Hai, ini Fic pertama saya di Fandom Saint Seiya. Sebelumnya saya menulis untuk Axis Power Hetalia, Eyeshield 21, dan Katekyo Hitman Reborn. Biasanya saya hanya menjadi silent reader di Fandom Saint Seiya. Tapi sekarang saya ingin mencoba membuat satu Fic untuk Fandom ini, jadi, mohon kerja samanya, ya ! Dan maaf apabila ada yang kurang berkenan di hati para reader semuanya.
Disclaimer : Saint Seiya bukan punya saya, tapi punya Masami Kurumada.
Rate : T
Pairing : MiloCamus
Genre : Romance, Drama, Hurt/Comfort, Angst, Humor
Warning : Sho-Ai, OOC, Miss Typo, dll.
Selamat membaca !
-OooOooO-
Milo cinta Camus, Milo sayang Camus.
Ia mencintai Camus sebagai seorang kekasih. Ia juga menyayangi Camus sebagai bagian dari hidupnya.
Ia tahu, bahwa Camus juga mencintainya, Camus juga menyayanginya. Ia paham sekali akan hal itu, meskipun Camus tak pernah berkata kepadanya, bahwa ia mencintai Milo seperti Milo mencintai Camus.
Ia tahu, Camus bukanlah tipe orang yang akan mengatakan perasaannya kepada orang lain seperti Milo. Ia tahu, Camus adalah tipe orang yang pendiam, lebih memilih untuk menyimpan perasaannya dalam-dalam di lubuk hatinya. Seperti apapun ia mencintai seseorang, Camus akan tetap seperti itu. Diam, dan bersikap dingin sekalipun pada orang yang ia cintai itu. Camus bukanlah tipe orang yang akan bersikap lemah lembut, romantis, dan perhatian.
Milo paham akan Camus. Ia mengerti sekali, seperti apa Camus yang sesungguhnya. Camus itu dingin, sedingin es. Namun bagi Milo, hati Camus itu hangat, sehangat matahari yang bersinar di saat musim semi. Camus itu diam, seperti patung. Tapi Milo tahu, bahwa sesungguhnya perasaan Camus itu mudah luluh, apalagi jika seseorang menyentuh titik lemah di hatinya.
Hanya saja, ia tak pernah menunjukkan semuanya itu. Semuanya tersimpan dibalik topeng wajah datar dan dingin yang seakan-akan terpahat abadi.
Camus tak pernah berkata 'Aku mencintaimu' kepadanya, walaupun Milo sudah berkali-kali mengatakan kalimat itu kepadanya, yang kemudian dibalas oleh Camus dengan 'Aku tahu' tanpa ekspresi di wajahnya. Camus tak pernah memeluknya erat, meskipun entah sudah berapa kali ia hampir meremukkan tubuh Camus akibat pelukan eratnya. Camus tidak pernah mengecup pipinya dengan mesra seperti yang Milo lakukan. Setiap kali Milo mengecup pipi Camus, ia hanya menghela nafas kemudian memutar kedua bola matanya. Camus tidak pernah memeluknya saat mereka hendak tidur. Camus tidak pernah mengucapkan 'Selamat tidur' atau 'Mimpi indah' sebelum mereka tidur. Camus tidak pernah menggandeng tangan Milo saat mereka sedang berjalan-jalan. Camus tidak pernah memberinya hadiah saat ia ulang tahun. Paling hanya sekedar 'Selamat ulang tahun', setelah itu ia pergi meninggalkan Milo yang masih dikerumuni oleh Saint-Saint lainnya.
Camus tidak pernah melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang kekasih. Meskipun begitu, Milo percaya, bahwa sesungguhnya di dalam lubuk hatinya, Camus sangat mencintainya. Hanya saja, Camus tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya.
Camus memang tidak pernah berkata 'Aku mencintaimu', 'Selamat tidur', atau 'Mimpi indah' kepada Milo. Tapi saat Camus menatap matanya dalam-dalam, Milo tahu bahwa Camus sudah mengatakan segala yang ia rasakan kepada Milo. Camus memang tidak pernah mengecup pipinya, memeluk tubuhnya, maupun menggandeng tangannya. Tapi saat Camus mencubit lengan Milo saat pemuda berambut biru itu bertingkah konyol, semuanya sudah cukup.
Milo tak pernah menuntut lebih dari Camus. Mengapa ? Ada beberapa alasan. Pertama, karena Milo tak mau kehilangan Camus. Kedua, karena bagi Milo, keberadaan Camus itu sudah cukup baginya.
Namun, akhir-akhir ini Milo mulai merasa agak jenuh dengan sikap cuek yang selalu Camus berikan kepadanya, serta wajah datar yang selalu ditampilkan Camus di depannya. Tidak bisakah Camus, untuk sekali saja, menunjukkan kepada Milo betapa ia mencintai Milo ?
Walau sebelumnya ia sudah berkata, bahwa ia tak pernah menuntut lebih dari Camus, baik itu perhatian, ataupun yang lainnya. Tapi, siapa sih yang tahan, apabila kekasihmu tidak melakukan sesuatu yang…agak romantis ?
Milo akan mencoba berbicara kepada Camus. Sekali saja. Mengapa Camus tak mau menunjukkan perhatiannya kepada Milo.
-OooOooO-
"Camus…" Panggil Milo sambil memainkan rambut turquoise Camus.
"Hmm ?" balas Camus, tak menoleh dari buku yang sedang dibacanya.
Milo cemberut melihat reaksi Camus yang tak seperti yang diharapkannya. Ia menarik buku dari tangan Camus, kemudian membaca sampulnya.
"The Narrative of Arthur Gordon Pym of Nantucket karya Edgar Allan Poe ? Kau tidak bosan membaca buku seperti ini ?" ia menatap Camus setengah menyindir.
Camus menghela nafas, kemudian mengambil bukunya lagi dari Milo. "Terserah saya mau baca buku apa. Itu bukan urusan kamu, Milo." Balasnya dingin sambil menutup bukunya sebelum meletakkan sebuah pembatas buku bergambar kalajengking yang diberikan oleh Milo saat ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu.
Milo makin cemberut. "Camus, kau dingin sekali padaku…" ia melipat tangannya di dada. Untuk yang kedua kalinya, Camus menghela nafas panjang. Diletakkan bukunya di meja, sebelum menghadap Milo dengan tatapan mata kalem.
"Jadi, apa yang kau inginkan, Scorpio Milo ?" tanyanya dengan nada datar. Pemuda berambut biru itu mendekat kearah Camus, dan menatapnya dengan mata lugu dan polos.
"Camus, kau kekasihku, kan ?"
"Ya."
"Sudah lama kan sejak kita mulai berhubungan ?"
"Ya."
"Kau tahu kan, kalau aku mencintaimu ?"
"Ya." *twitch*
"Camus, kau berasal dari Perancis, kan ?"
"Ya." *mulai agak jengah*
"Camus, kita sering tidur berdua, kan ? Di kuilmu."
"Ya." *urat muncul di dahinya*
"Camus, kau biasanya jadi uke, kan ?"
*sigh* "Ya."
"Camus, kau tahu kan, kalau kau setiap malam memanggil-manggil namaku saat tidur ?"
"Pertanyaan macam apa itu ?" *muka semerah kepiting*
Milo tertawa kecil sambil menjulurkan lidahnya jahil. "Hehehe, bercanda. Habis, mukamu datar terus, sih. Jadinya aku ingin menggodamu."
Camus menghela nafas panjaaaang sekali. Lalu diam. Milo juga diam.
Hening sejenak.
"Camus ?"
"Ya ?"
"Kau mencintaiku, kan ?"
"…."
"Camus ?"
"…." Tidak ada jawaban dari Camus.
Milo sedikit kecewa ketika ia tak mendapat jawaban dari Camus. Tapi ia tak ingin Camus tahu kalau ia sedikit kecewa. Bisa-bisa nanti Camus malah merasa bersalah, dan ia tak mau hal itu terjadi.
"Milo, aku-" kalimat Camus diputus oleh Milo yang tertawa.
"Hahaha, tidak apa-apa kalau kau tidak mau menjawab kok, Camus. Aku tidak masalah. Kau bisa menjawabnya lain kali." Tawa pahit itu mengalir dari bibir Milo yang mati-matian berusaha agar ia tidak menghamburkan air matanya saat itu juga.
Camus menunduk. Ia mulai merasa bersalah kepada Milo sekarang. Biasanya, Milo tidak pernah bersikap seperti itu. Milo selalu terang-terangan, dan bebas menunjukkan ekspresinya kepada siapapun, termasuk Camus. Hanya ada beberapa saat dimana Milo tidak bersikap terbuka, tetapi itu sangat sangat sangat dan sangat jarang.
'Duh, apa yang harus kulakukan ? Kelihatannya Milo sangat sedih karena aku tidak menjawab pertanyaannya tadi. Tapi, masa hanya karena itu dia sedih, sih ? Bukannya hal itu terlalu sepele untuk membuat seseorang sedih, ya ?' batin Camus bingung.
Pemuda berambut turquoise itu melirik kearah Milo sedikit. Ia tersentak.
Ekspresi wajah Milo begitu berbeda dari yang biasanya. Ia menunduk, sehinga helaian rambut birunya menutupi wajah. Kedua tangannya diletakkan di pangkuannya sambil meremas celana yang dikenakannya. Bukan seperti Milo yang biasanya. Milo selalu semangat, ceria, jahil, dan menyenangkan. Tapi Milo yang ia lihat saat ini tampak sedih dan sendu.
"Milo ?" panggil Camus khawatir.
"Ya, Camus ?" Milo menoleh kearah Camus, dan memaksakan sebuah senyum di bibirnya. Orang normal mungkin menganggap Milo baik-baik saja.
Tapi tidak bagi Camus. Ia tahu, Milo hanya memaksakan senyum agar ia tidak khawatir. Camus mengerti Milo seperti ia sedang membaca buku-buku favoritnya. Camus mampu melihat isi hati Milo yang sebenarnya. Walaupun tidak seratus persen, tetapi bagi Camus, Milo itu seperti buku yang sangat menarik untuk dibaca.
Dan dengan mudah, Camus dapat melihat bahwa mata biru Milo sedikit…berair ?
"Milo, aku-"
"Oi, Milo, Athena dan Pope Shion memanggilmu ! Katanya ada misi yang penting." Mendadak Kanon muncul di depan mereka berdua.
Milo dengan segera berdiri, mengusap matanya sedikit. Ia lalu menoleh kearah Camus, kemudian tersenyum lebar seperti biasanya. "Aku pergi dulu, ya. Nanti kalau sudah tahu apa misinya, aku akan kesini lagi untuk bersiap-siap dan berpamitan denganmu. Dah, Camus." Milo dan Kanon berteleportasi, dan menghilang.
Meninggalkan Camus sendirian.
-OooOooO-
Camus menghabiskan waktunya untuk menunggu kehadiran Milo sambil melanjutkan acara membaca bukunya yang tadi sempat tertunda.
Namun, ia tak bisa berkonsentrasi. Ia membaca satu kalimat berulang-ulang, dan tak paham arti dari kalimat itu. Padahal biasanya ia bisa membaca satu halaman penuh dalam waktu semenit.
Dari tadi pikirannya terus bertumpu pada yang lain. Yang tak lain dan tak bukan adalah kekasihnya sendiri, Milo.
Perasaan bersalah itu masih belum hilang juga. Apalagi saat melihat Milo hampir menangis. Yah, mungkin tidak bisa dibilang hampir menangis, karena pada saat itu mata Milo hanya berkaca-kaca.
Camus menghela nafas panjang, lalu meletakkan bukunya di meja. Kemudian ia bersandar di sofa, sambil menggigit bibirnya bingung. Apa yang harus ia lakukan agar perasaan bersalah itu hilang dari dalam dadanya ?
"Hey, jangan gigit bibir begitu. Nanti bibirmu yang indah itu berdarah." Suara yang familiar itu muncul dari belakang Camus. Semerta-merta ia menoleh, dan menemukan Milo di belakangnya. Ia menatap Camus sambil tersenyum hangat seperti biasanya.
"Milo-"
"Camus, aku akan melaksanakan sebuah misi. Kata Athena dan Pope Shion, misi ini mungkin sangat berbahaya, jadi aku akan ditemani oleh Kanon, Saga, dan Shaka."
Alis mata Camus naik sebelah. "Apa…kau akan pergi lama ?" tanya Camus sambil menunduk. Jujur saja, ia tak suka apabila Milo tidak ada di sisinya. Rasanya sepi. Padahal, Camus paling senang apabila dijahili oleh Milo. Yah, walaupun ia tidak pernah menunjukkan sisi itu di depan Milo.
Milo menggaruk tengkuknya, sedikit rona merah di wajahnya. "Tidak begitu lama, sekitar seminggu. Tapi berbahaya. Aku…mungkin saja terluka parah. Atau pada keadaan terburuk, aku bisa saja mati." Sorot mata Milo menjadi sedih.
Camus menunduk lebih dalam. "…begitu…"
"Apa kau sedih ?" tanya Milo sambil mengangkat dagu Camus, menatap lurus ke bola mata turquoise milik pemuda itu.
"…." Camus tidak menjawab. Bukannya ia tidak ingin menjawab, tapi karena ia tidak tahu harus menjawab apa. Beberapa menit sebelumnya, ia sudah membuat Milo sedih. Dan sekarang, mendadak Milo akan pergi untuk melaksanakan misi yang membahayakan jiwanya. Ia bingung harus menjawab apa kepada Milo. Ia juga takut, apabila ia salah bicara dan semakin membuat Milo sedih.
Pemuda berambut biru itu mengelus pipi Camus lembut dengan kedua ibu jarinya. Ia tersenyum sedih kepada Camus, dan mendekatkan wajah mereka. "Tenang saja, Camus. Aku, Kanon, Saga, dan Shaka takkan mati semudah itu." Ia berkata dengan nada menenangkan. "Kalaupun kami mati, kematian kami itu takkan sia-sia, karena ini adalah demi keselamatan orang banyak. Bukankah itu adalah tugas seorang Saint ?" tambahnya.
"Tapi tetap saja, aku…" 'Tidak… Jangan pergi, Milo…'
"Ya, Camus ?"
"…tidak…" 'Aku kesepian tanpamu…'
Milo menatap Camus lurus. Ia memegang bahu Camus erat, namun tetap bersikap lembut.
"Camus, untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu ?" tanya Milo lembut.
Camus memiringkan kepalanya sedikit. "Kenapa ?"
"Yah, karena…mungkin saja ini pertemuan terakhir kita, Camus. Oleh karena itu, aku menginginkan sesuatu darimu, sebagai kenang-kenangan."
Mata Camus membelalak. Apa tadi itu benar Milo ? Milo tak pernah berkata seperti itu kepadanya, tidak pernah.
"…silahkan saja…" 'Milo, jangan berkata seperti itu…'
"Camus, aku ingin…"
"…lanjutkan…" 'Aku tak mau kehilanganmu. Jangan pergi, Milo. Tetaplah bersamaku disini...'
"Aku ingin agar kau berkata kepadaku, bahwa kau mencintaiku, Camus."
Hening. Camus tidak merespon, dan Milo tidak bertanya lebih jauh lagi.
"Camus ? Kau mendengarku, kan ?"
"…"
Masih tetap hening.
Milo merasa agak kecewa. Ia tidak main-main dengan ucapannya tadi, kalau ia bisa saja mati. Yang ia inginkan saat ini adalah perkataan cinta dari Camus. Hanya itu saja. Ia tak pernah mengharapkan sesuatu yang mewah ataupun mahal. Ia juga tak meminta Camus memperlakukannya seperti seorang raja. Ia hanya ingin Camus berkata kepadanya, bahwa ia mencintai Milo dengan sepenuh hatinya.
Walaupun rasa kecewa dan sedih itu terus tumbuh di dada Milo, ia berusaha tak menunjukkannya kepada Camus. Ia tak ingin membuat Camus berpikir, bahwa ialah yang sudah membuatnya merasa sedih. Maka ia tersenyum hangat seperti biasanya, dan meremas bahu Camus ringan.
"Tidak perlu dipikirkan, Camus. Tidak apa-apa, kok. Masih ada waktu lain kali. Kau bisa mengatakannya kapanpun saat kau siap." 'Yah, jika masih ada waktu.' Batinnya.
Pemuda itu melepaskan bahu Camus, kemudian berbalik. "Aku akan bersiap-siap di kuilku, setelah itu berangkat. Jadi, aku pergi dulu, Camus." Milo baru saja hampir meninggalkan kuil, ketika sebuah tangan dingin mencengkram lengannya.
"Camus ? Ada apa ?"
Saint Aquarius itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil tangan Milo, kemudian meletakkan sebuah kalung di telapak tangannya.
Milo menatap Camus bingung, sebelum melihat kalung di tangannya itu. Sebuah kalung berwarna perak berbentuk separuh hati.
"Untukku ?" lagi-lagi Camus tak menjawab. Tetapi, ia menunjukkan sebuah kalung yang sama persis bentuknya dengan Milo, yakni separuh hati.
"K-Kembaran…" suara Camus terdengar sedikit bergetar. Perasaan sedih dan kecewa Milo sedikit menghilang, meskipun masih tersirat sedikit kekecewaan itu.
Tanpa pikir panjang Milo langsung mengenakan kalung tersebut. Lalu diambilnya kalung Camus, dan disatukannya kedua belahan hati tersebut.
"Walaupun kita berpisah, hati kita tetap satu, Camus." Milo tersenyum.
"Milo, ayo cepat. Kanon dan Shaka sudah menunggu. Hanya kamu yang belum." Saga, yang sudah lengkap dengan Cloth-nya serta sebuah tas besar tiba-tiba muncul.
"Ya. Aku sudah siap." Milo mengambil tasnya, dan diselempangkan di bahu. "Camus, aku pergi dulu."
Saga juga tersenyum kepada Camus, melambaikan tangannya. "Saya pinjam Milo dulu, ya." Dan mereka berdua berjalan menuju pintu, meninggalkan Camus sendirian di belakang, menatap punggung kedua Saint tersebut.
Sebelum benar-benar keluar, Milo menoleh ke belakang sedikit. Ia mengeluarkan senyum termanisnya, dan melambaikan tangannya.
"Jaga diri, Camus." Ia pergi.
Setelah yakin bahwa Saga dan Milo benar-benar pergi, Camus jatuh terduduk di lantai. Kepalanya menunduk dalam, dan butiran-butiran air mengalir jatuh dari kedua bola matanya dan membentur lantai sedikit demi sedikit.
Camus terisak. Digenggamnya kalung miliknya, dan kedua tangannya menekan dadanya, masih terisak. "Kau bodoh, Milo." Bisiknya lirih dengan suara yang masih bergetar.
"Seharusnya aku yang bilang begitu, bukan kamu…"
To Be Continued
-OooOooO-
Bwahahaha, akhirnya selesai juga ! *lega* Apa yang akan terjadi pada Milo, dan misi apa yang sebenarnya akan mereka temui ? Jawabannya ada di Chapter berikutnya. Maaf kalau Chapter ini jelek dan tidak menarik. *bungkuk2*
Akhir kata, tidak ada yang bisa saya ucapkan, selain…
R&R Please !