Chapter 5 Update !

Semoga pembaca semua tidak bosan membaca fic ini. Dan, saya juga minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan umur para Gold Saints di Chapter sebelumnya. Saya hanya menggunakan umur yang sekarang dikurangi dengan umur kejadian. Maaf, ya. #bungkuk-bungkuk.

Baiklah, selamat membaca, semoga anda semua suka dengan fic saya.

Disclaimer : Saint Seiya bukan punya saya, tapi punya Masami Kurumada.

Rate : T

Pairing : SagaKanon, ShakaMilo, ShionCamus, MiloCamus, dll.

Genre : Romance, Drama, Humor, dll

Warning : Sho-Ai, OOC, Miss Typo, dll.

Selamat membaca !

-OooOooO-

"Camus…" desah Milo pelan di tidurnya.

Shaka menoleh kebelakang, sebelah alisnya naik.

"Apa tadi saya mendengar Milo menyebut nama Camus ?" ia melirik kearah si kembar yang masih asyik bermesraan berdua itu.

"Hah ? Masa iya, sih ? Saya tidak dengar apa-apa, kok." Tangan Saga menelusup ke balik kemeja yang Kanon kenakan, dan membelai perutnya.

"Kanon dengar tidak ?"

Pemuda berambut biru itu menggeliat sedikit karena geli, lalu menggeleng. "Tidak. Aku tidak dengar apa-apa. Mungkin kau hanya berhalusinasi saja, Shaka."

Shaka menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu. Apakah ia berhalusinasi, ataukah memang Milo memanggil nama Camus.

"Camus… Jangan tinggalkan aku…"

Kali ini, ketiga Saint Emas itu langsung terdiam. Mereka mendengar perkataan itu.

"Milo ?" Shaka berjalan kearah sofa dimana pemuda itu tidur, lalu mengguncang tubuhnya pelan, berusaha membangunkannya.

Meskipun masih dengan posisi yang sama, Kanon dan Saga memanggil Milo. Jujur saja, mereka khawatir dengan keadaan Milo. Ada masalah pada satu orang Saint Emas bisa mempengaruhi semuanya. Jadi, mereka berusaha agar tidak ada satupun dari mereka, terutama yang sedang menjalankan misi, tidak mendapatkan masalah.

Tapi kelihatannya hal itu tidak mungkin, sebab sejak awal berangkat misi Milo sudah bermasalah duluan.

"Milo ? Bangun Mil," panggil Kanon.

Tidak ada respon dari pemuda berambut biru itu.

"Milo, ayo bangun." Shaka mengguncang tubuh Milo lagi, kali ini lebih keras.

Ah, ada sedikit gerakan dari Milo. Ia memegang tangan Shaka erat, dan ekspresi wajahnya terlihat seperti orang kesakitan.

"Ca…mus… Jangan pergi… Jangan tinggalkan aku sendiri…" suara Milo terdengar lemah. Semua yang ada disana terkejut mendengarnya.

Namun mereka lebih terkejut lagi—terutama Shaka, karena ia berada tepat di samping Milo—ketika dua butir air mata mengalir bebas dari kedua kelopak mata Milo yang tertutup.

"Camus… Jangan tinggalkan aku… Aku tak mau sendirian…" Milo terisak pelan. Ia terus terisak sambil meremas tangan Shaka semakin erat.

Walaupun ia tidak suka disentuh oleh orang lain—terkecuali Mu tentunya—Shaka tetap merasa ada sedikit rasa kasihan terhadap Milo. Mu, meskipun ia sangat pemalu, tak pernah ragu-ragu untuk mengutarakan isi hatinya kepada Shaka, dan tidak jarang Mu menunjukkan gestur-gestur yang berkata bahwa ia sangat mencintai Shaka. Yah, meski hanya dilakukan saat di kamar.

Tetapi Milo berbeda. Camus terlalu dingin, terlalu diam, sekaligus terlalu pemalu. Jarang, tidak, Shaka maupun Saint Emas yang lain tak pernah melihat Milo bermesraan dengan Camus. Memang mereka sering berdua (karena pada dasarnya mereka itu sahabat sejak kecil), namun ekspresi yang mereka tunjukkan saat sedang berdua itu benar-benar seperti air dan minyak. Sangat berkebalikan. Milo tersenyum ceria seperti biasanya, dan Camus berwajah datar seperti biasanya. Tidak ada perlakuan-perlakuan tertentu yang biasanya hanya ditunjukkan saat sedang sendiri.

Tidak, tidak. Camus bukan orang seperti itu.

Ia orang yang diam, cuek, dingin, bahkan kepada orang yang ia cintai sekalipun. Coba lihat Hyoga. Meski statusnya adalah 'anak angkat' Camus, apa pernah Camus memeluk Hyoga secara keinginan sendiri ataupun memanjakan Hyoga ? Melihat kejadian itu bisa dibilang sama seperti melihat Aphrodite menjadi seseorang yang…jantan.

Itulah yang membuat Shaka kasihan kepada Milo. Ah, ingin rasanya ia menarik Camus ke Kuil-nya, lalu menasihatinya panjang lebar sampai pemuda dingin itu tidur karena bosan agar ia tahu bagaimana cara untuk memperlakukan kekasihnya.

"Shaka…" Saga menepuk bahu Shaka. Pemuda pirang itu menoleh, dan mendapatai Saga dan Kanon berdiri di belakangnya dengan wajah cemas.

"Milo kenapa ?" tanya Kanon.

Shaka menatap Milo dengan kedua mata birunya itu. "Dia merindukan Camus, mungkin. Entah kenapa saya merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekedar apa yang tadi Milo ceritakan kepada kita."

Saga menyilangkan tangannya di dada. Sorot matanya menjadi serius. "Itu yang hanya bisa kita lihat dari luar, Shaka. Dari semua yang ia ceritakan kepada kita, dan dari mata kita sendiri. Tapi, kita tak pernah tahu, apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya." Ia menatap Milo yang masih menggenggam tangan Shaka dengan ekspresi kesakitan itu.

"Bisa saja, saat ini ia sedang memimpikan sesuatu yang sangat menyakitkan. Kita tak pernah tahu. Mungkin saja, apa yang ia mimpikan dalah suatu bayangan yang tak pernah ingin ia lihat selama hidupnya." Tambahnya.

Kanon memandang kakak kembarnya. "Dari mana kau tahu, Saga ?"

Pemuda penjaga Kuil Gemini itu tersenyum sedikit. "Kau pikir saya tidak pernah merasakan pengalaman seperti itu ? Sejak saya mengurungmu di Cape Sunion, saya selalu mendapatkan mimpi buruk. Mimpi buruk yang paling tak ingin saya lihat seumur hidup. Dan ironisnya, di luar orang-orang selalu mengira saya baik-baik saja, padahal saya menderita di dalam, ketika hanya ada diri saya sendiri."

Shaka dan Kanon tertegun.

"Makanya, saya entah kenapa mengerti apabila hal ini terjadi kepada Milo. Seandainya saja ada yang bisa masuk kedalam pikiran Milo, mungkin kita bisa mengerti, apa yang sebenarnya harus kita selesaikan, apa yang harus kita takuti, dan apa yang harus kita cari. Saya kira itu cukup."

Adik kembarnya menatapnya lekat-lekat. "Kau terdengar seperti akan ada sesuatu yang sangat berbahaya, Kak. Memangnya ini ada hubungannya dengan keberadaan Specter di Rusia ?"

Saga mengangkat bahu. "Bisa ya, bisa tidak. Saya tidak tahu pasti. Tapi ada sebuah firasat bahwa kemungkinan besar ya."

Kini giliran Shaka yang tidak mengerti. "Baiklah, Saga. Tolong jelaskan kepada saya. Saya benar-benar tidak mengerti apa yang kau katakan barusan." Ia masih membiarkan tangan Milo melekat kepada tangannya. Setidaknya itu bisa menenangkan pemuda itu sedikit.

Pemuda berambut biru itu duduk di sofa, ekspresi di wajahnya masih tidak berubah. Serius, tapi tenang. Seperti saat ia akan pergi untuk bertempur.

"Begini. Pertama, saya hanya berpikir kalau masalah Milo dan Camus ini hanyalah masalah cinta biasa. Tapi, saat saya melihat Milo dalam keadaan tersiksa seperti ini, saya mendapat firasat buruk. Mungkin saja, Hypnos, sang Dewa Tidur memerintahkan Oneiroi, para Dewa Mimpi untuk memberikan mimpi buruk kepada Milo. Selain itu, Milo kan cukup kuat. Walaupun tidak sekuat yang lain, tapi ia tidak kenal takut, itulah kelebihannya. Apabila Milo tersiksa dengan mimpi itu, konsentrasinya bisa menurun, dan akhirnya menyebabkan kekalahan di pihak kita." Terang Saga.

Alis mata Kanon naik sebelah. "Oke, kak, aku lumayan mengerti. Tapi apa itu berarti hanya Hypnos, Thanatos, dan ketiga hakim Dunia Bawah saja yang tahu akan ini ? Hades sendiri tidak tahu ?"

"Itu yang saya masih belum mengerti. Saya tidak tahu pasti tujuan Hypnos. Apakah ia bekerja sama dengan ketiga Hakim Dunia Bawah, ataukah ia tidak asa sangkut pautnya dengan mereka."

"Lalu, mengapa Milo menjadi begini ? Kan tidak lucu kalau ada yang mengutuknya dengan mimpi buruk." Celetuk Shaka. Saga dan Kanon sedikit tersenyum mendengar ucapan Shaka yang (agak) lugu itu.

Kali ini Kanon yang menjawab. "Perasaan bersalah atau kekecewaan ? Terkadang rasa bersalah atau kecewa yang terlalu mendalam bisa menyebabkan mimpi buruk yang cukup menyakitkan."

"Ah, itu mungkin. Mungkin ia kecewa atau merasa bersalah kepada Camus ?

"Kalau kecewa sepertinya bukan kepada Camus. Milo terlalu mencintai Camus untuk bisa kecewa kepadanya."

"Jadi kalau begitu-" ucapan Shaka terpotong oleh Saga.

"Sudahlah, apapun itu tidak penting. Yang penting kita harus tetap waspada, dan menyelesaikan misi ini dan kembali dengan selamat. Dengan begitu, Camus dan Milo bisa bersama lagi."

-OooOooO-

Pemuda berambut biru itu berjalan di sebuah jalan setapak yang tidak pernah ia telusuri sebelumnya.

Jalan itu sempit, sepi, berbatu-batu tajam, dan ditambah lagi bekas-bekas tulang yang entah itu tulang manusia atau tulang hewan. Di sepanjang jalan terdapat pepohonan yang jaraknya sangat rapat. Angin berhembus perlahan, dan suara gesekan antar daun membuat suasana di tempat itu menjadi semakin suram.

Milo sama sekali tidak memperdulikan keadaan sekitarnya, maupun bagaimana caranya ia berada di sini. Yang ia ingat terakhir kali adalah pukulan keras Kanon yang bersarang di tengkuknya, kemudian semuanya menjadi gelap. Lalu, saat terbangun ia sudah berada di tempat tak dikenal ini.

'Oh, begitu.' Pikir Milo sambil melihat sekeliling. 'Rupanya aku hanya bermimpi. Pasti tadi setelah dipukul Kanon aku pingsan, dan aku berada di dunia mimpi.' Ia melanjutkan berjalan menyusuri jalan yang entah kenapa tak ada ujungnya itu. Mana pemandangannya tidak berubah, begitu terus. Batu-batu kerikil tajam tersebar di jalan, pepohonan gelap, tulang-tulang manusia atau hewan yang berserakan, dan suara gemerisik dedaunan itu. Semua itu membuatnya bosan. Memangnya dunia mimpi selalu seperti ini, ya ?

'Tapi, rasanya seperti kenyataan. Seperti bukan mimpi. Heh, para Oneiroi itu benar-benar luar biasa.' Ia menyeringai.

Mendadak, ia melihat sebuah sosok di ujung jalan. Sosok yang sangat ia kenal.

Camus.

Pemuda berambut turquoise itu berdiri di depannya, membelakangi dirinya. Rambutnya yang indah itu berkibar mengikuti arah angin yang berhembus.

Melihat sosok yang amat sangat dikenalnya itu, Milo tersenyum senang. Ia berlari kearah Camus.

"Camus ! Kok kamu bisa ada disini ? Ini kan dunia mimpiku." Milo bermaksud memeluk Camus dari belakang, namun tepat sebelum Milo bisa melakukannya, Camus berbalik dan menyerang Milo.

"DIAMOND DUST !"

Tubuh Milo terlempar beberapa meter dari tempat Camus berdiri.

"Ca-Camus, kenapa ?" tanya Milo dengan suara bergetar setelah berhasil bangun setelah diserang oleh Aurora Execution Camus. Ia berusaha menahan rasa sakit yang menyebar di seluruh tubuhnya, dan berdiri perlahan-lahan.

Camus tersenyum—lebih tepatnya menyeringai—kearah Milo. Ia berjalan mendekati Milo yang berusaha menopang tubuhnya. Diamond Dust yang tadi mengenai tubuhnya bukan sembarangan seperti yang Hyoga lakukan saat pertama kali melawannya. Camus menggunakan Cosmo yang besar untuk menyerangnya. Entah kenapa ia tidak mati karena serangan itu. Mungkin karena ini adalah dunia mimpi. Kalau ia sedang di dunia nyata, mungkin ia sudah mati.

"Bukankah sudah jelas ? Karena aku TIDAK pernah mencintaimu."

Meskipun singkat, namun kalimat itu sudah cukup untuk menyayat hati Milo hingga berdarah. Mata birunya melebar, dan sorot yang dipancarkan matanya adalah kepedihan bercampur keterkejutan.

"Camus…kenapa ?" ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu tertawa gugup. "Ahaha…itu tidak mungkin. Ini kan hanya dunia mimpi. Kau hanyalah Camus dari dunia mimpi, bukan dari dunia nyata. Tidak mungkin Camus dari dunia nyata membenciku."

Tetapi tawanya tersebut lenyap ketika kalimat berikutnya yang meluncur dari mulut Camus kembali menyayat hatinya yang sudah terluka itu.

"Heh, salah. Aku Camus dari dunia mimpi sekaligus dari dunia nyata. Aku dan dia orang yang sama. Kau tahu kenapa aku tidak pernah berkata cinta kepadamu ? Jelas saja, karena aku tidak mau dan tidak akan pernah mencintaimu."

Milo tak mampu berkata-kata lagi. Namun sudah tampak dua butir air yang mengancam untuk turun melalui pipinya.

Camus menyilangkan tangannya di dada. "Lagipula, untuk apa aku mencintaimu ? Kau hanyalah orang bodoh yang rela melakukan apapun demi aku. Kau tidak pintar. Kau tidak bijaksana. Dan kau, seorang Saint Emas terhormat, tidak malu untuk menyerah apabila kau memang sudah kalah. Hah ! Memalukan !"

"Camus…" suara Milo bergetar.

Walaupun Milo sudah hampir saja menangis karena perkataan Camus itu, Camus tetap tidak berhenti. Tidak berhenti melukai hatinya.

"Dan lagi," pemuda itu berjalan semakin dekat kearah Milo, yang sudah tak sanggup untuk berkata ataupun bergerak. "Kau begitu bodoh." Ujung jari telunjuknya mengangkat dagu Milo, mensejajarkan pandangannya dengan pemuda berambut turquoise itu. Matanya menatap mata Milo dengan tatapan kejam.

"Kau begitu bodoh mengejar-ngejar diriku, menaruh harapan kepadaku akan hanya sebuah perkataan cinta yang sangat mungkin untuk dipalsukan. Padahal seharusnya kau sudah tahu, dari semua sikap dingin yang aku tunjukkan kepadamu, kau harusnya sudah paham bahwa aku membencimu. Siapa yang mau jatuh cinta kepada orang bodoh yang jahil, berisik, dan menyebalkan ?"

Camus melepaskan dagu Milo, kemudian berbalik untuk meninggalkannya.

Melihat Camus akan meninggalkannya sendirian di tempat antah berantah itu, Milo segera mengejar Camus, meskipun kedua kakinya yang terasa lemas itu hanya bisa membuatnya memeluk kaki Camus.

"Camus, jangan pergi." Pinta Milo. Tetapi pemuda itu hanya menyepaknya, kemudian berjalan pergi.

Milo tak mau menyerah. Ia menahan Camus lagi—dengan cara yang sama karena tenaganya mendadak habis begitu saja—dan memohon kepada pemuda itu.

"Camus, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri." Air mata Milo yang kini sudah benar-benar mengalir membasahi celana yang Camus kenakan.

Pemuda itu mendecak, kemudian menyepak pipi Milo keras hingga penjaga Kuil Scorpio itu terlempar satu meter darinya. Ia lalu melihat celana, dan mendecak kesal lagi.

"Sial. Kau mengotori celanaku dengan air matamu." Ia menatap Milo kesal dan bengis.

Milo memegangi pipinya yang memerah akibat beradu dengan ujung sepatu Camus yang keras. Tatapan matanya yang penuh kesedihan dan rasa sakit beradu dengan Camus.

"Camus, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau sendirian…" ia memohon kepada Camus sekali lagi.

Mendadak dunia terasa berputar. Suara-suara bising memenuhi telinganya. Tidak, bukan suara bising. Melainkan suara yang familiar, berbicara satu sama lain, dan bergema di dunia itu. Selain itu, ia merasakan guncangan di dunia itu, dan tubuhnya bergetar. Seakan-akan ada yang menggerakkannya—atau lebih tepatnya mengguncang tubuhnya—dari tempat lain yang tak dapat ia lihat.

Ia melihat sekeliling, berusaha mencari sumber suara bergema tersebut. Namun sayangnya, ia tak dapat menemukannya. Masih seperti sebelumnya. Jika didengarkan baik-baik, gema-gema itu terdengar seperti suara orang memanggil-manggil namanya.

'Siapa ? Kenapa mereka memanggil namaku ?' pikirnya. Ia kemudian melihat kearah Camus yang wajahnya kini tertutupi oleh helaian rambut turquoise-nya.

"Camus ?" dilihatnya Camus mengangkat kedua tangannya tinggi.

Mata Milo terbelalak.

"Ca-Camus, kau tidak bermaksud untuk…" sebuah seringai bengis muncul di wajah Camus.

"AURORA EXECUTION !"

"TIDAAAKK !"

-OooOooO-

Milo terbangun dari tidurnya dengan tubuh berkeringat dingin dan nafas terengah-engah. Di pipinya terdapat bekas air mata yang masih tampak jelas.

Saga, Kanon, dan Shaka yang berada tak jauh darinya langsung menghampiri pemuda itu dengan ekspresi khawatir terpasang di wajah mereka.

"Milo, kau tidak apa-apa, kan ?" Kanon.

"Milo, saya khawatir padamu." Shaka.

"Milo, ada apa ? Ceritakan kepada kami." Saga.

Milo memegangi kepalanya, berusaha menjernihkan pikirannya dari bayangan-bayangan mengerikan yang tadi ia alami, sekaligus untuk mencerna setiap pertanyaan yang diajukan oleh sahabat-sahabatnya.

"A-aku…aku…" ia terbata, dan melihat sekeliling. "Ca-Camus…"

Shaka menggeleng. "Milo, Camus tidak ada disini. Disini hanya ada saya, Saga, dan Kanon. Camus di Sanctuary." Ia memegang bahu Milo. "Daripada itu, kau tidak apa-apa ? Kau terlihat sangat berantakan, Milo." Dengan hati-hati Shaka menyingkirkan sebagian rambut Milo yang basah oleh keringat dari dahinya, lalu mengambil tisu dan menyeka keringat dingin yang hampir membasahi seluruh tubuhnya.

"Camus…" pemuda berambut biru itu terisak kembali. "Camus, dia… Dia membunuhku menggunakan A-Aurora Execution… Dia meninggalkanku sendirian di tempat aneh itu…" tubuhnya bergetar.

Dengan penuh simpati, Shaka menarik Milo dari atas sofa, lalu memeluknya erat-erat. Milo terkejut, namun ia tidak melawan.

"Tenang saja, itu hanya mimpi buruk. Itu bukan apa-apa melainkan sebuah mimpi buruk yang tak mungkin terjadi." Bisiknya lembut dan menenangkan sambil membelai rambut biru Milo. "Tenanglah…"

"Ta-Tapi… Camus meninggalkanku… Pada akhirnya, semuanya juga akan meninggalkanku, seperti Camus…" ia meracau tidak jelas di pelukan Shaka.

"Tidak akan ada yang meninggalkanmu, Milo. Aku takkan pernah melakukannya. Kau kan sahabatku." Kanon memeluk Milo dari belakang. Suaranya pelan dan kalem.

"Begitu juga dengan saya," Saga merangkul ketiganya dengan sebuah pelukan hangat. "Saya, tidak. Semuanya tidak akan pernah meninggalkanmu. Karena kamu adalah sahabat kami. Sahabat mana, yang akan meninggalkan temannya sendiri ?"

Milo terdiam.

"Seperti kata Shaka." Lanjut Kanon. "Semua itu adalah mimpi buruk. Tak lebih."

"Dan kalaupun ada apa-apa, ingatlah bahawa kami akan selalu disini. Kita kan saling melengkapi satu sama lain."

Dan kalimat terakhir dari Saga itu kembali membuat Milo menangis. Ia tahu, sangat memalukan bagi seorang Saint Emas untuk menangis. Tetapi, dia kan juga manusia yang mempunyai perasaan. Menangis adalah hal yang wajar, karena itu membuktikan bahwa ia adalah manusia.

"…terima kasih…" bisik Milo lemah diantara pelukan sahabat-sahabatnya tercinta.

-OooOooO-

Camus menghela nafas bosan.

Sekarang ia sendirian, tidak ada yang lain. Shion sedang pergi bersama Aiolos dan Aphrodite karena tadi kata Aiolos ada beberapa ekor kalajengking yang memberontak, dan berusaha melawan hingga memakan korban Shura yang pantatnya dientup oleh salah satu dari kalajengking Milo.

Ia melihat ke samping, dimana empat ekor kalajengking beku sedang tidur dengan nyenyaknya(?). Tadinya ia yang menawarkan diri untuk mengatasi serangan kalajengking itu, tetapi Shion berkata lebih baik Aphrodite saja. Karena kalau ia yang ikut dengan Aiolos, bisa-bisa semua kalajengking Milo mati. Kalau Aphrodite paling hanya pingsan saja.

Dan jadilah ia disini. Sendirian, dan hampir mati karena bosan. Seandainya saja ia bisa membawa bukunya mungkin ia tidak akan bosan.

Merasa perlu udara segar di Kuil Scorpio yang minta ampun kotornya itu, Camus berjalan keluar, ke depan pintu masuk.

Ia menarik nafas dalam-dalam, menikmati hembusan angin yang terasa nyaman di kulitnya. Ia memperhatikan pemandangan Sanctuary dari atas dan melihat banyak orang-orang di bawah sana. Hal itu cukup sebagai hiburan gratis untuknya.

Sampai kedua matanya menangkap sesuatu yang cukup ganjil.

Disana, diantara reruntuhan bangunan dan bebatuan, ada seorang gadis yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Gadis itu mengenakan gaun putih panjang yang memiliki banyak ruang, sehingga saat angin berhembus, gaun itu akan berkibar dengan sendirinya.

Penasaran, Camus diam-diam berteleportasi ke dekat reruntuhan itu. Ia ingin melihat gadis itu dari dekat, karena ia merasa seperti belum pernah melihatnya sebelum ini, namun entah kenapa terasa familiar dengannya.

Ia mengintip dari balik reruntuhan. Gadis itu masih berdiri disana. Rambutnya berwarna putih keperakan—senada dengan baju yang ia kenakan—dan sangat panjang. Kira-kira panjangnya lebih dari tumitnya. Ia tak mengenakan alas kaki, dan Camus mampu melihat dengan jelas bahwa sebuah gelang kaki terbuat dari batu Kristal biru dan putih bening melingkar di kaki kanannya. Di gelang kaki tersebut terdapat lonceng, yang akan berbunyi setiap kali ia menjejakkan kakinya di tanah.

Tubuhnya ramping, dan tinggi. Jelas gadis itu lebih tinggi daripada Athena, tetapi anehnya ia terlihat jauh lebih ramping daripada Athena.

Camus tak dapat melihat wajahnya karena gadis itu berdiri membelakanginya. Tetapi ketika gadis itu berbalik, bahkan Camus yang gay tak mampu menahan keinginan untuk memuji kecantikan gadis tersebut.

Wajahnya berbentuk hati yang sempurna. Matanya lebar dan biru. Biru yang sangat indah. Seperti batu Safir terindah yang pernah ia lihat. Bulu matanya panjang dan lentik, Hidungnya kecil, dan bangir. Bibirnya tipis, berwarna pink lembut dengan proporsi yang senada dengan wajahnya. Sedikit rona merah alami mewarnai pipinya yang berlesung pipi itu. Kulitnya putih, sangat putih namun tidak pucat. Saking putih dan beningnya kulit gadis itu, sampai-sampai orang mampu melihat urat-urat biru dari permukaan kulitnya. Tentu saja hanya bisa terlihat apabila diperhatikan baik-baik.

Dan yang terakhir yang membuat penampilannya semakin sempuran ialah potongan rambutnya. Lurus pada bagian atas, namun semakin ke bawah menjadi bergelombang. Lalu rambut pada dahinya. Mereka jatuh dengan alami di dahi dan samping wajahnya.

Camus mengerjapkan matanya beberapa kali. Hei, yang ia lihat di depannya ini bukan bidadari, kan ?

Mendadak sebuah suara membuyarkan lamunannya akan kekaguman kepada gadis itu.

"Camus, sedang apa kau disini ?"

Pope Shion.

To Be Continued…

-OooOooO-

Behind The Scene

"Camus…" desah Milo pelan di tidurnya.

Shaka menoleh kebelakang, sebelah alisnya naik.

"Apa tadi saya mendengar Milo menyebut nama Camus ?" ia melirik kearah si kembar yang masih asyik bermesraan berdua itu.

"Hah ? Masa iya, sih ? Saya tidak dengar apa-apa, kok." Tangan Saga menelusup ke balik kemeja yang Kanon kenakan, dan membelai perutnya.

"Kanon dengar tidak ?"

Pemuda berambut biru itu menggeliat sedikit karena geli, lalu menggeleng. "Tidak. Aku tidak dengar apa-apa. Mungkin kau hanya berhalusinasi saja, Shaka. Ahaha, Saga, hentikan, geli…"

Tetapi Saga tidak menghiraukan ucapan Kanon, dan tangannya semakin turun mendekati retsleting celana Kanon. Pemuda berambut biru itu menggeliat kesenangan, dan mersepon dengan menciumi leher Saga. Lalu—

Nade : CUUTT ! CUUTTT ! *teriak pake toa* Heh, cerita ini kan bukan rate-M. Kok jadi gini, sih ? Kalian baca naskah yang mana ?

Kanon dan Saga : Tadi Lach (Lachrymose) ngasih kita naskah ini. *nunjukin naskah*

Nade : *baca naskah, kaget* LACH ! KOK KAMU NGASIH MEREKA NASKAH RATE-M ?

Lach : Kok kakak marah sama saya. Saya disuruh Seiya dan para Bronze Saint untuk ngasih naskah ini ke Kanon dan Saga.

Nade : SEIYYAAAA ! SHIRYU ! SHUN ! HYOGA ! IKKI ! *PMS mode On*

Lach : Nyantai napa, kak. *nutup kuping*

Milo : *nyikut Shaka* Sha, aku nggak percaya kalau muridmu yang masih polo situ (baca : Shun) ikut-ikutan beginian.

Shaka : *sweatdrop* er…no comment. =_=

-OooOooO-

Akhirnya selesai.

Maaf kalau yang ini agak lama. Maklum, saya mau UNAS. Jadi, untuk nulis aja ngebela-belain waktu istirahat di kelas. Maaf, ya. Tapi saya akan berusaha sebaik mungkin.

Gadis yang dilihat Camus itu OC saya. Keterangan selengkapnya ada di Chapter berikutnya. Semoga pembaca tidak benci dengan OC saya. Untuk Fic ini, OC saya tidak akan di pair-kan sama siapa-siapa. Peran OC saya baru muncul nanti-nanti. Tapi, untuk Fic saya yang lain, mungkin saya akan keluarkan OC saya tadi itu.

Oh ya, saya mau tanya. Apakah pembaca mengharapkan fic ini menjadi Rate-M, ataukah tetap Rate-T seperti sekarang ? Silahkan jawab di Review.

Akhir kata, tidak ada yang bisa saya ucapkan, selain…

R&R Please !