Title: Left Behind

Summary: Aku ini roh yang immortal sebelum akhirnya aku disegel pada pohon sakura ini. Dan Tsugaru, kuharap kau tidak menemukan cara untuk melepaskanku.

Pairing: Chapter 1, Tsugaru/Izaya

Rate: T

Disclaimer: Durarara! bukan punyaku. Aku bikin jadi yaoi kalo emang punyaku.

Bacotan: AAARRRGHH! Aku bikin tagedy!

Okey, enjoy! ;D


"Jadi namamu?"

"…"

"Umurmu?"

"…"

"Kenapa kau bisa ada disini?"

"…"

"Aku duduk disini ya," dan dia duduk begitu saja.

"Aku tidak bilang kau boleh duduk disini," hardikku kesal. Dia, anak kecil itu, mendongak dengan mata birunya yang terang dan tersenyum. Tersenyum dengan lembut sekali.

"Akhirnya kau bicara juga padaku."


"Tsugaru… kau kesini lagi?" aku menatap sosok remaja berkimono biru pucat yang datang menghampiriku dengan buku ditangannya.

"Ya, mereka bilang mereka tidak butuh bantuanku untuk menangkap buruan," jawabnya dengan senyum.

Aku menghela nafas. Selalu saja dia ini dijauhi, hanya karena rambut pirang dan mata birunya. Dan kekuatan berlebihannya juga sebenarnya. Tapi, apa dia sampai harus dijauhi seperti itu? Maksudku… hei, bukan salahnya kan dia lahir seperti itu? Salahkan saja ayahnya yang jatuh cinta pada ibunya yang orang barat yang sebenarnya juga tidak pantas disalahkan. Kekuatannya itu juga bukan salahnya, bukan dia yang meminta diberikan kekuatan seperti itu. Toh, tiap kali dia menggunakannya berlebihan dia juga akan terluka.

"Lagipula, aku lebih senang disini dengan Izaya."

Kenapa dia harus mengatakan hal itu tiap hari? Biarkan aku marah sebentar saja, kenapa?

"Jadi jangan marah-marah lagi, ya?"

Aku turun dari dahan sakura dan duduk disebelahnya. Sambil menyenderkan kepalaku dan memeluk kedua kakiku, aku menasihatinya, "Harusnya kau yang marah." Dia tersenyum dengan manis sekali lalu membuka buku yang dari tadi ditentengnya. "Buku apa kali ini, Tsugaru?"

"Cara melepaskan roh dari segel."

Lagi? Kapan dia akan menyerah mencoba melepaskanku dari pohon ini? Sudah berapa tahun yang dia habiskan unutk mencari cara untuk melepaskanku? Tiap kali dia membacanya, aku mendapat sedikit harapan bahwa aku bisa lepas. Tapi, terus-terusan berharap akan hal yang tidak mungkin itu menyakitkan. Lagipula, aku sudah bisa menerima fakta bahwa aku akan mati seiring dengan matinya pohon ini.

"Tsugaru—"

"Jangan kehilangan harapan dulu. Masih ada beberapa tahun lagi kan sebelum pohon ini mati? Sampai detik terakhir itu, jangan kehilangan harapan dulu."

Dia mengatakannya dua kali, berarti dia serius. Ya, Tsugaru memang selalu serius. Berarti dia lebih serius lagi kali ini. "Iya, iya. Terserah kau saja."

Angin berhembus dengan lembut, membuat kelopak-kelopak sakura yang mulai mekar menari-nari. Aku menutup mataku. Hari ini, aku mengantuk sekali.


"Bukan aku!"

Tapi tidak ada yang peduli. Mereka semua menganggap bahwa jika ada kematian tidak wajar dan ada roh yang berada di dekat mereka, semua itu pasti salah roh tersebut. Dan sayangnya, akulah roh yang mereka salahkan.

"Bukan aku!"

Lalu onmyouji itu, yang mungkin adalah onmyouji terakhir di dunia ini mengingat perubahan zaman yang cepat, mengeluarkan kertas segel dari lengan bajunya. Matanya terlihat dingin, tidak seperti biasanya. Dan jujur, aku ketakutan.

"Bukan aku!"

Aku terpojok ke pohon sakura yang tumbuh sendirian di atas bukit.

"Bukan, bukan aku!"

Mereka tetap tidak peduli. Mereka tetap marah padaku. Sinar terang terpancar dari kertas segel. Aku tahu takdirku sudah mutlak ketika tubuhku mulai terurai dan bersatu perlahan-lahan dengan sakura ini. Ya sudahlah, semuanya sudah terlanjur.

"Ya, aku yang membunuhnya."

Dan aku tersegel dalam pohon ini. Orang-orang itu puas dan mereka beranjak meninggalkanku.

Entah berapa lama aku tersegel sendirian tanpa ada orang yang menyadari keberadaanku. Yang mereka tahu hanyalah di pohon sakura ini, ada roh jahat yang disegel karena telah membunuh penduduk desa. Mereka tidak tahu aku hanyalah yang dituduh. Mereka tidak tahu, kimono merahku bukan merah karena darah. Mereka bahkan tidak tahu aku mengenakan kimono merah. Mereka tidak tahu seperti apa tampangku karena yang bisa melihatku hanyalah orang-orang yang… apa itu namanya? Oh, ya, mempunyai kemampuan 'kenki'.

Darimana aku tahu?

Tentu saja dari onmyouji itu. Beberapa bulan setelah dia menyegelku, keadaannya tidak tampak membaik sama sekali. Dia membisikkan padaku, bahwa hanya orang yang bisa melihatku yang bisa melepaskanku. Dengan cara mengorbankan diri. Menjadi tumbal agar aku bisa lepas.

Aku hanya bisa menatap marah padanya sesaat sebelum kematian menjemputnya di bawah naungan pohon ini.

"Maaf, Izaya, ini satu-satunya cara supaya mereka tidak bisa menyakitimu, untuk menjauhkanmu dari mereka."

Marah. Aku marah karena dia mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyegelku. Kalau kau sudah sakit-sakitan, jangan mencoba menyegelku. Nah, sekarang kau sendiri yang kan yang menderita.

"Sebagai gantinya, bagaimana jika aku yang melepaskanmu jika nanti aku terlahir kembali?" bisiknya dengan sangat pelan.

Aku mendekapnya, tubuhnya masih hangat. Mata birunya juga begitu bening, selalu bening. Sampai ketika dia tidak lagi bernafas, matanya itu masih tetap menyisakan kehangatan.

"Tsugaru… kau ini manusia terbodoh yang pernah aku temui."

Dan aku menangis sendirian dengan tubuh tanpa nyawa dalam dekapanku.


"Izaya, kau kenapa?"

Aku terbangun dari mimpiku. "Ah…"

Aku sadar, airmataku mengalir membasahi kimono merahku.

"Izaya, kau kesakitan?"

"Tidak, Tsugaru. Aku hanya mendapatkan mimpi."

"Mimpi buruk?"

"Ya… tidak bisa dibilang mimpi buruk. Lebih tepat kalau dibilang kenangan pahit."

Dia memandangku tidak mengerti. Sudahlah, dia tidak perlu tahu tentang mimpiku. Juga, tidak perlu tahu bahwa sebenarnya aku tahu cara melepaskan diriku dari sini.

"Tsugaru, kau tahu," aku memulai percakapan, "Manusia itu bisa terlahir kembali."

Dia memandangku lalu mengangguk. "Ya, aku pernah membacanya di buku."

Aku tersenyum kepadanya. "Apa kau pernah terpikirkan tentang siapa dirimu di masa lalu?"

Dia berpikir sebentar, lalu menjawab, "Tidak pernah, sebenarnya. Tapi, aku akan sangat senang seandainya aku ini dulu kekasihmu."

Wajahku terasa hangat. Aku sadar, pipiku sekarang pasti memerah. "B-bodoh. Kau kira aku setua apa?" kataku untuk menyembunyikan rasa malu yang menyerbuku. Dan rasa sedih.

"Setidaknya, umurmu lebih tua dari pohon sakura ini. Kalau pohon ini berumur 300 tahun, berarti umurmu juga lebih dari itu kan?"

Aku diam. Kenapa tebakannya tepat sekali?

"Tapi, Tsugaru. Apa kau tidak merasa pohon berusia 300 tahun itu aneh?"

Tentu saja aneh. Mana mungkin pohon bisa tahan hidup selama itu.

"Aneh, tapi kurasa dia hidup karena ada Izaya."

"Maksudmu?"

"Karena Izaya itu roh, kau memberikan kekuatan hidup pada pohon ini. Masuk akal kan?"

Mungkin. "Sudahlah, aku mengantuk. Pinjam pundakmu," dan aku tertidur lagi dalam kehangatannya.


Tsugaru sudah dewasa sekarang. Dan dia tetap selalu datang dan duduk denganku, kecuali kemarin. Dia tidak kesini kemarin. Tapi hari ini, wajahnya sendu, dan kimono putih dengan jubah birunya tidak dia pakai, digantikan dengan kimono hitam pekat dengan obi putih.

"Tsugaru?"

"Ayahku meninggal. Dia ditemukan di makam ibu kemarin sore."

Oh, jadi itu alasan kemarin dia tidak datang.

"Izaya, selama ini, aku bisa tinggal disini karena ayah adalah petinggi kuil. Aku tidak tahu apa aku masih bisa disini kalau dia sudah tidak ada," tuturnya dengan lirih. Wajahnya terlihat sangat sedih. Aku tidak pernah melihat kedua alisnya yang terlukis sempurna di atas matanya itu bertaut.

Aku turun dari dahan pohon dan mendekapnya. "Menangislah kalau kau mau. Tidak akan ada yang malihatmu disini."

Dan pundakku terasa hangat oleh air matanya.


Dia semakin sering berada disini, dari matahari terbit sampai malam. Terkadang dia malah tertidur disini. Aku khawatir dengan kesehatannya.

"Izaya, kau makin bening," ucapnya suatu hari.

Ya, aku tahu, sakura ini juga sudah makin memutih. Warna kelopaknya makin seputih awan. Mungkin sebentar lagi, aku harus benar-benar mati.

"Maaf, aku belum menemukan cara untuk membebaskanmu."

"Sudahlah, Tsugaru. Kau ini tidak pernah memikirkan dirimu sendiri."

"Habis, aku berpikir kalau aku berhasil membebaskanmu, aku bisa memintamu menjadi istriku."

Wajahku hangat lagi. "D-diam."

Dia terseyum. "Ah, aku pasti bahagia sekali kalau Izaya mau jadi istriku."

Dia diam lalu tertidur. Aku juga ikut tertidur dengannya. Entahlah, akhir-akhir ini, aku makin mengantuk.


Hari ini tidak biasa. Banyak orang yang datang. Mereka semua terlihat marah.

Tsugaru, mana Tsugaru?

Ah, itu dia.

"Kumohon, Izaya tidak bisa keluar dari pohon, jadi tak mungkin dia membunuh!" teriaknya. Dia terlihat putus asa.

"Diam! Kalau bukan dia siapa lagi? Dia roh jahat, pasti dia yang mengutuk desa!"

Ada apa ini?

"Tidak! Dia bukan roh jahat!"

"Kenapa kau membelanya? Oh, aku tahu, pasti kau yang meyuruhnya mengutuk desa kami kan?"

Tsugaru dihempaskannya dengan mudah. Pasti Tsugaru tidak menahannya dengan kekuatannya.

Mereka makin dekat padaku. Ada yang membawa pisau, kapak, api, pedang. Aku tidak tahu lagi. Tapi setidaknya aku tahu mereka disini untuk mengakhiri hidup sakura yang tidak berdosa ini sekaligus menghabisiku yang hanya mereka ketahui keberadaannya dari cerita turun-temurun.

Orang yang tadi menghempaskan Tsugaru mengangkat kapaknya, lalu mengayunkannya ke batang sakura. Sakit! Sakit sekali!

Aku meringis, tapi aku yakin mereka tidak melihatku.

"Jangan! Hentikan! Kalian menyakiti Izaya!

"Diam kau!"

Tsugaru berusaha menghentikan mereka. Sakit. Sakit sekali. Aku tidak tahan, air mataku mengalir.

"Kubilang, hentikan!"

Dan aku hanya bisa diam ketika mereka menghunuskan pedang menembus dada Tsugaru, tepat dimana jantungnya berdetak. Mereka terdiam sebentar lalu mundur ketakutan.

Ah, aku tahu, pasti mereka takut menjadi korban kalau Tsugaru marah. Mereka lari menjauhiku dan Tsugaru, kembali ke desa mereka tanpa ingat lagi akan tujuan awal mereka datang kesini.

Tsugaru terbatuk, aku melihat darah keluar dari lukanya. "Padahal… aku… sudah tahu cara… membebaskan Izaya…"

"Ssh, jangan bicara lagi, Tsugaru… kau… kau akan baik-baik saja… aku yakin…" kataku sambil melawan isakkanku sendiri.

"Jangan menangis… Izaya… aku… aku akan… terlahir kembali… dan aku… pasti memintamu… menjadi istriku…" balasnya sambil tersenyum. Senyumnya tetap lembut, tapi berlumuran darah. "Ka…rena itu… aku… membebas…kanmu sekarang… dengan nyawaku…"

"Jangan…"

"Dengan aku… sebagai… korban… kuharap aku… bisa membebaskanmu…"

Kenapa dia bisa tahu? "Jangan, jangan, jangan bebaskan aku, Tsugaru!"

Tapi cahaya lembut menyelubungiku. Lalu, bunga-bunga sakura yang mekar langsung berguguran. Batangnya yang kokoh agak melapuk. Dan saat itu aku tahu, aku tidak lagi terikat dengan pohon ini. Aku kembali menjadi roh yang tidak bisa mati.

Aku bebas.

Aku bebas dan aku harus membayar mahal untuk kebebasanku.

Bukan, bukan aku yang harus membayar mahal. Tsugaru yang membayar kebebasanku dengan nyawanya.

"Dengan tubuhku ini sebagai korban, aku membebaskanmu…"

Aku mengangis.

Kali ini juga, aku hanya bisa menangis sendirian dengan tubuh tanpa nyawa dalam dekapanku.


Yosh, selesai juga ini cerita akhirnya. Aku lagi pengan bikin tragedy, jadi inilah hasilnya. Ini baru chapter satu, dan chapter ini panjang karena ada plesbek-nya. Hehehe.

Saia bingung karena onmyouji-nya itu. Soalnya, saya tahunya onmyouji itu banyaknya di era Heian (Hasil nonton Shounen Onmyouji). Jadi, karena setting ini cerita adalah jaman Restorasi Meiji (supaya ada alasan kenapa rambut Tsugaru pirang dan matanya biru), jadi dicocok-cocokin aja. Anggaplah bahwa Izaya disegel sekitar Edo-period, dan di zaman itu, onmyouji udah bener-bener ampir sama sekali ga ada.

Oh ya, sakura umur 300 tahun itu lebay ga sih?

Dan, ya, nama onmyouji yang nyegel Izaya itu juga Tsugaru, cuman rambutnya item, matanya aja yang biru. Bayangin aja Tsugaru yang rambutnya item. Dan Tsugaru pirang adalah reinkarnasinya Tsugari berambut item. Duh, saia jadi pusing sendiri.

Ya sudahlah ya.

Next chap, pair-nya Shizaya, terus rencananya, chap tiga pair-nya Delic-Izaya, terus yang terakhir, Shizaya lagi. Pusing? Saia juga pusing. Hehehe.

Okey deh, segitu aja dulu. Peace! :D