Barbara123: okee... sori banget bagi semua pembaca yng udah nunggu buat fiction dari akun ini...

sori ya baru bisa update skrang. Yah... selain sibuk dan semacemnya, aku sama Meiko lagi menunggu buat perfect moment :D

dan ultah-nya Minato cukup perfect buat publish crita pertama

okee... enjoy ya! :D

Kim D. Meiko: Hai semua! Sori lama, dan ini fiction yang ditunggu-tunggu. Chapter 1 ini ditulis oleh Barbara, dan chapter 2 nanti Meiko yang akan tulis. Enjoy! :)

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: OOC, typos, OC, alur cepat (karena Barbara yg nulis). Dont Like dont read!


CHAPTER 1

.

.

.

.

.

"Naa-chan! Jangan tinggalkan aku, Naa-chan!"

Seorang bocah lelaki yang berusia sepuluh tahun berlari sekencang yang dia bisa. Tangannya menggapai-gapai, mencoba untuk menangkap sosok gadis tiga belas tahun yang berjalan di depannya. "Naa-chan!" Bocah berambut pirang tersebut pada akhirnya berhasil meraih tangan sang gadis, membuat langkah gadis itu berhenti. "Jangan pergi!" Kedua bola matanya yang berwarna biru cerah tersebut berlinang-linang. Tangannya mencengkeram tangan gadis yang dipanggil 'Naa-chan' tersebut.

"Minato, sudah berapa kali kubilang kalau lelaki tidak boleh cengeng?" Gadis berambut hitam pendek tersebut mengusap rambut pirang Minato Namikaze. Matanya yang bundar menatap Minato dalam-dalam.

'T-tapi kenapa kau harus pergi? Bawa aku!" Minato, bocah sepuluh tahun itu tidak bisa menahan air matanya lagi.

"Minato… aku…" ucapan sang gadis terhenti.

"Naa-chan?"

Perlahan-lahan, sosok sang gadis menghilang. "Naa-chan? Kau mau bilang apa tadi? Naa-chan!"

.

.

.

.

.

"Naa-chan, oh, Naa-chan…"

Minato Namikaze mengerutkan keningnya ketika dia mendengar nama tersebut dari kedua belah bibir adik perempuannya. "Kau… dengar nama itu dari mana?" Pemuda berambut pirang tersebut menatap ke arah Sarah Namikaze dengan rona merah di wajahnya.

"Nii-san mengigau di dalam mimpi, masa tidak sadar?" Gadis yang berusia sepuluh tahun tersebut cekikikan. Minato Namikaze memutar bola matanya. Dia mengerti mengapa adik perempuannya ini menganggap hal tersebut konyol. Bahkan, dia sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa memimpikan hal tersebut. Kejadian itu sudah berlalu tujuh tahun yang lalu, namun entah mengapa kejadian tersebut masih segar di kepalanya, seakan-akan baru terjadi beberapa hari yang lalu. Pemuda yang sudah menginjak usia tujuh belas tahun tersebut beranjak dari tempat duduknya.

"Naa-chan siapa?" tanya Sarah tiba-tiba.

"Kau tidak mengenalnya… Dia tinggal di rumah sebelah tujuh tahun lalu. Pada waktu itu umurmu masih tiga tahun." Minato mengunyah roti panggangnya. Dia sudah tidak terlalu mengingat wajah teman sepermainan yang lebih tua tiga tahun darinya itu. Dia hanya bisa mengingat kalau rambutnya berwarna hitam kelam dan matanya berwarna…

"Tapi nii-san lebih sayang pada Sarah kan?" Gadis berambut cokelat tersebut beranjak dari bangkunya dan duduk di pangkuan Minato. Matanya yang sewarna dengan Minato berbinar-binar. Mau tidak mau, Minato hanya bisa tertawa menatap adiknya yang manja ini. Sambil mengangguk, Minato mengecup kening adiknya.

"Tentu saja. Sarah, aku pergi ke sekolah dulu. Kau baik-baik di rumah, oke?" Minato beranjak dan meraih tasnya.

"Nii-san mau ke sekolah? Cepat sekali!" Sarah ikut beranjak. Dia tidak ingin keluarga satu-satunya ini meninggalkannya. "Aku ikut!"

Minato menoleh ke belakang dan sambil tersenyum lembut, dia mengusap kepala Sarah. "Tidak bisa. Hari ini 'kan tanggal 5 Mei, hari anak-anak." Minato tersenyum. "Nikmati saja hari liburmu di rumah ya? Nanti pulang akan kubelikan kue berbentuk koinobori." Minato menyeringai. Mendengar bujukan kakaknya, mau tak mau Sarah tersenyum juga.

Di dalam perjalanan menuju sekolah, Minato terdiam. Dia teringat akan masa lalunya. Naa-chan meninggalkannya di hari yang sama tujuh tahun lalu. Jujur saja, dia sangat benci hari anak-anak. Dia selalu memimpikan kejadian itu di hari anak-anak, di mana Naa-chan meninggalkannya seorang diri tanpa alasan yang jelas. Sebelum pergi, gadis tersebut memberikan gantungan kunci koinobori kepadanya. Minato meraih ponselnya, di mana sebuah boneka mungil koinobori berwarna merah bergantung di sana.

"Kau di mana..." Minato menatap gantungan tersebut dengan tatapan kosong. "… Naa-chan…"

.

.

.

.

.

"Nama lengkap Naa-chan?"

Fugaku Uchiha menatap Minato seakan-akan sahabatnya tersebut sudah gila. Pemuda berambut raven tersebut duduk di sebelah Minato. Dia memegang buku pelajaran dan di mejanya berserakan akan beberapa amplop yang menurut Minato adalah surat cinta. "Kau sudah gila? Atau sinting?"

Minato mengerutkan kening mendengar pertanyaan tersebut. "Apa perbedaan antara gila dan sinting? Aku masih waras, Fugaku." Minato mendengus, ikut membersihkan mejanya dari kumpulan surat cinta yang tidak kalah banyak dari milik Fugaku. "Apa salahnya kalau aku bertanya tentang teman sepermainan kita?"

"Bukan teman sepermainan kita, tapi teman sepermainanmu." Fugaku menjawab dengan dingin. "Selain itu, kau tahu kalau dia tidak pernah memberi tahu kita nama lengkapnya. Dia itu super misterius." Mata onyx Fugaku tertuju pada gantungan di ponsel Minato. Diam-diam, pemuda tersebut menghela napas. "Dan bisa-bisanya kau menyukai dia sampai sekarang."

Nyaris saja Minato terjatuh dari kursinya.

"A-a-aku tidak men-menyukainya!" Minato yang dikenal karena keahliannya dalam berpidato itu mulai tergagap. Wajahnya menjadi merah padam dalam sekejab. Fugaku hanya bisa menghela napas.

"Aku lupa nama aslinya. Jangan bawa-bawa nama dia lagi." Fugaku menundukkan kepala. Entah kenapa, bulu kuduknya selalu merinding ketika mengingat gadis tersebut. Seumur hidupnya, Fugaku tidak pernah takut akan apa pun, namun entah mengapa ketika mengingat Naa-chan keringat dinginnya mulai muncul.

"Kau lupa? Berarti kau tahu nama aslinya!" Minato sama sekali tidak sadar bahwa dia sudah menggoncangkan bahu Fugaku. "Ayo, ingat-ingat Fugaku!"

"Tidak mau." Jawab Fugaku tanpa banyak pikir. "Lagipula sebentar lagi pelajaran akan dimu…"

"Dua tiket konser untuk pertunjukan band Oro-Orochi yang berarti kencan bersama Mikoto."

"Kalau tidak salah nama keluarganya Uzumaki." Jawab Fugaku langsung. Dia mengulurkan tangannya dan Minato meringis, menyerahkan dua tiket konser yang setengah mati didapatnya itu.

"Nama depannya?" desak Minato lagi.

"Lupa."

"Kubantu untuk memilihkan pakaian yang cocok untuk kencan."

"Kalau tidak salah nama depannya dimulai dengan inisial 'K'."

Minato menyipitkan matanya. Dia tidak menyangka kalau sahabatnya selicik ini. Minato maklum kalau Fugaku lupa akan nama asli Naa-chan, tapi ketika dia menyebutkan nama Mikoto, otak Fugaku langsung berubah menjadi otak komputer.

"Setelah 'K' apa?" Minato kembali mendesak, namun sebelum Fugaku sempat menjawab, pintu kelas mulai terbuka. Minato sama sekali tidak mempedulikan hiruk piruk yang muncul tiba-tiba. Pemuda tersebut sibuk menggoncang lengan Fugaku. "Hei! Sehabis huruf 'K' apa?"

"Aku lupa!" Fugaku menepis tangan Minato dengan kesal. "Lagipula pelajaran sudah dimulai!"

"Kalau begitu satu pertanyaan lagi," Minato mengancungkan jarinya. "Apa warna mata Naa-chan?" Setiap kali Minato memimpikan Naa-chan, dia selalu berhenti pada scene di mana gadis itu menatapnya dalam-dalam.

Lagi-lagi Fugaku menatap Minato seakan-akan pemuda itu sudah gila. "Kalau itu aku ingat. Warna matanya sangat… mencolok." Fugaku bergidik. Minato hanya bisa tertegun melihat sahabatnya tersebut bergidik. Ada satu pertanyaan yang sejak dulu bersarang di kepala Minato. Dia tidak tahu mengapa Fugaku sangat takut pada Naa-chan. Setahunya, Naa-chan adalah gadis manis, yang selalu mengusap kepalanya setiap kali dia merasa kesepian.

"Warna apa?" desak Minato.

"Warna vio…"

Tiba-tiba, sesuatu melesat dengan sangat cepat di antara Minato dan Fugaku. Kedua pemuda itu terpaku ketika melihat bekas kapur di wajah mereka masing-masing. Dalam sekejab, kelas tersebut menjadi sunyi dan semua mata tertuju pada Minato dan Fugaku yang duduk di pojok kelas.

"Tadi itu…" Minato terbungkam, menatap ujung pipi Fugaku yang berwarna putih.

"… kapur?" Fugaku menatap ke belakang, di mana dia menatap serpihan kapur yang hancur berantakan karena membentur tembok.

"Alright, guys! Can I have your attention?" Suara melengking seorang wanita membuyarkan lamunan Minato dan Fugaku.

"Ini pelajaran bahasa Ingris kan?" desis Minato. "Di mana Sarutobi-sensei?"

"Oh ya, kabarnya karena dia sering sakit punggung, jadi dia digantikan oleh guru baru yang masih segar dan muda." Chouza Akimichi, pemuda gembul yang duduk di depan Minato menjawab.

"I'm your new English teacher. My name is…" Guru pengganti tersebut membelakangi murid-murid, dan mulai menulis sesuatu di papan tulis.

"Hei, Fugaku!" Minato kembali mendesis. "Tadi itu… dia yang melempar kapur?" Minato menunjuk ke arah sang guru baru.

Fugaku sama sekali tidak menjawab, namun wajahnya mulai pucat pasi tanpa dia kehendaki. "Aku… pernah mendengar suara guru itu sebelumnya…" Fugaku menggelengkan kepala, tidak mempercayai ucapannya sendiri. "Oh ya, tadi aku mau bilang kalau warna mata Naa-chan itu violet."

"Ohh… warna yang bagus," Minato tersenyum lebar.

"… and… done! Here we go!" Guru tersebut memutar tubuhnya dan menghadap para murid. "Alright, this is my name!" Wanita yang sempat membuat para murid terpana karena kecantikannya itu menunjuk ke arah papan tulis.

Minato tersentak ketika melihat guru baru tersebut. Dia mengenakan blus berwarna putih dengan rok hitam selutut. Minato tahu bahwa itu adalah seragam yang harus dikenakan semua guru di Konoha High School ini. Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa bertemu dengan seorang wanita yang terlihat bagus dengan pakaian kuno tersebut. Warna rambut sang guru sangatlah mencolok, merah terang. Selain itu, warna mata sang guru membuatnya tersentak.

"Fugaku, warna matanya sama seperti warna mata Naa-chan," Minato berbisik. Dia menunggu jawaban dari Fugaku namun sahabatnya tersebut sama sekali tidak bersuara. "Fugaku? Kenapa? Lidahmu digigit kucing?" Minato meringis.

"Bu-bukan hanya matanya…" Wajah Fugaku pucat pasi. "Namanya juga…"

Minato mengerutkan kening. Dia tidak bisa melihat nama sang guru yang tertutup oleh punggung Choza. Setelah menggeser tempat duduknya, Minato bisa membaca nama lengkap sang guru.

"Uzumaki… Kushi… na?"

"Uzumaki-sensei! Kau cantik sekali! Mau jadi pacarku?" Tiba-tiba salah satu teman sekelas Minato menjerit. Jeritan tersebut diikuti oleh jeritan-jeritan lainnya. Memang, majoritas murid di kelas Minato adalah murid lelaki semua. Mereka mulai menggoda Kushina Uzumaki, guru muda yang cantik dan terlihat rapuh.

"Masa dia itu Naa-chan?" Minato menatap sang guru dengan mata terbelalak. Memang, warna mata mereka sama, namun Minato ingat jelas kalau rambut Naa-chan berwarna hitam. "Fugaku! Coba kau perhatikan dia betul-bet…" Minato menaikkan sebelah alis ketika menatap wajah Fugaku yang sudah sepucat mayat.

"Minato… a-aku benar-benar tidak tahu kenapa kau bisa menyukai Naa-chan…" suara Fugaku bergetar hebat. "Naa-chan… kau ingat apa julukan Naa-chan di sekolahnya dulu? Sebelum dia pindah ke Amerika?"

"Tidak. Dia punya julukan?" tanya Minato, bingung. Fugaku hanya bisa menatap Minato dengan mata terbelalak.

"Jangan-jangan… karena Naa-chan melemparmu dari atas bukit, kau kehilangan ingatanmu akan Naa-chan?"

Minato melongo. "Naa-chan melemparku dari atas bukit? Kau bercanda! Dia itu gadis yang lembut! Bagaimana mungkin dia bisa…"

"SHUT THE HELL UP!"

Bersamaan dengan jeritan Uzumaki Kushina, meja guru yang terletak di depan kelas hancur berkeping-keping. Minato dan seluruh murid di dalam kelas (kecuali Fugaku) hanya bisa melongo. "Siapa yang mau pacaran dengan brats like you, hah!" Guru berambut merah tersebut mendengus. "Kalian semua masih terlalu cepat seratus tahun kalau mau pacaran denganku!"

Bocah sepertimu masih terlalu cepat seratus tahun kalau mau menyatakan cinta padaku.

"Hah?" Minato memejamkan matanya erat-erat. Dia tidak tahu suara tersebut datang dari mana.

"Minato, akan kukatakan ini sekali saja." Wajah Fugaku semakin pucat. "Kushina Uzumaki, cewek yang dulu selalu bermain dengan kita itu adalah gengster dengan julukan Bloody Red Habanero. Dia dijuluki nama tersebut karena rambut merahnya yang bergerai setiap kali dia membantai seseorang."

Seiring dengan ucapan Fugaku, sosok Naa-chan yang tersenyum manis di kepala Minato langsung digantikan oleh gambar seorang gadis berjubah putih bertulisan 'Habanero' yang selalu menyandang tongkat kayu di punggungnya.

"Suatu hari, dia membantai gerombolan gengster seorang diri ketika umurnya hanya tiga belas tahun dan nyaris membuat para gengster yang jauh lebih tua darinya tersebut tewas. Ini menjadi kasus polisi. Tidak ada yang tahu bahwa dia yang membantai para gengster itu, namun saksi mata mengatakan kalau mereka melihat gadis berambut merah di lokasi kejadian."

"Jadi, Naa-chan terpaksa memotong rambut merahnya yang panjang dan mengecat rambutnya menjadi hitam supaya tidak mencurigakan. Namun, karena masalah keluarga, dia harus pergi ke Amerika dan sebelum pergi dia bermain untuk terakhir kalinya bersama kita." Fugaku mulai bergidik ketakutan ketika mengingat masa lalunya.

Minato hanya bisa terpaku. Ucapan Fugaku, sekaligus karena menyaksikan sifat asli Kushina Uzumaki, ingatan Minato seakan-akan kembali.

"Kita berdua harus bisa sampai ke puncak bukit dalam waktu satu jam saja… Dia sama sekali tidak peduli dengan fakta kalau kita masih berusia sepuluh tahun pada waktu itu…" Fugaku meneguk ludah "Naa-chan selalu bilang… 'Sebagai laki-kali kalian harus kuat. Jika kalian berdua berani menangis atau merengek maka hukumannya adalah…'"

"… tinjuan maut Bloody Red Habanero." Minato meneruskan ucapan Fugaku. Tentu saja. Bagaimana dia bisa lupa? Dia tidak bisa mengingat apa-apa tujuh lalu. Dia hanya bisa ingat kalau dia terbangun dengan luka berat di tubuh dan dia tiba-tiba mengejar Naa-chan, memohon untuk tidak meninggalkannya sendiri. Dia masih ingat dengan jelas. Dia tidak lupa akan masa lalunya dengan Naa-chan karena jatuh dari bukit, tapi karena ucapan Naa-chan.

.

.

.

"Naa-chan, bawa aku bersamamu!" Minato yang dipenuhi luka merengek, menarik tangan gadis bermata violet yang berada di depannya.

"Kau bicara apa, Minato!" Fugaku, bocah sepuluh tahun yang turut menjadi korban keganasan Kushina, mencoba untuk menarik sahabatnya ke alam nyata. "Biarkan dia pergi!" Bocah Uchiha tersebut mendesis. Namun, Minato menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu kalau kita selalu terluka karena latihan yang diberikan Naa-chan! Tapi aku merasa semakin kuat karena semua latihan itu!" Air mata Minato mengalir semakin deras. Diam-diam, Fugaku terpaku. Kuat dari mana? Air matanya mengalir seperti keran bocor saja… "Aku… aku menyukaimu, Naa-chan!" Minato berseru kencang. "Kau selalu menemaniku kalau aku kesepian! Kau mengajariku cara berenang! Kau juga mengajariku karate! Kau juga…"

"Minato," Kushina mengusap rambut Minato. Gadis tersebut tersenyum lembut. "Kau tahu… Aku belum pernah mengatakan hal ini padamu. Dan akan kukatakan sekarang." Gadis tersebut tersenyum semakin lebar. "Bocah sepertimu masih terlalu cepat seratus tahun untuk menyatakan cinta padaku." Setelah mengucapkan kalimat itu dengan nada dingin, Kushina berjalan pergi, sama sekali tidak melihat ke belakang. Di detik itu, bocah malang Minato langsung tergeletak pingsan. Dan keesokan harinya, dia tidak bisa mengingat kejadian apa pun yang dia habiskan bersama Kushina. Dia hanya tahu bahwa dia menyukai gadis itu.

Sedangkan Fugaku tidak ingin mengungkit-ungkit masalah Naa-chan kepada Minato. Dia adalah pemuda yang tidak takut akan apa pun. Dia tenang dan dingin. Di depannya, semua musuh lari ketakutan. Namun, semua karakter tersebut menghilang ketika dia teringat akan Kushina. Dia langsung menjadi cowok dengan wajah sepucat mayat, berkeringat dingin, dan bergetar ketakutan. Sebisa mungkin, dia menjauhi topik yang bisa membuatnya out of character itu.

"Bertapa di air terjun, memanjat bukit, melewati lembah yang penuh dengan lintah, tidak mengenakan pakaian di musim dingin, berenang di sungai yang dihidupi buaya…" Fugaku bergidik. "Aku tidak percaya kau melupakan semua itu, Minato."

Minato masih terpaku, tidak bisa bicara sepatah kata pun.

"Hei, two handsome brats over there," Kushina menunjuk ke arah Fugaku dan Minato. "You guys kept talking even when I'm in front of the class," Kushina menyeringai, membuat bulu kuduk Fugaku berdiri. "Well, shall we go outside to discuss about your punishment?" Kushina menunjuk ke arah pintu kelas.

Fugaku sudah hampir pingsan di tempat, namun Minato hanya terpaku.

Jadi, Naa-chan, gadis pujaannya adalah guru bahasa Inggrisnya sekarang? Dan dia adalah mantan gengster terganas di kota ini? Dan sekarang? Dia akan diberi punishment?

Mau tak mau, keringat dingin Minato mulai menetes juga.

Kushina Uzumaki berjalan keluar dari kelas. Minato langsung berdiri, menarik lengan Fugaku dan menyeretnya keluar kelas. Kushina hanya bergumam kagum menatap Minato yang sama sekali tidak menunjukkan sorot mata ketakutan terhadapnya.

Sesampai di luar kelas, Kushina menyenderkan tubuh di dinding, sedangkan Fugaku secara refleks menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Minato. Ironis sekali, padahal tinggi tubuh mereka sudah melampaui Kushina, namun mereka (terutama Fugaku) masih tidak bisa berkutik terhadap wanita tersebut.

"Jadi… kalian bicara apa saja tadi?" tanya Kushina, tajam. "Membicarakanku?"

"T-t-t-tidak apa-apa, Naa-… eh, Uzumaki-sensei…" Fugaku cepat-cepat menjawab.

"Naa-chan!" Minato langsung berseru. "Kau tinggal di mana sekarang?"

"Aku masih tinggal di hotel. Belum menemukan tempat tinggal yang cocok." Kushina menyeringai. Dia menatap Minato dalam-dalam. Rambut pirangnya sudah mencapai bahu. Mata biru Minato menjadi jauh lebih tajam sekarang. Kushina juga bisa melihat otot tangan Mnato yang menonjol. Diam-diam, dia tersenyum. Kushina tidak menyangka kalau Minato bisa berubah sangat drastis seperti ini.

"Sejak kapan kau menjadi guru? Usiamu baru dua puluh tahun, kan?" tanya Minato lagi.

"Aku hanya menjadi guru pengganti. Saat ini aku masih liburan dari kuliah sana. Libur beberapa bulan. Jadi Sarutobi-ossan meminta bantuanku untuk mengajar." Kushina meringis. "Kupikir, kenapa tidak? Lagipula sudah tujuh tahun aku tidak pergi main ke Jepang." Wanita berambut merah itu mendelik sesaat ke Fugaku yang masih bersembunyi di balik punggung Minato. "Ini ya? Fugaku yang terkenal akan kedinginannya dalam menolak para gadis? Rasanya kau tidak berubah sejak dulu, selalu bersembunyi di balik punggung Minato."

Fugaku menelan ludah. Ingin rasanya dia membantah Kushina, namun karena pengalaman buruk di masa kecil, dia mempunyai trauma 'Kushina'.

"Bagaimana kabar Sarah kecil?" tanya Kushina tiba-tiba.

"Dia sehat. Tapi dia lupa padamu, Naa-chan," jawab Minato. Pemuda itu memperhatikan raut wajah Kushina yang terlihat kecewa. Memang, Kushina memperlakukan adiknya dengan sangat lembut. Berbeda dengan caranya memperlakukan Minato dan Fugaku. Minato sadar bahwa Kushina menyayangi Sarah. Dia ingat kalau Kushina pernah bilang ingin punya adik perempuan yang manis seperti Sarah. "Mau mengunjunginya?" tanya Minato tiba-tiba. Mendengar pertanyaan Minato, Kushina langsung meringis.

"Boleh juga. Tapi cuma bisa nanti sore, aku ada kerjaan."

"Masih ingat di mana rumahku?" tanya Minato lagi. Kushina terdiam. "Aku tunggu Naa-chan ya, nanti kita pergi bersama."

Kushina hanya bisa meringis ketika mendengar ucapan Minato. "Kau sama sekali tidak berubah. Tidak pernahkah kau takut padaku, Minato?"

Minato langsung menggeleng.

"Kekuatanku sekarang sudah sepuluh kali lipat lebih besar dari tujuh tahun lalu. Masih tidak takut?" Meski pertanyaan itu ditujukan pada Minato, Fugaku merasa dirinya akan pingsan di saat itu juga.

Minato kembali menggeleng.

"Bocah aneh!" Kushina tertawa sambil mengusap rambut Minato. Diam-diam, Minato tidak senang dirinya diperlakukan seperti itu. Minato tahu kalau Kushina masih melihatnya sebagai bocah-sepuluh-tahun-yang-pingsan-karena-ditolak itu. Bagaimana cara supaya Kushina melihatku sebagai lelaki?

"Hei, Kushina." Minato tersenyum lebar ketika melihat mata violet Kushina yang membesar. "Aku panggil Naa-chan Kushina saja, oke?"

Wajah Fugaku semakin pucat dan dia merasa kalau nyawa Minato sudah berada di ujung tanduk. "N-Naa-chan! Maksud Minato, dia ingin memanggilmu Kushina-sensei! Benar kan, Minato?" Fugaku mendesis ke telinga Minato.

"Bocah sepertimu tidak boleh memanggil nama depanku begitu saja." Kushina mendelik, namun Minato mengabaikan hal itu.

"Aku bukan bocah. Umurku sudah tujuh belas. Lagipula umur kita hanya terpaut tiga tahun."

Mati sudah. Fugaku menyerah. Pemuda itu membayangkan dirinya yang berdiri di depan nisan Minato sambil berkata 'Apa kubilang!'.

"Hoo… mau menantangku?" Kushina mendesis. Sejujurnya, dia merasa kaget dengan perubahan drastis Minato. Ke mana perginya bocah pirang cengeng yang selalu menangis setiap kali ditinggal sendiri itu?

Minato tersenyum lebar. Sinar matanya bersinar jahil. "Boleh. Bagaimana kalau aku buktikan kalau aku sudah bukan bocah? Dan setelah itu kau harus mengijinkanku memanggilmu Kushina."

Kushina menyeringai. "Bagaimana caramu membuktikannya? Bertarung denganku?"

Minato menggeleng. "Lelaki dewasa saja bisa tewas kau bunuh, Naa-chan. Supaya adil, kita jangan bertarung."

Kushina mengerutkan keningnya. "Lalu? Bagaimana caranya?"

"Kita tidak perlu melakukan apa-apa." Ucapan Minato membuat Kushina mengerutkan kening. "Naa-chan cukup mengawasiku dari jauh. Awasi saja gerak-gerikku. Lalu aku ingin Naa-chan jujur. Kalau menurut Naa-chan aku sudah bukan bocah lagi, maka aku ingin Naa-chan mengaku kalah dan membiarkanku memanggilmu dengan nama depan."

"Deal." Kushina menyodorkan tangannya. Minato tersenyum lebar dan menyalami tangan Kushina. "Asal kau tahu saja Minato. Anggapanku akan lelaki jantan itu sangat berbeda dengan yang ada di bayanganmu."

"Kita lihat saja." Minato menjawab dengan santai. "Kita mulai dari saat ini ya, Naa-chan."

Kushina mengangguk. Diam-diam, dia sudah merasa kikuk dengan tangan Minato yang memegangnya. Tangan Minato sangat hangat dan besar.

"Bagaimana dengan Fugaku? Kau juga ingin aku mengawasimu?" tanya Kushina. Tentu saja, Fugaku langsung menggeleng.

"Naa-chan, bagaimana dengan punishment kami?" tanya Minato tiba-tiba. Wajah Fugaku menjadi semakin pucat. Dia mendelik ke arah Minato namun pemuda itu mengabaikan tatapan membunuh Fugaku. Fugaku menelan ludah, tidak bisa membayangkan hukuman neraka apa yang akan diberikan oleh Kushina.

"Oh iyaa!" Kushina mengerutkan kening, memikirkan hukuman yang pantas untuk dua pemuda yang ada di depannya. "Aku sebenarnya ingin menyuruh kalian berenang di sungai yang dulu ada buaya itu… Tapi sepertinya buaya itu sudah diasingkan."

Fugaku langsung menghela napas lega.

"Bagaimana kalau kalian traktir aku makan? Atau carikan tempat tinggal yang murah untukku?"

Minato langsung menyeringai. "Boleh. Dan sepertinya aku sudah menemukan tempat tinggal itu."


TBC

Barbara123: okee... segitu dulu :)

sori kalau banyak kesalahan dan kurang berkenan.

Mind to review? :)