"Jadi, kapan transaksinya akan dilakukan?" Ucap seseorang itu tanpa membalikkan dirinya yang duduk dalam sebuah kursi.

"Besok, Tuan. Di Konoha." Jawab seorang bawahan dengan tetap menundukkan kepalanya hormat.

"Baiklah, persiapkan semuanya untuk keberangkatan kita ke Konoha." Kini kursi itu membalik dan terlihat siapa orang di baliknya.

"Baik."

Warning: AU, OOC, Lemon, Typo (s) Bertebaran, tidak Sesuai EYD, abal, GaJe, ide pasaran.

Sebelum menyesal, silahkan klik 'BACK' xD

Fiction rated: M

Disclaimer:

Naruto Sepenuhnya milik Masashi Kishimoto

Genre: Romance/Hurt/Comfort

DON'T LIKE, DON'T READ!

Read and Enjoy! ^^

Chapter 1

.

.

.

.

"Hinata, ayo kita sarapan dulu." Seru seorang ibu paruh baya yang sedang menyiapkan makan sederhana, pada puterinya yang bernama Hinata.

"Maaf bu, tapi aku sudah terlambat. Aku harus segera berangkat." Jawab seorang gadis yang kemudian menampakkan wujudnya dari kamarnya. Segera ia menghampiri ibu dan adiknya di meja makan yang juga sederhana untuk berpamitan.

"Tapi…." Sang ibu masih berusaha untuk membujuk puterinya ini untuk sarapan bersama.

"Aku berangkat." Sela Hinata memotong perkataan ibunya setelah ia mencium pipi kiri sang ibu, dan langsung melesat keluar pintu rumahnya.

"Nee-chan! Ibu, kenapa nee-chan tidak makan bersama kita?" Tanya seorang anak berumur 5 tahun yang bernama Hanabi kepada ibunya. Di tangannya sudah menggenggam sendok dan garpu bersiap untuk sarapan.

"Mungkin karena nee-chan terlambat ke sekolah, Hanabi." Jawab si ibu sambil mengelus puncak kepala puteri bungsunya. "Ayo, kita makan." Lanjutnya. Segera ia duduk di kursi dan menghadap ke meja makan.

'Hinata pasti kelelahan karena harus terus bekerja.' Gumamnya dalam hati.

.

.

.

Konoha Senior High School.

"Hah..hah..Oh-ohayou Mat- hah suri." Sapa Hinata kepada teman sebangkunya di kelas dua ini dengan susah payah sambil mengatur nafasnya yang memburu karena berlari mengejar waktu agar tidak terlambat ke sekolah.

"Ohayou Hinata. Kau terlambat lagi heh?" Jawab gadis berambut cokelat ini pada gadis berambut indigo dan beriris lavender pucat di hadapannya.

"Ya, seperti yang kau lihat. Tapi setidaknya aku tidak terlalu terlambatkan Matsuri?" Tanya Hinata. Kini nafasnya terlihat lebih normal dari sebelumnya.

"Ya memang. Kau masih bekerja part time?" Jawab dan diiringi pertanyaan dari Matsuri.

"Ya, kalau tidak begitu, bagaimana bisa kami bertahan hidup, melanjutkan sekolah dan juga membeli obat-obatan untuk ibuku." Jelasnya seraya menghela nafas berat.

"Tapi ingat Hinata, kau tidak boleh terlalu memaksakan diri. Masih ada aku yang bisa membantumu." Matsuri pun menggenggam tangan Hinata untuk memastikan perkataannya.

"Ya..arigatou Matsuri." Hinata tersenyum menanggapinya.

.

.

.

Bandara Konoha…

"Kita sudah sampai, Tuan." Ucap seorang bawahan.

"Hn. Sekarang di mana tempat transaksinya?" Tanya orang itu sambil berjalan keluar dari Bandara, menuju mobil yang sudah dipersiapkan.

"Di sebuah gudang pabrik tekstil yang sudah tak terpakai lagi. Transaksi akan dilakukan pukul 7 malam nanti, Tuan." Jelasnya. Segera ia membukakan pintu mobil mewah untuk Tuannya tersebut. "Sekarang anda akan istirahat dulu di sebuah apartement yang tak jauh dari tempat transaksi kita."

"Hn."

.

.

.

Teeeeeeetttt….

Bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul 3 sore.

"Matsuri, aku pulang duluan ya…" Hinata berpamitan pada Matsuri setelah ia membereskan peralatan sekolahnya.

"Ya, hati-hati. Ingat! Jangan terlalu memaksakan diri." Matsuri pun kini sudah siap pulang sambil menyelempangkan tasnya yang berwarna senada dengan mahkotanya.

"Um! Sampai bertemu lagi sehabis libur –setelah ujian kelulusan kelas tiga-…Jaa~" Hinata sedikit berlari keluar dari kelas sambil melambaikan tangannya.

"Jaa~" Matsuri membalas lambaian tangan Hinata, dan mulai melangkah keluar kelas.

.

.

.

Sampailah kini Hinata di sebuah kafe tempat di mana ia bekerja paruh waktu. Waktu kerjanya antara jam 4 sore sampai 8 malam. Kafe ini untung saja tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Segera ia masuk, menyapa sesama karyawan lain dan mengganti bajunya di ruang ganti khusus untuk pelayan wanita. Setelah selesai, segera ia mengerjakan tugasnya.

"Hinata, cepat antarkan pesanan ini ke meja nomor 7 di sana. Aku akan mengantarkan pesanan di meja yang lain." Perintah gadis berambut pirang, Shion. Shion adalah atasan Hinata. Meski atasan, tapi Shion tidak berlaga sok berkuasa dan sombong.

"Baik." Hinata pun mengambil pesanan yang sudah di siapkan dan segera ia antar ke meja sang pemesan.

Setiap ada pesanan, segera ia antar. Begitulah seterusnya. Hinata hanya seorang pelayan di kafe ini.

.

.

.

Sebuah mobil mewah dengan diiringi beberapa mobil di belakangnya melaju cukup kencang di jalanan, menuju sebuah pabrik tekstil tua yang sudah tak terpakai akibat bangkrut beberapa tahun lalu. Pabrik ini berlokasi di tempat yang sepi –Jalan Konoha No. 8, jauh dari keramaian kota, agar tidak mengganggu aktifitas warga kota.

"Nah, di sinilah tempatnya, Tuan." Ucap seorang bawahan bernama Hidan pada Tuannya.

"Baiklah." Sahut seorang yang dipanggil 'Tuan' ini seraya keluar dari mobilnya setelah pintu mobil tersebut dibukakan oleh bawahannya yang lain untuknya. Mereka –sekitar 10 orang- mulai memasuki gudang pabrik di mana kegiatan transaksi senjata mereka akan dilakukan.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya seorang pria berambut perak dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya pun datang.

"Lama menunggu?" Sapanya pada gerombolan pria berjas hitam dan celana panjang bahan hitam di depannya. Kecuali satu orang dengan jubah hitam kebesarannya sebagai seorang ketua.

"Jangan bertele-tele! Siapkan saja barangnya. Kami sudah membawa uang dengan jumlah yang kau inginkan, Kakashi." Sahut pria berjubah hitam itu dengan nada dingin.

"Heh, masih seperti dulu. Tidak sabaran." Ucap pria bernama Kakashi itu disertai senyum yang meremehkan.

"Aku tidak butuh pendapatmu." Sahut pria berjubah hitam itu, dengan tatapannya yang tajam.

"Heh, baiklah. Kita mulai saja transaksinya kalau begitu….Sasuke." Ia mengerakkan telunjuk tangannya, mengisyaratkan sesuatu pada anak buahnya yang berjumlah lebih banyak dari jumlah orang-orang yang dibawa Sasuke. Mereka sengaja bersembunyi. Tentu saja Sasuke tidak mengetahui hal licik ini. "Di mana uangnya?"

"Dan di mana barangnya?" Balas Sasuke tetap dengan nada dingin.

"Ini." Kakashi pun memperlihatkan sebuah tas hitam berukuran cukup besar.

Maka Sasuke pun menyuruh anak buahnya untuk menyodorkan tas hitam yang berisi uang dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit.

DOR! DOR! DOR!

"Brengsek!"

.

.

.

"Kau sudah mau pulang Hinata?" Tanya Shion pada Hinata yang tengah membereskan pakaiannya di ruang ganti.

"Ya." Jawab Hinata tersenyum, tapi tetap tak mengalihkan pandangannya pada pakaian yang ia bereskan.

"Kalau begitu hati-hati ya…kali ini, biar aku yang beres-beres." Ujar Shion, dan beranjak dari tempat duduknya tadi.

"Apa tidak merepotkan jika kau yang membereskan? Aku kan bawahanmu?" Hinata menghentikan kegiatannya tadi.

"Haduh kau ini! Berhentilah membeda-bedakan jabatanmu dan jabatanku di sini!" Sahut Shion seraya membalikkan tubuhnya menghadap Hinata dengan berkacak pinggang.

"B-baiklah…aku pulang." Hinata langsung melanjutkan kegiatannya dan segera melangkah untuk pulang. Shion pun mulai membereskan kafe kecilnya setelah Hinata pulang.

Umur Shion hanya terpaut 2 tahun dengan Hinata. Setelah lulus SMA, Shion belum tertarik melanjutkan pendidikannya. Ia lebih memilih membuka usaha kecil-kecilan. Orang tuanya pun mau tak mau menyetujui keinginan puteri mereka ini untuk membuka kafe.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8:20 malam. Seperti biasa, Hinata lebih memilih pulang berjalan kaki melewati jalanan yang tidak terlalu ramai di lewati orang. Alasannya, karena jalan yang dipilihnya ini adalah jalan terdekat yang menghubungkannya dengan rumahnya.

"Hh…" Hinata menghela nafas berat. "Lelahnya..ah! tapi kau harus tetap semangat Hinata! Demi ibu dan juga adikmu." Selama perjalanan pulang Hinata terus bicara sendiri. Kadang kata-kata motivasi, kadang keluhan.

Hinata terus berjalan sampai mata lavender pucatnya menangkap sesosok bayangan yang sedang berdiri menyender pada sebuah pohon.

"Siapa itu?" Gumam Hinata bertanya pada dirinya sendiri seraya menyipitkan matanya. Tanpa rasa takut, Hinata melangkahkan kakinya mendekat ke arah sesosok di pohon itu. Matanya membulat ketika mendapati sosok itu bersimbah darah. Meski tak banyak mengeluarkan darah, tapi darah yang keluar dari tubuhnya menunjukkan bahwa luka yang ia alami parah.

Hinata langsung berlari menghampiri sosok yang ternyata adalah seorang pria tersebut.

"Hey kau tak apa-apa?" Tanya Hinata cukup panik melihat darah yang terus keluar dari lengannya.

"Bukan urusanmu." Pria ini hanya menjawab dingin sambil tetap memegangi lengannya yang berdarah. Kemeja putih yang ia kenakan, sebagian telah berubah warna menjadi merah.

"Ayo, ikut aku! Akan aku obati lukamu." Tanpa peduli dengan kata-kata dingin pria ini, Hinata langsung melingkarkan tangan pria itu ke lehernya.

"Apa yang kau lakukan? Aku tidak mengenalmu." Pria itu mulai meninggikan suaranya, berusaha melepaskan tangannya dari leher Hinata.

"Hey, untuk menolong sesama apa perlu mengenal orang yang akan ditolong? Tidakkan?" Ujar Hinata sambil berusaha mendirikan tubuh si pria. "Kau bisa mati kalau terus seperti ini!"

"…" Tidak ada tanggapan dari pria ini. Dia hanya terus memandangi Hinata dengan mata onyxnya yang sedikit membulat mendengar perkataan Hinata. Baru kali ini ada gadis yang peduli padanya seperti ini. Sedangkan gadis lain terus bergelayut padanya hanya karena ketampanannya, juga profesi dan jabatannya.

"Hh…baiklah, namaku Hinata. Kau?" Hinata yang menyadari tatapan pria ini hanya menghela nafas dan memperkenalkan dirinya. Benar-benar haruskah berkenalan sebelum menolong?

"Sasuke." Jawabnya datar.

"Baiklah, sekarang kita sudah berkenalan. Jadi, kau harus mau ku obati. Aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini." Tentu saja Hinata merasa iba pada pria yang baru di temuinya ini, apalagi dengan luka yang ia dapat.

"Hn." Hanya dua huruf konsonan itu yang terlontar dari mulutnya, namun cukup membuat Hinata tersenyum –menang.

Mereka pun mulai berjalan menuju rumah Hinata.

.

.

.

"Tadaima…"

"Okaerina….sai." Ibu Hinata yang menyambut kepulangan puterinya hanya dapat membulatkan mata yang beriris lavender pucat karena mendapati puterinya –Hinata, membawa pria yang terluka cukup parah. "Siapa dia Hinata?" Tanyanya wajahnya terlihat panik.

"Dia Sasuke, aku menemukannya di dekat Jalan Konoha No. 8 bu." Hinata memasuki rumahnya dan segera mendudukkan Sasuke di kursi kecil berbahan kayu yang ada di tengah rumahnya yang sangat sederhana.

Tiba-tiba keluarlah seorang balita lucu dari kamar di mana ibunya juga tidur di sana. "Siapa dia nee-chan?" Tanya balita itu dengan wajah yang sangat imut.

"Dia teman nee-chan. O iya Hanabi, tolong ambilkan sebuah kotak berwarna putih yang ada di dekat ranjang nee-chan ya." Suruh Hinata pada adiknya sambil tersenyum.

"Baik." Segera Hanabi mengambil barang yang dimaksud dan memberikannya pada Hinata. "Ini nee-chan."

"Terima kasih Hanabi." Hinata tersenyum–lagi, dan mengambil kotak putih yang ternyata berisi beberapa plester, kapas, dan obat luka. "Ibu dan Hanabi tidur saja, tak apa, biar aku yang mengobatinya." Saran Hinata sambil membuka kotak putih tersebut.

"Baiklah, ayo Hanabi..kita tidur, sudah malam." Ibunya pun langsung menggendong Hanabi dan membawanya ke kamar.

Segera Hinata membersihkan lukanya terlebih dahulu. Setelah itu ia meneteskan beberapa tetes obat luka cair ke kapas yang ada di tangannya. Hinata mulai menekan-nekan lembut kapas dengan cairan obat itu ke luka Sasuke.

"Ssstthh…" Sasuke meringis pelan merasakan rasa perih yang terpusat di lukanya –sayatan- itu.

"Tahan sedikit." Hinata terus mengusapkan kapas itu tanpa menoleh ke arah Sasuke, wajahnya terlihat serius.

Tanpa Hinata sadari, Sasuke terus memperhatikannya. Wajahnya yang serius, rambut indigonya yang tergerai indah sepanjang punggung, hidungnya yang mancung, kulit putihnya yang mulus, dan…bibir merahnya yang tipis.

Setiap detil lekukan wajah Hinata selalu Sasuke perhatikan. Semuanya terasa alami bagi Sasuke. Tanpa terasa Hinata sudah selesai mengobati lukanya.

"Nah, sudah selesai." Ucap Hinata memecah keheningan. Hinata membereskan kapas dan obat lukanya lagi untuk dimasukkan kembali ke dalam kotak putih itu.

"Hn."

Sebenarnya Hinata ingin bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Sasuke. Tapi, Hinata bukanlah orang yang mau ikut campur atau mengurusi urusan orang lain.

"Sebaiknya kau istirahat saja dulu, besok jika kau mau pergi, silahkan.." Saran Hinata sambil tersenyum pada Sasuke. Kotak putih itu di biarkan dulu tergeletak.

"Aku ingin menelepon seseorang." Ucap Sasuke tiba-tiba.

"Oh, tapi aku tak punya ponsel atau sebagainya untuk menghubungi seseorang." Sahut Hinata. "Kalau kau mau, aku akan mengantarmu ke tempat telepon umum. Jaraknya tak terlalu jauh." Ujar Hinata.

"Hn, tak apa." Sasuke menggerakkan tubuhnya untuk berdiri.

"Baiklah, ayo ku bantu kau berdiri." Hinata beranjak dari tempat duduknya dan membantu Sasuke untuk berdiri.

"Aku bisa berjalan sendiri." Ucap Sasuke.

"Baiklah." Hinata pun melepaskan pegangannya pada lengan Sasuke.

Mereka keluar dari rumah menuju tempat di mana telepon umum berada.

.

.

.

.

.

"Apa? Lalu bagaimana keadaan Sasuke?" Sentak seorang pria berambut merah dengan tato 'ai' di dahinya kepada semua anak buahnya yang membawa kabar buruk.

"Menurut info yang kami dapat, semuanya tewas. Organisasi Taka yang dipimpin oleh Kakashi, membantai orang kita. Mereka membawa orang dengan jumlah jauh lebih banyak dari orang-orang yang ikut bersama Tuan Sasuke. Tapi, setelah diperiksa, tak ada mayat Tuan Sasuke di sana. Mungkin Tuan Sasuke selamat." Jelas seorang anak buah.

"Sasuke, di mana kau? Organisasi ini takkan berjalan tanpamu." Gumam pria merah ini. "Kakashi brengsek!"

Derttt….

"Halo?" Pria merah membuka pembicaraan.

"Aku butuh bantuanmu, Gaara." Sahut seseorang di seberang sana.

"Sasuke? Kau di mana? Kami semua mencemaskanmu." Gaara mencengkeram erat ponselnya dengan cemas.

"Aku baik-baik saja, sekarang aku ada di Konoha, tepatnya di sebuah rumah dengan cat putih keunguan yang terletak di dekat Jalan Konoha No. 8. Besok kau jemput aku Gaara.." Perintah Sasuke.

"Baik, aku akan segera ke sana untuk menjemputmu." Sahut Gaara, tak lama kemudian telepon terputus.

Setelah itu, Gaara terlihat menekan-nekan tombol angka di handphonenya..

"Halo?" Sahut seseorang di seberang telepon.

"Aku butuh bantuanmu, Sasori." Ucap Gaara.

.

.

.

.

.

"Kau sudah selesai?" Tanya Hinata setelah melihat Sasuke yang menutup telepon.

"Hn."

"Ayo kita pulang, sudah larut malam. Kau harus istirahat agar lukamu cepat sembuh."

Mereka melangkahkan kaki untuk pulang ke rumah Hinata. Tak ada pilihan bagi Sasuke, semua uangnya raib semenjak kejadian tadi.

Hening.

"Kemana ayahmu?" Tanya Sasuke datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Ayahku….meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit jantung yang lama ia derita." Jawab Hinata dengan wajah tertunduk.

Sontak Sasuke mengalihkan pandangannya pada Hinata yang tertunduk. Ditatapnya Hinata seperti menahan tangis. Hinata menyadari tatapan Sasuke seolah meminta maaf padanya.

"Haha, kau tidak perlu menatapku seperti itu. Aku baik-baik saja." Ucap Hinata sambil tersenyum hambar. "Aku masih bisa bekerja untuk bertahan hidup dan membiayai pengobatan untuk ibuku." Sasuke masih menatapnya tapi dengan tatapan yang sulit di definisikan.

"Kau bekerja?" Tanya Sasuke.

"Ya, kerja paruh waktu." Jawab Hinata. Mendengar pengakuan Hinata, Sasuke menarik ujung bibirnya membentuk lengkungan.

Tanpa terasa, mereka sudah sampai di rumah Hinata.

"Kau bisa tidur di kamarku jika kau mau. Aku akan tidur di sini." Saran Hinata setelah mereka duduk di kursi yang tadi sempat mereka duduki. "Ah, tapi aku tak punya baju yang pas untukmu." Hinata baru sadar akan hal ini. Sasuke masih memakai kemejanya yang hampir dipenuhi darah.

"Tak apa." Jawab Sasuke datar. "Aku bisa tidur di sini, aku juga bisa melepaskan bajuku." Lanjutnya.

"Kau bisa masuk angin. Akan aku ambilkan selimut dan alasnya kalau kau memang mau tidur di sini –di lantai." Hinata mencari selimut dan alas untuk Sasuke tidur. Setelah mendapatkannya, Hinata terkesiap melihat pemandangan di depannya. Bagaimana tidak, Sasuke sedang membuka kemejanya. Hingga lekukan-lekukan di tubuhnya bagian atas terlihat jelas. Jantungnya terasa berdegup lebih kencang.

"Terpesona, hm?" Sasuke yang menyadari keberadaan Hinata pun menampakkan seringaian nakalnya.

Sontak wajah Hinata memerah. "Cepat pakai ini!" Hinata mengalihkan pembicaraan dan memalingkan wajahnya setelah Sasuke menerima selimut dan alas yang ia berikan. Hinata meninggalkan Sasuke dan segera masuk ke kamarnya. Sasuke hanya menyeringai tipis melihatnya.

.

.

.

Minggu pagi yang cerah…

Bandara Konoha…

"Sudah sampai Tuan Gaara." Seorang anak buahnya membukakan pintu mobil.

"Segera kita cari dan pergi ke alamat ini." Perintahnya.

"Baik."

.

.

Hinata mulai turun dari ranjangnya. Ia berjalan keluar kamar, dan akan menghampiri Sasuke untuk membangunkannya.

"Ohayou Hinata-nee." Sapaan selamat pagi datang pertama kali dari adik kecilnya, Hanabi.

"Ohayou…" Hinata berjongkok dan mencubit kecil pipi adiknya.

"Ohayou Hinata.." Ibunya pun menyapa Hinata. Ternyata ibu dan adiknya juga baru bangun tidur. "Bagaimana dengan orang itu?" Tanya ibunya.

"Oh, Sasuke? Aku baru akan melihatnya." Jawab Hinata. Kemudian ia berjalan ke ruang tengah di mana Sasuke tidur. Ibu dan adiknya menuju dapur menyiapkan sarapan.

Hinata mendapati Sasuke yang sedang terduduk di sebuah kursi kecil di ruangan itu, dan memakai kemeja berdarahnya kembali.

"Kau sudah bangun?" Tanya Hinata.

"Seperti yang kau lihat." Jawab Sasuke dengan diiringi senyum sangat tipis. Mungkin Sasuke sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Hinata.

Tak berapa lama, terdengar mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya. Hinata langsung ke luar rumah dan mendapati orang-orang berjas hitam keluar dari 2 mobil mewah yang mereka bawa. Dari salah satu mobil tersebut, nampak seorang pria berambut merah dengan tato 'ai' di dahinya, keluar sambil membuka kaca mata hitamnya dengan tangan kanan. Jas hitamnya yang terkancingi, namun tidak dengan kancing atas kemeja putihnya yang dibiarkan terbuka di balik jas hitamnya. Hinata hanya terbengong-bengong melihatnya. Dari mobil satunya lagi juga keluar pria dengan rambut merah pula.

"Akhirnya datang juga." Ucap Sasuke berjalan dari arah belakang Hinata. Hinata pun akhirnya tersadar dari keterkagetannya.

"Heh, kau sampai harus membawa Sasori, Gaara?" Tanya Sasuke langsung menghampiri Gaara.

"Hanya sekedar berjaga-jaga. Lagi pula Sasori memiliki banyak koneksi di Konoha." Jawab Gaara santai.

"Bagaimana keadaanmu, Sasuke?" Tanya Sasori dengan senyumnya yang manis untuk ukuran seorang pria.

"Baik." Jawab Sasuke juga tersenyum tipis.

"Kemejamu? Apa yang mereka lakukan Sasuke?" Tanya Gaara baru sadar akan keadaan Sasuke.

"Mereka membawa lari uangnya, ternyata Kakashi sudah menyiapkan ini semua dengan matang. Kami sempat adu senjata. Jumlah mereka jauh lebih banyak, aku sempat menorehkan luka di wajahnya dengan senjata terakhir yang ku punya, pisau. Dan luka ini juga berasal dari pisau tilapnya. Setelah itu, mereka kabur. Setidaknya aku bisa selamat." Jelas Sasuke dengan santainya dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana hitamnya.

"Jadi begitu…baiklah, kita nanti akan membeli baju untukmu Sasuke." Ucap Gaara.

"Hn."

"Lalu lukamu?" Tanya Sasori kemudian. Sasuke hanya menyeringai tipis.

"Gadis itu yang mengobatiku." Jawab Sasuke masih dengan seringaiannya.

Sasori dan Gaara pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah di mana Hinata –satu-satunya gadis- berdiri. Hinata yang menyadari arah pandang Sasori dan Gaara hanya menelan ludah.

Mereka terus berbincang-bincang, tanpa menghiraukan Hinata yang memandangi mereka satu persatu tak mengerti. Ibu dan adiknya ikut keluar dan menghampiri Hinata.

"Siapa mereka?" Tanya ibunya.

"Aku juga tidak tahu bu, mungkin teman-teman Sasuke yang akan menjemputnya." Jawab Hinata tanpa mengalihkan pandangannya dari orang-orang yang sedang berbincang di sana.

.

"Ayo kita pulang Sasuke." Ajak Gaara.

"Aku ingin kau membawa serta gadis itu, Gaara." Ucap Sasuke menampakkan seringaiannya. "Aku menginginkannya."

Gaara yang mendengar itu mengangkat bahu, sedangkan Sasori hanya tersenyum, mengerti akan kebiasaan Sasuke.

"Hh..baiklah."

t.b.c

A/N

Waaaaw waaaaw waaaaw fic apa ini? Kenapa gaje banget begini?

Baiklah, bukannya benerin fic yang satu lagi, malah bikin fic baru.==a dan lagi-lagi ber-rate M. kenapa saya jadi mesum beginiiiiii…? *diarak keliling kelurahan* saya masih sangat berhati-hati dengan fic yang satu itu T.T *deathglare fic(?)* entah mengapa saya sedang sangat terinspirasi dengan fic ini.

Saya merasa bersalah bikin Kakashi jadi berperan seperti ini ….tapi ngebayangin Kakashi jadi ketua organisasi mafia Taka, jadi gimanaaa gitu ^/^ *senyum-senyum sendiri*meski agak aneh –mungkin- Kakashi-Taka =='

Tapi ide akan fic ini terus-terusan Menuhin pikiran saya, akhirnya terketiklah fic gaje ini. Maaf banget kalau fic ini gajenya ga ketulungan(?). saya lupa nama ibunya Hina itu siapa ya?==a jadi saya ngetiknya ibu-ibu aja xD #PLAKKKK!

Oia, fic ini terinspirasi dari komik yang saya lupa judulnya apa, karena punya temen =='*ga modal!* tapi saya Cuma liat pas chapter 4 nya dari 9 chapter padahal penasaran sama ceritanya….*curcol* jadilah fic seperti ini…judulnya juga terinspirasi dari album Taylor Swift kalo ga salah.

sekali lagi MAAF kalau fic ini super duper ga jelas ^^ *sembah sujud*

Apapun kritik dan sarannya saya terima ^^ asal seperti biasa, jangan ngeflame yang gaje yah =3=….sok mangga teraskeun..(?)

Pokoknya yang terpenting TERIMA KASIH BANYAK UNTUK YANG SUDAH MEMBACA…(^O^)/

Jadi, Sudikah untuk REVIEW?^^