Disclaimer:

Naruto : Kishimoto Masashi

Harmless Love : Yhumi Yuu

Warning: AU, Ooc, Typo

.

.

.

Author's Note:

Sasuke Uchiha : 26 tahun

Hinata Hyuuga : 23 tahun

Nanako Hyuuga : 5 tahun

Rura Uchiha : 5 tahun

Ino Yamanaka : 25 tahun

Naruto Uzumaki : 25 tahun

Sakura Haruno : 23 tahun

Anyeong haseo…. ^O^

Ada yang ingat saya?

*Zhiiiinggghh..Hening…*

Ok, Tidak apa-apa kalo tidak ingat saya, asal kalian ingat aja fic-fic saya.. itu sudah cukup bagi saya.. (apaa'an coba -,-")

Ok, ini dia Yhumi persembahkan dengan bangga (mentang-mentang abis ganti pen name) pada kalian readers-ku tercinta, Harmless Love chap 5.

Here we go..

Happy reading!

.

.

.

Chapter sebelumnya…

Setelah sampai di tempat tujuannya, Hinata langsung membawa anaknya menuju makam ibunya.

"Mama, kita akan mengunjungi nenek?"

"Iya sayang…"

"Nana merindukan nenek"

Hinata hanya tersenyum.

"Okaa-san, kami datang."

"Nenek apa kabar? Nenek tahu tidak? Hari ini Nana sama mama pergi ke makam papa loh…"

Hinata tidak begitu memperhatikan cerita anaknya, fokusnya kini teralih pada satu bucket bunga yang terletak di atas makam ibunya.

Rangkaian yang berisi bunga lily, mawar dan anyelir. Yang kesemuanya berwarna putih.

Setahunya selama ini tidak ada yang mengunjuungi makam ibunya selain dirinya dan Nana.

'Si..Siapa?'

Harmless Love

~02:00 am~

Saya bersedia

Dua kata itu yang seharusnya diucapkan Hinata kini untuk mengukuhkan janji pernikahan yang baru saja di bacakan untuknya. Tapi putri sulung Hyuuga itu belum juga meperlihatkan tanda-tanda akan mengatakannya. Ia membungkam.

Hening…

Lalu beberapa saat mulai terdengar bisik-bisik.

Gadis itu, gadis yang kini berada di atas altar, sesungguhnya belum mempercayai kenyataan yang masih terasa bagaikan mimpi ini. Di usianya yang baru delapan belas tahun ia akan menjadi istri seorang pemuda yang kini ada di hadapannya.

Pemuda yang dikenalnya melalui sebuah perjodohan—bodoh menurutnya yang di lakukan oleh orang tua mereka.

Gadis itu lalu menatap ayahnya. Sang ayah justru menunduk, wajahnya terlihat begitu sedih dan khawatir. Ia kemudian beralih menatap ibunya, sang ibu yang kini sedang menatap juga padanya. Ia tahu tatapan itu berarti menaruh harapan besar pada jawabannya.

Gadis itu kembali menatap pemuda di depannya…

Ia memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya.

Perlahan kelopak matanya kembali terbuka.

"S..Saya bersedia."

Dan bersamaan dengan jawaban gadis itu, seorang pemuda lain yang kini tengah menyandarkan punggungnya di luar tembok gedung memejamkan matanya, alisnya berkerut, deru nafasnya semakin tak beraturan. Dengan tangan terkepal ia meninggalkan gedung tempat berlangsungnya pernikahan itu, ia tak yakin akan mampu melihat kelanjutan dari acara tersebut. Ya, dia tidak akan mungkin sanggup melihat gadis yang dicintainya dicium oleh pemuda lain, terlebih pemuda itu adalah saudaranya, yang kini telah resmi menjadi suami gadis itu.

Tepuk tangan terdengar sangat meriah usai kedua mempelai melepaskan ciuman pengikat janji mereka.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

"Shi..Shino?!" Hinata membulatkan matanya.

"Astaga kau sungguh Shino?" Ino spontan berdiri.

"Hehehe." Shino hanya bisa mengaruk-garuk tengkuknya melihat reaksi kedua teman kerjanya.

"Kau berubah," ucap Ino yang hampir terdengar seperti lirihan.

Ia memandangi pemuda yang tengah berdiri kikuk itu dari atas ke bawah. Shino yang dulu biasanya hanya menggunakan kemeja lusuh dan jeans yang mereknya menurut Ino sudah hampir kuno, serta sepatu bututnya yang itu—itu saja setiap hari, ditambah rambut yang dibiarkan jatuh ke bawah semua dan sepertinya tak pernah tersentuh gel rambut.

Berbeda sekali dengan pemuda yang berada di hadapannya kini, kaos merah hati—yang sepertinya masih baru yang dipadukan dengan sweater abu-abu, dengan bawahan jeans—yang Ino yakin yang ini model terbaru, dan terakhir sepatu kets putih-hitamnya yang sepertinya juga baru. Oh, dan jangan lupakan rambutnya! Wet look, dengan model rambut yang sedikit berdiri dengan bagian depan di jatuhkan ke samping.

'Perubahannya luar biasa' ucap Ino dalam hati.

"Tapi bagus," Hinata tersenyum.

"Arigatou," sedikit rona merah muncul di pipinya.

"Jadi karena itu kau sampai melebihkan waktu cutimu? Sibuk mempermak diri, eh?" Ino melipat tangan di depan dadanya.

"E..eeh?" ekspresi Shino spontan berubah. "Gomenasai Ino-san, aku tidak bermaksud menambah cuti kerjaku, hanya saja waktu itu aku se..sedikit ada masalah," ia kemudian menunduk.

"Dasar, aku hampir saja mencari pekerja paruh waktu baru."

"Tapi aku tahu itu tidak mungkin, karena bagi Ino sekarang ini susah menadapat pekerja pria yang mau bekerja di toko bunga, apalagi yang giat sepertimu," Hinata tersnyum setelahnya.

"Be..benarkah? jadi, aku tidak jadi dipecat?"

"Ya"

"Arigatou, Ino-san"

"Tapi kau dihukum"

"Eeeeh?"

Hinata hanya tertawa melihat kedua atasan dan bawahan itu, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat adegan seperti ini.

"Mama, Nana pulang.." salam Nana terdengar bersamaan dengan suara lonceng toko ketika ia memasuki pintunya.

"Nana dari mana?" Hinata menyambut anaknya.

"Main di taman.. Ma, lihat!" Nana mengangkat sesuatu berebentuk hati yang terbuat dari tanah liat. "Nana yang bikin," tambahnya.

Hinata mengambil hasil karya anaknya itu, lalu tersenyum. "Untuk mama?"

"Ehm." Nana mengangguk.

Hinata kembali melihat ke arah benda itu, mengamati gambar yang terdapat di bagian depannya.

Gambar yang menampilkan tiga manusia dengan tinggi badan yang berbeda tengah memegang tangan satu sama lain. Hinata mengenal gambar itu, itu memang gambar Nana. Begitulah cara Nana menggambar. Ia mewarisi dengan baik keahlian papanya.

"Ini—" Hinata berjongkok, menyamakan tingginya dengan Nana.

"Ini kita," sahut Nana. Jarinya lalu terulur menunjuk ke gambar-gambar itu. "Ini mama—" katanya menunjuk gambar seseorang yang memakai gaun selutut dengan rambut panjang. " ini Nana—" menurutnya, jika di deskripsikan dengan gambar, dirinya memakai gaun selutut juga tapi rambut dan tubuhnya lebih pendek dari mama. "Dan ini papa," karena Nana tidak ingat dengan jelas bagaimana papanya, Nana hanya menggambarnya berdasarkan ingatan sosok yang ia lihat di foto yang ia temukan di gudang.

Hinata tersenyum.

"Itu bagus sekali Nana," Ino memuji dengan tulus.

"Ya, benar-benar bagus," suara Shino juga ikut terdengar.

Nana mengangkat wajahnya memperhatikan sosok Shino.

Ia memiringkan kepalanya.

"Siapa?"

"Nana tidak kenal? Ini paman Shino. Bagaimana penampilan baru paman?" Shino mendekatkan wajahnya kepada Nana sambil tersenyum.

Nana tampak menautkan alisnya. Ekspresi tidak suka terlihat jelas. "Jelek!" ucapnya singkat tepat di depan wajah Shino.

"Eh?"

"Shin-chan jelek!"

Senyum Shino seketika menghilang. Entah kenapa ia merasa tiba-tiba seperti kecewa mendengar Nana mengatakan kata 'itu' kepadanya. Padahal itu hanya kata-kata dari seorang anak yang bahkan belum genap berusia enam tahun, seharusnya ia memakluminya. Tapi entah bagaimana mengakuinya, dirinya merasa.. Sakit hati? Sungguh Shino pun tak mengerti dirinya sekarang.

Hinata dan Ino terkikik melihat reaksi Shino.

"Shino, kau tak apa-apa?" Tak jelas itu pertanyaan kekhawatiran atau ejekan dari Ino. "Sepertinya kata-kata Nana benar-benar membuatnya shock Hinata."

"Kurasa juga begitu Ino-chan."

"Shino, kau tak apa-apa?" Ino menepuk bahu pemuda itu.

Shino tampak sedikit tersentak, "Siap. a-aku akan mulai bekerja Ino-san".

Ah, pikirannya masih belum benar.

Hinata dan Ino kompak menggelengkan kepala.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Setelah melihat pria Uchiha itu datang setiap satu kali seminggu, Ino memperkirakan ia akan datang kembali pada hari ini untuk membeli bunga lagi, bunga yang mengandung arti pengabdian, kemuliaan, kesucian atau simpati itu.

Ino melirik Hinata yang sedang menyiram bunga-bunga di sisi kanan toko. Sejak kedatang Naruto dan Sakura, Hinata banyak berubah. Menjadi lebih sering tersenyum, lebih ceria—lebih cantik.

Hinata melihat ke arah Ino yang sedang menatapnya. "Ada apa?" ia menaikan kedua alisnya.

Ino tersenyum dan menggeleng.

"Ino-chan, kau sudah memberi bunga-bunga tulip ini pupuknya?"

"Ah, maaf.. aku lupa, Hinata." Ino menepukkan telapak tangan di keningnya.

Hinata menghela napas lelahnya.

Ino menyengir "Tolong ya.."

"Baiklah, pupuknya ada di gudang kan?"

Ino mengangguk.

Hinata lalu segera menuju gudang. "Astaga, kenapa gudangnya berantakan sekali?" suara Hinata yang menggerutu terdengar dari dalam gudang yang jaraknya memang tak jauh dari meja kasir.

"Ah, yang itu juga aku minta maaf, seharusnya itu tugasku, tapi sejak kemarin aku sibuk sekali, jadi Hinata, tolong—"

"Ya ya ya, aku tahu." kepala Hinata terlihat menyembul dari balik pintu gudang. "Kau ingin aku merapikannya kan?"

"Kau yang terbaik Hinata," terdengar nada memuji yang sedikit berlebihan.

"Tidak usah menggombal Ino-kun!" dan kepala Hinata kembali masuk ke dalam gudang.

Ino tertawa.

Lonceng toko berbunyi.

Ino memasang senyum khas penjual bunga miliknya, bersiap menyambut pelanggan pertamanya hari ini.

"Selamat datang."

Benar dugaannya, Sasuke Uchiha datang lagi hari ini. Pria itu berjalan memasuki toko bunganya.

"Tuan Uchiha, ada yang bisa saya bantu?"

Ino juga sudah hafal kebiasaannya yang ini, sebelum menjawab pertanyaanya, pria ini akan terlihat mengamati sekeliling—seperti tengah mencari sesuatu.

"Tuan?" baru kemudian setelah panggilan yang kedua, ia akan menoleh ke arah Ino.

"Saya ingin bunga lily."

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Sasuke berjalan seraya menggenggam satu rangkaian bunga di tangan kanannya, tujuannya sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Ia lalu berhenti di depan sebuah pusara. Berjongkok, meletakkan bunganya.

"Apa kabar? Saya datang lagi, Bu."

Keheningan menjawab pertanyaan Sasuke yang tak membutuhkan jawaban.

"Dulu Ibu selalu datang setiap hari untuk menjenguk saya, maafkan jika dulu saya tidak bisa bersikap lebih baik kepada Ibu—" Sasuke memberikan jeda sejenak, lalu tersenyum "Tapi sebenarnya saya sangat bahagia, berkat Ibu setiap hari saya bisa merasakan masakan rumah, merasakan kehangatan keluarga, berkat Ibu saya bisa bertahan dengan dunia yang dulu pernah meninggalkan saya—" Sasuke terdiam lagi, kini lebih lama.

"Terimakasih."

Sasuke menyadari kata itu belum cukup untuk membalas apa yang pernah wanita itu lakukan padanya. Jasa wanita yang dipanggilnya ibu itu bukan sekedar menampungnya, memberinya makan dan minum, lebih dari itu. Bagi Sasuke yang waktu itu tak memiliki siapapun, ibu itulah satu-satunya yang menerimanya. Memberinya kehangatan seorang ibu, kebijaksanaan seorang ayah, pun keakraban sebagai sahabat.

Delapan tahun yang lalu, ketika ayah kandungnya menamparnya, dan menunjuk jarinya di depan wajah Sasuke, menyuruhnya keluar dari rumah yang artinya juga keluar dari Uchiha. Dan ibu kandungnya yang waktu itu hanya menangis, tak bisa berbuat apapun walau dia ingin. Sejak itu Sasuke bersumpah akan membuat ayahnya menyesal telah melakukan itu semua kepadanya.

Sejak awal Sasuke menyadari kehidupannya tidak akan mudah jika ia telah keluar dari Uchiha. Ayahnya tak pernah tahu bagaimana beratnya Sasuke harus kuliah sambil mencari uang, begitu pula ibunya tak pernah tahu bahwa tempatnya untuk pulang dan tidur bahkan tak bisa disebut rumah, hanya sebuah bilik kecil yang harga sewanya saja jauh lebih kecil dibandingkan uang saku Sasuke untuk satu hari ketika ia masih menyandang nama Uchiha.

Pun sekarang setelah ayahnya meninggal, mereka tak pernah tahu bahwa Sasuke pernah terbaring tak sadarkan diri saat hujan deras di tengah jalan karena lambungnya bermasalah. Saat itulah ibu itu menolongnya, menampungnya ke dalam rumahnya yang nyaman, memberinya pakaian hangat, menghidangkan sup terenak yang pernah Sasuke rasakan.

Sejak kecil Sasuke memang memiliki riwayat penyakit maag, dan kehidupan barunya yang sulit makin memperparah penyakitnya, karena hanya mie instan dan makanan kaleng yang biasa ia santap waktu itu. Sejak itulah ibu itu selalu membawakannya makanan setiap harinya, sesekali ia akan membersihkan rumah dan pakaian Sasuke, merawatnya seperti anak kandungnya sendiri.

Dan ketika Sasuke telah diterima kembali di Uchiha, ibu itu tak ada di sana untuk berbagi kebahagiaan bersama Sasuke. Ia menghilang, Sasuke tak mampu menemukan jejaknya. Saat itu Sasuke merasa begitu terpukul, bahkan ia belum sempat mengucapkan terimakasih dengan baik, belum sempat membalas kebaikan ibu itu. Sasuke bahkan tak pernah tahu namanya karena ia memang tak pernah bertanya. Sasuke begitu mengutuki kebodohannya.

Dan baru berbulan-bulan kemuidan ia mendapatkan kabar bahwa beliau telah meninggal. Dan saat itu pula lah ia baru menyadari fakta bahwa penolongnya itu adalah seorang Hyuuga.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Tanpa sadar mata Sasuke berkaca-kaca mengingat semua itu. Ia lalu bangun dari posisi jongkoknya—berdiri.

Ia melirik arlojinya sejenak.

"Saya pulang Bu, minggu depan saya datang lagi," ia mengusap batu nisan makam itu sejenak, kemudian berbalik.

Sasuke sedikit tersentak ketika ia menemukan Hinata tengah berdiri di hadapannya. Memandangnya dengan tatapan yang tak bisa Sasuke artikan.

"Apa yang anda lakukan di sini?" suara Hinata terdengar begitu dingin saat ia bertanya.

"Itu bukan urusan Anda," Sasuke berjalan melewatinya.

"Saya tanya, apa yang anda lakukan di makam ibu saya?" Hinata sedikit berteriak.

Sasuke menghentikan langkahnya.

*Flash Back*

Lonceng toko berbunyi.

"Selamat datang."

Dari dalam gudang Hinata mendengar suara Ino yang menyambut.

Ia menajamkan pendengarannya ketika mendengar kalimat Ino yang selanjutnya.

"Tuan Uchiha, ada yang bisa saya bantu?"

Uchiha?

Hinata mengintip dari balik pintu gudang. 'dia lagi'

"Saya ingin bunga lily."

"Baik akan segera saya siapkan, Tuan."

Hinata menunggu sampai pria itu pergi baru kemudian ia keluar dari gudang dengan membawa sekantung pupuk untuk bunga tulipnya.

"Bunga apa yang dia beli?"

Suara Hinata yang tiba-tiba itu sedikit mengagetkan Ino.

"Ah, dia membeli lily."

"Lily putih?" tebaknya.

"Ya."

Hinata terdiam sejenak, teringat dengan serangkaian bunga misterius yang ia lihat di makam ibunya. Namun kemudian ia menggeleng. Tidak mungkin, ingkarnya dalam hati.

"Ada apa Hinata?"

"Apa dia juga membeli anyelir dan mawar?"

"Ehm," Ino mengangguk.

"Semuanya warna putih?"

"Iya."

Hinata kembali terdiam—berpikir.

"Ehm.. Hinata, sebenarnya ada apa?"

"Ino-chan, apa dia sering membeli bunga seperti itu?"

"Ya, beberapa minggu ini dia selalu membeli bunga yang sama, spertinya ada makam seorang wanita yang selalu dia—"

Ino tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Hinata kembali memberondongnya dengan pertanyaan.

"Apa minggu lalu juga?"

Ino hanya mengagguk. Hinata benar-benar aneh hari ini.

"Ino-chan, aku izin keluar sebentar," ia meletakkan pupuk ditangannya dan menyambar tas selempangannya.

"Kau mau kemana?"

"Aku pergi!" katanya tanpa menoleh ke arah Ino, menyisakan banyak pertanyaan di benak sahabatnya itu.

*Flash Back End*

Sasuke menghentikan langkahnya. Dan berbalik.

"Ibu….Anda?" Sasuke mengerutkan alisnya. Sasuke memang mengetahui bahwa ibu yang menolongnya adalah seorang Hyuuga, tapi ia tak menyangka bahwa beliau adalah ibu dari Hinata.

"Ya, apa yang anda lakukan di makam ibu saya?"

Sasuke terdiam, ia tak tahu harus berkata apa, fakta ini terlalu mengejutkannya.

Hinata juga terdiam.

Sampai akhirnya Sasuke menghadapkan kembali badannya ke depan dan mulai berjalan meninggalkan Hinata.

Hinata tak lagi menghentikan pria itu. ia melihat ke arah makam ibunya sejanak, ada rangakain bunga yang sama seperti minggu lalu di sana, kemudian ia kembali menatap punggung pria itu yang semakin menjauh.

Banyak pertanyaan bermain di benaknya. Hinata menghela napas.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

"Ma..ma? ma..ma"

Hinata terbangun karena mendengar suara anaknya yang disertai suara ketukan pintu. Hinata melirik weker di meja samping tempat tidurnya.

02:00 am

Tidak biasanya Nana membangunkannya pada jam-jam seperti ini.

"Mama.." suara Nana terdengar kembali, suaranya terdengar begitu lemah.

Hinata menyingkap selimutnya dan bergegas ke arah pintu kamarnya. Dan saat ia membuka pintu terlihat Nana sedang berjongkok dan menggigil di depan kamarnya.

"Nana, ada apa sayang?" Hinata menyentuh pipi anaknya dan begitu kaget ketika menyadari suhu badannya yang sangat tinggi.

"Ya ampun, Nana sakit?"

Lalu Nana terlihat mual-mual sebelum akhirnya mengeluarkan isi perutnya. Hanya cairan bening yang keluar. Sepertinya gadis kecil itu telah muntah beberapa kali sebelumnya.

Hinata benar-benar khawatir, ia lalu menggendong Nana dan membaringkannya di kasur dan menyelimutkannya. Hinata meraih handphone-nya, menekan-nekan tombolnya mencari nama yang bisa ia hubungi.

"Mama.."

"Iya sayang?"

"Nana sakit Ma.."

Mata Hinata mulai berkaca-kaca. "Iya sayang, yang mana yang sakit nak?"

Nana menunjuk perutnya. Hinata meletakkan telapak tangannya di atas perut anaknya dan mengelusnya. Ia lalu membelai wajah anaknya. Air mata Hinata menetes, ia tak kuasa melihat anaknya menderita seperti ini.

Ia kembali melirik handphone-nya, tak ada yang bisa dia hubungi sekarang, ia juga tak mungkin merepotkan Ino di jam seperti ini. Hinata memasukkan handphone itu bersama dompet kedalam tas kecilnya lalu memakainya.

Ia membangunkan Nana dan menyelimutinya kemudian menggendongnya.

Tapi ketika ia telah keluar ke jalan raya, tak ada satupun taxi yang melintas. Jarak rumah sakit dari apartementnya masih jauh, Hinata tidak punya pilihan selain berlalri seraya menggendong Nana.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Sasuke melaju mengendarai mobilnya membelah malam kota Konoha yang telah sepi. Ia baru saja pulang dari pesta yang diselenggarakan oleh rekan bisnisnya. Seperti kebanyakan pesta para konglomerat, pesta perayaan pembukaan perusahaan cabang itu dihadiri oleh orang-orang penting dengan hidangan makanan dan minuman yang terbilang mahal, jadi tak heran jika pestanya berlangsung hingga lewat tengah malam.

Sebenarnya Sasuke tak begitu menikmati pesta itu, selain karena ia tidak suka dengan keramaian, juga karena pikirannya masih dipenuhi tentang percakapannya dengan Hinata di makam yang katanya wanita itu adalah ibunya. Sasuke berpikir, takdir apa yang mengikat mereka ini? Jika saja ia tahu lebih awal, atau jika aja ia langsung menyadari bahwa ibu itu adalah ibunya Hinata ketika mengetahui marganya. Maka ia—setidaknya ia akan memperlakukan ibu itu dengan baik.

Sasuke mengalihkan pandangannya sejanak dari jalan di depannya untuk melihat arlojinya.

02:00 am

Di pesta tadi Sasuke sengaja menghindari minuman beralkohol, selain karena lambungnya yang memang bermasalah, juga karena alasan ini, ia tak ingin mengemudi dalam keadaan mabuk.

Awalnya Sasuke pikir ia salah mengenali wanita yang sedang berlari sambil menggendong seorang anak kecil itu. tapi setelah ia lebih mendekatkan mobilnya, wanita itu ternyata memang Hinata.

Hinata tampak berhenti berlari, melihat sekeliling, mencoba menghentikan mobil-mobil yang lewat. Namun tak ada yang mempedulikannya.

Itu wajar, siapa yang mau menghentikan mobil di tengah malam begini untuk menaikkan orang yang belum dikenal, tak ada yang mau mengambil resiko.

Sampai akhirnya mobil Sasuke melintas di depannya, seperti yang telah Sasuke duga, Hinata juga memberikan isyarat untuk berhenti kepadanya.

Sasuke berhenti. Hinata tampak tersenyum lega.

Hinata mendekatkan wajahnya ke kaca mobil, namun saat Sasuke menurunkan kacanya—memperlihatkan wajahnya, senyum Hinata menghilang.

Hinata terdiam sejenak, kemudian membungkuk singkat dan menjauhi mobil Sasuke.

Itu artinya ia menolak niat baik Sasuke, meskipun awalnya ia yang meminta—secara tidak langsung.

Sasuke turun dari mobilnya dan menghampiri Hinata.

"Apa anakmu sakit?"

Hinata tidak menjawab.

Sasuke membuka pintu kursi penumpang mobilnya. "Naiklah!"

"Tidak, terima kasih!" Hinata bakhkan tak menghadap ke Sasuke ketika mengatakannya.

Sasuke menghela napas yang terdengar bosan bercampur lelah. Ia lalu tiba-tiba mengambil Nana dari gendongan Hinata.

"Naik! Kau ingin anakmu selamat bukan?" walaupun dia akan dibilang pemaksa Sasuke tak peduli.

Mata hitam Sasuke yang saat itu terlihat tegas seperti menghipnotis Hinata untuk menuruti kata-katanya. Hinata akhirnya masuk ke dalam mobil Sasuke.

Sasuke lalu menyerahkan kembali Nana ke pangkuan Hinata, sementara dirinya kembali ke kursi depan kemudi untuk kemudian melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah sakit.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Hinata kini berada di depan ruang Unit Gawat Darurat. Nana sekarang sudah dalam penangan dokter, walaupun belum bisa bernapas lega sekarang, namun Hinata bersyukur karena ia bisa menyelamatkan anaknya tepat waktu.

Bicara soal 'menyelamatkan', Hinata jadi teringat dengan Sasuke. Ia lalu berjalan menuju ruang tunggu tempat dimana Sasuke tadi mengatakan akan duduk menunggu di sana.

Sesampainya di sana, ia melihat Sasuke ternyata tengah tertidur.

Lama ia memandang wajah Sasuke, wajah yang selalu mengingatkannya pada mantan suaminya—Sai.

Sasuke dan Sai memang memiliki wajah yang mirip, tapi sifat mereka sangat jauh berbeda.

Hinata menyadari, tidak seharusnya ia meluapkan kebenciannya terhadap mantan suaminya itu kepada Sasuke hanya karena mereka mirip. Mungkin setelah ini ia harus meminta maaf kepada pria itu atas sikapnya selama ini, dan tak lupa juga harus berterima kasih karena telah membantu menyelamatkan anknya.

Hinata menghela napas. Ia lalu duduk di samping Sasuke. Perawatan anaknya akan membutuhkan waktu yang cukup lama, jadi ia memutuskan akan tidur sejenak sembari menunggu.

Sasuke bangun pada saat jam dinding rumah sakit menunjukan pukul empat pagi. Itu artinya ia sudah tidur di ruang tunggu itu selama lebih dari satu jam. Ia sempat terkejut ketika mendapati Hinata yang sedang tertidur di samping kanannya.

Sasuke menopang kelapanya dengan tangan kirinya di sandaran kursi, sekarang posisinya menghadap ke Hinata. Sasuke tersenyum. Dulu pertama kali ia melihat Hinata posisinya juga seperti ini.

Hinata tertidur, dan ia memandangi Hinata yang tertidur.

Bedanya, dulu Hinata tertidur di gedung olah raga SMP Konoha karena kelelahan mengatur keperluan anggota basket sekolahnya yang bertanding melawan sekolah Sasuke. Waktu itu Sasuke baru kelas dua SMA.

Kejadiannya sudah lama, tak pernah ada yang tahu, Sasuke selalu menyimpan kenangan itu sendiri sebagai sesuatu yang berharga untuknya. Terlalu berharga untuk dibagi dengan orang lain.

Masih sama. Cara Hinata tidur masih sama.

Sasuke jatuh cinta lagi.

*Flash Back*

Kejar-kejaran point sudah terjadi sejak quartet kedua dimulai. Namun sekolah Sasuke unggul dua point.

Sasuke saat ini sedang berusaha mem-block pergerakan kapten tim SMP Konoha yang sedang membawa bola.

"Ayo Gaara-kun!" suara seorang gadis terdengar, sepertinya Gaara yang dimaksud adalah Si kapten tim ini.

Entah terpancing oleh tipuan Gaara, atau memang pengaruh gerakan refleks, Sasuke mengikuti arah pandang gaara yang mendongak ke atas melihat ke arah gadis yang tadi menyerukan namanya.

Saat itulah Sasuke kehilangan fokusnya, tangannya yang tadi direntangkan perlahan terkulai lemas ke sisi tubuhnya.

Gadis berambut indigo yang berdiri dengan memegang selembar handuk dan dua botol minuman mineral. Gadis yang memberikan teriakan semangat lebih keras dari cheerleader, meneriaki tentang posisi dan strategi melebihi semangat seorang pelatih. Ia menunduk meminta maaf ketika semua mata penonton tertuju ke arahnya karena suaranya yang terlampau keras.

Pipi gadis itu memerah.

Sasuke terpesona.

Saat suara pluit terdengar Sasuke baru kembali ke alam sadarnya. Ia melihat ke arah papan skor, sekarang kedudukan mereka sama, dan waktu yang tersisa 30 detik lagi.

"Woe Sasuke! Kau kenapa, eh?" seorang teman setim-nya yang berambut pirang menghampiri Sasuke.

"Bagus sekali kapten! Gara-gara kau kita kehilangan kesempatan menang tadi," seseorang yang lain melewatinya dengan wajah tidak senang.

"Tidak apa-apa, ayo kita berusaha sampai detik terakhir," yang tadi berbicara pertama kali menepuk pundaknya kemudian berjalan untuk menempati posisinya.

"Sasuke!" Sasuke baru akan bergerak ke posisinya ketika namanya dipanggil oleh sang pelatih. "Fokus! Fokus!" katanya tegas, dengan tangan yang di gerak-gerakkan ke depan.

Sasuke hanya mengangguk, kemudian bersiap di posisinya.

Ketika suara pluit kembali terdengar, waktu juga kembali berjalan.

30..

Mereka—tim basket SMP Konoha menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk mem-passing bola ke sana-kemari ke sesama anggota tim-nya. Sepertinya mereka berniat mengulur waktu.

Sasuke maju ke arah salah seorang anggota tim basket SMP Konoha yang menuju ke arah ring mereka.

18..

Sasuke merentang-rentangkan tangannya untuk mem-block ketika anak itu berniat melakukan shooting.

17..

Usaha Sasuke berhasil, anak itu mengurungkan niatnya untuk melakukan shooting, ia mem-passing bolanya ke arah kapten mereka. Lagi-lagi si rambut merah itu, siapa tadi namanya? Gaara?

15..

Gaara berada di luar area three points, ia berhasil menangkap bola dari temannya, kemudian ia mendrible bola itu sejenak lalu bersiap melakukan shooting dan wussshh… bola itu di dorong dari bawah telapak tangan kirinya menggunakan telapak tangan kanannya.

12..

Bola itu melambung mengarah ke ring tim Sasuke.

11..

Sasuke melompat dan..

Hup! Ia berhasil mendapatkan bola tersebut.

10..

Sasuke mendrible bolanya sambil berlari ke arah daerah tim lawan, ia menerjang setiap anak SMP itu yang menghalanginya.

5..

Sasuke kini berada di luar area three points, ia lalu mundur satu langkah dan melompat.

3..

Bola sudah melambung.

2..

Srek! Masuk.

1.

Suara pluit panjang terdengar tanda permainan berakhir.

Buzzer beat!

Skor tiga angka untuk penentu kemenangan tim Sasuke. Sasuke tersenyum, ia bangga dengan hasil usahanya. Dengan senyum yang masih terjaga ia menoleh ke arah bangku penonton, mencari sosok gadis tadi.

Senyum Sasuke memudar. Gadis itu tak ada lagi di sana.

Gadis itu sudah turun ke tepi lapangan, dan terlihat menyerahkan handuk dan sebotol minuman mineral kepada Si rambut merah. Lagi-lagi Si rambut merah.

Haruskah Sasuke mengecat merah rambutnya sekarang agar gadis itu mau melihat ke arahnya? Melihat dirinya saja?

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Ketika akan naik ke bis yang akan mengantarkan kembali mereka ke Suna, Sasuke ingat ia tak sengaja meniggalkan dompetnya di ruang ganti gedung olah raga itu.

Sasuke kembali ke dalam gedung, lalu menemukan dompetnya. Tapi takdir sepertinya punya rencananya hari itu, ketika ia hendak keluar dari gedung tersebut, ia melihat gadis tadi tengah tertidur seraya memeluk satu botol minuman di bangku penonton deretan paling depan.

Sasuke menghampirinya perlahan. Ia kemudian duduk di sisi kiri gadis itu, menopang kepalanya menggunakan tangan kirinya yang disandarkan dengan sandaran kursi, sekarang ia dapat melihat dengan jelas wajah gadis itu.

Sasuke tersenyum, sepertinya gadis itu benar-benar kelelahan. Tidurnya pulas sekali. Wajahnya begitu tenang dan damai, seperti tidurnya seorang bayi. Begitulah Sasuke mendeskripsikannya.

Sasuke melihat jam di dinding gedung olah raga, sudah pukul empat sore. Tidak apa-apakah ia membiarkannya tertidur di sini? Tapi Sasuke juga tak tega untuk membangunkannya. Sasuke lalu berdiri dan melepas jaket klub basket yang ia kenakan, kemudian menyelimuti gadis itu.

Tapi sebelum ia benar-benar pergi, sebuah ide muncul di kelapa Sasuke. Biarlah ia dimarahi oleh teman-temannya karena membuat mereka menunggu lama.

Sekali lagi, Sasuke tersenyum.

*Flash Back End*

Hinata merasa terganggu dengan suara-suara yang mulai sibuk di sekitarnya, ia perlahan membuka matanya, lalu melihat ke jendela. Matahari sudah naik. Waktu di jam dinding rumah sakit sudah menunjukan pukul enam pagi.

Ia mendak bangun untuk menemui dokter yang merawat anaknya, tapi ada sesuatu yang menyelimuti tubuhnya.

Sebuah jas.

Hianata menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tidak menemukan siapapun, semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Hinata terdiam.

De Javu.

Ia merasa seperti pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Dengan ragu-ragu, ia merogoh saku jas tersebut. Dan ia mendapatkan sesuatu.

Kertas—surat.

Sama, persis seperti waktu itu.

Hinata membuka kertas tersebut dan membaca tulisan tangan yang tertera di sana.

Aku sudah menemui dokter selagi kau tidur.

Ini resep obat untuk anakmu.

Hinata memeriksa, ada kertas lain di belakang kertas itu. Sebuah resep obat.

Hinata lagi-lagi terdiam. Memikirkan sesuatu.

Ia rasa ketika ia kembali ke rumahnya nanti, ia harus memastikan sesuatu.

*Flash Back*

Hinata merasakan tepukan di pundaknya, dan suara sahabatnya Sakura yang terdengar samar-samar. Hinata perlahan membuka matanya.

"Hah.. akhirnya kau bangun juga, kenapa kau tidur di sini? Ayo pulang!"

"Aku ketiduran, jam berapa sekarang?"

"Sudah jam enam sore, kau tahu, aku mencarimu kemana-mana dan ternyata kau malah ketiduran di sini."

"Ah.. gomen, Sakura-chan."

"Tidak apa-apa, ayo cepat!"

"Iya."

Hinata menyingkap jaket yang menyelimutinya, kemudian berdiri.

"Ini," ia menyerahkan jaket itu kepada Sakura.

"Hm?" Sakura malah mengangkat kedua alisnya—heran.

"Ini bukan jaketmu?"

"Kupikir milikmu."

"Eh?" Hinata ikut merasa heran, lalu ia terdiam—berpikir.

"Mungkin itu jaketnya Gaara," Sakura mencoba menerka.

"Ti-tidak mungkin." meskipun mengatakan seperti itu, tapi ia merasa senang.

"Wajahmu memerah Hinata.. eh, ada sesuatu di dalam sakunya."

Hinata merogoh saku jaket tersebut dan menemukan selembar kertas, dan ada tulisan tangan seseorang di atasnya—itu sebuah surat.

Tidak usah dikembalikan, sebagai gantinya aku ambil minumanmu.

Sasuke.

"Siapa Sasuke?" tanya Sakura yang juga ikut membaca surat itu.

Hinata memeriksa jaket yang didominasi warna biru tua itu, dan menemukan nama 'Sasuke U.' tercetak di dada sebelah kanannya.

Hinata hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Sakura. Ehm.. mungkin juga pertanyaan sendiri.

Siapa Sasuke?

*Flash Back End*

Keesokan sorenya Nana telah diperbolehkan pulang oleh dokter. Ino menjemput Hinata dan Nana dari rumah sakit dan mengantarkan mereka ke apartemen.

"Untung saja Nana tidak apa-apa." Ino yang memulai percakapan.

Mereka kini berada di meja ruang makan Hinata. Sementara Nana sedang tertidur di kamarnya.

"Kau pasti sangat khawatir ya Hinata?"

Hinata mengangguk dan meletakkan secangkir teh di depan Ino.

"Tapi apa benar si Uchiha itu yang menolong kalian?"

Hinata mengangguk lagi, "Dia bahkan membayarkan tagihan rumah sakit."

Ino hampir tersedak tehnya ketika mendengar kata-kata Hinata.

Setelah mengatur kembali dirinya ia bertanya dengan mata membulat, "Benarkah?"

"Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya," Hinata menunduk.

"Hinata, aku akan membantumu sebisaku," Ino memegang pundak Hinata dan tersenyum.

"Terimakasih Ino-chan, tapi itu artinya aku berhutang untuk membayar hutangku. Kau tahu? seperti menggali lubang untuk menutupi lubang yang lama, tak akan berakhir."

Ino mengangguk. Ia sangat mengenal sifat Hinata, ia tak akan pernah mau menerima pemberian orang lain secara percuma, jika ia tak mampu membalasnya saat itu juga, maka ia akan menganggap itu sebagai hutang yang harus dibayarnya, dan ia selalu mebayarnya walaupun harus dengan bekerja lebih keras.

"Ah, tidak usah sungkan, kau bisa menggantinya kapanpun kau mau."

Kali ini Hinata menggeleng.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Entahlah, belum kupikirkan."

Ino menatap sahabatnya khawatir.

~(^.^ ~) (~ ^.^)~

Ino sudah pulang setelah makan malam. Dan urusan beres-beres di dapurnya pun sudah selesai. Hinata kemudian menuju kamar anaknya, untuk mengecek apakah Nana terbangun atau tidak. Hinata membuka perlahan pintu kamar anaknya, tapi ia tidak masuk, hanya mengintip dari luar.

Nana masih tertidur. Hinata lalu menutup kembali pintu itu juga perlahan-lahan. Kemudian berjalan ke kamarnya yang berada di samping kamar Nana.

Hinata duduk di atas kasurnya, memperhatikan peaper bag berisi jas Sasuke Uchiha yang ia letakkan di meja samping tempat tidurnya.

Hinata kemudian beranjak dari kasur dan menuju lemari pakaiannya. Ia memeriksa, mencari sesuatu di deretan-deretan terbawah.

Dan ia menemukan sesuatu berwarna biru tua bercampur hitam yang ia cari. Jaket yang menyelimutinya waktu tertidur di gedung olah raga sepuluh tahun yang lalu. Hinata memeriksa bagian dada sebelah kiri jaket—yang sudah tak terlihat baru lagi itu.

Ada di sana, nama itu, 'Sasuke U.'

Jika Hinata mengasumsikan 'U.' itu sebagai Uchiha, maka berarti orang menyelimutinya dengan jaket sepuluh tahun yang lalu dan dengan jas kemarin adalah.. orang yang sama?

Orang…yang… sama?

TBC

Author malas ini datang lagi.. :D

Readers sekalian apa kabar? *cipika-cipikiin satu-satu*

Saya kangen sekali menulis. Selama hiatus pra dan pasca UN, banyak ide-ide fic baru yang bermunculan, tapi gak pernah terealisasi menjadi sebuah fic karena mood nulis gak muncul-muncul.. *plak*

Oh iya, saya udah nepatin kan janji saya buat banyakin sence SasuHina-nya kan? ;)

Buat chap-chap selanjutnya ceritanya akan makin kompleks.. hm, haruskah saya menambahkan orang ketiga? Kalian tahu? sebuah cerita gak akan seru kalo gak ada gangguan kan? *smrik*

Hm.. Setelah saya cek chap sebelumnya, ternyata saya terakhir update pada ulang tahunnya Hinata yah? Dan sekarang saya baru update lagi pada ulang tahunnya Sasuke? O.o (kok heran Yhum? Itu kan karena kemalasan elo -,-)

Well, yeah..

Otanjoubi omedetou Sasuke-kun.. :*

Kapan nih ngawinin Hinata? *lirik Om Kishi*

.

.

Terima kasih banyak buat yang udah review:

Axx-29, Bourbone, gece, Mamoka, Hima Sakusa-chan, Jolie luv, zae-hime, alice9miwa, Amenyx, Indigo Mitha-chan, Kirei murasaki, Ran Haruka, Guest, N, Bonbon 0330, NithaKazumi Uchiha, lavender hime chan.

.

.

Terakhir..

Oh iya, sekarang lagi bulan Ramadhan. Selamat menjalankan ibadah puasa buat readers yang menjalankan. Puasanya jangan bolong-bolong yaaah :D

Oke, ini beneran yang terakhir..

Saya butuh kritik dan saran untuk fic ini dan juga untuk saya, bagaimana caranya menjaga mood menulis.. :D *hei hei! -,-

So,

Review yaa