Diclaimer : Gosho Aoyama-sensei

Pairing: Conan E. & Ai H.

Rate : T

Genre: Romance, Crime, Friendship,

Warning: OOC, Typo, Kriminal tingkat pembunuhan, dll.

Chapter: 4

Summary : Conan beranjak, ia mengambil tempat tepat di belakang gadisnya, melingkarkan lengannya di pinggang itu. "Apa kau mencintaiku?"

IROASETEYUKI: TIME CHANGE

"Ai-chan,"

Spontan Haibara dan Conan memalingkan mukanya menemui sumber suara. Itu, Ayumi? Jangan bilang dia mendengar percakapan dua pasangan baru itu. bisa sangat gawat kalau benar itu terjadi, mengingat Ayumi juga menyukai bocah kaca mata ini.

"Ayo cepat! Kita kan mau ke pasar." Ucapnya sambil mendekat. Conan menghembuskan nafas lega. Sepertinya gadis kecil itu tidak mendengar hal-hal yang tidak di harapkan, syukurlah. Haibara dengan segera beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju gadis berambut hitam itu dan segera mengajaknya keluar kamar.

"Conan, kau tidak ikut?" Tanya gadis kecil itu sebelum menyusul mengikuti Haibara ke pintu.

"Ah tidak, aku disini saja." Jawabnya sambil tersenyum khas anak-anak. Nampaknya menyusut selama dua tahun telah membuat sang detektif terbiasa berakting tanpa harus di pikirkan terlebih dahulu.

Pemuda berambut hitam itu masih menatap kepergian keduanya sampai ke pintu, atau lebih tepatnya menatap gadis berambut stoberi saja. Ia menghela napas berat, mengingat satu masalah terpecahkan. Tak perlu khawatir pada akhirnya semua pasti bisa berjalan lancar sesuai keinginannya.

Tiba-tiba pintu itu terbuka lagi, memunculkan gadis yang beberapa menit lalu resmi menjadi selingkuhannya. Em, kedengarannya tidak begitu enak didengar? Oke, pacar baru.

"Ada yang tertinggal?" Gadis itu hanya ber-hem datar lalu melangkah ke tempat tidur, membuka laci dan mengambil pad detektifnya. Kadang-kadang suka ada kejadian yang tak terduka kan, jadi tak ada salahnya berjaga-jaga dengan membawa alat komunikasi sederhana itu.

Setelahnya bukan berjalan kearah pintu dia malah menghampiri sang detektif. Conan menaikkan sebelah alis, memandang gadis itu. apa lagi yang ketinggalan? Dia makin dekat, begiu jarak mereka hanya tinggal beberapa centi, kepala coklat kemeran itu menunduk, miring sedikit dan menempelkan bibir pink itu ke pipi putih di depannya. Conan melebarkan matanya mendapati ciuman tiba-tiba itu. Eh, manis juga rasanya walau Cuma di pipi, sukses membuat darahnya mendesir aneh. Hanya tiga detik, sungguh singkat.

"Hanya itu? tidak di bagian yang lain?" Tanya Conan nglunjak. Haibara hanya memutar matanya malas. Emang dasar cowok, udah di kasih enak tetep aja kurang. Haibara berlalu tanpa menjawab, ia segera berjalan menuju pintu bertujuan tidak berlama-lama satu ruangan dengan pemuda yang tak di sangkanya cukup mesum.

Tangan putihnya meraba pipi berwarna senada yang masih terasa hangat itu. apa ini rasanya di cium gadis yang notabene mantan anggota mafia? Rasanya, agak aneh tapi membuat bibirnya ingin tersenyum bodoh. Kenapa bisa begitu, padahal saat berciuman dengan Ran perasaannya tak sebegininya? Benar-benar wanita yang tak biasa Haibara itu.

Pemuda bertubuh cebol itu berdiri dan membawa kakinya mendekat jendela, memandang laut di ke jauhan. Ia mulai berpikir, apa ini artinya dia lebih mencintai wanita ini? atau mungkin dia sebenarnya tidak pernah mencintai teman masa kecilnya itu, dia hanya terlalu terbiasa bersama sang Mouri jadi ia tak pernah memikirkan ada kandidat lain yang lebih pantas untuk menjadi pilihannya? Dan sekarang saat ada seseorang yang lain ia baru di sadarkan dengan perasaan sebenarnya pada Ran? Itu bukannya tidak mungkin, selama ini memang berapa banyak sih teman wanita yang dekat dengannya, hampir tidak ada. Yah, hanya Ran dan si mantan anggota organisasi itu kalau di pikir-pikir. Oh, jangan lupakan Ayumi, tapi itu tak akan masuk hitungan bagi Shinichi Kudo, ia bukan pecinta lolipop.

'mungkin...' ia berbisik dalam hati, membenarkan pikirannya. Memang cinta itu bisa bertumbuh dari kebiasaan dan lama-lama menjadi keperluan, dan itulah yang terjadi pada hubungannya dan kedua gadis ini. Namun, entah kenapa saat ini ia jadi lebih memberatkan pada satu sisi, pada satu orang. Kebiasaannya sekarang adalah bersama wanita itu yang kini juga berubah jadi kebutuhan yang lebih.

oOoOo

pernahkah kau merasa waktu berlalu dengan cepat saat kau merasa menikmati hidup? Itu juga terjadi pada sang detektif. Ia merasa baru saja selesai makan malam, duduk di samping pacar barunya di kamar, dan menemaninya sambil mengobrol ringan, tapi kenapa tiba-tiba sudah hampir pukul sebelas.

"Mau ke pantai?" Conan mengusulkan. Ini adalah hari terakhir mereka menginap, jadi tidak ada salahnya ke sana untuk yang terakhir kalinya kan? Lagi pula bahan obrolan juga semakin tipis, dia pun belum mengantuk. Kepala coklat kemerahan itu mengangguk pelan. Menerima tanggapan positif bocah berkaca mata itu berdiri yang diikuti gerakan yang sama dari sang kekasih. Inginnya sih mereka berjalan bergandengan, tapi mereka masih cukup waras untuk tidak membongkar hubungan keduanya dulu. Yah, walau pun sebenarnya yang lain sudah tertidur tapi tetap saja kesialan orang itu tidak bisa di prekdiksi kan?

Mereka berdiri menghadap pantai dalam diam, merasakan angin yang berhembus pelan yang mengajak rambut-rambut mereka menari. Iris biru sang pemuda melirik sosok di sampingnya sesekali. Ingin dia bisa membaca pikiran gadis di sampinnya itu, merasakan apa yang ia rasakan. Dengan begitu, setidaknya kalau ia tak dapat menghilangkan tatapan nanar itu, ia bisa mencoba membuat perasaannya lebih baik.

Conan beranjak, ia mengambil tempat tepat di belakang gadisnya, melingkarkan lengannya di pinggang ini akan bisa membuatnya lebih baik.

"Apa kau kedinginan?" ucapnya pelan di pundak sang kekasih.

"Tidak. Hangat," jawabnya datar dan sedikit mengangkat sudut bibirnya. Lengan itu makin merapat, menyalurkan hangat yang lebih lagi.

"Aku ingin kau mengatakan apa pun yang kau pikirkan, Ai..."

"Ai, eh?" Haibara sedikit menyeringai. Terdengar menggelikan sekali di panggil panggilan itu, tapi tidak buruk juga. Lagi pula apa salahnya, hubungan mereka sekarang sudah naik satu tingkat, jadi panggilan itu sudah sewajarnya.

"Apa mau aku panggil Shiho?" tanya Conan agak malas. Sebenarnya lidahnya juga terasa agak aneh mengucapkan kata itu, mengingat selama dua tahun ia sudah memanggil gais ini begitu dan lagi, sebutan 'Haibara' itu sudah terasa sangat mengakrapkan mereka. Bukan Conan tidak mau juga memanggil Haibara dengan nama kecilnya, hanya alasannya selama ini memanggil sang gadis begitu sekedar mengimbanginya yang selalu memanggilnya dengan 'Edogawa' atau 'Kudo'. Jadi akan terdengar tak sopan kalau dia lancang memanggil nama kecilnya.

"Bukan begitu, yang aku tangkap panggilan itu terdengar mermakna sama dengan 'koi' atau semacamnya." Ucapnya sambil tertawa mengejek. Ah, akhirnya tawa itu kembali. Walau bukan tawa riang gembira ala cewek ababil tapi tawa mengejek itu membuktikan perasaannya tidak seburuk tadi. tawa yang memang khas dirinya, malah kalau sang gadis tertawa seperti yang di sebut tadi Conan bisa lari terbirit-birit karena yakin kekasihnya kusurupan. Hah~ keduanya memang pribadi yang aneh.

"Itu norak." Tanggap Conan singkat. Haibara masih terkikik, tak peduli bocah di belakangnya menanggapi apa. Bener sih norak, tapi bukankah terdengar romantis? Kenapa gadis ini dan pemuda ini tidak seperti remaja pada umumnya? Ah, lupa, mereka sudah 20 tahun dan 19 tahun.

"Katakan.." mendengar nada serius tapi penuh perhatian itu Haibara menghentikan tawanya. Ia melayangkan pandang ke laut lagi dan sedikit menyandarkan kepalanya.

"Kakak... Ayah, dan Ibu."

"Kenapa?" Hanya gelangan pelan yang Conan dapat. Gadis itu menutup matanya sejenak, meresapi rasa nyaman dan tenang yang lama tak ia dapati. Ia menghela nafas dan membuka matanya lagi. Sudah tidak perlu lagi rasanya dia menyelami kegundahan, dia sudah mendapat apa yang pernah hilang, harusnya ia hanya mengenang kejadian baik saja tentang keluarganya. Tapi, apa mungkin? Ia kan tak bisa mengenang kejadian apa pun tentang orang tuanya, dan lagi, kejadian bersama kakaknya juga tidak banyak. Tiba-tiba Haibara jadi teringat sesuatu sekarang.

"Terima kasih." Ucap Haibara lirih. Pemuda itu menaikkan alisnya tak mengerti apa yang di ucapi 'terima kasih' tadi.

"Kau sudah membuatku mewujudkan keinginan Kakakku... mencari pacar," Kalimatnya di akhiri dengan dengusan geli. Rasanya pesan untuk mencari pacar itu tak pernah ia hiraukan sama sekali, tapi kenapa ia merasa lega saat menyadari kalau sudah melaksanakannya? Conan menyeringai mendengar penuturan itu, ini seperti sudah di restui oleh calon mertua sebelum melamar.

"Apa kau mencintaiku?" Tanyanya tiba-tiba. Ini aneh, kenapa detektif ini? tiba-tiba saja berubah romantis dan sekarang bertanya cinta, apa dia terbentur sesuatu saat bersembunyi ketika bermain detektif-detektifan dengan Kogoro tadi?

"Itu juga norak." Jawab Haibara sedikit nada mengejek.

"Aku hanya ingin yakin sebelum memutuskan sesuatu."

"Apa?" Conan belum menjawab, ia berpikir sebentar. Apa benar akan ia katakan sekarang rencananya? Apa nanti ia tak akan berubah pikiran dan menyesali ini? Ah, tidak. Dia sudah memutuskan, tidak ada alasan baginya menyesali ini nanti.

"Aku," Ia mengambil jeda untuk berkedip dalam tempo lambat, memantapkan pilihannya yang pasti akan melukai seseorang.

"Aku ingin menghilangkan Shinichi Kudo. Dari semua orang yang mengenalnya." Haibara melebarkan matanya. dengan cepat ia melepas dekapan lengan itu dan membalikkan tubuh, mempertemukan dua manik yang memiliki warna yang hampir sama itu.

"Apa?" tanyanya sedikit menaikkan nada suara. Apa pemuda ini akan menyerah begitu saja? Kalau benar, Haibara yakin otaknya memang sedang bermasalah saat ini.

"Kau tahu alasan terbesarku kembali. Masalah keluargaku, mereka akan setuju apa pun keputusanku, dan soal detektif, aku bisa menyandang 'Detektif cilik'."

"Mouri itu -

"Dan Organisasi, aku masih bisa mengejarnya selama Bu Jodie berpihak pada kita." Ucap Conan memotong Kalimat Haibara. Ia tahu keputusan ini berat bagi siapa pun terlebih Ran, tapi apa lagi yang harus ia lakukan? Penawar pun tak ada, waktu yang berubah ini memnuat hatinya ikut berubah, pemikiran juga. bukan ia pesimis akan happy ending yang 'penawar jadi, Shinichi kembali dan ShinRan menikah', hanya saja, ia punya alasan baru sekarang. Lagi pula menanti obat penawar sama saja membebani gadis yang ia cintai, ia tak meninginkan itu.

"Apa kau tak mau memenuhi keinginan orang tua mu juga?" Ucap Conan gak nyambung. Apa maksudnya mengalihkan pembicaraan, dan apa memangnya keinginan orang tua Haibara? Pemilik surai stroberi itu menaikkan alisnya, mengisaratkan ia meminta penjelasan.

"Menikah,"

"Menikah?" Ulang Haibara tambah bingung. Dia bisa menangkap sih maksud kata itu, hanya saja... menikah? Tidak kah ini terlalu jauh?

"Orang tua mu pasti ingin kau menikah, dan kau hidup berumah tangga dengan orang yang bisa menjagamu." Jawabnya seraya memegang pundak Haibara. Apa ini lamaran, apakah pemuda ini serius dengan hubungan mereka yang sebenarnya hanya di jawab asal oleh Haibara, dan menikah pun juga perlu Shinichi dan Shiho, tidak mungkin Conan dan Ai kan?

"Alasan konyol. Dan lagi, bukan itu yang aku tanyakan, tapi ren-

"Aku tahu. hanya saja aku tidak mau membahas sesuatu yang akan berakhir dengan berubahnya keputusan ku." Conan berkata sambil menurunkan tangannya untuk kemudian di masukkan ke saku jaket. Nampaknya pemuda itu suka sekali menyela perkataan orang yah.

"Otak mu tertinggal di mana? Biar aku ambilkan." Bocahitu kacamata mendengus malas. Harus ya bercanda tidak lucu begitu di saat seperti ini. otaknya jelas masih utuh di dalam tengkoraknya, sama sekali tidak bergeser, hatinyalah yang sudah tinggal separo dan bergeser, ke gadis di hadapannya tentu.

"Ayo kembali." Ia berujar menngabaikan gurauan tadi dan mengulurkan tangannya, mengharap Haibara mau menyambutnya. Tapi gadis itu masih diam, menimbang pernyataan-pernyataan barusan. Bukan masalah baginya Shiho Miyano menghilang, hanya saja apa tak terlalu egois kalau ia meng'iya'kan saja rencana itu. dia memang mantan anggota kejahatan, tapi dia bukan orang jahat. Biar pun terkesan acuh tapi dia sebenarnya peduli pada orang lain, dan dia sangat mudah mengetahui isi hati orang lain.

"Sudah lah, aku sudah memutuskannya." Ucap Conan mengintruksi pemikiran Haibara. Gadis itu membuang nafas lalu mengangkat bahunya, tak mau lagi mengurusi itu, biarkan si detektif yang terlampau percaya diri ini mengurusi itu sendiri. Ia pun berjalan sambil melipat tangannya di belakang, mengabaikan begitu saja tangan yang menjulur di hadapannya.

"Oik!" Conan memekik sebal. Apa-apaan ini, kenapa dia di acuhkan, di tinggal lagi. Haibara hanya menggeleng mendengar geruruan tak jelas dari belakang. Tak menyangka ini akan menyusahkan, ia pikir semua hanya main-main dan detektif itu tak serius dengan hubungan mereka. Tapi yah, bukannya Haibara tak suka, dia hanya merasa ini semua adalah awal dari masalah baru dalam hidupnya yang mulai tentram.

oOoOo

Gadis itu duduk di tengah ruang kediaman Hiroshi. Ia membolak-balikkan majalah berulangkali, namun tak satu pun yang ia baca dari halaman-halaman itu. pikirannya masih teganggu akan kejadian di pantai kemarin malam. Ia mungkin sedikit senang dengan hal itu, namun jauh dalam dirinya ia menyimpan beban. Mungkin, mungkin ini karena ia wanita, jadi sebagian dirinya mempunyai kesadaran untuk mengerti andai dia berada di posisi gadis itu. Bagaimana gadis itu telah menunggu begitu lama dan pada akhirnya tetap tak dapat medapati apa yang ia inginkan, dan jelas itu sangat menyakitkan.

Haibara menghela nafas beratnya. Di pikir berapa kali pun ide itu bukan ide yang bagus. Ah, mungkin jalan keluarnya hanya itu. yah, dengan jalan itu, semua akan terasa adil. Dia akan mencobanya, walau mungkin nantinya ia akan sakit karena ini, tapi dia tidak mungkin bersikap egois dan pengecut dengan merampas kekasih orang lain tanpa persaingan yang tak seimbang.

Ia beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu akses bawah tanah. Ia akan membuatnya, walau bukan permanen, setidaknya akan ia buat yang bisa bertahan sekitar satu minggu. Tal peduli apa pun kata detektif itu nantinya, karena hubungan ini mereka yang jalani bukan hanya salah satunya. Ia juga berhak memutuskan sesuatu.

Gemeltik suara kaca yang sesekali berbenturan menjadi satu-satunya musik pengalun di ruangan gelap yang Ai tempati. Ini sudah terlalu malam untuk masih terjaga, bahkan terlalu dini mengingat jam dinding yang terpasang di dinding menunjukkan pukul 02:21.

"Selesai," seulas senyum tipis mengembang singkat dibibirnya. Dia terus memandangi tiga butir kapsul berwarna putih di tangannya. Bisa diyakini ada ragu di hatinya, bukan obat, tapi tindakannya. Benarkah iya akan Melakukan ini, apa kalau akhirnya 'dia' merubah keputusan dirinya tak akan menyesal? Menghela nafas, itu satu-satunya yang dapat iya lakukan untuk menghilangkan keraguannya.

Tangan kecil itu berkutan diatas keyboard sebentar, mencatat formula-formula yang baru ia gunakan. Setelah tangan itu berhenti menulis iya beranjak ke sofa panjang dibelakangnya dan mengistirahatkan tubuhnya. Tak perlu waktu lama, hanya beberapa detik dia sudah memejamkan matanya untuk bermimpi. Pulang dari perjalanan jauh dan langsung berkerja seharian memang sangat melelahkan.

oOoOo

Minggu pagi sangat indah, sayang bocah berkaca mata itu tidak tersenyum dengan indah. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi dengan loyo dan keluar dengan wajah yang tidak bersemangat. Dia cukup yakin hari ini tidak akan ada hari tenang. Selalu saja ada kejadian di luar dugaan. Ia jadi ingat saat Haibara tiba-tiba menelphonenya dan mengabarkan kalau dia dan profesor sedang menumpang di mobil penjahat yang sebenarnya adalah seorang polisi. Ah, mungkin lebih baik setelah ini ia menemui si rambut coklat yang ada dirumah profesor itu saja. Hm,hm,,, bukan ide buruk.

Setelah berganti baju, ia pun bergegas keluar rumah. Kebetulan Pagi ini Ran ada janji dengan temannya untuk mengerjakan tugas kuliah, sedang Kogoro belum bangun karena semalam sepulang dari liburan ia minum-minum sampai mabuk, jadi ia bisa lebih lama bertamu di sana.

Tak perlu waktu lama, bocah detektif itu telah sampai. Ia segera masuk tanpa mengetuk pintu, kebiasaannya yang memang sudah menganggap itu adalah rumah ke tiganya. Benar-benar kebiasaan yang tidak sopan.

"Kau sakit?" Ucapnya saat menemui sang kekasih tertidur di sofa ruang bawah tanah.

Conan memandangi Ai yang terbaring dengan wajah memerah. Gadis itu terlihat pucat, dan mengeluarka nafas yang terdengar berat. Tak mendapat jawaban Conan pun mengulurkan tangan kanannya dan menyentuhkan punggung tangannya didahi putih itu.

"Benar kau kau demam. Apa yang kalu lakukan dengan tidur di sini, dasar bodoh." tambah Conan sambil melepas jaketnya dan menyelimutkannya pada badan kecil itu.

"Sudah minum obat?" Gadis itu hanya menggeleng pelan dengan mata yang hampir menutup. Conan ikut menggeleng pelan sambil mendengus kecil. Ia segera melangkah ke meja di belakangnya, mengambil kapsul yang ada di sana dan melangkah keluar. Tak lama Conan sudah kembali dengan nampan yang berisi roti, susu dan air putih. Tapi yang ia temui malah Gadis itu yang sudah tertidur kembali, sempat ia ingin membangunkannya tapi melihat Ai yang terlihat pulas ia pun menaruh nampan serta obat di meja, dekat sofa itu lalu mengelus puncak kepala stroberi itu pelan dan tersenyum sebelum beranjak pergi.

"Profesor, memang apa yang dia kerjakan sih semalam?" Tanyanya sambil mengambil duduk di sebelah profesor yang sedang mengutak-atik robotnya.

"Hem, apa ya?" manula itu malah berbalik bertanya dengan memegang dagunya. Conan hanya bisa menghela nafas. Apa mungkin Haibara semalam meneliti penawar lagi? Apa ia melakukan itu karena omongannya kemarin, dan Haibara jadi merasa ini kesalahannya?

"Hah~" Ia menghela nafas lagi, menyadari wanita itu ternyata memang merepotkan. Tindakannya selalu saja ada yang salah di mata mereka.

"Aaaa..."

Suara teriakan yang menunjukkan kesakitan yang di yakini keduanya adalah suara Haibara itu membuat mereka tersentak. Dengan panik mereka pun bergegas menuju asal teriakan dan segera membuka pintu didepannya dengan kasar.

"Jangan kesini.." ucap seseoarang yang suaranya tak dapat dikenali sang detektif. Suara yang bergetar dan lirih itu berasal dari seseoarang yang berbaring dengan selimut yang menutupi tubuh sebatas dada. Mata biru di balik kaca itu membulat, terkejut dengan pemandangan di depannya. Bukan hanya karena ada seorang gadis yang setengah telanjang tapi karena gadis itu adalah Kekasihnya dalam bentuk Shiho Miyano. Apa yang terjadi?

"Baka! Keluar!" Bentak Ai seketika saat menyadari sang Kudo memandangi tubuhnya yang tak tertutup sempurna oleh selimut itu. Pemuda yang baru sadar dari keterkejutannya itu hanya dapat cengo, masih bingung harus berbuat apa. Keluar atau tidak ya?

oOoOo

Gadis berambut coklat itu duduk disofa panjang dengan raut wajah risih. Badannya terbalut kaos berlengan panjang yang nampak kebesaran. Kaus yang hanya sampai diatas lutut itu masih memperlihatkan paha putih pucatnya yang mulus. Membuatnya terlihat seksi.

"Berhenti memandangku seperti itu profesor." ucap Ai yang mulai kesal.

"Maaf Ai-kun, aku benar-benar terkejut" jawab profesor sambil tersenyum.

"Dan kau juga!" Bentak Ai lagi kepada seseorang lain di depannya. Dengan cepat Conan memalingkan mukanya yang agak memerah karena pemandangan di depannya. Dia, cantik...

"Ke-kenapa bisa?" ucapnya dengan wajah yang masih berusaha tak melihat kearah depan.

"Baka! Kau yang salah memberikanku obat!" jawab Ai dengan wajah kesal.

"Hah?"

To be contunued...