Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

Senseless

3

Sakura melangkahkan kakinya penuh percaya diri melewati lorong sekolah barunya. Sesekali ia melempar senyum pada beberapa orang yang memandang kagum padanya. Dari wajahnya yang sumringah, pastilah moodnya sedang dalam keadaan baik. Bagaimana tidak? Hari pertama ia memasuki kelas modeling, ia sudah berhasil menarik perhatian seisi kelas, bahkan sang dosen. Ia lolos seleksi untuk peragaan busana yang akan diadakan dalam waktu dekat.

Sakura merasa sangat puas. Tak menyangka kehadirannya akan disambut antusias oleh kawan-kawan barunya. Semua orang mengetahui Sakura berhasil masuk ke sekolah elite ini berkat dukungan penuh Uchiha Corporation yang notabenenya tak pernah sembarangan dalam memberikan beasiswa. Dan beruntunglah Sakura yang ternyata juga memiliki bakat alami dalam bidang menarik perhatian.

"Jadi kau si anak emas itu?" sapa sebuah suara di belakangnya. Sakura otomatis menolehkan pandangannya kepada sosok pemuda berwajah pucat yang kini tengah tersenyum ramah padanya. "Baru beberapa jam di sini, kau sudah berhasil menjadi trending topik di antara para siswa," sambungnya halus.

Sakura hanya tersenyum sembari mengalihkan perhatian penuhnya pada lelaki yang terlihat menarik dengan dandanan yang unik. Apa mereka satu kelas?

"Namaku Sai, dari kelas lukis," ucapnya lagi seolah membaca pikiran Sakura. Dengan senang hati, Sakura meraih uluran tangan pemuda yang masih saja mengembangkan senyuman ramah yang mungkin terkesan sedikit aneh.

"Sakura, dari kelas modeling."

"Salam kenal Sakura. Senang bertemu denganmu," sahut Sai ramah. Mereka bercakap-cakap sejenak membahas hal-hal ringan seputar kehidupan kampus sebelum akhirnya Sai pamit untuk undur diri.

Sakura melirikkan pandangannya sekilas pada sosok yang mulai menghilang dibalik keramaian. Menarik. Sakura sempat mendengar berita tentang pemuda yang termasuk dalam daftar siswa populer di sekolah barunya. Dengan senyum terkembang, ia akhirnya melanjutkan perjalanannya untuk pulang.

'Mari berpetualang,' batinnya senang.

###

Halaman sekolah nampak mulai sepi. Beberapa ayunan dan alat bermain lain dibiarkan begitu saja tanpa ada satu orang anak-pun yang terlihat memainkannya. Maklum, jam sekolah memang sudah berakhir sejak empat jam yang lalu. Jadi wajar saja jika salah satu sekolah dasar Internasional itu nampak kosong. Kosong? Tidak juga. Nampak masih ada seorang bocah lelaki yang kini duduk di salah satu bangku taman. Tatapannya datar tanpa ekspresi, mengingatkan kita pada sosok lain dalam bentuk dewasa.

Sesekali ia nampak menghela nafas bosan. Pandangannya melirik jalanan depan sekolah yang nampak lenggang. Pastilah kawan-kawannya kini tengah menikmati waktu bersama ibu atau ayah mereka. Kawan? Itu juga kalau dia punya. Ia bahkan tak yakin apakah dunia menganggapnya ada. Lihat saja, empat jam menunggu tak satupun orang rumah yang datang untuk menjemputnya.

"Hai bocah, kenapa duduk sendirian?" sapa sebuah suara selembut beledu yang menarik perhatiannya. Diliriknya sosok cantik yang kini tengah mensejajarkan posisi dengannya. "Namamu Kei kan? Masih ingat aku? Kita bertemu saat makan malam kemarin," sambung Sakura ramah.

"Oh, bibi canggung itu ya? Hn, aku ingat," sahut Kei tanpa ekspresi sukses membuat Sakura merasa ditikam karena ternyata Kei sama sinisnya dengan sang Ibu—mungkin juga Ayahnya. "Kenapa bibi ada di sini?" sambung Kei malas sembari mengalihkan tatapannya.

"Kebetulan aku lewat dan Ayahmu bilang ia tak bisa menjemputmu hari ini. Jadi ijinkan aku mengantarmu tuan muda," jawab Sakura sembari bergaya seperti dayang untuk tuannya.

"Ibuku akan datang sebentar lagi."

"Aa, Ibumu sedang sibuk. Kau mau menunggu sampai pagi?" terang Sakura meyakinkan.

Kei nampak berpikir. Sepertinya mulai menimbang apakah sebaiknya mengikuti ajakan bibi berambut gulali ini, atau menunggu tanpa kepastian?
"Baiklah. Aku akan ikut denganmu. Tapi kita pergi ke tempat Ibu dulu," jawab Kei akhirnya tanpa memandang sambil berjalan menuju mobil Sakura yang terparkir beberapa meter di depannya.

Sakura hanya tersenyum sembari mengikuti langkah Kei menuju mobilnya. Dalam hati Sakura bersyukur Kei sangat mudah untuk dirayu. Dengan begini akan lebih mudah untuknya mendekati anak tunggal Uchiha itu.

.

.

.

.

Jantungnya hampir saja lepas saat mendapati dua sosok yang tiba-tiba saja muncul dalam ruangannya. Buah hatinya yang amat dicintainya memberikan kejutan dengan datang dan membawakan makanan kesukaannya dengan wajah penuh semangat yang jarang dilihatnya. Tapi bukan itu yang membuat jantungnya terasa berhenti, melainkan sosok lain yang datang bersamanya.

Ino hanya mampu melotot memandang gadis belia bersurai pink yang nampak begitu menikmati ekspresi terkejutnya. Sepasang emeraldnya terlihat menantang dan terkesan lebih berani dibanding pertama mereka bertemu. Penampilannya-pun terlihat berbeda dan jauh lebih berada dibanding sebelumnya. Dan yang lebih mengejutkan, selera fashionnya, sangat Uchiha. Sederhana, namun elegan. Sangat bertolak belakang dengan Ino yang sangat menyukai keglamouran.

"Nampaknya kau mulai menemukan arah berpenampilan nona Haruno," sapa Ino setengah menyindir.

Sakura hanya tersenyum sembari membungkuk memberi hormat. "Seseorang mengajarkan saya," sahut Sakura tak kalah angkuh.

Tanpa mereka sadari, Kei nampak memperhatikan dengan sebelah alisnya yang terangkat. Jujur saja ia menangkap aura tak menyenangkan di sini, namun terlalu enggan untuk mengurusi. Ia sendiri merasa kurang tertarik dengan masalah orang dewasa.

Beberapa menit setelah saling melempar pandang, Sakura merasakan getaran pada ponselnya. Bingo! Sasuke menelfonnya. Dengan senyum penuh kemenangan, Sakura mengangkat panggilannya, sukses membuat Ino menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Putramu pulang bersamaku. Aku kebetulan bertemu Kei saat lewat di depan sekolahnya, sekarang ia bersama istrimu. Apa kau ingin aku mengantarnya padamu? Karena sepertinya istrimu sedang sibuk mengurus pekerjaannya," ucap Sakura tanpa mengalihkan tatapannya dari sepasang aquamarine yang kini menatapnya geram. Bahkan tanpa sadar Ino mengenggam pena di tangannya terlalu kencang hingga berderak. Entah apa sahutan Sasuke, namun nampaknya itu sebuah perintah yang memuaskan Sakura. "Baiklah, sampai nanti," ucap Sakura sebelum mengakhiri panggilannya.

"Apa kata Ayah?" tanya Kei polos tanpa memikirkan apapun.

"Ayahmu ingin aku mengantarmu, ia bilang kau akan mengganggu pekerjaan ibumu jika berada di sini. Kau belum makan kan? Bagaimana kalau kita makan dulu?"

"Tidak perlu, tinggalkan saja dia. Dia bisa bersamaku," potong Ino cepat, tanpa menyadari nada suaranya yang terkesan membentak.

"Tidak perlu begitu Ibu. Aku tahu Ibu sibuk. Aku kemari hanya ingin mengantarkan makanan itu, pasti Ibu belum makan apapun kan? Biar aku pulang bersama bibi Sakura," jawab Kei yakin, tak menyadari jawabannya telah menghancurkan perasaan ibunya. "Kami pergi dulu Ibu," sambung Kei sembari berlalu, mendahului Sakura yang masih berdiri di ambang pintu.

"Kau tahu, sepertinya semua ini akan jadi semakin menarik," ucap Sakura diselingi senyum mengejek andalannya sebelum menghilang dibalik pintu. Meninggalkan Ino yang hanya mampu menahan emosinya setengah mati. Salahnya memang yang memberi kesan memulai peperangan, namun ia tak pernah menyangka gadis yang menjadi lawannya akan berubah menjadi seberani ini. Ini tak baik, Ino tahu ia bisa saja kalah dan kehilangan Sasuke, bahkan Kei jika ia tak waspada.

###

"Jadi bibi seorang model?" tanya Kei mencoba terlihat tertarik. "Saat pertama bertemu kupikir bibi ini orang miskin," sambungnya pedas.

Lagi-lagi Sakura berusaha menahan diri agar tak tersedak ludahya sendiri. Bocah cilik di hadapannya ini memang memiliki kosa kata yang menyakitkan. "Aku belum menjadi model, tapi saat ini aku bersekolah di bidang modeling," jawab Sakura tak yakin.

"Padahal aku berharap kau berbeda dari wanita pada umumnya."

"Maksudmu?"

"Semua wanita selalu ingin menjadi seperti ibuku. Mereka bodoh, makannya hanya bisa mengandalkan tubuh," terang Kei merendahkan. Bukannya sakit hati, Sakura justru merasa tertarik dengan topik bahasan ini. Entah mengapa ia mendadak ingin mengenal bocah cilik di hadapannya lebih dalam. Ia ingin tahu bagaimana Kei menghadapi dunianya yang tak mudah ini.

"Apa Ibumu wanita yang seperti itu?" tanya Sakura spontan. Sukses membuat Kei mengalihkan tatapannya hanya pada dirinya. Bocah itu meletakkan alat makannya dan mengelap sisa makanan di mulutnya sebelum bicara.

"Entahlah. Aku beberapa kali melihatnya pulang diantar seorang pria, tapi kurasa itu impas mengingat aku sering mencium parfum wanita yang berbeda-beda melekat pada tubuh Ayah. Jadi, kurasa itu wajar," terang Kei panjang lebar dengan santainya. Tak ada ekspresi berarti, sukses membuat Sakura melongo tak sanggup berucap.

"Kau, sama sekali tidak keberatan?"

"Jika aku merasa keberatan, mungkinkah segalanya akan berubah? Aku hanya anak-anak bibi," jawabnya sarkatis.

Sakura merasakah ribuan ton bebatuan menimbun hatinya. Segala beban hidup ini telah mematikan perasaan bocah di hadapannya ini. Betapa teganya kedua orang tuanya, ini bahkan lebih menyakitkan ketimbang dirinya yang dibuang semenjak kecil. Kei tak seharusnya memiliki pikiran seperti ini di usianya yang masih terlalu dini. Sakura merasa bersalah, namun ia tak ingin mundur. Tidak, ia akan tetap melanjutkan rencananya.

"Bagaimana kalau mulai besok bibi saja yang menjemputmu?" tawar Sakura tulus. Kali ini tak ada senyuman palsu yang dibuat-buat seperti awal tadi. Ia mungkin akan berperang dengan ibu dari bocah cerdas di hadapannya, tapi bukan berarti Kei harus terjebak di dalamnya. Sebisa mungkin, Sakura akan berusaha untuk menjauhkan Kei dari peperangan.

"Jika kau merasa senang melakukannya," sahut Kei acuh. "Kau takkan menyuruhku membayar untuk itu kan?"

Dan pecahlah tawa itu. Untuk sejenak Sakura merasa ringan. Kei mulai membuka diri untuknya. Setidaknya ia memiliki teman yang menyenangkan dan jujur diantara kepalsuan di dunia ini. Senja itu mereka habiskan dengan membicarakan kehidupan masing-masing. Kei terlihat biasa-biasa saja menanggapi cerita Sakura meski Sakura sadar bocah itu mendengarkan dengan seksama. Dan segalanya-pun berubah. Sakura sadar ada satu hati yang harus dijaga.

###

Dengan sedikit terhuyun, Sakura melangkah memasuki apartemennya. Setelah memulangkan Kei, ia segera kembali ke apartemennya mengingat besok ia harus kembali melakukan beberapa pelatihan dan seleksi untuk persiapan fashion show pertamanya.

Hal pertama yang menyambutnya adalah aroma maskulin yang tak lagi asing. Ia langsung sadar siapa yang menjadi tamu tak diundang. Dengan langkah malas, ia berjalan menuju kamar. Benar saja, Sasuke tengah duduk bersandar di ranjangnya dengan iPad di tangannya. Kacamata perseginya terlihat sedikit turun, wajahnya terlihat serius memperhatikan–entah artikel apa yang dibacanya.

Melihat pemandangan ini, entah mengapa dada Sakura terasa hangat. Ada seseorang yang menunggunya pulang. Ada orang lain di ranjangnya. Belum lagi Sasuke terlihat tak begitu menyadari kedatangannya sebelum akhirnya Sakura menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras.

"Kau pulang terlambat," ucap Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya sementara Sakura bersiap membersihkan diri. Tak ada jawaban, hanya gemericik air yang terdengar. "Kemana saja kau hari ini?" tanya Sasuke yang lagi-lagi tak ditanggapi lawan bicaranya.

Beberapa saat kemudian, Sakura keluar dari dalam kamar mandi lengkap dengan piama tidurnya. Aroma mint bercampur cherry memanjakan indra penciuman. Ia terlihat lebih segar meski kelelahan terpancar jelas dari raut wajahnya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil posisi di samping Sasuke –membelakanginya.

"Ada yang ingin kau ceritakan padaku?" tanya Sasuke sembari melepas kaca matanya dan meletakkannya bersama iPadnya di atas meja. "Kau nampak lelah, bagaimana sekolahmu?"

"Diamlah, aku sangat lelah. Besok aku harus berangkat pagi-pagi," sahut Sakura kesal.

"Begitukah?"

Tak ada jawaban, namun Sasuke yakin gadis itu masih terjaga. Akhirnya ia memutuskan untuk berbaring miring menghadap punggung Sakura. Memandangi surai pink milik gadis itu tak pernah membuatnya bosan. Ia suka, sangat suka. Bahkan ia mati-matian menahan diri untuk tidak menerkamnya sekarang. Tidak, Sasuke harus menjaga kesuciannya hingga gadis itu mau memberikannya dengan suka rela.

"Aku menghabiskan waktu bersama Kei hari ini," ucap Sakura tiba-tiba.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya heran. "Sejak kapan kau peduli pada putraku?"

"Aku senang berbincang dengannya. Dia cerdas dan menyenangkan."

"Jangan seret Kei dalam masalah kita," ujar Sasuke tenang namun tegas. Ia serius, Kei adalah hartanya yang paling berarti. Ia takkan membiarkan Sakura atau siapapun menjadikan putranya sebagai alat.

"Tenanglah. Aku hanya ingin berteman dengannya. Dia anak yang manis dan lucu. Sama sepertimu."

Mendengar ucapan Sakura tak urung membuat Sasuke terkekeh ringan, "Jadi menurutmu aku lucu?"

"Kau lucu, menggelikan, dan menyebalkan," jawab Sakura iseng sebelum memejamkan matanya. "Aku menyukaimu," gumamnya kemudian sebelum tenggelam bersama mimpi. Gumaman pelan, namun masih sempat terdengar Sasuke. Pria itu hanya tersenyum sebelum menarik Sakura dalam dekapannya.

"Kau menyukaiku?"

Tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian deru nafas beraturan milik Sakura memanjakan pendengarannya. Gadis itu terlelap dengan mudahnya. Tak memperdulikan pria yang kini mendekapnya. Sasuke mendengus, ia memang harus bersabar menghadapi gadis belia ini. Sakura berbeda dengan wanita yang biasa ia tiduri. Ia bukan wanita manja yang akan dengan mudahnya tunduk jika dilempar segepok uang.

Ketimbang memikirkan hal-hal bodoh yang mungkin hanya akan membuang energinya, Sasuke akhirnya memutuskan untuk memasuki gerbang mimpinya sendiri. Tentang Sakura? Masih banyak waktu untuk itu.

Ya, Sasuke harus belajar dan berusaha menyesuaikan diri dengan dunia muda Sakura.

###

Kei memandangi sosok wanita dewasa yang kini tengah mematut diri di depan cermin. Wanita itu terlihat sibuk menata rambut panjangnya yang hari ini nampak berbeda. Surai pirang itu sedikit berombak pada ujung-ujungnya, menunjang penampilan wanita berpostur sempurna yang selalu dijuluki ratu fashion itu.

"Ibu akan menjemputku hari ini?" tanya Kei penuh harap meski berusaha ditekan.

Ino menghentikan kegiatannya sejenak, mengalihkan tatapannya pada anak kesayangannya yang kini tengah memandangnya memohon. Jujur saja jadwalnya hari ini penuh, mustahil rasanya meluangkan waktu untuk menjemput Kei tepat waktu. "Bagaimana kalau hari ini kau libur sekolah dulu? Ibu harus melihat lokasi, kau mau ikut?" tawar Ino akhirnya.

Kei nampak berfikir sejenak, antara tertarik dan tidak. "Sepertinya menarik," jawabnya kemudian diiringi senyuman senang sebelum akhirnya berlari menuju kamarnya untuk mempersiapkan diri.

Ino memandang punggung kecil yang kini menghilang dibalik pintu kamarnya. Mendadak rasa resah dan khawatir menjalari hatinya. Bagaimana jika Sakura benar-benar ingin merebut segala yang telah menjadi miliknya selama ini? Sasuke, Kei, dan semua yang dengan susah payah dibangunnya dari nol.

Diletakkannya sisir yang semula ia gunakan menata rambut cantiknya, kemudian kembali memandangi paras eloknya yang terpantul dalam cermin di hadapannya. Apa kurangnya? Ia cantik. Sasuke pernah bersusah payah mendapatkannya. Ia menarik, setidaknya begitulah anggapan publik selama ini.

Tapi melihat kehadiran sesosok gadis bermuka dua yang memasuki kehidupannya akhir-akhir ini tak urung membuatnya ketakutan juga. Harus ia akui, gadis itu menarik. Ia yakin dengan mudah Sakura akan diterima publik. Mengingat hal itu, Ino kembali mendesah frustasi. Tidak, ia tidak boleh kalah apalagi mengalah. Gadis itu hanya gadis biasa, dan akan selamanya seperti itu.

###

Setengah tergesa, Sakura melangkahkan kakinya menuju ruangan tempat rekan-rekannya berkumpul. Sial! Ia lupa memasang alarm sehingga membuatnya bangun kesiangan. Pagi ini adalah hari pertama untuk seleksi pagelaran busana edisi musim semi. Ia adalah anggota baru, tidak seharusnya ia membuat kesalahan besar, apalagi terlambat.

Berkali-kali ia meruntuki diri hingga akhirnya sampai di depan sebuah pintu besar dan segera membukanya. Kedatangannya yang tiba-tiba sontak mengejutkan seisi ruangan—membuat seluruh mata tertuju padanya.

Sakura tersenyum kaku sembari masih terengah pelan. Di hadapannya berdiri belasan model dan beberapa orang pria yang diketahuinya adalah pemilik modal, serta seorang desainer yang terpaksa menghentikan penjelasannya dan turut mengalihkan pandangan bingung padanya.

Menyadari kesalahannya, Sakura buru-buru membungkukkan badan memohon maaf. Segera sang pengajar—Tsunade menariknya masuk untuk diperkenalkan pada sang desainer.

"Namanya Sakura. Ia baru bergabung dengan kami, mohon maafkan kelancangannya," ucap Tsunade menengahi keheningan.

Sakura kembali membungkukkan tubuhnya penuh hormat sebelum kembali menegakkan badan dan memandang sosok pria melambai di hadapannya yang kini tengah memberinya pandangan meneliti. "Maafkan saya, Tuan. Saya telah lancang dan mengintrupsi Anda," ucapnya lembut sembari membungkukkan tubuhnya sekali lagi.

Lee—nama pria itu. Mendadak tersenyum girang sembari menepukkan telapak tangannya. Matanya yang semula terlihat garang mendadak berbinar sebelum akhirnya meraih jemari halus Sakura. "Musim semi. Ah, kau adalah musim semi," ucapnya girang sembari menepuk-nepuk punggung tangan Sakura.

"Kau, bawa busana utama kita kemari," ucap sang desainer pada salah satu asistennya yang masih bengong melihat perubahan ekspresi bosnya. Sang asisten buru-buru pergi dan segera melaksanakan perintah sebelum si bos mengulanginya.

"Biar kuurus gadis ini, kau boleh kembali ke posisimu," ucap Lee pada Tsunade yang akhirnya hanya mengangguk patuh. "Mari, kuperkenalkan pada rekan satu tim kita," ucap Lee kepada model barunya sembari mengangkat jemari Sakura dalam genggamannya layaknya seorang putri terhormat.

Sakura tersenyum canggung kemudian mengikuti langkah kaki sang desainer yang tak lagi bisa dibilang muda itu dengan canggung. Ditatapnya lekat-lekat satu persatu model yang kini tengah tersenyum ramah padanya. Sakura balik tersenyum, dalam benaknya ia membatin. Ternyata ini tak seburuk bayangannya.

Sakura tak begitu memperhatikan ucapan si bos yang kini tengah memperkenalkan satu persatu model-model yang telah biasa ikut dalam pagelaran busananya. Ia hanya berusaha menunjukkan wajah bersahabat dan bersikap seramah mungkin. Model-model ini memang telah mendapat pelatihan beberapa hari ini, dan Sakura baru saja bergabung.

"Mengingat Tsunade begitu ngotot memasukkanmu, aku sangat penasaran. Tak kusangka kau memang sosok yang sangat menarik," ujar Lee kemayu. Sakura kembali tersenyum. Namun senyumnya mendadak sirna saat mendapati sosok yang baru saja datang.

"Kudengar kau menggantikan posisiku dengan model baru tanpa pengalaman itu? Apa kau gila?" ucap wanita dengan rambut pirang itu geram. Sepasang aquamarine itu mengkilat benci menatap gadis bersurai pink yang kini menaikkan sebelah alisnya bingung. Ia tak tahu bahwa Ino adalah salah satu bagian dari tim.

"Tenanglah nona Yamanaka. Tuan Lee memang menginginkan wajah baru untuk diperkenalkan pada publik. Wajah yang akan menghiasi sampul majalah edisi musim semi," terang Tsunade selaku pembimbing model sekaligus pengarah konsep.

Ino memandang lekat-lekat paras cantik Sakura yang kini memandangnya tak peduli.

"Maafkan saya nona Yamanaka. Saya tidak tahu menahu mengenai siapa yang akan membawakan busana utama. Saya hanya mengikuti keinginan atasan," ucap Sakura lembut dan teratur—tanpa emosi.

"Aku ingin busanaku dibawakan orang yang tepat. Musim semi. Begitu melihat Sakura aku langsung menemukan musim semi di sana. Lagipula benar apa yang dikatakan Tsunade, Konoha membutuhkan wajah baru di dunia fashion. Dan kurasa ini saat yang tepat untuk memperkenalkan Sakura dengan kecantikan alaminya," terang Lee panjang lebar setelah lama berpikir.

Ino memejamkan matanya, berusaha menahan emosi. Sementara tangannya telah menggenggam rapat hingga urat-uratnya terlihat jelas di sana. ia kemudian menghela napas. Ini tidak benar, ia adalah model nomor satu. Jangan sampai karirnya runtuh hanya karena sifat kekanakan dalam dirinya.

"Baiklah jika itu keputusanmu. Maafkan aku, aku terlalu terbawa emosi," ucap ino kemudian setelah merasa lebih tenang. Dipaksakannya seulas senyum, sebelum akhirnya mengulurkan tangan demi menjabat tangan saingannya. "Selamat bergabung," ucapnya datar diselingi senyuman angkuhnya. Sakura yang merasa tertantang akhirnya membalas jabat tangan wanita di hadapannya. Ia tak banyak berucap, hanya mengulas senyum tipis yang terkesan tak kalah sinis, namun tetap anggun.

###

Sasuke mendengarnya. Tsunade berhasil meyakinkan Lee bahwa Sakura adalah orang yang paling tepat untuk mengenakan busana musim semi rancangannya. Benar, ini semua memang terjadi atas campur tangan Sasuke sebagai salah satu pemilik modal. Ia mulai menyadari betapa Sakura ingin menyaingi istrinya semenjak gadis itu berkata, "Aku ingin mengambil pendidikan modeling."

Sasuke tahu betul, fashion bukanlah dunia Sakura. Ia tahu gadis macam apa dia, namun mendukungnya juga, setidaknya ini akan menjadi tontonan menarik. Dua wanita dalam hidupnya bersaing. Yang satu berusaha mempertahankan, sementara yang lain berusaha merebut. Ini pasti akan sangat menyenangkan.

Sedang enak-enaknya membayangkan, tiba-tiba ketukan pintu menyadarkannya. Nampak seorang pemuda pucat melongok masuk melalui sela-sela pintu, kemudian memberikan seulas senyum aneh andalannya.

"Hai paman," sapanya hangat sebelum akhirnya masuk tanpa diperintah. Ia kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengan tempat Sasuke duduk.

"Ada apa kau kemari, Sai? Apa yang membuat pelukis kesayangan Itachi mendatangi kantorku?" ujar Sasuke jenaka, mengundang kekehan ringan lawan bicaranya.

"Tidak, aku hanya mengantarkan beberapa desain bangunan yang kau minta Paman. Maaf, aku baru bisa menyelesaikannya, aku baru saja bebas dari timbunan tugas kuliahku," tutur Sai panjang lebar sembari menunjukkan desain yang diminta Sasuke.

"Aku heran kenapa kau tidak mengambil jurusan Arsitektur saja. Desainmu begitu menarik Sai," aku Sasuke jujur.

Sai hanya tersenyum sebelum menimpali, "Rasanya akan berbeda paman. Aku lebih suka begini. Lagipula aku hanya suka mendesain, soal bangun-membangun atau perhitungan aku tak begitu menyukainya. Sudah banyak ahli yang bisa menanganinya paman."

Jawaban Sai tak urung mengundang kekehan Sasuke. Sejenak hening menyelimuti, sementara Sasuke memperhatikan lebaran-lembaran di tangannya dengan senyuman puas.

"Tentang gadis itu," ucap Sai tiba-tiba, mengentikan gerakan tangan Sasuke yang mendadak freeze. Sasuke mengalihkan pandangannya dan menatap keponakannya. "Siapa sebenarnya dia paman? Kau tidak mungkin memberikan beasiswa tanpa ada timbal balik yang bisa kau dapatkan."

Sasuke terdiam, kemudian mengulas senyum. "Bagaimana? Apa bakatnya sudah terlihat? Dia adalah teman salah satu putri rekan bisnisku di Sunagakure. Saat bertemu dengannya, aku bisa melihat bakat dalam dirinya, jadi aku menawarkan beasiswa untuknya. Maklum, dia dari kalangan kurang mampu."

"Benarkah? Apa paman tahu kalau dia dulu tinggal di panti asuhan?"

"Tentu aku tahu. Kami sering membicarakan kehidupannya semasa di panti. Kenapa? Kau tertarik padanya?" tanya Sasuke telak.

Sai tersenyum, terdapat rona tipis di pipinya saat mendapati pertanyaan terang-terangan pamannya. Sasuke melihatnya. Keponakannya memang tertarik pada gadis pilihannya itu. "Kalau kau memang menyukainya, kenapa tidak berusaha mendekati?" tanya Sasuke penasaran. Ia ingin terlihat normal di mata keponakannya ini, ia tak ingin relasi antara dirinya dan Sakura terbongkar.

"Kau tahu aku bukan tipe pria seperti itu," jawab Sai malu. Gotcha! Keponakannya memang sedang jatuh cinta.

Sasuke terkekeh, kemudian memberikan sarannya. "Coba saja dulu. Kudengar dia anak yang supel. Aku yakin dia akan mudah bergaul denganmu," ucapnya santai.

Sai menggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian bergumam pelan, "Kenapa aku jadi curhat padamu sih paman? Aku merasa bagaikan remaja labil sekarang," ucapnya sungkan—mangundang tawa Sasuke yang sendari tadi ditahannya.

###

Sakura baru saja berniat pulang ketika tanpa sengaja matanya menemukan sosok mungil duplikat Sasuke kini tengah bermain dengan PSPnya sendirian. Sakura tersenyum, kemudian melangkahkan kakinya mendekati bocah imut itu.

"Kau sendirian? Dimana ibumu?" sapa Sakura sembari duduk di samping Kei yang terlihat sibuk sendiri. Entah naluri dari mana, tangannya mengelus kepala Kei dengan sayang. Bocah kecil ini, begitu lucu dan menggemaskan.

"Ibu belum kembali, apa bibi tahu dimana dia?" tanya Kei kesal sembari meletakkan PSPnya setengah membanting. Wajahnya terlihat lelah dan bosan. "Aku ingin pulang saja. Tahu begini tadi aku tidak ikut," omelnya lucu.

Kei dan kosa katanya yang beragam. Bocah itu lucu sekali, ternyata ia adalah sosok yang banyak bicara meski terlihat begitu dingin dari luar. Sakura hanya tersenyum sebelum berkata, "Ibumu sedang mencoba beberapa pakaian yang harus dibawakannya. Ada beberapa busana baru," jawab Sakura sembari merapikan rambut dengan model persis milik sang ayah itu. "Kau mau es krim? Kudengar di sekitar sini ada kedai es krim baru. Rasa apa yang kau suka?"

Kei memandang bibi merah muda di sampingnya dengan tatapan curiga. Kenapa wanita ini selalu berusaha mendekatinya sih?

"Bibi yang traktir?" tanyanya masih dengan tatapan malas.

Sakura lagi-lagi tertawa. "Baiklah, kali ini aku yang traktir," ucapnya di sela-sela tawa yang masih mengalun.

"Bagaimana kalau kita mengajak Ayah? Biasanya Ayah yang mengajakku makan es krim. Ibu selalu melarangku, katanya aku bisa sakit," pinta Kei sembari melangkah di samping wanita yang beberapa hari ini mengganggunya. Tidak sepenuhnya mengganggu juga sih. Harus diakui, menurut Kei Sakura adalah gadis yang menyenangkan. Hanya saja perkataan ibunya saat hari dimana mereka bertemu masih terngiang di kepalanya.

"Ibumu benar. Makan es krim memang tidak boleh sering-sering. Nanti kau bisa sakit gigi," terang Sakura membenarkan. "Kau ingin mengajak Ayahmu? Apakah dia tidak sedang sibuk?"

"Tidak, aku baru saja menelfonnya. Dia mungkin sudah menunggu kita di bawah. Aku memintanya menjemputku tadi," jawab Kei santai. Tanpa sengaja, entah naluri atau apa, Kei tiba-tiba menggandeng tangan Sakura. Tak hanya Sakura, Kei sendiri juga terkejut dengan apa yang dilakukannya. "Maaf bibi, Ibu dulu biasa menggandengku seperti ini. Apa bibi keberatan?"

Sakura terdiam, kemudian tersenyum kepadanya, "Tentu saja tidak. Bibi senang jika diijinkan menggandengmu," ucapnya riang sebelum akhirnya kembali berjalan sembari mengayun-ayunkan tangannya.

Kei tersenyum. Semua kata-kata ibunya di malam saat mereka pulang dari restoran tiba-tiba menghilang. Untuk sejenak ia ingin menikmati kasih sayang yang telah lama dirindukannya. Genggaman Sakura terasa hangat di tangannya. Ia senang, sangat senang ketika membayangkan mereka akan pergi bertiga bersama sang Ayah.

###

Sasuke memandang heran dua orang yang mendadak begitu akrab. Kei terlihat begitu senang, dan tertawa sumringah setiap Sakura melontarkan leluconnya. Ia masih tak percaya putranya bisa sedemikian girangnya.

Sasuke tahu Sakura memang mudah akrab dengan siapa saja, tetapi putranya? Kei bahkan menunjukkan ekspresi tak suka ketika bertemu Sakura pertama kali. Sebenarnya mantra apa yang digunakan gadis itu? Semudah itukah Kei mengubah pandangannya tentang Sakura?

"..dan ketika mereka menjatuhkan selimut yang baru saja kucuci, ibu panti langsung marah besar dan menyuruh mereka mencucinya kembali diluar. Padalah saat itu musim dingin," tutur Sakura, mengundang tawa Kei dan senyuman hangat Sasuke.

"Apa tinggal di panti menyenangkan?" tanya Kei polos.

"Mmmm...menyenangkan karena aku tak pernah kesepian. Aku selalu dikelilingi teman-teman yang menyayangiku. Juga ibu panti, yang meskipun gendut dan galak, tapi ia penuh perhatian," tutur Sakura dengan senyuman yang seolah terpatri permanen di bibirnya.

"Kedengarannya lebih menyenangkan daripada rumahku."

DEG!

Sasuke tiba-tiba kehilangan senyumannya. Ia tahu sekarang kenapa Kei terlihat begitu bahagia di samping Sakura. Bocah itu tak lagi merasa kesepian. Ia senang memiliki teman baru yang bisa mengerti dunianya.

"Aku menyukaimu bibi," ucap Kei diakhiri cengiran khasnya.

Sakura tersenyum. Kemudian melirik Sasuke yang kini memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria dewasa itu menggeleng, entah apa maksudnya. Tapi Sakura mengalihkan pandangannya pada bocah yang kini tengah menyendok es krimnya syahdu.

Biarkan saja, Kei pantas mendapat haknya. Jika Ino tak bisa mengasihinya, Sakura yakin dirinya bisa. Jika bukan sebagai ibu, setidaknya sebagai sahabat. Sakura sama sekali tidak berniat merebut apalagi menjadikan Kei sebagai alat. Sakura tahu bagaimana rasanya ada dalam posisi Kei. Maka dari itu, ia akan tetap mendekatinya walau Sasuke menentangnya.

Tanpa mereka ketahui, Ino melihatnya. Melihat canda tawa Sakura bersama putranya. Melihat senyuman dan tatapan sayang Sasuke untuk gadis yang kini mendapat predikat 'musim semi' itu. Matanya berkilat marah sembari memukul setir di hadapannya. Ia kesal, benar-benar kesal dengan apa yang terjadi hari ini. Ia tak menyangka gadis itu akan berbuat sejauh ini. Ini keterlaluan.

"Aku tak boleh membiarkannya. Aku...aku harus menjaga milikku agar tak jatuh ke tangannya," gumamnya berkali-kali. Sepasang aquamarinenya menggelap, digelinangi air mata yang siap tumpah kapan saja. Ia merasa begitu menyedihkan karena tak bisa menjaga keutuhan rumah tangganya. Ia merasa terpukul karena tak bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk anaknya. Ia sangat sedih. Terlalu sedih hingga tak tahu harus berbuat apa.

"Jika dia bisa menghancurkanku. Aku harus bisa membuatnya merasakan sakit yang lebih dari apa yang kurasakan. Harus," geramnya sebelum menyalakan mesin mobilnya dan memacu dengan kecepatan tinggi.

"Kau menginginkan perang? Dengan senang hati akan kulayani."

###

Sakura membolak-balikkan agenda yang diterimanya dari ibu panti. Catatan itu milik ibunya, mungkin bisa dibilang itu adalah diary yang berisi curahan hati sang ibu. Di dalamnya juga terdapat pesan untuknya yang ditulis sebelum sang ibu memutuskan membuangnya di panti. Sakura mendapatkannya sebelum memutuskan untuk merantau ke Konoha. Sang Ibu panti memberikannya agenda ini, serta sebuah kalung yang ditemukannya bersama dengan sebuah amplop bertuliskan Sakura.

"Hanya ini yang ditinggalkan ibumu."

Sakura memandangi kalung berliontin kristal dengan bentuk lonjong. Jika diletakkan dibawah cahaya, liontin itu akan memunculkan warna pelangi yang sangat cantik. Sakura tersenyum, ia teringat tujuan awal dirinya datang ke Konoha, ia ingin mencari sang Ibu. Dari catatan yang ditinggalkan ibunya, Sakura mengetahui bahwa wanita itu berasal dari Konoha.

Sakura bukannya tidak bahagia tinggal bersama pria kaya raya itu. Hanya saja tujuan utamanya kemari adalah mencari ibu kandungnya. Tiga hari sudah berlalu. Segalanya berjalan lancar dan Sakura bersyukur dikelilingi orang-orang yang mendukungnya—kecuali Yamanaka itu memang. Wanita itu memang tak melakukan apa-apa di depannya, tapi ia tahu diam-diam musuh anehnya itu tengah mencari info tentang dirinya. Sakura sih cuek-cuek saja. Sasuke yang terus berusaha melindungi identitasnya. Ia tak ingin karir yang baru saja dimulai gadisnya hancur begitu saja hanya karena persoalan latar belakang.

Tanpa disadarinya, pria yang tengah tanpa sengaja melintas dalam benaknya itu mengawasinya dari belakang. Rupanya pria itu telah lama memperhatikan dirinya yang sendari tadi sibuk sendiri dengan barang-barang penuh kenangan peninggalan ibunya.

Sasuke tersenyum, kemudian mendekati tubuh gadis belia di hadapannya. Tangan kekarnya menelusup, menyentuh perut datar Sakura, membuat gadis itu tersentak dan buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam kotak, namun Sasuke mencegahnya. Sasuke merebut kalung berliontin kristal itu dari tangan Sakura, kemudian meperhatikannya—masih dengan mendekap gadisnya dari belakang.

"Dari mana kau dapatkan ini?" tanya Sasuke bingung. Ia sepertinya pernah melihat kalung serupa, tapi ia benar-benar tak mengingat milik siapa.

"Bukan urusanmu," jawab Sakura acuh sembari mengambil kembali kalung itu dan segera memasukkannya ke dalam kotak rahasianya.

Sasuke masih mengurungnya dalam lengan kokohnya, membuatnya terjepit antara dada bidang pria itu dan meja di hadapannya.

"Kau bisa bersikap begitu hangat saat bersama Kei. Dan sekarang kembali mengacuhkanku? Betapa teganya dirimu," tutur Sasuke dengan nada merajuk.

Sakura menghela nafasnya, kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Sasuke. pria itu memandangnya jenaka. Sasuke tersenyum, kemudian mendekatkan bibirnya ke wajah gadis yang kini mengerenyit curiga.

"Kau menolakku lagi?"

Sakura mendecih sebal mendengar pertanyaan menggelikan yang ditujukan padanya. "Apa aku berhak menolak? Sejak kapan aku punya hak untuk itu?" tanyanya sengit.

Sasuke tersenyum, kemudian tanpa aba-aba dikecupnya bibir gadis manis miliknya itu. Hanya kecupan singkat, Sasuke segera mengakhirinya sebelum Sakura sempat menikmati. "Akan kubuat kau menyerahkan diri dengan suka rela. Lihat saja nanti," bisiknya hangat. Membuat Sakura bergidik ngeri.

"Kalau begitu sebaiknya kau bersabar tuan muda."

Sasuke terkekeh ringan, kemudian mengacak rambut gadisnya gemas. "Aku sedang berusaha untuk itu," ucapnya sebelum berlalu.

"Mau kemana?"

"Pulang."

"Pulang?"

"Kau pikir aku manusia tanpa rumah?" tanya Sasuke setengah menyindir. "Kau menolakku, untuk apa aku tidur denganmu? Banyak wanita yang menungguku. Tidurlah!" ucapnya asal sebelum menutup pintu apartemennya.

"Dasar pria gila!" gumam Sakura kesal sebelum memutuskan kembali ke kamarnya. Ia lelah, dan pertempuran masih panjang. Sebaiknya ia menyiapkan diri. Karena sepertinya esok akan lebih sulit.

TBC

Prev next chap :

"Apa ada sesuatu antara Ayah dan bibi Sakura?"

.

.

"Bisa-bisanya kau membawanya di antara kita!"

.

.

"Kau pikir aku akan mundur?"

.

.

"Sakura...ada yang harus kau ketahui tentangnya."

.

.

"Jika ini tentang siapa orang tuaku, itu sama sekali bukan urusanmu!"

.

.

"Kau yakin tentang ini?"

"Aku tak pernah seyakin ini."

.

.

"Haruskah aku melawannya?"

Author's note :

Saya tahu saya berdosa. Saya tahu saya bersalah. Maafkan saya -_-

Thanks to :

Novrie TomatoCherry

MimiChu Achita

iya baka-san

iya baka-san

Retno UchiHaruno

Vania uchiharuno

YashiUchiHatake

uchiha-kun

kithara_

BlueHaruchi Uchiha

skyesphantom

Trancy Anafeloz

saya mohon

NenSaku

sakuraBELONGtoSASUKE

Aoi Ciel

Karasu Uchiha

Sindi 'Kucing Pink

WinterCerry

FairyLucyka

Kim Na Na

Baby Kim

Konoha Girls

and also

Nicke (I don't know how to spell your name girl!)

Juga buat semua yg udah fave, read, atau bahkan nagih saya di sana-sini. Maaf kalau belum bisa memuaskan kalian semua. Thanks for support me. Love you all : )