Bagian 2/2 dari Tamat

"Dialog"—dalam Bahasa Inggris.

"Dialog"—dalam Bahasa Jepang


Penderitaanku yang paling besar adalah

Kalimat-kalimat yang tidak bisa aku katakan.


(Tiga Tahun Kemudian)

.

.

Naruto menulis surat untuknya setiap hari. Selama setahun. Tidak pernah melewatkan sehari pun.

Dalam surat-suratnya, dia akan menceritakan kegiatannya setiap hari; bagaimana dia melewati hari di Negara baru; bagaimana sulitnya berbicara dalam bahasa asing; betapa berisiknya tetangga saat malam; dan bagaimana saat dia bangun di pagi hari menginginkan untuk pulang ke rumah. Dia akan menceritakan Sasuke banyak hal—hal-hal yang tidak pernah dimimpikan akan diucapkannya langsung. Dan bagaimanapun dia memulai suratnya, surat itu akan berakhir dengan cara yang sama. Di setiap akhir surat, kalimat 'Maafkan aku' akan selalu berada di sana.

Kebanyakan suratnya kembali lagi. Masih tersegel. Sisanya sama sekali hilang. E-mailnya juga sama sekali tidak dijawab. Dia sama sekali tidak menerima jawaban apapun darinya. Bahkan di hari libur pun. Dia mencoba untuk meneleponnya tetapi dia tetap mendapat hasil yang sama. Dia akan mengetahui dari ayahnya bahwa kakaknya telah pindah dari mansion dan merubah nomor teleponnya.

"Wah." Ucap Naruto suatu hari, menggenggam erat telepon genggamnya saat Fugaku menceritakan tentang Sasuke. Kakaknya sudah kuliah sekarang, mengambil kursus hukum di Toudai (2). Walaupun Naruto sudah menyangkanya, dia masih merasa sangat bangga dengan kakaknya.

"Ucapkan selamat kepadanya, ayah. Aku sangat senang untuknya." Ucap Naruto. "Aku akan memberitahu Itachi."

"Itachi sudah tahu, nak." Balas Fugaku. "Mereka sudah berbicara."

"Oh." Ucap Naruto.

Oh…

"Mereka sudah bicara? Benarkah? Aku… Aku ikut senang. Aku ikut senang untuk mereka. Aku…" Suaranya pecah. Ada keheningan yang panjang. Entah kenapa, Naruto tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah itu.

Dia bisa mendengar ayahnya berkata sesuatu tentang hal lain tetapi ucapan ayahnya sudah tenggelam di telinganya. Pikirannya sudah berada di tempat lain. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya dengan suara parau, lemah sekali.

Dia benar-benar merasa senang untuk kakak-kakaknya, untuk Itachi dan Sasuke. Paling tidak mereka sudah bicara sekarang. Tetapi dia tidak tahu kenapa perasaannya terasa berat. Malam itu, dia tidak bisa tidur. Dia menghabiskan malam dengan menatap layar komputer, menangis, membaca semua suratnya lagi dan lagi, putus asa mencoba mencari di mana kesalahannya. Mungkin kalimat 'Maafkan aku' masih belum cukup. Bahkan dengan pandangan kabur, Naruto terus membaca—sampai matanya kelelahan dan dia tertidur.

Dia mencoba sangat keras untuk berhenti menulis surat saat itu.


Tahun kedua di Amerika Serikat sangat kacau.

Saat itu, Naruto baru saja lulus ujian Sekolah Menengah Atas. Membutuhkan waktu setahun baginya untuk lulus ujian itu. Ujiannya luar biasa sulit karena menggunakan bahasa asing, tetapi Itachi sudah sangat sabar mengajarinya.

Dia masih menuis surat untuk Sasuke kadang-kadang tetapi tidak sesering sebelumnya. Sura-suratnya panjang sekarang, penuh kemarahan. Surat yang biasanya berakhir dengan 'Maafkan aku' kini berakhir dengan barisan tulisan brengsek dan sumpah serapah (Sialan kau, Sasuke, ambil pena biadab itudan balas suratku!).

Seperti biasa, semua suratnya dikembalikan kepadanya. Tidak ada balasan di e-mailnya juga. Meskipun begitu dia tetap mnulis surat. Terlalu keras kepala untuk berhenti. Dia marah. Dia sedih. Dan dia ingin Sasuke mengetahuinya.

Tetapi tidak ada. Tetap tidak ada jawaban di surat-suratnya. Seperti pukulan keras untuknya. Mereka seperti orang asing sekarang.

"Apa kau masih marah, sialan?"

"Aku bilang aku minta maaf. Sialan kau, aku minta maaf. Aku minta maaf!"

"Sebanyak apa kau ingin aku mengatakannya?"

"… Kenapa kau mengabaikanku?"

"Sasuke… Apakah kau sudah melupakanku?"

"…Sasuke"

Kadang-kadang ketika dia kehabisan kalimat untuk dikatakan, dia akan menulis nama Sasuke di halaman kertas itu lagi dan lagi. Pada akhirnya, dia tidak akan mampu merangkai kata-kata—tinta penanya akan luntur akibat air mata yang jatuh dari wajahnya.

Dan kadang-kadang juga, Naruto akan meminjam telepon genggam milik Itachi hanya untuk mendengar suara Sasuke di kotak suara. Dia akan menutup matanya saat mendengar suara Sasuke. Dia tidak bisa berhenti. Dia akan memutar ulang suara itu berkali-kali sampai baterainya habis.

Itachi tidak pernah memberikannya nomor telepon Sasuke. Dia juga tidak memberi alasan mengapa. Naruto juga sudah berhenti bertanya.

Di tahun ketiganya—penuh dengan rasa rindu dan nekat—Naruto kabur. Hanya dengan membawa sebuah tas ransel dan uang cukup untuk sebulan di kantongnya, Naruto menuju bandara, berencana untuk kembali ke Jepang. Dia sudah siap untuk kehilangan segalanya. Dia tidak peduli lagi. Tetapi sepertinya takdir punya rencana lain. Naruto tidak tahu bagaimana tetapi Itachi berhasil mengetahuinya dan mengikutinya di bandara.

Meskipun dia sudah memohon dan meminta, Itachi membawanya kembali ke apartemen. Dia menangis tersedu-sedu selama di perjalanan pulang. Waktu itu, dia terlihat menyedihkan tetapi dia tidak peduli. Dia merindukannya. Dia sangat merindukannya.

"Sialan kau Sasuke." Gumam Naruto patah hati, mengusap wajahnya denganbelakang lengan bajunya. Tetapi tidak ada gunanya. Air matanya terus berjatuhan di wajahnya. Sepertinya tidak akan berhenti. Naruto bisa merasakan mobil itu berhenti mendadak. Dia tidak bergerak; wajahnya masih tertangkup di kedua tangannya. Pada saat itu dia merasa kehangatan menyelimutinya.

Itachi menyandarkan dirinya dan melingkarkan lengan panjang di tubuhnya.

"Maafkan aku, Naruto." Dia mendengar Itachi berbicara.

"…"

/"Maafkan aku.."/

Mendengar kalimat itu, dunia Naruto terasa remuk. Kenapa? Dia ingin sekali bertanya, tetapi kalimatnya berhenti di tenggorokan. Dia tidak bisa berkata apa pun.

Dia tetap berdiam diri selama perjalanan, menangis dalam diam, menatap langit yang perlahan berubah menjadi mendung.


Jam 5 pagi.

Dia bisa mendengar jam weker berbunyi nyaring di salah satu ruangan. Teapi dia tidak mengacuhkannya. Dia tetap duduk di kursinya, lutut tertekuk di dadanya dan mata menatap sendu pada layar komputer. Dia masih dalam posisi ini lama. Bunyi jam weker lagi. Sudah jam 6 pagi. Masih saja dia mengabaikannya.

Tangan cokelat terangkat dan menekan tombol F5 di keyboard, me-refresh halaman e-mail. Tidak ada pesan baru atau pemberitahuan. Dia sudah menduga hal itu tetapi entah mengapa hatinya masih terasa sakit dan matanya berangsur-angsur menatap lantai. Desahan napas tidak suka meluncur dari bibirnya, panjang. Sudah tiga tahun berlalu. Tiga tahun—brengsek—melakukan ini . Perlakuan dingin ini. Dia tidak bisa mengerti. Dia benar-benar tidak bisa mengerti.

"Kenapa?"

Untuk ketiga kalinya, jam weker berbunyi lagi. Kesal, Naruto menoleh ke arah sumber suara. Hari-harinya sudah kacau—bisa juga menghancurkan sesuatu untuk melampiaskan rasa kecewa, pikirnya. Tetapi semua pikiran itu melayang di udara saat dia melihat jam wekernya.

Dia bekedip. Sepertinya tidak benar.

Sudah jam 6:45 pagi. Dia ada pelajaran di jam 7.

Naruto berdiri cepat, menjatuhkan kursi di bawahnya.

"Ah sialan." Kutuknya ketika dia menggenggam tas ranselnya. Dia memasukkan buku dan lapotopnya secepat yang dia bisa, dan lari menuju pintu. Tidak perlu diragukan—dia akan terlambat lagi. Sial. Harinya sudah kacau padahal belum dimulai. Bagaimana bisa?


"Hei freak."

Naruto menghentikan langkahnya. Dia mengenali suara itu. Menggenggam jari-jarinya, dia membalikkan badannya menuju arah suara. Dia tidak terkejut ketika berhadapan dengan geng sekolah calon-penjahat. Beberapa dari mereka adalah teman sekelasnya. Dia tidak mengenali yang lainnya.

Dan dia pikir harinya tidak akan lebih buruk lagi.

"Ingat kami" Ketua geng maju ke depan, memegang tongkat pemukul kayu bisbol. Dengan tatapan megejek, dia mengarahkan tongkat itu ke arah Naruto. "Aku ingin berkelahi lagi, freak. Kali ini kau kelahi dengan kami semua."

Satu alis terangkat. 'Lagi? Apa mereka serius?' Naruto sudah mengalahkan geng itu minggu lalu dan sekarang, mereka ingin berkelahi lagi.

Walaupun Naruto berusia lebih tua dari kebanyakan mereka (3), tubuhnya yang tergolong pendek membuatnya menjadi target mudah bullying. Pada awalnya mereka kira dia terlalu lemah untuk melawan. Mereka tidak menyangka betapa mereka salah sampai Naruto memukuli mereka semua di tanah dengan tangan kosong.

"Aku terlambat. Aku tidak ingin menyakiti kalian semua." Ucap Naruto dengan bahasa Inggris yang kacau dan membalikkan badannya.

"Jangan berani-beraninya kau mengabaikan kami!" Ketua geng mengangkat tongkat dan menyerangnya. Naruto mengelaknya dengan mudah. Penuh geram, dia meninju ketua geng itu sekuat yang dia bisa; menjatuhkan anak itu ke tanah.

Naruto menggertakkan giginya penuh marah. Suasana hatinya sudah jelek. Dia lelah dengan ini semua. Mereka terus menantangnya setiap minggu. Jelas sekali orang-orang ini tidak mengerti.

Membunyikan buku-buku jarinya, dia mengisyaratkan mereka untuk menyerang. Dan mereka berkelahi.


Naruto merasakan sesuatu yang dingin menekan di pipinya yang bengkak. Dia melihat ke atas.

"Oh, hey."

"Ada apa, Dickless?" Tanya seseorang itu, menawarkan Naruto air soda dingin.

"Sai." Wajah masam Naruto berubah ceria. Dia mengambil kaleng minuman itu dan membukanya. "Te-terima kasih."

Naruto meminum air soda itu sementara tangan sebelahnya tetap di wajahnya, menggosok pipi bengkaknya. Dia meringis karena sakit. Pasti akan memar nanti. Salahnya juga. Pikirannya kacau. Dia tidak bisa memusatkan perhatiannya pada perkelahian itu. Dia terus memikirkan hal lain. Tentang seseorang…

"Mereka berkelahi denganmu, huh?"

Naruto membuang napas, "Iya. Kedua kalinya minggu ini."

"Sudah kukatakan. Biar aku yang mengurusnya."

"Tidak." Naruto menutup kedua matanya dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Meskipun pipinya berdenyut, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Aku bisa mengurus masalahku sendiri. Lagi pula, aku selalu menang."

Dia merasakan pria itu duduk di sampingnya. "Ucap si bodoh dengan wajah memar."

"Hey, jangan panggil aku seperti itu! Aku tidak bodoh." Naruto melotot pada Sai. Dia menyilangkan kedua tangan di dadanya. "Sialan, aku tidak fokus. Mereka pakai tongkat pemukul dan mereka juga banyak hari ini. Lebih dari enam atau tujuh, kupikir."

"Mereka kekurangan kekuatan, mereka bawa anggota... Menyedihkan." Ucap Sai, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "Apakah kau baik-baik saja, Bodoh?"

"Yeah. Mereka hanya mengagetkanku, itu saja. Dan berhenti memanggilku bodoh."

"Kau sudah berada di sini selama tiga tahun dan tata bahasamu masih hancur. Terima itu, kau memang bodoh."

"Hey…!"

Sebelum Naruto bisa mencaci maki, Sai tiba-tiba maju mendekat padanya. Tangan pucat terangkat dan menyingkirkan tangan Naruto dari wajahnya. "Jangan menggosok lukanya. Makin parah nanti."

Tangan Naruto digantikan dengan telapak tangan dingin yang menekan pipinya. Tangan Sai terasa sangat dingin dan menyejukkan di wajahnya.

Tertegun, Naruto tidak bergerak. Dia hanya bisa menatap Sai, tidak bisa memalingkan pandangannya dari wajah Sai. 'Sialan. Wajahnya sangat mirip dengan…'

"Diam di sini. Aku akan mengambil es batu." Ucap Sai saat dia berdiri.

"… Uh iya, tentu saja."

Beberapa menit kemudian dan Sai kembali dengan sekantong es batu. Dia melemparkannya pada Naruto.

"Terima kasih, Sai." Ucapnya, menekan kantong itu di wajahnya, "Heh, kau selalu menolongku. Aku berhutang budi padamu."

"Tidak masalah, Dickless."

Sai duduk di samping Naruto lagi. Dia menaikkan salah satu kaki dan meletakkan lengannya di sana. Dia membawa sebuah buku namun tidak membacanya. Pandangannya memusat pada Naruto yang berada di sampingnya.

Kemudian, Sai bicara. "Kau sedang bimbang? Karena apa?"

"…"

"Apakah… Apakah kau masih memikirkan tentang—?"

"Jangan." Tegas Naruto. Dia menundukkan kepalanya; poninya menutupi matanya. "Aku tidak ingin membicarakan hal itu."

"Naruto…"

"…"

"Naruto. Hentikan ini." Sai bergerak semakin dekat padanya, menatap Naruto langsung. "Aku mungkin tidak mengerti hubunganmu dengannya, tapi kau harus hentikan ini. Jelas sekali kau hanya menyakiti dirimu sendiri. Dia tidak layak untukmu."

"Kau salah, Sai. Aku…" Naruto menelan ludahnya. Kantong es mulai mencair di tangannya; tetesan air mengalir di wajahnya. "Aku tidak sakit hati."

"Berhenti berbohong."

"Tidak." Teriak Naruto, masih melihat ke bawah. Genggamannya di kantong es menguat. "Aku… Aku hanya marah."

-khawatir—bingung—sedih—marah—marah—marah

"Si… Brengsek itu. Aku membencinya." Tertawa kemudian senyum pahit menghiasi wajahnya. "Dia penipu, bermuka dua. Apakah kau mempercayainya? Setelah semua ini. Semuanya, semua yang telah kami lalui. Setelah semua kata-kata yang dia ucapkan, dia…"

"Naruto…"

"Sialan, aku marah. Aku merasa seperti orang bodoh." Naruto menjatuhkan kantong es itu. Mengubur wajahnya di telapak tangannya, pundaknya bergetar. "… Sangat bodoh. Aku lelah dengan ini semua…"

-selalu, selalu menunggu.

Tanpa berpikir panjang, bibirnya mencetuskan kalimat ini. "… Aku seharusnya tidak pergi. Harusnya mengucapkan selamat tinggal. Sialan, aku bisa saja mengucapkan kata maaf, bisa menjelaskan semua kepadanya. Tapi aku tidak melakukannya. Tidak melakukannya."

"…"

"Aku meninggalkannya. Tanpa ucapan selamat tinggal. Tanpa menjelaskan apa pun. Tidak memberitahunya betapa aku…" Kalimat Naruto tiba-tiba terputus. Dia menelah ludahnya. Entah karena apa, dia tidak bisa mengucapkan kalimat itu. Tiga kalimat itu. Bertahun-tahun sudah lewat, dia masih tidak bisa mengucapkannya.

"Betapa kau apa?" Tanya Sai.

Naruto menggelengkan kepalanya. Dia menggengam ranselnya dan berdiri. "Sudahlah. Lupakan apa yang aku katakan."

Sai berdiri juga. Dia menahan lengan Naruto. "Kau mencintainya, 'kan?"

"Pertanyaan bodoh, Sai. Tentu saja aku mencinta—"

"Sudahkah kau katakan padanya?"

Naruto membeku. Matanya membulat mendengar pertanyaan Sai. "Aku… Apa penting sekarang? Dia sudah lupa padaku. Dia membenciku sekarang."

Angin sepoi-sepoi menerpa mereka berdua. Keduanya tidak ada yang berbicara. Kemudian, setelah hening beberapa saat, Naruto perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sai. Membalikkan punggungnya, dia bicara.

"…Kau tahu, terkadang aku bertanya-tanya apakah dia pernah memikirkanku." Ucap Naruto dalam bahasa jepang. Dia tersenyum, sadar bahwa Sai tidak akan mengerti kalimat yang dia ucapkan. Senyum itu tidak bertahan lama saat bibirnya bergetar dan dia berusaha untuk menenangkan suaranya. "Karena tidak peduli apa pun yang aku lakukan, tidak peduli di manapun aku, aku tidak, aku tidak bisa berhenti memikirkannya, Sai. Aku tidak pernah berhenti memikirkannya. Bodoh, 'kan? Betapa bodohnya aku?"

Dan dengan itu, Naruto berjalan menjauh. Sai masih bergeming di tempatnya, melihat Naruto menghilang dari pandangannya.

"Bodoh." Bisik Sai. Nada sedih mewarnai suaranya. "Dia juga tidak bisa berhenti memikirkanmu."


"Oh Naruto. Kau masih di sini?"

Naruto menatap ke atas dari rak yang sedang di susunnya. Dia melihat Sakura masuk.

Naruto tersenyum lebar ke arahnya. "L-lembur, Sakura-chan. T-tidak hadir kemarin. Bos kita bilang aku harus lembur beberapa jam." Ucap Naruto gagap dengan bahasa inggris yang kacau, menggaruk pipinya gugup.

Sakura membalas senyumannya dan mengangguk mengerti. Jelas sekali bahwa Naruto sedang berusaha keras menggunakan bahasa asing. Walaupun tiga tahun sudah berlalu, masih sulit untuknya berbicara tanpa harus tergagap; kalimatnya masih berat dengan aksen Jepang. Naruto cerdas dan belajar cukup cepat tetapi mempelajari bahasa baru tampaknya sangat sulit untuknya.

Mereka sudah menjadi sahabat baik selama setahun sekarang. Naruto mulai kerja paruh waktu di toserba setahun lalu namun karena perbedaan jam kerja, mereka jarang bertemu.

Awalnya, Sakura kaget pemilik took itu mempekerjakannya. Naruto, walaupun membutuhkan pekerjaan itu, tidak bisa bicara penuh dalam bahasa Inggris. Dia selalu kesulitan berbicara setiap waktu, sangat ceroboh, dan bicara dalam bahasa jepang terlalu sering. Naruto orang aneh dan Sakura tidak menyukainya, dia selalu menghindarinya setiap waktu. Tetapi Naruto tetap bersikeras, selalu memulai percakapan dengannya ketika mereka bertemu. Ada suatu waktu ketika Sakura sangat muak dengannya sampai dia meminta Naruto untuk dipecat.

Dia menyesalinya kemudian—terutama setelah si bodoh, gagap itu menyelamatkan dirinya.

Sampai sekarang, dia masih tidak mempercayainya. Dia masih mengingat malam itu dengan baik. Dia mengambil shift malam kerena dia ada kelas merias besok pagi. Dia sendiri di toko dan ketika dua orang pria yang mengenakan masker, tiba-tiba menerobos masuk, mengarahkan pistol ke arahnya, dan meminta uang yang ada di lemari kasir. Dia sangat ketakutan saat itu dan hanya membeku di tempat. Jengkel dengan sikap Sakura, kedua pria itu mulai meneriakinya; suara ancaman mereka menggema sangat kencang di ruangan itu.

Itulah ketika Naruto masuk. Dia mengatakan dia melupakan sesuatu saat masuk ke dalam toko. Dia segera berhenti ketika melihat kedua pria bersenjata itu, matanya melebar melihat pistol yang terarah ke rekan kerjanya. Seperti Sakura, dia juga membeku sejenak. Kemudian… Mimik wajahnya berubah. Sakura tidak bisa mengingat semua kejadian itu. Semuanya kabur. Semuanya terjadi sangat singkat. Awalnya kedua pria itu berdiri, kemudian mereka berdua terkapar di lantai, menjerit dan menggeliat kesakitan.

Di samping, Naruto terengah-engah, mengurut buku tangannya yang memar, sambil bicara sesuatu dengan bahasa jepang.

Kemudian, mata biru itu menoleh ke arahnya. "Sakura-chan! Apakah kau baik-baik saja? Apa mereka menyakitimu?" Naruto menendang pistol jauh-jauh dan berlari ke arahnya. Wajahnya terlihat khawatir ketika dia menggenggam pundak Sakura.

Dan Sakura menangis. Dia merangkul lengannya erat-erat di leher Naruto. Kalimatnya tidak jelas di sela-sela tangisan dan teriakan.

Dia tidak akan, tidak pernah melupakan hari itu. Dan sejak kejadian itu, mereka menjadi sahabat baik.

Sakura melepaskan mantel basah miliknya dan menggantungnya di rak mantel. Di luar hujan sangat lebat. Dia menekan kartu pekerjanya di mesin dan memasang topi serta tag namanya. Setelah memeriksa dirinya di kaca, dia menoleh ke Naruto, menyadari bahwa sekarang Naruto sedang sibuk menulis-nulis angka di buku inventaris. Naruto membungkuk di rak kecil itu, terlihat bingung dengan pekerjaannya. Sakura tersenyum. Jarang menjumpai Naruto dalam keadaan seperti itu.

"…Jadi, Naruto. Gimana sekolah?" Tanya Sakura sambil mendekati Naruto. Dia duduk di sampingnya dan mengistirahatkan sikunya di lutut, melihat Naruto dengan tatapan penuh harap.

Naruto terus menulis tetapi senyuman hangat tidak lepas dari bibirnya. "Sama sama, Sakura-chan. Membosankan. Aku bosan selalu di sekolah. Seperti ingin mati."

Sakura tertawa kecil, merasa jawaban dan pilihan kata Naruto lumayan lucu. "Maksudmu sekolah membosankan dan kau merasa bosan, Naruto. Bukan bosan selalu. Dan iya, kau memang terlihat seperti akan mati. Kasian kau."

"Oh iya, aku selalu lupa." Senyum Naruto melebar.

"Iya memang, bodoh. Sejujurnya berapa banyak kali aku harus membenarkan ucapanmu?" Sakura menjulurkan lidahnya iseng, menggerakkan jarinya pada Naruto. Naruto hanya tertawa.

"Tunggu. Apa yang terjadi dengan wajahmu?" Ucap Sakura sambil meletakkan tangannya lembut di pipi Naruto. "Apa kau berkelahi lagi?"

"Oh ini? Haha, maaf Sakura-chan, tapi mereka menyudutkanku lagi hari ini."

"Lagi? Keparat-keparat itu tidak kapok juga, 'kan?"

"Kurasa…"

"Jadi apakah kau baik-baik saja? Apa kau ingin aku mengambilkan es?"

Naruto menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Sakura-chan! Sai sudah membantuku. Sudah agak sembuh sekarang."

"Sai? Benarkah?" Suara Sakura menjadi manis. Dia semakin mendekat ke Naruto. "Kalian berdua ada hubungan apa?"

Mata Naruto membesar sekilas. Dia berhenti menulis dan perlahan memandang Sakura, salah satu alis terangkat karena mendadak didekati seperti itu. "A-apa maksudmu, Sakura-chan?"

"Jadi, apa kalian memang ada hubungan…? Maksudku, apa yang terjadi di antara kalian? Dia selalu ada di sekitar sini belakangan ini. Dan hanya terjadi pada saat jam kerjamu. Dia selalu di sini. Selalu! Apa kau pikir aku tidak memperhatikannya, bodoh?"

"Uh… Aku tidak tahu." Naruto memalingkan pandangannya. Dia mulai menggigit ujung penanya. "Sai hanya… Ada karena beberapa alasan."

"Untuk beberapa alasan." Balas Sakura, kemudian bertanya lagi. "Dan kenapa? Kalian terlihat sangat dekat. Apa dia pacarmu atau gimana?"

Mendengar pertanyaan Sakura, Naruto tercengang. Wajahnya berubah merah karena malu dan menatap Sakura. "Apa? Tidak! Sai? DIa cuma… Dia cuma teman. Tidak lebih."

"Teman?" Sakura terlihat tidak percaya. "Dia terlihat seperti penguntit, Naruto. Ayolah, serius, dia selalu ada, menunggu. Dia beruntung karena dia tampan karena kalau tidak, dia pasti sudah di penjara sekarang. Karena, sangat menyeramkan. Apa kau yakin dia temanmu, Naruto?"

"Uh iya…"

Ada tatapan licik di wajah Sakura, mata hijaunya berkilau. "Apa kau berbohong padaku? Apa kau menyembunyikan sesuatu?" Sakura menggenggam lengan Naruto. "Ayolah, kau bisa menceritakan padaku semuanya. Kita teman, 'kan?"

Naruto tersenyum gugup sekarang, kedekatan mereka membuatnya sangat terganggu.

"Dia benar-benar cuma temanku, Sakura-chan. Dan iya aku setuju padamu, dia menyeramkan."

'…Dan menyebalkan juga.' Benak Naruto. "Tapi dia lumayan baik kalau sudah mengenalnya…" Ucapan Naruto terhenti, menatap lembar inventaris dengan tatapan berpikir. "Dia selalu menolongku. Dia… Selalu ada."

"Naruto, apa kau…"

"Hey pirang, ke mari!"

Percakapan mereka terpotong ketika pemilik took masuk, mantelnya yang terlalu besar basah kuyup. Dia mencampakkan payungnya ke samping. "Hujan sialan. Sekarang aku basah kuyup… Pirang, di mana kau?" Teriaknya lagi.

"Aku datang!" Naruto berlari menuju pria itu.

"Truk di sini." Pemilik toko menunjuk arah truk. "Bawa muatan barang masuk. Dan cepat. Aku tidak ingin satupun paketnya basah. Barangnya cepat membusuk."

"Tapi hujan di luar." Sakura menyela, melihat keluar penuh khawatir. Anginnya makin kuat dan hujan hampir membanjiri jalan masuk toko. "Kenapa kita tidak membawanya masuk besok saja?"

"Tidak bisa. Di dalam truk panas. Kalau menunggu, panas akan mengancurkan barang itu." Balas pemilik toko. Dia mengalihkan perhatiannya pada Naruto. "Bawa semua barang itu masuk sekarang dan kau sudah selesai. Kau boleh pulang jika mau."

Naruto mengangguk. Menatap Sakura, tersenyum. "Jangan khawatir, Sakura-chan. Aku bisa melakukan ini."

"Naruto…" Gumam Sakura saat melihat Naruto mengambil jaketnya dari rak mantel dan bergegas untuk menerobos hujan.


Bahkan dengan topi dan jaket, Naruto masih basah kuyup saat dia selai dengan pekerjaannya. Butuh banyak waktu untuk membawa semua barang karena angin kencang. Juga sudah untuk menjaga keseimbangan dirinya di jalanan licin ketika membawa barang satu per satu. Dia sudah terpeleset beberapa kali. Dan saat sudah selesai semua, dia basah kuyup dan badannya sakit.

Basah dari kepala ke kaki, seperti mandi hujan. Pakaian basahnya menempel ke tubuhnya seperti lapisan kulit. Berdiri tegak di pintu masuk, Naruto berkedip karena air menetes di matanya. Dia tidak bisa mengusap air dari wajahnya. Dia takut jika dia melakukan pergerakan, dia akan menggigil.

Sakura berlari ke arahnya. "Geez, bodoh kau." Ucapnya sambil mengeringkan kepala Naruto dengan handuk kecil. "Kau bisa saja bilang tidak. Bapak itu brengsek. Pekerjaan ini tidak cukup baik. Kau akan sakit."(4)

Naruto tertawa kecil, tahu bahwa Sakura benar. Dia benar-benar mau berhenti dari pekerjaan ini, tetapi dia tidak bisa. Tidak sekarang.

"Tidak apa-apa, Sakura-chan. Aku tidak mau dipecat. Aku membutuhkan pekerjaan ini."

Sakura menggosok kepala Naruto kasar kali ini. "Bodoh. Kau benar-benar bodoh. Kalau kau butuh uang, aku bisa meminjamkanmu."

"Tidak, tidak, Sakura-chan. Bukan itu maksudku…" Naruto menjauhkan badannya, mengibas tangan di depan wajahnya. "Bukan karena… Uang. Bukan. Aku hanya…"

Naruto menatap lantai. "Itu karena…" Dia berhenti bicara; kemudian menatap Sakura. "Maaf, Sakura-chan." Ucap Naruto, satu tangan menggaruk belakang kepalanya. "Bisakah kita membicarakan hal ini lain kali? Aku harus pergi sekarang."

"Apa? Apa kau gila? Masih hujan, Naruto. Kau harus mengeringkan tubuhmu dulu."

Naruto tertawa lagi. "Tidak perlu. Aku akan basah lagi."

Sakura mengambil payungnya dari rak dan memberikannya kepada Naruto. "Bawa ini."

Naruto menggelengkan kepalanya. "Tidak. Itu punyamu. Jangan khawatir, Sakura-chan. Aku akan baik-baik saja. Stasiun kereta dekat."

Naruto memberikan dua jempolnya dan berkedip ke arah Sakura. Sebelum Sakura bisa berkata apa-apa, Naruto sudah mengambil ranselnya dan pergi.

Sakura menatap kepergian Naruto dengan tatapan khawatir. Hujan masih belum reda. Jalanan di luar mulai banjir. Dari kejauhan, dia bisa melihat kilat samar yang muncul di kegelapan, awan ominous. Sepertinya malam ini akan badai.

Naruto mengencangkan simpul di jaketnya. Dia bisa merasa dan mendengar hujan lebat yang menetes di kepalanya. Dia memasukkan tangannya lebih dalam di dalam kantong jaket, menggosok jari-jarinya untuk menghangatkan tangannya. Meskipun pakaiannya berlapis-lapis, dia mulai mengigil.

"Sial, dingin. " Bisik Naruto. Langkahnya melambat, merasa otot-ototnya menegang karena berjalan terlalu cepat dalam waktu yang lama. Mengusap wajah basah dengan belakang lengan bajunya, Naruto menatap sekeliling untuk mencari tempat berlindung. Dia menemukan satu dan berlari ke sana. Ketika dia sudah berlindung, Naruto mengambil telepon genggam dari sakunya. Telepon genggam itu agak sedikit basah tetapi karena casing kaca, masih bekerja.

Dengan cepat Naruto menghubungi nomor Itachi. "Ayolah, angkat. Angkat, kakak."

"…"

Tidak ada jawaban dan tidak lama kalimat "Di luar jangkauan" terdengar. Naruto memaki dalam hati, menggenggam telepon genggam itu erat. Bisakah hari ini lebih buruk lagi?

Naruto menatap suram ke langit, memperhatikan hujan yang terus turun dengan lebat. Menggigil, dia mengigit bibir bawahnya. Dia bisa merasakan bulu kuduknya berdiri; jari-jarinya membeku dan giginya gemeletak karena dingin. Dia harus pergi sekarang. Kalau tidak, dia akan mati beku di sini.

Senyum pahit menghiasi bibirnya. Betul-betul hari yang buruk.


Sakura mendengar pintu masuk terbuka. Dia menoleh, bersiap untuk menyapa. "Selamat datang. Bisa saya bantu—?" Kalimatnya terhenti… Dia membelalak. Berkedip beberapa kali, dia akhirnya mengucapkan sebuah nama terengah-engah. "S-Sai?"

'Bukan, ini bukan Sai.' Benak Sakura. 'Ini bukan dia.' Rambut pria ini lebih panjang; wajahnya tidak terlalu pucat, berbeda dengan Sai. Mereka berdua terlihat seperti orang Asia dan postur tubuh mereka sama, tetapi pria ini terlihat lebih tinggi. Dan aura pria ini seperti kaum bangsawan. 'Dan ya Tuhan, dia sangat tampan.' Nilai Sakura.

Pria itu memakai setelan jas jahit warna hitam, sangat bagus. Dibalik jas itu adalah pakaian yang terbuat dari kain wol berwarna hitam, tanpa dasi. Pria ini terlihat seperti dia baru pulang dari pertemuan politik atau sesuatu. Sejenak, Sakura hanya berdiri dan menatap, benar-benar terperangah melihat sosok di hadapannya.

Kemudian, bibir pria itu bergerak. Semua pikiran Sakura yang mengatakan bahwa pria itu adalah orang asing segera hilang dari benaknya ketia dia berbicara. Aksennya sangat mulus, normal, dan suaranya berat.

Sakura berkedip lagi. Dia mendengar pria itu berbicara namun kalimatnya melayang dari pikirannya. "Ah, maaf. Bisa ulang lagi?" Tanya Sakura, tersenyum gugup.

"Naruto Uzumaki. Aku yakin dia bekerja di sini."

"N-Naruto? Oh dia memang bekerja di sini. Dia karyawan di toko ini."

Mata gelap pria itu mengamati ruangan.

"Di mana dia?"

"Um, yah…" Sakura melihat ke luar. Dia menatap pintu keluar. "Dia sudah pergi. Aku minta maaf."

"Apa?" Pria itu memandang Sakura. Mata gelap dan tajamnya, menyipit, betul-betul terlihat tidak senang. "Hujan begini?"

Sakura kaget melihat perubahan sikap pria itu. "U-um…"

"Ke mana." Pria itu bertanya dengan cepat; suaranya dingin seperti besi.

"Ke stasiun kereta bawah tanah. Aku sudah mencoba menghentikannya tapi dia tidak—"

Sebelum Sakura selesai bicara, pintu terbuka dan pria itu sudah di luar.

Sakura hampir pingsan di lantai. Dia mendengar deruan mesin mobil yang dihidupkan saat dia meletakkan tangannya di dada dan bernapas berat.

'Siapa pria itu…?'


Dia berlari sekarang, mencoba menghiraukan otot kakinya yang kaku. Dia tidak bisa merasakan jari-jari kakinya lagi. Dia memukul pahanya bergantian untuk mengalirkan aliran darah. Pandangannya mengabur karena air di wajahnya. Dia merasa seperti tenggelam tetapi dia tidak bisa berhenti. Stasiun kereta hanya beberapa blok lagi. Dia tidak sabar untuk sampai. Dia pasti akan mati beku saat hujan berhenti.

Terlalu fokus dengan arah tujuan, Naruto tidak mengacuhkan genangan air yang ada di trotoar. Tidak ada gunanya menghindari genangan itu karena celana dan sepatunya sudah basah, sama seperti pakaiannya. Setiap inchi tubuhnya membeku dan basah kuyup. Di balik bibir pucatnya, giginya gemeletak tanpa henti.

Sebuah mobil membunyikan klakson berulang-ulang kali di belakangnya. Tapi Naruto terlalu pusing dan lelah untuk membalikkan tubuhnya. Dia mengabaikan suara kalson itu dan lanjut melangkah, berjalan perlahan sambil menyeret kakinya.

Pintu mobil terbuka… kemudian menutup.

Mati rasa, dia bisa mendengar suara langkah kaki—mendesak—berat mendekatinya. Mungkin hanya imajinasinya saja tapi dia sumpah bisa mendengar seseorang memanggil namanya.

Naruto berkedip beberapa kali, mencoba membuka matanya. Penglihatannya, dunia serasa goyang, perlahan berubah warna menjadi abu dan hitam. Merasa sangat pusing, Naruto berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya. Tidak berguna. Lututnya mulai ambruk.

Dunianya miring… dan dia jatuh..

Sebuah tangan tiba-tiba menangkap bahunya—dan sebelum dia bisa bereaksi, Naruto ditarik masuk ke dalam pelukan yang lebih hangat dan kering dibandingkan tubuhnya.

"Idiot."

Kilat panjang, membelah langit. Menyinari segalanya untuk sejenak.

Dan kemudian, dia melihatnya.

Saat itu, seluruh dunianya berhenti. Naruto tercengang melihat pria di hadapannya, mata membelalak sangat lebar; mulut terbuka.

-tidak-tidak-tidak-sangat tidak mungkin.

"Sa…" Naruto menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa kering ketika dia melihat tatapan dingin, tidak bergeming pria itu. Dia memaksa bibirnya untuk bicara. "S-Sas…"

Genggaman di bahunya mengencang dan pria itu bergerak, menghuyung tubuh Naruto ke belakang. Terlalu kaget untuk bereaksi, Naruto membiarkan dirinya didorong ke arah mobil; pria itu masih menopang tubuhnya.

"Masuk."

Tanpa berkedip, Naruto menurut. Sasuke masuk ke dalam mobil lewat pintu sebelahnya. Ketika sudah di dalam, Sasuke menekan sebuah tombol dan semua pintu terkunci otomatis.

Sasuke bahkan tidak melirik Naruto saat dia memakaikan sabuk pengaman ditubuhnya. Tangan bersarung tangan kulit menggenggam setir erat, menghidupkan mesin, dan melaju.


Kau yang menyakitiku pertama kali.


'Oh Tuhan.'

Naruto tidak bisa menghentikan tubuhnya yang gemetaran—dingin atau takut—dia sudah tidak yakin lagi.

-ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan

Naruto mencengkram tangannya yang bergetar, mati-matian untuk mengendalikan detak jantungnya yang tak teratur dan kencang. Dia menelan ludahnya, merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokannya. Dia bahkan tak bisa menoleh ke arah Sasuke; matanya lurus ke depan. Di tengah-tengah dingin yang menggigit setiap inchi tubuhnya, keringat tipis terbentuk di dahinya. Wajahnya terasa panas. Deruan napasnya pendek dan tak beraturan. Meskipun jarak mereka sejauh ini, tapi dia merasa tersudut.

Naruto menutup matanya, membuang semua pikiran-pikiran gugup menjauh. Tapi tak ada guna. Pikirannya kacau, dia bisa merasakan jantungnya sendiri berdegup kencang di kepalanya. Bahkan suara hujan yang menitik di kaca depan mobil berbunyi sangat kuat dan memekakkan telinganya.

Kilat kembali membelah langit. Naruto mengubah posisi duduknya, merasa malu saat pakaian basahnya bergesekan dengan kursi kulit, rambuh dan wajahnya masih basah. Air menggenang di kakinya.

"A… Aku minta maaf tentang mobilmu." Ucap Naruto gemetar, menyembunyikan tangan menggigilnya di ketiaknya.

"…"

Hening. Naruto sudah menduga itu. Dia mengigit bibirnya gugup, tidak yakin untuk lanjut bicara atau tidak.

"Sasuke, aku…" Dia mencoba bicara lagi setelah berdabat di pikirannya. Menarik napas panjang seolah menetapkan hatinya; dia menoleh untuk menatap Sasuke. Pandangan Sasuke masih lurus ke depan; ekspresinya masih dingin dan jauh. Seakan-akan dia tidak ada. Seakan-akan dia tidak ada di sini sekarang. Naruto merasa hatinya sedikit sakit. Meskipun tadi dia sudah menetapkan hatinya, pandangan Naruto goyang dan akhirnya menuju ke bawah.

"Maaf aku tidak—" Gumamnya, tapi perkataannya dipotong saat Sasuke menekan rem mendadak. Suara ban melengking saat mobil tiba-tiba berhenti.

Naruto mendengus tidak senang, tapi dia masih tidak bicara apapun. Tidak bisa.

"Keluar." Perintah Sasuke.

Naruto menggertak giginya, merasa kesal pada nada bicara Sasuke. Tapi dia tetap menuruti perintahnya. Dia membuka pintu dan melangkah keluar.

Hujan masih menitik deras. Dia bisa merasakan tetasan hujan di kepala dan bahunya. Wajahnya sudah pucat karena dingin dan gemetar. Kakinya terasa kaku dan dia ragu bisa jalan atau tidak. Mengedipkan matanya untuk mengeluarkan air hujan di matanya, Naruto melirik sekelilingna, mencoba mengenali tempat itu.

Mereka berada di depan sebuah bangunan dengan pintu mewah berputar yang belum pernah dilihatnya. Suram, dia mencoba membaca tulisan di bagunan itu tapi bentuk tulisan yang mewah, dan bergelombang membuatnya sulit untuk dibaca. Sebuah hotel, ini pasti hotel, pikirnya.

Pikirannya buyar ketika merasakan sebuah kehangatan di tubuhnya. Sasuke sudah menutupi tubuhnya dengan jas. Dia merasakan sebuah tangan menggenggam bahunya erat saat dia tarik mendekat. Naruto melihat Sasuke melemparkan kunci pada pelayan parkir sebelum mereka masuk ke dalam hotel.

Perjalanan menuju kamar hotel terasa sangat, hening. Mereka tidak bicara. Hanya melangkah.

Dan setiap detiknya terasa seperti detakan bom.

Sasuke membuka pintu dengan paksa dan mendorongnya masuk ke dalam.

Saat mereka di dalam ruang tamu, Sasuke melepaskannya dan pergi ke suatu ruangan. Naruto hanya diam di tempat. Berdiri membeku di sana, tidak bisa bergerak atau melihat sekitar. Tanpa bantuan Sasuke, lututnya melemah. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk tetap berdiri. Air menetes dri rambut dan pakaiannya, melumuri karpet bulu putih di kakinya.

Mendengar langkah kaki, dia menoleh. Handuk dihempaskan di di wajahnya dan dia hampir tidak bisa menangkapnya.

"Kau mandi sekarang." Ucap Sasuke. Dia menunjuk sebuah pintu di ujung. "Kamar mandi di sana. Aku akan menyiapkan pakaian untukmu."

Ada jeda sebelum akhirnya Naruto berbicara. "Tunggu." Gumamnya serak. "Sasuke, tunggu. Ayo bicara. Kumohon."

"Tak ada yang perlu dibicarakan." Sasuke membelakanginya. "Sekarang mandi."

"Tidak, tidak…" Naruto menggelengkan kepalanya sekarang. "Aku belum bicara… Kumohon, tunggu."

Sasuke melangkah pergi. Naruto menjatuhkan handuknya dan mengejar Sasuke. Dia menggapai lengan Sasuke, menggenggamnya sekuat mungkin, tangan Sasuke mengeras di genggamannya.

"Keparat, dengarkan aku dulu. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Kumohon, Sasuke."

"…"

Ucapannya tidak dihiraukan saat Sasuke melepaskan tangannya. Naruto merasa hatinya hancur saat itu juga. Matanya terbakar putus asa. Dia yang menghancurkan ini. Dia menghancurkan segalanya.

"Aku…" Naruto menutup matanya; kepalanya menunduk saat air mata membasahi wajahnya. "Maafkan aku, aku meninggalkanmu. Sialan, maafkan aku…"

Naruto terdiam kemudian—

"…Aku mencintaimu." Suaranya terdengar di telinganya—menggumam dengan suara hampir tak terdengar—suaranya serak saat dia mengatakan kalimat itu. Tapi dia mengucapkannya. Dia akhirnya mengucapkannya.

"Aku mencintaimu." Ulangnya dengan suara yang lebih kuat kali ini. Dia menatap penuh rindu punggung Sasuke.

"…"

"Aku selalu… Mencintaimu. Sasuke, aku…"

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya saat punggungnya dengan paksa bertemu dengan dinding dan hampir membuatnya kehilangan napas. Sasuke sudah mendorongnya ke dinding dan mencengkram tubuhnya ke dalam genggaman erat. Naruto berguman kesakitan dan kaget tapi terdiam ketika dia merasakan bibir hangat menekan bibirnya. Jari-jari Sasuke menekan kulitnya; gigi Sasuke menyentuh dan menggigit setiap inchi daging bibirnya.

"Jangan melawan, Uzumaki…" Ucap Sasuke. Napas hangat, dan berat tercium bau rokok. "Atau ini pemerkosaan."

Naruto tersentak mendengar ucapan Sasuke tapi dia tidak menjawab melainkan menggenggam baju Sasuke, membawanya mendekat. Dia bernapas penuh napsu sekarang; pikirannya dipenuhi dengan pikiran kacau; kulitnya memanas dan terbakar dibalik pakaiannya.

Dia merasa sesuatu mendorong di antara pahanya dan tubuhnya bergetar, napasnya tercekat di tenggorokan saat kaki itu mengusap dengan paksa. Tangan hangat menjelajahi tubuhnya, dadanya, perutnya, menuju ke bawah pusarnya. Jari-jari mencengkram pinggangnya; kuku menekan dagingnya, mencabik kulitnya, sebelum menarik dan menurunkan celananya.

Dan Sasuke berlutut.

"Ah, tunggu, berhenti." Teriak Naruo, lututnya menekuk saat dia mencoba menggeser wajah Sasuke menjauh. Tapi genggaman Sasuke lebih kuat. Tangan pucat mencengkram lengan Naruto dan menjepitnya di samping tubuhnya.

Dengan giginya, Sasuke menarik celana bokser Naruto.

"Tidak, Sasuke—"

Semua bantahan tenggelam di tenggorokannya ketika bibir Sasuke menyentuh pahanya. Naruto mengigit bibirnya erat saat lidah lembab Sasuke menjilat kemaluannya perlahan-lahan, meninggalkan jejak saliva saat dia ereksi. Naruto mendesah saat benda hangat menelan seluruh kemaluannya. Isi tubuh Naruto bergetar dan terbakar saat Sasuke menelannya sampai ke ujung; bibir basah masih menjilatinya tanpa ampun. Dia merasa seperti akan gila.

"Tolong, berhenti…" Mohonnya, tapi dia tidak diacuhkan. Sasuke melanjutkan perbuatannya dan Naruto hanya membuang wajahnya dan menggeritkan giginya malu.

Tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya Naruto ejakulasi. Dan saat ejakulasi, dia meneneriakkan nama Sasuke.

Lututnya akhirnya menyerah dan dia jatuh di pelukan Sasuke.

Dunianya melebur dan Naruto tidak sadarkan diri.

Sasuke memeluk Naruto erat di tangannya. Dia tetap seperti itu lama sekali, mata tertutup, menikmati momen itu dan menguburnya di dalam ingatannya. Dia menarik tubuh Naruto semakin mendekat, menggumamkan kalimat-kalimat penuh cinta di kulit Naruto.

Dia membuai tubuh Naruto lembut di pelukannya, mendekatkan kepalanya, dan memberikan Naruto banyak kecupan di wajahnya sebelum mencium bibirnya.

"Kau tak tahu betapa aku…" Sasuke berbisik di telinga Naruto, tangannya bergetar saat menyisir rambut Naruto. "Aku mencintaimu."

Sasuke mencium Naruto lagi, bibirnya terdiam di bibir Naruto, sebelum akhirnya melepas pakaian basah Naruto. Setelah itu, dia menggendong tubuh Naruto dan menuju kamar mandi.

Sasuke meletakkan Naruto dan menyandarkan tubuh Naruto di tubuhnya lalu melepas semua pakaiannya. Setelah telanjang bugil, dia menghidupkan keran air dan menunggu hingga uap mengepul, sebelum mengangkat Naruto masuk ke dalam bak mandi.

Sasuke duduk di samping Naruto, menyenderkan kepala Naruto di dadanya. Sambil menunggu bak mandi penuh, dia mengambil lap mandi dan perlahan membersihkan dada dan perut Naruto. Dia merasakan Naruto menggumam dan semakin merapatkan tubuhnya.

"Aku mencintaimu." Ucap Naruto. Bisa saja hanya imajinasinya namun Sasuke tidak peduli.

Sasuke memeluk Naruto, membawanya dekat, dengan posesif, seakan-akan seseorang akan membawanya kabur.

"Aku juga mencintaimu. Aku mencintamu." Bisik Sasuke. "Jangan tinggalkan aku lagi."

"…"

"Jangan pernah…" Pelukan mengerat, dan tangan Sasuke bergetar ketika dia mengenggelamkan kepalanya di bahu Naruto—berharap, meminta, tidak menginginkan yang lain selain tetap seperti ini selamanya.

Di luar, hujan sudah mereda. Langit dihiasi dengan warna biru.

Angin kencang berhenti dan akhirnya, badai telah berakhir.

.

.

Bagian 2/2 dari Ending.


Terima kasih!

Catatan:

Chapter ini, dinyatakan bahwa Neji masih hidup. Kakashi tidak membunuhnya.

1) Toudai/Todai adalah nama lain dari Universtas Tokyo, Universitas terkenal di Jepang.

2) Umur Naruto 20 tahun (Bagian 2). Dia masih kelas dua SMA di US. Disebutkan di chapter sebelumnya, pendidikan Naruto dimulai sedikit lambat.

3) Naruto tidak butuh pekerjaan untuk uang karena Fugaku masih menafkahinya. Pekerjaan ini hanya untuk mengalihkan pikirannya.

4) Sasuke menyelesaikan 4 tahun kuliahnya dalam waktu 2 tahun. Dia mengambil dan menyelesaikan sarjana dalam waktu setahun. Dia belajar untuk mengalihkan pikirannya.

5) Sai dikirim oleh keluarga Uchina untuk 'membuntuti' Naruto. Seperti penguntit. Bahkan Naruto tidak tahu ini.

.

Masih ada EPILOG.