannya.

Sakura mengadahkan wajahnya. Kedua mata mereka bertemu.

Kakashi seperti larut dalam pesona yang ditawarkan kedua mata Sakura. Kedua mata itu bagaikan kolam yang berpendar kehijauan, menyimpan misteri, yang membuat Kakashi ingin masuk ke dalamnya. Perlahan Kakashi mengusap tulang pipi Sakura dengan jemarinya, terus menuntunnya, hingga turun menuju dagu wanita berambut merah jambu itu.

Sakura merasakan dirinya bergetar hebat. Tatapan kedua mata Kakashi yang begitu dalam, seolah memberikan afeksi lebih dari batas kewajaran yang seharusnya terjadi antara dia dan Kakashi. Tatapan itu membuat tungkai-tungkai kaki Sakura seakan lumpuh mendadak. Tatapan yang sudah lama tidak ia dapatkan dari seorang pria. Tatapan yang mampu menggetarkan dirinya sampai ke tulang sum-sumnya. Terlebih ketika pria itu menyentuh tulang pipinya, terus menyusuri, hingga perlahan menuntun dagunya mendekat dengan...

Dan kedua bibir mereka bertemu. Hanya sebuah kecupan ringan pada awalnya. Sampai Kakashi mengeratkan rangkulannya di pinggang Sakura. Dada Sakura merapat pada dada bidang Kakashi. Sakura merasakan dirinya bagai tersengat getaran yang begitu dahsyat ketika payudaranya yang masih terlapisi kaus bersinggungan dengan dada Kakashi.

Kecupan Kakashi semakin dalam, meski dia melakukannya dengan selembut mungkin. Sakura merasa tubuhnya meleleh merespons perlakuan Kakashi. Kakashi melakukannya dengan lembut, begitu perhatian, tidak menuntut, tapi Sakura bisa merasakan hasrat pria itu yang begitu besar. Membuatnya merasa diinginkan. Sampai satu kenyataan telak menghantam pikiran Sakura.

Sakura berusaha memutuskan kontak fisik mereka. Dia mendorong dada Kakashi pelan. Kakashi yang merasakan penolakan Sakura, melepaskan ciumannya.

Sakura membalikkan tubuhnya, membelakangi Kakashi.

"Saku-"

"Tidak, kau tenang saja Kakashi. Kau tidak perlu minta maaf," potong Sakura. "Aku tahu, ya, aku mengerti bahwa apa yang baru saja terjadi adalah sebuah kekeliruan. Kau tidak perlu khawatir. Aku akan melupakan hal itu dan menganggap itu semua tidak pernah terjadi."

Kakashi menyentuh lembut lengan Sakura, menuntun wanita itu agar berbalik menghadapnya.

"Sakura, dengarkan. Aku memang ingin minta maaf. Aku lancang. Tapi ketahuilah, aku..." Kakashi sedikit kesulitan melanjutkan perkataannya.

"Ya, aku tahu. Kau tidak perlu khawatir, aku mengerti itu hanya sebuah kecelakaan. Aku-"

"Dengarkan aku, Sakura. Tidak, ini semua tidak seperti yang kau bayangkan. Aku sama sekali tidak menganggap apa yang baru saja terjadi adalah sebuah kekeliruan. Ini bukan kecelakaan," kata Kakashi. Kedua matanya memancarkan keseriusan. "Aku melakukan itu karena..." Seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokan Kakashi. Sial, entah kenapa sulit sekali bagi Kakashi untuk mengungkapkan perasaannya. "Itu karena..." Kakashi menguatkan dirinya. "...aku menyukaimu," katanya pada akhirnya.

Sakura membeku. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa pernyataan Kakashi. Kakashi terlalu sempurna. Dia terlalu baik, terlalu mempesona, terlalu menggairahkan. Dan terlalu lebih untuk janda seperti Sakura. Sakura merasakan sesak di dadanya.

"Tidak, Kashi. Kau tidak menyukaiku. Lupakanlah, aku mengerti, ini hanya perasaan sesaatmu. Kau terlalu mu—"

"Aku bahkan lebih tua lima tahun darimu, Sakura." Kakashi menyentuh lembut kedua bahu Sakura.

"Aku mengerti. Ya, aku mengerti, tapi tetap saja, aku, tidak, maksudku kau. Kau lebih pantas menyatakan perasaan itu pada seorang wanita yang lebih muda," kata Sakura. "Tidak, maksudku, yang lebih utuh," tambahnya dalam bisikan lemah.

Kakashi tertawa dengan datar. "Apa yang membuatmu berpikir kau tidak utuh?"

Sakura diam. Dia berusaha menghindar dari pertanyaan Kakashi. "Kau hanya menganggapku sebagai seorang tetangga. Dan kita memang hanya sebagai tetangga. Mungkin perasaanmu padaku hanya seperti seorang pria yang kasihan pada wanita yang hidup sendirian. Kau tidak perlu khawatir aku memikirkan hal lain, aku—"

"Berhenti berpikir seperti itu, Sakura. Aku tahu kau mungkin tidak bisa begitu saja memercayai apa yang baru saja kukatakan. Tapi percayalah, aku sama sekali tidak mengasihanimu. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku benar-benar menyukaimu."

Sakura diam, maka Kakashi melanjutkan perkataannya.

"Aku menyukaimu. Aku, aku jatuh cinta padamu, Sakura."

Kakashi menatap lekat kedua mata Sakura. Sakura berusaha menghindar dari tatapan itu. Dia takut jika hatinya melemah melihat tatapan itu.

"Tidak, Kakashi. Kau tidak mencintaiku. Percayalah, beberapa hari lagi kau akan menyesal telah mengatakan hal itu padaku. Tapi sungguh, aku tidak akan marah. Kita akan baik-baik saja, kau dan aku."

Kakashi tertawa sinis. "Begitukah? Begitukah menurutmu? Lalu kau pikir, apa nama perasaan yang tiap kali hadir setiap aku melihatmu? Kenapa jantungku selalu berdebar dengan sialannya setiap kali aku memandangmu, membuatku seperti pria remaja labil yang baru kali merasakan ketertarikan dengan lawan jenis? Jelaskan padaku, Sakura! Aku selalu memerhatikanmu tanpa kau sadari. Caramu berjalan, berbicara, tertawa, bahkan ketika kau bercanda dengan Kei, aku menyukainya, Saku. Aku memang baru mengenalmu beberapa hari ini, tapi itu bukan alasan jika aku tidak bisa memiliki perasaan lebih padamu."

"Kalau begitu lupakan perasaan itu," sahut Sakura datar.

"Jelaskan, berikan aku penolakan yang jelas."

Sakura membalikkan tubuhnya, melepaskan bahunya dari lengan Kakashi. Dia seolah menolak bertatap mata dengan Kakashi ketika mengatakan, "ya, aku menolakmu. Aku—"

"Tatap mataku, Sakura," kata Kakashi. "Katakan jika kau memang menolakku." Dia membalikan tubuh Sakura agar kembali menghadapnya, menyentuh lembut kedua bahunya.

Sakura membeku, terperangkap dalam pesona kedua mata Kakashi yang seolah memerangkapnya, meluluhkannya. Tapi Sakura tahu, dia tidak bisa. Dia hampir saja menyerah pada tatapan itu. Tatapan Kakashi menjelaskan segalanya. Pria itu menginginkannya. Setelah sekian tahun berusaha menutup hatinya untuk pria lain, Sakura tidak bisa menolak tatapan itu. Tapi dia tahu, dia tidak mungkin, dan dia tidak bisa melakukan hal itu. Dia tidak boleh menyerah. Tidak. Kakashi lebih pantas mendapatkan wanita lain, yang lebih segalanya darinya. Dan dia tidak akan merasakan pahitnya kehilangan lagi.

"Aku … aku tidak bisa, Kashi," bisik Sakura lemah.

"Kenapa? Jelaskan padaku, Saku."

Sakura menguatkan hatinya. Dia menatap dalam kedua mata Kakashi. "Aku tidak memiliki perasaan apa-apa padamu."

Tubuh Kakashi melemas. Dia tidak pernah merasakan penolakan selama hidupnya. Dari kecil, dia selalu berusaha keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, juara kelas, nilai kelulusan yang tinggi, hingga keberhasilannya menjadi anggota kepolisian di kota. Namun kini dia harus menerima penolakan dari satu-satunya wanita yang mampu membuatnya merasakan getaran di hatinya.

"Kau berbohong," sahut Kakashi. Kakashi tidak percaya Sakura menolaknya. Tidak, dia bisa merasakannya. Wanita itu memiliki hasrat sama sepertinya, meski mungkin tak sebesar apa yang dirasakannya pada wanita itu. Kakashi tidak tahu apa yang membuat Sakura begitu menahan apa yang dirasakan wanita itu padanya. "Aku bisa merasakannya, Sakura."

Sakura tertawa datar, lebih terdengar seperti keprihatinan ketimbang kesenangan. "Kau terlalu percaya diri, Kakashi."

"Ya, aku memang percaya diri. Demi Tuhan, Sakura, katakan! Katakanlah, apa yang membuatmu menahan dirimu seperti ini?" Perlahan Kakashi menyentuh pipi Sakura dengan jemarinya, bergerak menyusuri daun telinga wanita itu, menyelipkan helai-helai rambut wanita itu ke balik telinganya, terus bergerak menuju tengkuk Sakura. "Aku bisa merasakannya, Sakura. Kau menginginkanku. Kita bisa mencobanya, Sakura."

Tubuh Sakura bergetar, sentuhan Kakashi membuat pertahanan yang dibangunnya melemah. Dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Ini hanya akan membuatnya kehilangan pertahanannya yang terkahir. "Aku tidak bisa, Kakashi." Sakura mengambil napasnya dalam-dalam. Seolah dengan begitu, dia mendapatkan kekuatan untuk menolak Kakashi. "Kumohon, biarkan hidupku tetap seperti ini … sebelum bertemu denganmu."


To be continue


A/N: ini sedikit entry-an saya buat KakaSaku Fanday. Mudah-mudahan kelar sebelum tgl 15 Maret yah. Amin…

Rasanya tulisan saya kali ini terlalu berat yah, tema-nya? #sotoy. Akhir-akhir ini pikiran saya lagi galau, jadilah tulisan yang penuh kegalauan seperti ini.

Saya taruh fic ini di rate M untuk amannya. Mungkin bisa dilihat dari kalimat saya yang pabalieut, sama seperti pikiran tokoh-tokohnya yang sedikit 'err'' lupakan. Dan plis, jangan tanya ada lemonnya atau nggak. Saya cuma ingin buat fic yang ada lemonnya kalau memang benar-benar dibutuhkan untuk jalan cerita, kalau nggak, ya ngga akan saya buat. Saya amatir soalnya, dan jangan sampai sesuatu yang seharusnya menjadi indah itu malah hancur dengan deskrip saya yang sangat kurang untuk hal itu. #bow Rate M kan tidak selalu penuh dengan hal-hal seperti itu. :p Hehehe…

Dan sepertinya bacot saya terlalu banyak. Hihihi… maap~

Ayo, ramaikan KakaSaku Fanday, yuk? ;)

Masukan, saran, dan kritik sangat diterima dengan tangan terbuka. ^^

Terima kasih

Aya