Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.
Terinspirasi dari salah satu komik karya Mayu Shinjo.
Standard warning applied!
...
...
.
Hinata membuka mata dan mendapati dirinya berada dalam ruangan yang tak terlalu terang. Tapi cukup baginya untuk melihat keadaan ruangan. Ada beberapa sofa di sekitarnya. Bukan tempat yang buruk. Bagus. Terlalu bagus, malah. Hinata yang linglung kemudian menyadari dirinya yang terikat di kursi kayu yang hampir lapuk. Refleks ia bergerak untuk lepas.
"Kau boleh keluar."
Hinata kemudian mengalihkan pandangannya ke arah suara ketus yang telah memerintah. Satu gadis. Berambut panjang. Pandangannya sedikit kabur namun perlahan mulai jelas.
"Oh, kau sudah sadar rupanya," gadis berambut merah panjang itu berjalan perlahan ke arah Hinata.
Sedikit banyak, Hinata tahu gadis ini, tapi ia tak begitu mengenalnya. Hanya sekilas.
"Ano, kau...," Hinata berusaha menggali memori, namun memang ia tak mengenal siapa gadis berkacamata di hadapannya ini. Jadi, Hinata hanya bertanya, "di mana aku?" mengedarkan pandangannya dan tak menemukan siapapun selain mereka berdua.
"Ck," gadis berambut merah itu berkacak pinggang. "Sudah ya, jangan banyak bicara. Aku tidak mau meladeni gadis dengan level sepertimu." Kemudian ia memainkan kukunya dengan congkak sampai menimbulkan suara 'ctik' dari kukunya itu.
"Apa ... apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Hinata, ia mengernyit tak mengerti.
Kemudian gadis berambut merah itu justru mendekati Hinata dan mengangkat dagu gadis Hyuuga itu dengan telunjuknya. "Itu tidak penting. Yang penting adalah ... jauh-jauh dari Sasuke-kun!"
Hinata membulatkan kedua matanya. Merasakan hantaman keras dari kesadaran.
Gadis lain lagi.
"Atau kau akan—"
"Akan apa?"
"EH?!" Karin terkesiap penuh drama. Ia refleks menegakkan tubuhnya yang menegang. "K-Kau...," tunjuknya.
"Gaara..." lirih Hinata.
Gaara berjalan santai seraya menepuk ringan debu yang seolah menumpuk di kedua pundaknya yang berbalut jaket kulit. Sedikit meregangkan otot di sekitar lehernya, Gaara kemudian menghembuskan napas kasar. Mata hijaunya yang tajam menemukan sosok Karin, dan tak pernah meninggalkan gadis berambut merah yang terlihat melawan rasa takutnya mati-matian.
"Penjagaan yang buruk." Decih Gaara.
Saat pemuda Sabaku itu tepat di hadapannya, Karin menatap nyalang dengan sepasang bola matanya yang bergetar. Menantang, tapi ia tahu ia takut.
Saat Karin hendak memukul Gaara, melakukan perlawanan atau apa pun yang bisa menyingkirkan Gaara darinya, dengan sigap pemuda itu menangkap pergelangan gadis tersebut. Gaara menggelengkan kepalanya perlahan. Senyuman sinis terukir di sudut bibirnya saat Karin tersentak.
"Kau belum sampai di sana," kata Gaara, "kau belum siap. Masih banyak kebencian, keberanian yang harus kau miliki untuk melakukan kejahatan."
"Jangan macam-macam! Atau—atau aku, a-aku—"
"Ssst," Gaara menyentuh bibir Karin dengan telunjuknya. Kemudian mengusap ringan bibir tersebut dengan ibu jarinya. "Jangan bicara lagi," Gaara mendekatkan wajahnya, sedikit memiringkan kepalanya saat ia berbisik, "atau kau akan menyesal pernah memiliki bibir ini."
Pemuda Sabaku itu tidak main-main. Matanya menyalang tajam. Menjadikan Karin tak berdaya karena gentar. Beberapa detik kemudian, seolah menjadi dungu, Karin hanya membulatkan mata seolah berada dalam pengaruh mantra saat Gaara dengan mudahnya meraih Hinata dan melepaskan ikatan yang melilit tubuh gadis itu. Menggandeng tangannya dan membawanya lari saat Karin dengan mudahnya terjatuh ke lantai tanpa sadar sepenuhnya.
.
.
.
.
.
Saat sampai, sosok Sasuke sudah berdiri di ambang pintu. Terlihat manly dengan penampilannya yang acak-acakan. Hanya dengan kemeja putihnya yang biasa, dengan kancing teratas yang terbuka seperti biasa.
Satu tangannya tetap nyaman berada dalam saku celananya saat menyambut pelukan dari Hinata. Membalas pelukan ringan yang Hinata berikan, kemudian dengan lembut membelai surai keunguan gadis dalam pelukannya.
"Terima kasih, Gaara." Ucap Sasuke saat melihat Gaara yang turun dari motornya. Melepaskan helm dan memperlihatkan rambut merahnya yang berantakan, mencuat ke berbagai arah.
Pemuda berambut merah itu tak memberi respon berarti dan hanya menatap datar seperti ekspresinya yang biasa. Namun Sasuke tahu pemuda itu menerima ucapan terima kasihnya.
Sasuke dan Hinata kemudian masuk, setelah sebelumnya Sasuke menatap sekilas ke arah Gaara yang ia tinggalkan di luar.
"Mandilah," ujar Sasuke. Mengedikkan dagunya, memberi isyarat pada Hinata. "Kau bau matahari." Katanya yang diakhiri dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Hinata menunduk, merasakan kehangatan yang menjalar di setiap bagian tubuhnya, menjadikan wajahnya merona karenanya. Dan tanpa membagi pandang pada Sasuke, ia meninggalkan pemuda Uchiha itu untuk membersihkan diri.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya, mereka bersekolah seperti biasa. Hinata merasa lega, entah mengapa. Agak sulit melupakan kejadian kemarin, ia tak pernah memiliki pemikiran akan menjadi korban penculikan, tapi kini ia merasa itu semua tak ubahnya seperti mimpi buruk yang perlu ia singkirkan; bukan hal yang perlu ia pikirkan dan membuatnya takut.
Deru mesin menghalus saat berhenti, Hinata dan Sasuke turun dari mobil pribadi yang cukup mewah saat sampai di depan gerbang sekolah mereka yang tinggi. Udara pagi yang sejuk, deru angin yang lembut mengayunkan ujung jubah hitam selembut beludru yang dipakai dan selalu menjadi ciri dari seorang Uchiha Sasuke.
Hinata merasa kagum.
Gerak-gerik sekecil apa pun, bila itu adalah Sasuke, semua terasa seperti tercipta hanya untuknya. Pas dan indah.
Keduanya jalan hampir beriringan jika saja Hinata mau menyamai langkah lebar Sasuke dan dengan percaya diri berjalan di sampingnya. Bangga berada di sisinya.
Tapi ini Hinata.
Ia terlalu malu menjadi sorotan, enggan menjadi pusat perhatian.
Alhasil ia hanya jalan menunduk di belakang Sasuke, tapi masih bisa diraih saat Sasuke dengan sigap menarik pergelangan tangannya dan mengajak Hinata bekerja lebih untuk menyamai langkah kaki pemuda itu yang tiba-tiba menaikkan kecepatannya.
Rambut Hinata terurai bebas tertiup angin saat ia hampir berlari. Baru saja akan menyuarakan protesnya saat Sasuke langsung berhenti di hadapan gadis yang ia kenal bernama Sakura. Gadis itu menengok saat menyadari kehadiran Sasuke dan Hinata, kemudian menghadirkan senyum manis yang cantik di wajahnya.
"Oh, hai Sasu—!"
Napas Hinata tercekat seketika saat Sasuke menodongkan pistol ke kening gadis cantik berambut pink tersebut. Membuat waktu terasa berhenti sesaat, dan setiap gerakan terlihat seolah melambat.
Sakura tak kalah kaget, dengan gelagapan gadis itu berusaha terlepas dari situasi ini.
"Wow, t-tunggu dulu," ujarnya, berusaha tersenyum, canggung, "a-ada apa ini?"
Sasuke luar biasa tenang. Seolah hal seperti ini adalah hal paling wajar di dunia. Hal paling legal yang ia lakukan. Tapi Hinata tahu, Sasuke sedang tidak dalam keadaan seperti itu saat ia bisa melihat otot di sekitar rahang Sasuke bergerak ketika pemuda itu menggeritkan giginya.
Hinata merasakan dadanya terasa menyempit. Sesak karena napas yang tanpa sadar ia tahan beberapa saat, sebab rasa takutlah biang keladinya.
"Jangan mencampuri hidupku," ujar Sasuke dengan suara rendah yang mencekam.
"Apa maksudmu?" Sakura tak mengerti. Dan mulai merasa marah karena tersinggung oleh kata-kata Sasuke.
"Jangan menguji kesabaranku, Sakura," ucap Sasuke kini penuh dengan penekanan di setiap penggalan kata. "Sekali lagi saja kutahu kau dan para bajinganmu melakukan sesuatu terhadap Hinata...," Sasuke kemudian memiringkan kepalanya, kelopak matanya setengah terbuka saat tatapannya menajam, "kautahu dengan siapa kau berurusan."
Hinata tersentak. Soal kemarin ... apakah, apakah Sasuke mengetahui kejadian yang kemarin itu?
"S-Sasuke, Sakura-san...," Hinata ingin menampar mulutnya sendiri yang berbicara tak jelas di saat genting seperti ini. Ia perlu mengambil langkah karena ialah kuncinya. Menjadi jembatan di antara perselisihan keduanya.
"Nona, sebaiknya kau jelaskan pada pria gila ini!" seru Sakura. Melirik Hinata kemudian menatap Sasuke lagi. Mulai kesal tapi tak berdaya berbuat lebih karena masih sayang nyawa. Sedikit saja gerakan kecil, Sasuke mungkin tak akan segan-segan menghabisinya di sini. Sekarang.
Tak peduli di mana mereka. Kondisi mereka.
"S-Sasuke, b-bukan Sakura-san—" Hinata berusaha menjelaskan, kemudian meringis saat genggaman tangan Sasuke mengerat dan mencengkeram tangannya.
"Kaulihat?" ujar Sakura nyalang. "Sebaiknya kau dengarkan baik-baik gadismu itu!" bentak Sakura, menekankan kata 'gadis' untuk menampar Sasuke dan menyindirnya sekaligus. Dadanya naik-turun untuk mengatur napas. Sakura sudah tersulut emosi karena tuduhan tak jelas. Dan marah karena penuduhnya adalah Sasuke. Laki-laki yang telah menjadi pelabuhan hati. Hanya demi gadis lain.
Sasuke menghembuskan napas kasar. Kemudian dengan gerak cepat menurunkan pistolnya dan berlalu melewati Sakura yang masih mengatur napas dan shock.
Sasuke tak memedulikan tatapan siswa-siswi di sekitar mereka. Meski mereka sendiri pun berusaha bersikap biasa seolah tak melihat apa pun, tak terjadi apa-apa. Tak ada yang ingin berurusan—sedikit pun, sekecil apa pun itu dengan orang sekelas Sasuke.
Sasuke masih menarik pergelangan tangan Hinata meski ia bisa merasakan rontaan kecil yang gadis itu lakukan agar terlepas darinya. Sasuke masih memaksa gadis itu untuk mengikuti langkahnya yang cepat. Saat di lorong dekat kelas Hinata, gadis itu memberanikan diri menarik tangannya dan membuat Sasuke berbalik, menatapnya.
Hinata sontak menelan ludahnya tanpa sadar.
"Sasuke," Hinata menghirup udara, mengumpulkan segenap keberanian, berusaha tenang. "Sakura-san, dia ... dia bukan—"
"Jangan membela orang lain di hadapanku." Ucap Sasuke dingin.
"T-Tapi memang—"
"Masuklah." Sasuke melepas tangan Hinata dengan setengah menepisnya, ia memalingkan wajahnya dari Hinata. Bersikap seperti seorang bajingan yang tak berhati. Kemudian tanpa basa-basi pergi meninggalkan Hinata yang masih tercenung menatap kepergiannya.
.
.
.
.
.
Sepanjang hari ini, Hinata merasa benar-benar menjadi selayaknya siswi pada umumnya. Sebab, tak ada kunjungan tiba-tiba, tak ada paksaan untuknya membolos kelas, tak ada kejadian di luar kewajaran yang dilakukan Sasuke padanya. Seharian.
Namun, di satu sisi, Hinata tahu apa penyebabnya. Dan menyadari sebagian dari dirinya merasa kecewa. Hanya—selalu hanya bisa menghela napas tiap kali ia mengingat semua itu. Ada banyak hal yang ia ingin jelaskan, ingin ia ceritakan pada Sasuke dan membuat segalanya menjadi clear.
Namun di saat seperti ini, ia justru tak menemukan Sasuke.
Bahkan, di saat jam pulang pun, Sasuke tak datang ke kelasnya, saat jemputan mobil mereka datang, Sasuke tak semobil bersamanya. Ia berkelit dengan mengandalkan alasan 'banyak urusan' yang membuat Hinata mau tak mau hanya bisa menerima.
Cukup sepi kursi penumpang tanpa Sasuke yang ikut duduk bersamanya. Hah, hampa rasanya hari ini.
Sesampainya di mansion, Hinata membersihkan dirinya, merapikan kamar dan hal-hal yang memang perlu ia rapikan. Sengaja menyibukkan diri, karena tahu hari ini akan menjadi hari yang membosankan baginya karena Sasuke sempat mengiriminya pesan bahwa ia takkan pulang cepat.
Jadi ia mulai bergerak dan menghabiskan waktu yang luang.
Saat semuanya beres seperti yang ia inginkan, Hinata kemudian menghempaskan dirinya di ranjang. Rambutnya tergerai bebas di sekitar kepalanya seperti tumpahan tinta. Ia memejamkan mata. Sudah lama rasanya ia bisa bermalas-malasan tak jelas seperti ini.
Sedang apa Sasuke sekarang?
Ah.
Kenapa tiba-tiba begini?
Hinata mengerang saat menyadari betapa konyol tingkahnya ini.
Entah malu pada siapa, Hinata meraih bantal dan menutup wajahnya dengan benda empuk tersebut.
Sisa hari dihabiskan Hinata dengan lebih banyak berguling-guling di kasurnya yang empuk. Kadang mengecek ponselnya dan memainkan games. Lalu sebagian lagi waktunya ia manfaatkan untuk mengerjakan tugas dan mengisi keperluan perutnya. Ia tak banyak melakukan apa-apa karena selalu ada pelayan yang seolah menggadaikan jiwa mereka pada Hinata agar gadis itu tak melakukan apa pun, apalagi sampai kelelahan.
Hingga hari jatuh ke petang, dan menyerahkan siang pada malam.
Hari itu juga, Hinata tak menyadari bahwa ada sepercik kekesalan dalam dirinya.
Sasuke berbohong padanya, ia bilang takkan pulang cepat; yang mana di pikiran Hinata, masih ada kemungkinan pemuda itu untuk pulang meski harus sampai ke rumah dini hari. Tapi hari itu, Sasuke tak pulang sama sekali.
.
.
.
.
.
Sampai keesokan harinya pun, Hinata masih belum bertemu dengan Sasuke. Heran. Seharian ia seperti gadis yang menyedihkan karena selalu menengok ke belakang, mengecek dan berharap ada Sasuke. Teman sebangkunya bertanya tentang sikap Hinata yang berubah. Begitu pun dengan Naruto. Sai juga tak ketinggalan.
"Hey, Hinata-chan, apakah bla bla bla," di mata Hinata, yang terlihat hanyalah gerakan bibir dan suaranya yang entah mengapa seperti suara kaset rusak. Ia tak begitu menaruh perhatian dengan teman sekelasnya itu. Hinata kembali meraih kesadarannya saat Naruto berteriak, "Sakura-chan!" kemudian pemuda Uzumaki itu meninggalkan Hinata dan mengejar Sakura.
Satu momen yang tak Hinata lewatkan. Hatinya tak nyaman. Melihat Sakura, ia mengingat kejadian kemarin. Ada rasa kasihan, takut, juga rasa bersalah pada gadis cantik itu.
Hari itu, di sekolah, di kelas, perpustakaan, bahkan sampai di mansion pun Hinata masih membawa perasaan tak menyenangkan untuk bergelayut di dadanya, dan terus begitu.
Hinata melemparkan sembarangan tasnya di atas kasur, juga menghempaskan tubuhnya yang lelah ke sana. Kali ini ia juga sepertinya hanya akan melakukan hal yang monoton lagi. Mengulang kegiatan yang membosankan lagi.
"Sasuke~"
Hinata tersentak saat mendengar suara perempuan di lantai bawah. Hinata bangkit dari posisi tidurnya, menajamkan pendengaran dan suara yang memanggil Sasuke terdengar lagi. Jadi Hinata bangun. Ia kemudian menuruni tangga secara perlahan. Seragam sekolahnya masih ia kenakan. Begitu was-was dan penasaran.
"Sasu—oh, hai!" seru perempuan itu saat manik kebiruannya menemukan sosok Hinata.
"H-Halo." Hinata kemudian membungkuk sopan. Dan terperangah saat mendengar suara tawa ringan perempuan di depannya.
"Oh, ayolah. Tidak perlu seformal itu." Katanya dengan riang. Hinata dibuat canggung karenanya.
Perempuan itu cantik. Rambutnya pirang panjang dan tergerai bebas. Jatuh di kedua pundaknya yang kecil. Ia begitu modis dengan hanya memakai kaus putih, jaket kulit hitam yang mengilap, tas jinjing dan sepatu dengan hak lima senti. Rambut pirangnya begitu kontras di atas warna hitam. Kulitnya putih mulus, dan kakinya jenjang. Benar-benar bentuk tubuh idaman. Tubuhnya itu benar-benar ... body goal.
Hinata terperangah dan hampir tergoda untuk menganga. Bahkan dari jaraknya sekarang, dua meter, Hinata bisa mencium aroma parfum yang dipakai perempuan itu. Wangi yang segar dan lembut dari aroma bunga.
Jauh dengan Hinata yang masih dengan seragam sekolah, menyimpan sisa aroma keringat, dan terlihat kucel. Hinata tiba-tiba merasa tak layak.
"Aku Yamanaka Ino. Kau?" perempuan Yamanaka itu menyuguhkan senyuman menyenangkan seraya menyodorkan tangannya pada Hinata.
"A-Aku Hyuuga Hinata," Hinata kemudian menyambut uluran tangan Ino dan menjabatnya. Dan menemukan dirinya yang iri saat menyentuh kulit Ino yang sesuai dugaannya.
"Hm...," Ino kemudian terlihat menelisik, "apakah kau ... um, Sasuke," ia memainkan telunjuknya di hadapan Hinata, kemudian terkekeh sendiri, "oke, oke. Aku mengerti."
Hinata mengernyit melihat kelakuan perempuan di hadapannya ini.
"Ano, a-ada yang bisa kubantu?" tanya Hinata. "Apa ... kau mencari Sasuke?" Hinata bertanya dengan hati-hati. "U-Um, dia sedang tidak ada di rumah sekarang." Kemudian Hinata tersenyum kikuk menyelesaikan kalimatnya.
Ino memutar bola matanya, mengibaskan satu tangannya dengan cepat saat menjawab, "Hah, Sasuke memang sering seperti itu," katanya ringan. Kemudian Ino merogoh tasnya. Mengeluarkan sebuah arloji yang mengilap dan terlihat mahal. "Aku kemari hanya untuk mengembalikan ini," Ino kemudian menyerahkan arloji itu pada Hinata. "Dia meninggalkannya kemarin."
Hinata mengerutkan keningnya dan menerima benda itu. "Ah." Gumamnya.
Hinata mendongak saat merasakan Ino berada tepat di hadapannya. Karena sepatu berhak tingginya, Ino harus menyejajarkan tingginya dengan Hinata. Hampir tercekat saat menatap wajah cantik Yamanaka dari dekat.
"Untuk berada di samping lelaki seperti Sasuke, kau harus kuat. Ada beberapa hal yang perlu kau ubah agar menjadi sosok yang layak." Lalu Ino tersenyum hingga sepasang matanya membentuk sabit. "Kau manis sekali!" serunya. "Astaga!" lalu tiba-tiba ia menepuk keningnya dan mulai terlihat heboh sendiri. "Aku harus segera pergi Hinata-san, baiklah, sampai jumpa!" ia mulai berlari dan melambaikan tangannya sambil berlalu tergesa-gesa.
Hinata masih terpaku menatap sosok Ino yang sudah menghilang di balik pintu. Dan yakin bahwa perempuan itu sudah meninggalkan area mansion saat ia mendengar deru mesin mobil yang halus menjauh.
Kemudian pandangannya teralih lagi ke arloji yang ada di genggaman tangannya. Menatapnya tanpa nyawa. Tak menyadari berapa lama waktu yang terlewati.
"Untuk apa dia ke sini?"
Hinata tersentak. "Gaara?" gumamnya. Kemudian menyadari siapa yang Gaara maksud. "Ah, dia hanya mengantarkan ini." Lalu Hinata mengangkat tangannya memperlihatkan sebuah arloji.
Gaara hanya mengerling sekilas dan menatap Hinata dengan tatapan datar yang serius.
"Apa kau tahu siapa dia?" tanya Gaara. Sedangkan Hinata hanya menunduk dan menggeleng lemah. "Dia adalah wanitanya Sasuke."
Hinata terlihat tertegun sesaat. "Aa." Gumamnya seolah menerima dengan lapang dada.
Wanitanya Sasuke.
Jika ia, mengapa sikapnya begitu bersahabat saat melihat Hinata. Kebanyakan wanita yang terlibat dalam sebuah hubungan dan menemukan wanita lain dalam lingkar sama akan menghadang dan melakukan hal yang diperlukan untuk menjauhkan wanita lain agar mampu mendominasi si tokoh pria. Memiliki hanya untuk dirinya sendiri. Tapi tadi ... tidak dengan Ino, ia justru menunjukkan hal yang sebaliknya.
Atau Hinata tak masuk dalam daftarnya sebagai saingan? Ancaman?
"Kau dan Sasuke belum melakukannya, 'kan?" tanya Gaara tanpa tedeng aling-aling.
Tak ayal pertanyaan frontal Gaara ini membuat Hinata mengulang gerakan yang sama; menunduk dan menggelengkan kepalanya. Plus, wajahnya yang memanas dan berubah warna menjadi kemerahan. Ia mengerti betul apa yang ditanyakan Gaara padanya.
Melihat ini, Gaara menghembuskan napas kasar. Merasa konyol karena seperti orang usil yang ingin tahu kehidupan privasi orang lain. Hal seperti ini bukan urusannya. Untuk mencairkan suasana, ia berdehem.
"Sasuke memintaku untuk mengecek keperluanmu," kata Gaara merubah topik, "ia belum bisa pulang. Jadi ia ingin aku menemanimu jika kau butuh sesuatu."
Hinata baru saja mendengar bagian buruk dari kehidupan Sasuke. Sekarang mendengar tawaran pemuda Uchiha itu yang membuat Hinata seolah-seolah menjadi orang penting dari hidupnya, prioritasnya.
Begitu berlawanan. Dan mood Hinata menjadi tidak bagus karenanya.
Hinata memaksakan senyum saat berujar, "Ehm, terima kasih. A-aku rasa aku hanya ingin diam di rumah saja."
.
.
.
.
.
Terakhir kali Sasuke berurusan dengan Sakura adalah pembahasan mengenai keberadaan Hinata. Gadis itu menentangnya. Mempertanyakan perasaan Sasuke padanya. Secara garis besar, ia dan Sakura tak berhubungan baik sejak hari itu. Jadi, saat Sasuke tahu apa yang dilakukan saudari Sakura, dalam kasus ini adalah Karin, Sasuke tak bisa menahan dirinya. Ia berang.
Kabar dengan cepat sampai ke telinganya.
Dan tak menunggu waktu yang lama bagi Sasuke untuk menyimpulkan dengan otaknya yang panas bahwa dalang di balik peristiwa penculikan Hinata adalah Sakura.
Syukurlah penculikan itu tak berakhir tragis.
Thanks to Gaara.
Ia benar-benar harus berterima kasih dan menuliskan nama Gaara di daftar teratas orang yang harus ia balas budinya.
Saat tahu apa yang terjadi, ia tak mau bertindak bengis di hadapan Hinata saat gadis itu pulang dari kejadian tersebut. Sasuke menyimpannya sendiri, dan mengatur segalanya dengan tersembunyi. Hinata tak perlu tahu sisi gelapnya yang belum terjamah.
Sasuke ingin Hinata tetap berada dalam zona terang.
Tapi saat Sasuke melihat Sakura hari itu, amarahnya meledak sampai ke otak, membuat Sasuke dengan gesitnya bertindak mengancam nyawa Sakura di hadapan Hinata.
Sasuke bukan orang yang mudah bertindak sembrono. Tapi ia juga bisa disebut sebagai budak amarah.
Pikirannya kalut, dan sikap Hinata pada saat itu tak membantunya menjadi lebih baik. Meski begitu, Sasuke sudah menahan kekesalannya, rasa jengkel yang bercokol di hatinya. Sasuke kesal sendiri, dan ia tahu bukan kepada Hinata ia harus melampiaskannya.
Di tengah kekalutannya, Sasuke belum siap jika harus bertatap muka dengan Hinata. Ia butuh jeda waktu untuk menata kembali dirinya, menjadi Sasuke yang Hinata kenal.
Dan seolah dirinya terlahir dengan keberuntungan lebih, ia bertemu dengan Ino setelah wanita itu pulang dari negara belahan Eropa untuk menyelesaikan fashion show-nya dan menghubungi Sasuke.
Wanita teman tidurnya. Yang terlama dari perempuan-perempuan yang pernah berhubungan dengannya, berbagi satu ranjang dengannya. Berbagi sensasi dari setiap sentuhan kulit ke kulit tanpa penghalang meski setipis kertas.
Sasuke butuh pelampiasan untuk melepaskan stres dan juga kebutuhan biologisnya yang tak bisa ia lakukan terhadap Hinata. Dan Yamanaka Ino adalah dewi penolongnya. Bersedia menyerahkan segalanya dalam genggaman Sasuke, membiarkan Sasuke mendominasinya dalam balutan gairah yang berdasarkan nafsu semata.
Tapi tidak dengan Ino. Wanita selalu melibatkan perasaan dalam setiap jengkal kehidupannya. Begitu juga saat ia bercinta dengan Sasuke. Ia melakukannya karena ada hati yang ikut andil di antara ia dan Sasuke.
Saat tengah berada dalam atmosfer yang luar biasa. Ino tanpa sadar menyuarakan isi hati dan pikirannya. Membuat Sasuke berhenti memberinya kenikmatan, dan dengan kejamnya menghentikan apa yang tengah mereka lakukan bersama kala itu.
Ino yang protes hanya dibuat terperangah dengan jawaban singkat Sasuke.
Dengan ringannya ia berkata, "Aku kehilangan mood." Dan mulai mengenakan pakaiannya tanpa hati-hati. Meninggalkannya sendiri.
Ino tahu Sasuke tak suka pernyataan cinta. Ino selalu menahan, menghindari kejadian seperti tadi. Karena Ino tahu, bagi Sasuke, apa yang terjadi di antara mereka tak lebih dari sekadar bisnis atau hal yang saling menguntungkan.
.
.
.
.
.
"Sasuke? Kau tidak ke sekolah?" tanya Kabuto.
Terhitung dua hari sudah Sasuke tak memilih mansion untuk ia pulang. Alih-alih pulang, ia justru berdiam di markas Akatsuki. Ia pun masih belum mau berangkat ke sekolah; tempat yang hanya ia jadikan sebagai kedok. Setidaknya sampai hal yang perlu ia lakukan selesai untuk dilakukan, baru setelahnya ia akan pulang. Dan ... menemui Hinata, tentu saja.
"Sasuke? Sekolah? Pft," ujar Suigetsu, terlihat menahan tawa gelinya. Kelakuannya ini mendapatkan tatapan tajam dari Sasuke. Juugo yang duduk di sebelahnya pun melirik ke arahnya. Sadar keadaan, Suigetsu pun berdecih, "ya, ya baiklah," katanya, mengibaskan tangan dan memutar bola mata. Masih menemukan tatapan tajam dari Sasuke, tapi ia sudah terbiasa. "Tatap saja terus seperti itu sampai aku mati."
"Hubungi Asuma," ujar Sasuke, "minta padanya untuk menyiapkan ini." Sasuke mendorong ponsel pintarnya ke tengah meja. Membuat Juugo, Kabuto, dan Suigetsu menengok ke arah gambar yang tertera di sana.
"Kita memiliki persenjataan lengkap yang modern, untuk apa senjata tua seperti ini?" tanya Suigetsu, "untuk mobilnya mungkin oke." Suigetsu menggaruk asal tengkuknya, tak mengerti dengan jalan pikiran Sasuke.
"Lakukan saja," perintah Sasuke setengah menggeram, kemudian menyilangkan kaki dan bersandar pada kursi yang ia duduki, "biar kuberitahu apa yang harus kalian lakukan selanjutnya nanti."
.
.
.
.
.
Hinata menyisir rambutnya di depan cermin. Malam menjelang, dan Sasuke masih belum pulang. Hinata menghembuskan napas. Apakah separah ini keadaannya?
Melirik jam, sudah waktunya makan malam, pantas saja perutnya mulai terasa perih. Maka, Hinata pun turun dan menuju ke ruang makan. Dan terlonjak kaget saat melihat Sasuke datang dari arah pintu masuk. Melihatnya tanpa berkedip. Sosok Sasuke yang sekarang begitu ... begitu anak muda sekali.
Tumben sekali Sasuke mengenakan jeans, kaus putih polos biasa dan membalut bagian luar dengan jaket hitam. Penampilan yang memang sepantasnya ia gunakan seusianya.
"Sudah makan?" tanya Sasuke.
Hinata hanya menggeleng dengan cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari Sasuke.
Kemudian Sasuke mengedikkan kepalanya, mengajak Hinata untuk segera ke ruang makan bersama dengannya. Seorang pelayan wanita datang, membungkuk pada Sasuke, lalu menerima jaket yang Sasuke tanggalkan dari tubuhnya. Setelahnya Sasuke jalan terlebih dahulu ke ruang makan yang diikuti oleh Hinata seperti anak itik.
Beberapa pelayan mulai menyingkir setelah membersihkan meja makan dan menghidangkan makanan khas rumahan yang Hinata suka. Sasuke dan Hinata duduk berseberangan. Setelah duduk, Sasuke menggerakkan jarinya, isyarat kepada para pelayan untuk meninggalkan mereka berdua.
Sasuke mulai meraih sumpitnya. Menjepit beberapa makanan untuk di bawa ke mangkuk nasinya. Hinata masih belum menyentuh apa-apa. Menggigit bibir bawahnya, dan disergap rasa canggung yang tak nyaman.
"Ada apa?" Sasuke kembali bertanya setelah menyadari sikap aneh Hinata.
"Eh?" Hinata menggelengkan kepalanya dengan cepat lagi, lalu dengan cepat mengambil sumpit di samping mangkuk nasinya.
Saat dilihatnya Sasuke kembali fokus dengan makan malamnya, Hinata entah mendapat keberanian dari mana, bertanya.
"K-Kau tidak p-pulang beberapa hari," mulai Hinata dengan perlahan, suaranya mencicit. "A-apa ... urusanmu s-sudah selesai?" tanyanya takut-takut.
"Hn." Sasuke masih menyuap makanannya.
Melihat ini, hati Hinata mencelos. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Suasana hatinya perlahan menggelap. Tanpa sadar ia tertunduk dan mencengkeram sumpitnya dengan kencang.
"Apakah urusanmu adalah Yamanaka Ino?" tanya Hinata kini tanpa terbata, ia masih menunduk.
Sasuke menghentikan gerakannya mengambang di udara. Tapi selang beberapa detik, Sasuke kembali melanjutkan kegiatan makannya.
"Ia kemarin ke sini untuk mengantarkan arlojimu."
"Untuk berada di samping lelaki seperti Sasuke, kau harus kuat."
Harus sekuat apa lagi dirinya? Apakah Hinata masih terlalu lemah untuk berdiri bersama Sasuke?
"Ada beberapa hal yang perlu kau ubah agar menjadi sosok yang layak."
Sosok yang layak. Apakah maksudnya layak seperti Ino? Yang cantik dan sempurna? Memilki segalanya, menjentikkan jari dan foila! Ia dapat apa yang ia mau.
Apakah Hinata tak cantik hingga tak pantas jika disandingkan dengan lelaki seperti Sasuke? Apakah ia sebegitu tak menarik? Terlalu membosankan di mata kaum Adam, bahkan kaum Hawa sendiri?
"Kau dan Sasuke belum melakukannya, 'kan?"
Sasuke tak pernah benar-benar ingin menyentuhnya jika bukan karena tertutup oleh amarah dan yang Hinata pikir adalah kecemburuan. Apa yang sebenarnya ada di antara mereka? Hinata belum bisa menemukan titik terang. Untuk apa semuanya ini? Dia dan Sasuke ... akan bermuara pada apa kesemuanya ini?
Sisi wanita dari diri Hinata merasa terluka. Ia ingin menjadi wanita yang diinginkan. Dicintai, dibutuhkan. Ia mungkin tak sempurna, tapi Hinata mempunyai hati yang bisa ia jadikan jaminan untuk sebuah hubungan, untuk cinta.
Hinata masih menunduk dan masih mencengkeram sumpitnya saat ia berkata sesuatu yang membuat Sasuke kaget bukan kepalang.
"Sasuke," hening sejenak, "sentuh aku."
Hinata tak melihat bagaimana ekspresi Sasuke saat ia mengatakan hal itu. Mata pemuda itu sedikit membulat, kemudian kembali normal setelah beberapa detik. Namun ada yang berbeda dari pandangannya.
Kata-kata yang salah.
Karena seketika Sasuke ingin membalikkan meja makan di hadapannya, membuang apa yang ada di atasnya, menarik Hinata ke atas meja dan mengacak-acak piyamanya yang tak berdosa. Memaksa tubuh gadis itu untuk menerima udara dingin karena piyamanya yang terbuka. Membuatnya menyesali ucapannya karena Sasuke akan menguasainya, menikmatinya tanpa ampun. Takkan membiarkan bibirnya mengeluarkan kata-kata selain menyebut namanya, mendesah karena sentuhannya, lidahnya, bibirnya, mulutnya.
Sial!
Sasuke menutup matanya, menghembuskan napas perlahan mencoba meredam apa pun itu yang memaksa untuk keluar dari dirinya.
Detik yang terlewati bagai waktu yang abadi. Hinata tak pernah merasa sekecewa ini. Ia tak pernah merasa...
Dan pemikiran negatifnya yang terus dibangun dalam otaknya berhenti saat ia merasakan sebuah tangan yang menggapai tangannya. Membuat Hinata menengadah dan mendapati punggung Sasuke yang menariknya entah kemana.
Ada rasa senang bagai kepakan sayap kupu-kupu di perutnya saat ia melihat Sasuke merespon. Membawanya pada satu tempat di mana permintaannya di meja makan tadi akan menjadi kenyataan dalam beberapa menit ke depan.
Dan benar saja. Sasuke membuka pintu, menendangnya kemudian agar tertutup dengan sempurna. Satu tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Hinata menyentaknya hingga Hinata tertarik dan kemudian berada dalam rengkuhan Sasuke.
Refleks Hinata mengeratkan tangannya di lengan Sasuke. Namun, pria itu dengan gerakan seringan angin mendorong tubuh Hinata, membuatnya terhempas dengan tepat di atas ranjangnya yang luas.
Ada sebersit rasa cemas. Tapi Hinata meyakinkan diri, bahwa dengan sadar ia menginginkan ini.
Sasuke mengambil kesempatan untuk membuka kaus putihnya, melemparnya ke samping dan tak peduli akan terjatuh di mana.
Ia menyuguhkan Hinata pemandangan yang membuat wanita manapun menganga dan tanpa sadar berlutut hanya demi menyentuh tubuh pemuda itu yang bak pahatan dewa. Setiap gerakan yang ia buat, Sasuke tak pernah mengalihkan tatapannya dari gadis yang juga menatapnya gentar.
Sasuke benar-benar seorang pria sejati.
Di detik berikutnya, Sasuke melangkah ke arah ranjangnya, merangkak perlahan di atas tubuh Hinata yang mulai gemetar entah karena takut atau sensasi aneh yang mulai mengakar dalam dirinya.
Sepasang mata Uchiha-nya setengah terbuka dan tertutup kabut gairah yang nyata saat menatap Hinata tepat di depan sepasang bola matanya. Membuat Hinata menerima napas hangat dari Sasuke yang menyapu wajahnya.
Dan Hinata menelan ludahnya saat Sasuke merendahkan tubuhnya dan memposisikan kepalanya di telinga kanan Hinata.
"Kau yang mengundangku." Kata Sasuke dengan suara rendahnya yang tak biasa, diwarnai serak yang membuatnya begitu seksi.
Apa dia benar-benar yakin menginginkan ini?
Tanya Hinata pada dirinya sendiri.
Sibuk dengan pemikirannya sendiri, dengan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya, dan melewatkan waktu di mana Sasuke mulai membuka kancing piyamanya dengan tidak sabaran, mengecup lamat-lamat satu sisi di rahang Hinata hingga akhirnya berubah begitu penuh gairah.
Napas Hinata tercekat, refleks ia menggigit bibir bawahnya, menahan sebuah suara yang mengganjal di tenggorokannya dan memaksa keluar tanpa ia inginkan. Tubuhnya mulai menggeliat saat tangan Sasuke menyelusup di balik bahan yang tak berarti, menemukan perut Hinata dan mengusapnya dengan gerakan memutar yang menggoda.
Ya Tuhan.
Hinata rasanya akan segera kehilangan akal saat Sasuke berhasil membuka sepenuhnya bagian depan piyama. Mengecup kulit di atas dadanya, menghirup aroma khas Hinata yang lembut dan memabukkan.
Hinata menjelma menjadi ekstasi baginya, candu yang tak bisa ia tolak, yang membuatnya terus dan terus ingin memilikinya, menghirupnya, menikmatinya tanpa jeda.
Hingga satu tangan Sasuke yang tak sabaran membuka klip dari bra yang menghalangi hasratnya untuk mencumbu Hinata. Menemukan apa yang ia inginkan dan napasnya memburu saat ia berhasil menikmati puncak payudara Hinata yang merespon sentuhan lidahnya.
Hinata tak bisa menahan semua kegilaan yang nikmat ini. Tangannya mencengkeram pundak Sasuke dan satu lagi mencakar punggung pemuda itu yang telanjang. Ia memejamkan mata dan menutup mulutnya rapat-rapat. Gerakan mulut Sasuke di dadanya menggila. Hinata butuh pegangan, tanpa sadar ia menjambak surai Sasuke yang mulai lembab karena keringat.
Di ruangan terbatas ini, Hinata bisa mendengar deru napas Sasuke, geraman rendahnya, dan desah dari udah yang ia hirup.
Dan begitu tersentak saat merasakan satu tangan pemuda itu yang mulai bermain di bagian bawah tubuhnya. Hinata terkesiap. Ada dinding rasa takut yang menjulang dalam dirinya. Membentenginya dari kenikmatan penuh dosa yang sengaja ia sentuh.
"Sasu—"
Panggilannya terpotong oleh lenguhannya sendiri yang tertahan. Tubuhnya tiba-tiba bergetar luar biasa di bawah tubuh kokoh Sasuke yang berada di atasnya. Dan Sasuke bisa merasakan itu.
Ia tak peduli.
Terus melakukan apa yang ia ingin lakukan pada tubuh Hinata yang mulai setengah telanjang. Napasnya memburu membayangkan adegan-adegan liar yang berputar di kepalanya.
Sasuke merasakan cengkeraman Hinata yang menguat dan membuatnya merasakan sakit. Suara gadis itu yang putus asa karena keraguan yang merayap di hatinya, berdiri di antara pemikiran rasional dan irasionalnya. Keraguan yang entah dari mana merayap dalam diri Sasuke seperti api, yang membuatnya merasa tak tahan untuk terus melanjutkan.
Dengan erangan yang terdengar jelas, Sasuke mengangkat tubuhnya, menunduk dan menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya yang jatuh membingkai wajahnya yang mulai berkeringat.
"Jangan menggodaku jika kau masih ragu." Ucapnya, kemudian bangkit tanpa sepatah kata lagi. Meninggalkan Hinata yang mulai berpikir apa lagi kesalahan yang telah diperbuatnya. Membuat Hinata sadar dan malu dengan apa yang telah di lakukannya. Ini pasti sulit untuk Sasuke dan juga untuk dirinya sendiri.
Pintu ditutup kasar dan menimbulkan suara nyaring yang membuat Hinata terperanjat. Ia meraih selimut, menutupi dirinya, wajahnya dari rasa malu. Memikirkan Sasuke yang mungkin, sekali lagi, marah padanya.
Di ruangan lain, Sasuke mengguyur dirinya sendiri dengan air dingin dari shower, tak bersusah payah menanggalkan celana. Kepalanya tertunduk menerima air, rambutnya jatuh seperti lumut panjang yang lembut. Apa pun, asal sesuatu di bagian bawah tubuhnya bisa diredam. Jadi, ia butuh, sangat butuh air dingin.
.
.
.
.
.
To be Continued.
AN: Heyho! Sudah lama sekali ya setelah apdet chapter terakhir. Maaf sekali! Dan saya rasa kalian berhak dapet penjelasan, dalam kurun waktu empat tahun ini banyak yang terjadi, dan paling penting adalah laptop rusak, butuh waktu buat punya lagi, lama gak sentuh FFn, saya lupa sama alur cerita ini haha. Tapi, udah membangun lagi alur dari awal. Dan kayanya ff ini lebih mudah dibanding ff saya yang IW, yang rumit dan yah begitulah =_=
Btw, saya emang udah rencana untuk apdet tanggal segini, ada yang udah ngira-ngira kah? :D
Dan dari lubuk hati terdalam saya sangat berharap chap kali ini bisa memuaskan, apa lagi kepada readers-tachi yang (mungkin) menunggu ff ini apdet ^^ dan demi kepuasan kalian, saya ngetik ini dengan words terbanyak yang pernah saya ketik, anggaplah untuk menebus dosa(?) wkwk. Terlepas dari itu semua, saya berterima kasih dan minta maaf untuk segala kekurangan dalam chap ini.
Thanks for reading. review, please? ^^