Koinobori

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Rate: T

Genre: Romance, Drama

Pair: MinaKushi


A/N: Karena Meiko dan Barbara sibuk, jadi telat publishnya. Gomen ya...

okay, sekedar note dari Barbara yang nulis chapter ini...

(cerita ini lebay) soo...

Don't like don't read!

Enjoy it, guys!


Chapter 3: Realization

Seumur hidupnya, Kushina Uzumaki tidak pernah merasa terhina sampai seperti itu.

Dicium secara tiba-tiba tanpa bisa menampar lelaki yang melakukannya.

Dia bisa saja melakukannya. Dia bisa saja menampar Minato karena melakukan hal itu. Dia bukan wanita lemah. Dia wanita yang super kuat. Dia tahu bahwa hanya dengan sekali tamparan dia bisa membuat lelaki mana pun terlempar. Dia tahu kalau hanya dengan sekali tendangan dia bisa membuat tulang rusuk seseorang retak. Dia bisa saja menendang Minato bahkan sebelum pemuda itu mendekatinya. Tapi kenapa dia tidak melakukan itu?

Karena kau terpaku pada dada telanjangnya, idiot! Suara batinnya bergema berkali-kali di dalam kepalanya.

Oke, dia tahu kalau pemandangan semalam membuatnya melongo. Bagaimana tidak? Minato Namikaze yang dia kenal adalah bocah kerempeng yang selalu bercucuran air mata setiap kali ditinggal begitu saja. Kenapa dia bisa terlihat macho seperti itu?

Dia akui kalau Minato sudah berubah. Dia bukan lagi bocah cengeng yang dikenalnya dulu. Fugaku Uchiha tetap sama. Selalu saja bersembunyi di balik punggung Minato setiap kali bertemu mata dengannya. Sedangkan Minato…

Ke mana perginya bocah itu?

Hanya ada satu hal yang tidak pernah berubah dari Minato. Lelaki itu masih saja menatapnya dengan tatapan berseri-seri. Si bocah Minato selalu mengekor di belakangnya, menatapnya seakan-akan dia adalah seorang dewi yang baru saja turun dari surga. Kushina tidak pernah keberatan dengan tatapan itu. Hanya saja, sering kali dia ingin mengubah sorot mata Minato. Dia ingin Minato menjadi lelaki yang punya sorot mata tajam yang bisa mengusir seseorang hanya dengan mendelik ke arah orang tersebut. Namun sepertinya sampai sekarang sorot mata Minato sama sekali tidak berubah.

Tenang, lembut. Dan selalu berseri-seri ketika melihatnya.

Kushina tahu kalau dulu dia pernah menginginkan Minato untuk menjadi seseorang yang bertato, dengan sorot mata yang garang. Di pemikirannya, lelaki macho itu adalah seseorang yang seperti itu. Namun, Minato yang sekarang bukanlah Minato yang dia bayangkan. Minato yang sekarang juga memang bukan Minato yang cengeng dulu, tapi pemuda itu masih memiliki senyuman tulus dan sorot mata yang sama dengan Minato Namikaze yang dia tahu. Entah mengapa, Kushina merasa lega dan nyaman akan kenyataan itu.

Tapi tetap saja…

Membiarkan dirinya dicium begitu saja oleh bocah yang lebih muda darinya…

"Awas saja kau, bocah," Kushina menggeram pelan. Kalau saja bukan demi Sarah, pasti dia sudah menghajar Minato karena dia berani menciumnya. Kushina sudah menghabiskan tujuh tahun di Amerika, dan dia sudah terbiasa akan keadaan di sana. Ciuman bukanlah masalah besar. Itu hanyalah hal normal di sana. Hanya saja, dia belum pernah berciuman. Perempuan biasa ingin memberikan ciuman pertama mereka pada seseorang yang seperti pangeran, namun Kushina bukan perempuan biasa. Dia tidak suka dengan lelaki yang bersosok pangeran seperti Minato. Tambahan lagi, Minato adalah bocah yang lebih muda tiga tahun darinya. Kushina melirik ke arah jam dinding. Sebentar lagi dia harus pergi ke kelas Minato untuk menggantikan guru olahraga. Kushina terdiam, memikirkan olahraga apa yang harus murid-murid lakukan.

"Sumo saja ya…" Kushina menganggukkan kepala, puas dengan pemikirannya sendiri. Dia ingin bertanding sumo dengan murid laki-laki. Sudah lama dia ingin melempar Minato dan Fugaku. Dia teringat masa lalu, di mana dia melempar Fugaku yang menolak untuk berenang di sungai yang penuh akan buaya. Secara tidak langsung Minato ikut terlempar ke dalam sungai karena Fugaku mencengkeram erat lengan kaus Minato. "Tapi bagaimana dengan murid perempuannya?" wanita itu mengerutkan kening. Dia tidak mau melempar anak perempuan. Kerutan di kening Kushina semakin mendalam. Dia tahu kalau dia ingin membalas Minato dan menghapus cengiran lebar di wajahnya itu. Tapi bagaimana? "Kegiatan olahraga yang bisa melibatkan anak perempuan, namun sekaligus membalas Minato? Apa ya, dattebane?" Kushina menggaruk kepalanya. "Mmm…. Mungkin…"

.

.

.

.

.

"Lari? Kau yakin, sensei?" Minato Namikaze tidak bisa menghapus cengiran lebar di wajahnya. Sebaliknya, cengiran itu bertambah lebar ketika melihat raut wajah Kushina yang penuh akan percaya diri.

"Tentu. Kapan aku pernah tidak yakin, dattebane!" Dia dengan sengaja mendelik sesaat ke arah pemuda itu.

"Biasanya kau akan menyuruh kami melakukan sesuatu yang… extraordinary?" Minato tertawa sesaat.

"Sekali-kali lari saja. Normal." Kushina mendengus ketika melihat raut wajah Fugaku. Fugaku terlihat sangat lega. Ini kelima kalinya pemuda berambut raven itu menggumamkan kalimat 'arigatou, kami-sama!'.

"Soalnya kukira seseorang mau mengadakan pertandingan sumo," Minato dengan santai bergumam, membuat wajah Kushina langsung terbakar.

Kenapa Minato langsung tahu apa yang ada di pikirannya?

Fugaku langsung mendelik ke arah Minato. "Kencanku dengan Mikoto besok tahu. Aku tidak bisa diopname hari ini kan?" Dia mendesis pelan, sehingga Kushina sama sekali tidak mendengarnya. Minato hanya meringis, melemparkan tatapan minta maaf ke arah sahabatnya itu. Kushina langsung mengabaikan dua teman (bawahan) masa kecilnya itu. Dia mulai menghitung jumlah murid, memisahkan mereka dalam beberapa grup.

"Sensei, apa olahraga kita hari ini?" tanya seorang murid perempuan.

"Lari," jawab Kushina sambil menyeringai. Dalam sekejap, sekumpulan anak perempuan langsung mengeluh.

"Aku benci lari!"

"Make up-ku akan luntur!"

"Ganti saja, sensei! Berenang saja!" Salah satu usul itu membawa sorakan girang dari grup murid laki-laki. Kushina menggertakkan gigi sesaat, menahan emosi yang datang secara tiba-tiba.

"Apa susahnya dengan lari, hah? Lari itu menyehatkan!"

"Begitu juga dengan berenang, sensei!" Salah satu murid laki-laki menyeringai.

"Tidak bisa. Berenang tanpa buaya itu tidak menyehatkan." Kushina mendengus, membuat sekelompok murid melongo seketika.

Buaya?

"Cukup, kita akan lari hari ini." Fugaku langsung menyela. Dia tidak mau membayangkan Kushina yang membawa buaya masuk ke dalam kolam berenang. Wanita nekad itu bisa melakukan apa saja.

Minato masih tersenyum ketika dia menganggukkan kepala. "Sensei, silahkan lanjutkan." Dengan sengaja dia mengucapkan kalimat itu dengan penuh nada hormat. Kushina mendengus, namun diam-diam dia terkejut ketika melihat seluruh murid di kelas ini langsung hening dan memperhatikannya. Tidak salah Minato dan Fugaku menjadi ketua kelas dan wakil. Mereka bisa mengontrol teman-teman mereka dalam waktu singkat.

"Kita akan lari, lebih tepatnya lagi estafet." Kushina meringis ketika dia mengeluarkan beberapa tongkat besi pendek. "Jumlah murid di kelas kalian 35 'kan? Pisahkan jadi 9 grup saja! Masing-masing grup beranggota empat orang! Aku akan masuk ke grup yang tersisa!" Sebelum murid-murid sempat memilih anggota tim mereka, Kushina cepat-cepat berseru. "Dua cewek dan dua cowok, oke!"

Baik murid perempuan mau pun lelaki menginginkan Minato atau Fugaku di grup mereka. Kushina hanya bisa mengangkat alisnya, tidak mengerti mengapa mereka menginginkan dua bocah yang tidak pernah bisa menang lomba lari dengan anjing liar itu. Kushina langsung masuk ke grup yang hanya berangotakan 3 orang. Dua orang murid dari tim-nya langsung memasang posisi di pojok lapangan, sedangkan Kushina mengikat tali sepatunya, melirik ke arah murid-murid yang akan berlari seiring dengannya. Dia mengenal beberapa murid, namun matanya terpaku pada Minato yang berdiri di sisi kanannya dan Fugaku di sisi kirinya. Kushina tidak bisa menahan cengirannya. Sudah lama dia merindukan saat-saat seperti ini. Dia ingin tahu secepat apa kedua 'murid'-nya itu bisa berlari.

"Oke! Ketika aku meniup peluit ini, game akan dimulai!" Kushina berseru dengan semangat. "Siap…"

.

.

.

.

.

"Nee-chan? Kenapa wajahmu kusam seperti itu?" Sarah bertanya dengan polos. Gadis mungil itu meraih handuk dan mengusap rambutnya yang masih basah.

"Karena seseorang mengalahkannya dalam pertandingan estafet tadi, Sarah." Minato Namikaze mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Sarah langsung duduk di pangkuan kakaknya, membiarkan pemuda itu mengeringkan rambutnya yang panjang.

"Aku tidak kalah." Kushina langsung memotong. "Tongkat yang kupegang terpeleset sehingga aku harus lari kembali untuk mengambilnya!" Memang, dalam pertandingan estafet, unsur kemenangan bukan hanya dikuasai oleh kecepatan, tetapi kerja sama juga. Tapi tetap saja dia tersentak ketika melihat Minato yang berlari dengan kecepatan yang sama dengannya.

Tidak. Mungkin lebih cepat.

Tubuh Kushina ringan, dia bisa berlari dengan sangat cepat. Tapi dia masih tidak menyangka kalau Minato bisa menyamai kecepatannya. Lari Fugaku juga cepat, meski tidak secepat mereka berdua. Diam-diam Kushina tersenyum, entah mengapa merasa senang kalau kedua 'murid'-nya bisa berlari lebih cepat dari anjing liar sekarang. "Ckck, waktu itu memang berlalu dengan sangat cepat." Dia menganggukkan kepalanya sambil mengusap dagu.

"Kau terlihat seperti nenek tua yang menyesali hidupnya saja." Minato meringis, membuat Kushina langsung melotot. Wanita berambut merah itu tiba-tiba teringat akan rencananya dalam membalas Minato. Dia langsung berdecak pelan, kesal karena ide itu hancur. Jujur, dia melupakan ide itu ketika pertandingan estafet sudah dimulai. Dia langsung menikmati pertandingan itu, berteriak ke sana kemari, menyemangati murid-murid yang terlihat kelelahan. Ketika wanita itu ingin membuat rencana lain dalam membalas Minato, mata violetnya terpaku pada Sarah yang sekarang sedang menceritakan sesuatu pada Minato.

"Lalu, lalu Desi-chan tertawa ketika aku melakukan ini!" Gadis itu menempelkan kedua tangan di pipinya, memanyunkan bibirnya sambil memejamkan mata. Minato tertawa melihat wajah lucu yang dibuat adiknya. Sarah meringis, mengecup pipi Minato sambil cekikikan. Senyum Minato melebar, dia menundukkan kepala, membisikkan sesuatu pada gadis mungil itu. Wajah Sarah langsung berseri-seri. Dia menganggukkan kepala berkali-kali sebelum menempelkan wajahnya di lekukan leher Minato.

Dan… begitu saja.

Rencana yang dibuat Kushina langsung menghilang begitu saja.

Dia tahu kalau dia ingin membalas bocah yang merebut ciuman pertamanya. Kushina ingin memberi pelajaran pada bocah itu sehingga dia tahu di mana tempatnya. Dia ingin memberi jarak pada dirinya dan Minato. Ingin mengingatkan Minato kalau dia adalah gurunya. Ingin mengingatkan Minato kalau baginya Minato itu hanyalah bocah. Tidak lebih. Tapi, semua rencana itu hilang ketika dia melihat sorot mata Minato. Dia tidak terlihat seperti bocah tujuh belas tahun. Dia tidak terlihat lebih muda. Minato terlihat sangat dewasa. Bahkan lebih dewasa dari dirinya. Kushina sadar kalau Minato sama sekali berbeda dengan anak-anak tujuh belas tahun yang selama ini dikenalnya.

Minato tidak membawa-bawa majalah porno di kelas.

Minato tidak pernah melirik ke arah gadis-gadis seperti yang dilakukan teman-teman sekelasnya.

Minato tidak berkeliaran keluar setelah pelajaran selesai. Dia menolak ajakan teman-temannya untuk pergi ke game centre.

Dia langsung pergi, menjemput Sarah yang menunggunya di gerbang SD.

Sarah bisa pulang sendiri. Kushina tahu itu. Tapi Minato selalu bersikeras untuk menjemput adiknya. Dia tidak seperti anak-anak lain yang selalu mengeluh setiap kali orang tua mereka menyuruh mereka untuk menjemput adik mereka. Dia tidak seperti anak-anak lain yang mengejek-ejek adik mereka sendiri di depan teman-temannya.

Minato berbeda.

Dia tidak seperti bocah tujuh belas tahun yang pernah dikenalnya.

Minato Namikaze yang ada di depannya ini bukan hanya dewasa dalam hal fisik, tetapi juga dalam hal lainnya. Tangannya yang melingkar di pinggang Sarah terlihat kokoh. Sorot matanya lembut, namun tegas. Semua tindakan yang dilakukan Minato terhadap Sarah selalu menuju ke kalimat 'aku akan selalu melindungimu.'

Minato selalu mengira kalau Kushina menginginkan seseorang yang macho, berotot, dan kekar. Sejak dulu, Kushina selalu mengatakan hal seperti itu di depan Fugaku dan Minato. Tapi, lelaki yang sebenarnya diinginkan Kushina adalah lelaki yang bisa melindungi orang lain. Yang bisa membuat orang lain merasa aman, yang bisa membuat dirinya merasa aman. Kushina kuat. Dia tahu akan hal itu. Dia tidak pernah menginginkan perlindungan lelaki. Dia tidak seperti teman-teman-nya di Amerika sana, yang menginginkan lelaki yang seperti pangeran. Kushina menginginkan lelaki yang bisa membuatnya merasa aman, membuatnya merasa tenang.

"Naa-chan?" Kushina langsung tersentak. Matanya bertemu dengan mata biru Minato. "Ada apa?" Tangannya berhenti mengusap rambut Sarah dengan handuk. Dia mengerutkan kening, bingung. Kushina sejak tadi terdiam, menatap ke arahnya dan Sarah.

"Mungkin nee-chan ngantuk…" Di saat bersamaan, Sarah menguap. Gadis itu cepat-cepat membekap mulutnya, rona merah menghiasi kedua pipinya. Minato tidak bisa menahan senyum ketika melihat Sarah.

"Siapa yang mengantuk? Sarah atau Naa-chan?" Minato terkekeh ketika melihat wajah adiknya semakin memerah. Kushina tidak bisa menahan tawanya. "Kushina."

Kushina tersentak ketika Minato memanggilnya dengan nama depan. Keningnya berkerut sesaat, tidak terbiasa dengan hal tersebut. "Kau tidur di kamar tamu. Tidak apa-apa?" tanya Minato.

"Tentu."

"Nee-chan tidur denganku saja!" Sarah tiba-tiba melompat dari pangkuan Minato dan meraih tangan Kushina. Wanita berambut merah itu terpaku sesaat.

"Sarah, Kushina kan tamu. Dia butuh kebebasan, dan kamar sendiri." Minato cepat-cepat memotong.

"Ranjangku lebar." Sarah bersikeras. "Tidak apa-apa, kan? Nee-chan?" Dia menoleh ke arah Kushina, menatapnya dengan sepasang mata safir yang bundar.

Kushina bisa merasakan hatinya yang langsung meleleh.

"Tentu sa-"

"Tidak. Sarah." Minato mulai terlihat gusar.

"Kenapa?" Sarah memanyunkan bibirnya yang mulai bergetar. "Aku tidak mau tidur sendirian di ranjang yang lebar itu…"

"Aku akan menemanimu." Minato berjanji.

"Tapi kau sedang membuat proyek, penting untuk kelulusanmu."

"Pokoknya tidak boleh tidur bersama Kushina." Minato masih bersikeras.

"Heh, pirang!" Kushina menggeram ketika melihat mata Sarah yang mulai berkaca-kaca. Gadis itu cepat-cepat meraih tubuhnya. "Kenapa tidak boleh?"

"Kushina…" Minato memejamkan mata, merancang kalimat di dalam kepalanya. "Kau ingat ketika kita bertiga tidur bersama dulu?"

Kushina mengerutkan kening. "Tentu saja! Lalu? Apa hubungannya…"

"Apa yang terjadi denganku dan Fugaku keesokan harinya?" Minato memotong.

"Apa yang terjadi? Kalian berdua…" Ucapannya terhenti. "Kehilangan gigi depan karena aku..." Dia tidak bisa menghentikan kalimatnya. Dia langsung melirik ke arah Sarah yang menatapnya dengan penuh harapan. "Maaf, sweetheart, aku tidak bisa tidur bersamamu." Dengan penuh rasa bersalah, Kushina menunduk dan mengecup kening Sarah.

"Kenapa?"

"Tidurku nakal. Aku suka bergerak kesana-kemari."

"Aku juga." Sarah memotong.

"Begini saja," Kushina tersenyum lebar. "Aku akan menemanimu sampai kau tertidur. Dan aku berjanji akan ada di sisimu ketika matamu terbuka."

Sarah terdiam sesaat, tidak puas akan ucapan itu. Namun, ketika melihat raut wajah Kushina yang bersungguh-sungguh dia langsung mengangguk. "Nii-chan jahat!" Sarah menjulurkan lidahnya sebelum dia berlari masuk ke dalam kamar. Minato menghela napas dan langsung terduduk di sofa. Kushina terdiam ketika melihat wajah Minato yang terlihat lelah.

"Sepertinya tinggal di sini adalah ide yang buruk…" Kushina bergumam.

Minato langsung tersentak. "Tidak! Tidak! Sungguh, Kushina. Kami berdua senang karena kau mau tinggal di sini."

Kushina terdiam sesaat. "Kenapa… Aku tahu kalau aku menyayangi Sarah. Dia gadis yang manis. Tapi kenapa dia langsung menyukaiku sampai seperti itu?"

"Dia kesepian…" ucapannya terhenti. "Kau memang tidak sadar… tapi dia pernah bilang padaku kalau dia suka dengan senyumanmu…"

"Senyumanku?" Kushina melongo, membuat Minato tertawa seketika.

"Jangan meremehkan senyumanmu sendiri, Kushina. Aku saja berani jamin kalau semua cowok akan mengincarmu kalau kau tersenyum seperti itu di depan mereka."

"Memangnya senyumanku seperti apa?" Kushina tidak bisa menahan rona merah yang sekarang mengiasi wajahnya.

"Tidak terlukiskan," Minato tersenyum lebar, membuat wajah Kushina memanas.

"Gombal."

"Sungguh! Aku tidak bohong!" Minato tertawa. "Kau berhasil menarik hati Sarah hanya dengan tersenyum di depannya." Kushina mendengus pelan sebelum dia beranjak dari kursi.

"Sebaiknya aku mengejar Sarah. Aku tidak ingin dia membencimu hanya karena hal ini. Lagipula aku yang salah. Kau hanya ingin melindunginya."

"Kau tidak salah." Minato kembali menjawab. Kushina melontarkan senyuman kaku sebelum masuk ke dalam kamar Sarah. "Good night, Kushina."

Kushina tidak bisa menjawab langsung. Reaksi pertamanya adalah terpaku sesaat ketika melihat senyuman Minato. "G-good night." Dia cepat-cepat menjawab sebelum Minato bisa melihat rona merah di wajahnya. Kushina menarik napas dalam-dalam ketika dia memasuki ruangan yang gelap gulita itu. Dia melirik sekeliling ruangan, dan dalam waktu singkat, matanya sudah terbiasa akan kegelapan ini. Matanya menangkap beberapa sosok boneka beruang di sekeliling kamar ini. "Hei…" Kushina berbisik pelan ke arah buntalan di tengah ranjang. Dia tahu kalau buntalan itu adalah Sarah yang sedang meringkuk di balik selimut. "Boleh aku duduk di sini?"

Di detik kemudian, Sarah menyibakkan selimut dari tubuhnya. Dia membentangkan lengannya sambil beranjak. "Kenapa nii-chan tidak mengijinkan Kushina nee-chan tidur bersamaku?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Kushina memeluk Sarah sesaat sebelum dia membaringkan Sarah. "Aku benci ranjang ini." Sarah bergumam tiba-tiba. "Aku benci kamar ini."

"Kenapa?"

"Ranjang ini terlalu luas…" Sarah menepuk ranjang queen-size itu. "Mama… biasanya akan tidur di sisiku, memelukku sebelum aku tertidur…" Suara Sarah semakin memelan. "Tapi… dia meninggalkanku sendirian sekarang…"

Kushina terdiam, teringat akan orang tua Minato yang selalu sibuk untuk mengurusi anak-anaknya. Dulu, Minato mengatakan hal yang sama pada Kushina. Mengatakan betapa kesepian dirinya. Mengatakan betapa dia merindukan kedua orang tuanya yang selalu bekerja di luar negeri. Meski sekarang Minato terlihat dewasa dan mandiri, Kushina yakin bahwa Minato masih Minato yang dulu, merindukan sosok orang tua.

Kushina memeluk Sarah semakin erat. "Ada aku di sini, kan? Aku tidak akan membiarkanmu kesepian."

"Sungguh?"

"Aku janji." Kushina mengecup kening Sarah.

"Nii-chan juga?"

Kushina terpaku sesaat.

"Nii-chan juga kesepian… Dia selalu mengingaukan nama nee-chan di tidurnya." Kedua belah mata Sarah nyaris tertutup. Suara gadis itu semakin melemah. "Jangan tinggalkan nii-chan lagi? Aku tidak mau nii-chan kesepian…"

Kushina tidak menjawab. Tangannya sibuk membelai rambut kecoklatan Sarah. Gadis itu langsung terlelap, meremas tangan Kushina yang satu lagi. Kushina tidak pernah membayangkan kalau Minato bisa merasa kesepian dengan kepergiannya. Wanita itu menggigit bibir, mengingat sosok Minato yang berlari mengejarnya, menangis karena dia meninggalkan bocah itu.

"Apa boleh buat," Kushina berbisik pelan. "Aku harus meninggalkan mereka semua."

Tangannya masih mengusap rambut Sarah. Matanya terpaku pada wajah tidur gadis itu.

Ya. Dia harus meninggalkan gadis ini juga. Dia harus meninggalkan Minato lagi.

Sebelum mereka terlibat dalam kehidupannya.


A/N: Okeee... Sekian dulu! Chapter berikutnya Meiko!

REVIEW PLEASE!

Habanero Yellow Flash