Warning: Shounen-ai,OOC, Hard-language, AU, Misstyping (maybe).

Disclaimer: Death Note belongs to the Amazing Takeshi O. and the Brilliant Tsugumi O. Thanks for make this such beautiful artwork of Anime, manga, and Novel to us! –Megumi

.

.

.

.

Koma

.

.

.

.

Matahari mencatat segalanya, perpustakaan menjadi saksi bisunya. Dua insan bersemuka terdiam bungkam pada satu lontaran kata. Mata yang masih bercermin, mulut yang masih mengatup, hati yang masih digetarkan oleh episentrum kebenaran, terjadi masing-masing pada dua raga yang bersebrangan.

Masih diam, masih sunyi, masih hening, masih bimbang, masih ragu.

Biarkan simfoni waktu yang bicara, biarkan dia berdendang dengan detak detiknya, waktu yang tidak berhenti tanpa ampunya membabat habis ruang semesta tanpa memperdulikan dua jiwa ini yang membuang waktu hanya dengan saling diam memandang. Apa bahkan tatapan ini terlalu indah bahkan waktupun rela mereka berikan? Mungkin?

"Ah… Hahaha…." Bocah bergoogle ini yang memecah kebisuan. Dia tertawa terkekeh dengan ragunya, membuat orang yang di depannya kembali mendeliknya dengan kecut. Dia kembali berucap, "Aku… aku tidak mengerti." Ujarnya masih sedikit gelagapan.

Yang diajak bicara hanya bungkam tidak rela memberi sedikitpun suaranya, "Lalu? Lalu kenapa kamu hilangkan aku seperti begitu? Hanya karena kamu tahu aku mencemburui kamu pada Near? Apa yang masuk akal dari semua ini?" Dia, Matt bahkan berani menaikan suaranya. Keraguan yang digenggamnya itu hilang tenggelam. "Dan terus kenapa? Katakan, Mihael Keehl." Satu oktaf lagi dia naikan.

Dia yang disana? Diam menyembunyikan ekspresinya.

.

.

.

Sebuah kejadian dimana aku tidak sadar.

Aku kini yang diam, hampir tidak pernah aku temui Matt yang seperti ini.

Dia menaikan nadanya, penuh amarah dan emosi mengendap jenuh disetiap desibel suaranya. Aku tidak kenal Matt yang ini, aku tidak tahu Matt yang ini,ini bukan Mattku, bukan Matt milikku.

Aku bahkan membuta dengan segala Matt. Aku terlanjur tidak percaya Matt berani seperti ini padaku.

Bahkan aku juga tidak mau terlihat lemah di hadapan Matt, aku hanya berpura-pura kecut disana meski hatiku menciut. Aku takut, aku benar-benar takut. Si brengsek Matt ini berhasil menarik kembali jenis perasaan yang hampir hilang. Ya, rasa takut.

Tapi apa pula yang aku sembunyikan? Yang aku rencanakan? Dari matanya yang semu, jemu bahkan pada bayanganku. Tidak, tidak ada. Aku bahkan tidak pernah menghadapi seseorang seperti Matt tanpa persiapan. Karena itu yang membuatku satu langkah lebih maju darinya.

Sekarang? Apa yang kuperbuat?

Batin yang tertekuk, hati yang mengkerut?

Apa yang dapat aku perbuat?

.

.

.

Waktu yang berdetak tanpa perduli diriku yang mati suri.

Aku masih bungkam seperti mati. Detak jantung ini tak lagi meneriaki nama Matt dengan lantang dan gagahnya. Hanya sendu, pilu teriringi kekecewaan merasuk ganas ke dalamnya. Darahku memucat, mengalir dengan melankolisnya.

Makna wajah Matt begitu terpampang elok di sudut-sudutnya. Mengkisahkan ia tengah menungguku untuk sebuah jawaban dari tanyanya. Pelik, hanya itu yang mampu ku lukiskan kembali di wajahku. Pelik untuk menjelaskannya. Pelik untuk menyangkut nama bocah albino itu dalam cerita roman milikku.

Aku kehabisan kata untuk merangkai kalimat sebagai jawabku padanya. HABIS, ini memang tak tersisa apa-apa lagi, kata-kataku seolah tertarik oleh pusaran amarah Matt di depanku. Menatapku dengan curiganya, diam dengan sinisnya. Pikiran ini kosong mengambang jauh hanya dengan menerima tatapannya. Membuatku melemah, meluluh lantahkan segala aralku hanya dengan menatapnya.

Mulut ini mengatup tak sanggup bercuap apapun. Matt sesabar itu menungguku yang terlalu malu memamerkan suaraku.

"Jangan acuhkan aku di sini." Aku masih diam. Meski dia berpuluhan kali mengulang kalimatnya, aku tak mampu bicara. Entah rasanya aku bergidik ngeri hanya untuk menatap wajahnya, apalagi menjawabnya?

"Mello."

Jantungku tak lagi melambat, justru terhenti sesaat. Dia memanggil namaku. Suara baritonnya memanggil namaku di sela-sela helaan nafasnya. Menguntai namaku dalam suaranya.

"Jawab." Satu kata yang saat ini tak mampu ku balaskan. Aku sungguh tenggelam dalam leburan namamu dan perasaanku.

Matt, aku mati.

.

.

.

Kronologi waktu berjalan tanpa menungguku.

Lidahku berasa lumpuh, mati rasa dan kram. Aku gelagapan menghadapinya.

"Matt." Ucapku tanpa daya. Dia diam, menatapku. Cukup, aku merasa perih hanya karena sorotan matanya. "Onegai..." Matanya membulat, satu kata yang ku lontarkan berarti harapan penuh.

"Jangan… Jangan paksa aku!"

Matt kini tak memandangku lagi dengan cara yang sama, meski dia masih membelaiku dengan tatapannya. Atau hanya karena aku yang berdalih seperti ini, matanya tak lagi serupa?

"Mello, aku tidak memaksamu." ; "Kau memaksaku Matt! Kau selalu begitu!" Aku ini begitu bodoh hingga membentaknya. "Aku hanya tidak mengerti! Kenapa Near kamu jadikan alasan untuk menghindariku! Aku hanya—"

"Hanya apa? Apa yang buat kamu begitu menderita jika aku bersama dengan bocah itu? Apa yang mampu buatmu merasa puas?" Matt diam, Aku juga begitu. Hanya deru nafasku yang cepat tak teratur, kehabisan udara yang mengiringi kami disini.

"Pernahkah kau ada waktu? Waktu untuk sekedar menungguku? Bahkan untuk menunggu jawabanku? Ah, aku lupa. Kau selalu melakukan apa yang kamu mau seorang diri! Ya! sendiri! Tanpa menungguku!" Matt tertunduk. Mataku begitu perih hingga berair, seperih hatiku.

"Aku hanya… tak mampu kehilangan dirimu."

Eh?

.

.

.

Meski begitu, aku tetap menyusulmu.

Bukan… Bukan aku yang menjawab pertanyaannya. Dia yang dihadapanku kini, menjawab segala keraguan atas perasaanku padanya. Membuat hati ini tenang, stabil, hangat, mampu membuat darah ini berdesir kembali dengan merdu.

"Karena aku tak sanggup mengunggumu... Untuk menghilang perlahan dariku."

Aku masih diam. Matahari tenggelam dalam lengkungan horizon. Membuat siluet jingga kemerahan begitu cantiknya. Seolah kami kanvas, Matahari melukisku dengan sendunya. Bayanganku luluh perlahan dalam kehangatan terakhir darinya. Namun, membuat tiap helai rambut Matt mampu lebih indah dari sebelum-sebelumnya. Membuat kemerahan yang lebih indah dari pancaran api-api saat natal.

"Karena aku tak mampu… Membuang setiap detik hanya untuk menatapmu dengan Near."

Hujan tiba-tiba turun deras dari mataku, setiap tetesnya merupakan perasaan sakitku. Sakit akan Near, sakit akan diriku sendiri, sakit akan setiap tatapan mata Matt, sakit akan setiap perkataannya, sakit akan hatiku yang tak mampu melepasnya. Matt, yamette… kudasai.

"Karena aku tak terima… setiap sisa waktumu kau habiskan tanpa aku di sisimu."

Matt… hentikan.

"Karena aku… mencintaimu."

Aku diam.

"Lebih dari aku mencintai nyawa ini…"

Matt… aku mencintaimu.

.

.

.

Meski waktu itu sendiri yang membuatku mati, aku tak peduli.

Aku tak sanggup menahannya, aku tak mampu menyembunyikannya.

Perasaan ini, mencintainya. Sungguh aku bersumpah atas nama Raja Louis, aku mencintainya.

"Mello… Maaf aku selalu memaksamu. Aku tak pernah bisa menunggu jawaban darimu. Aku tak pernah berikan kesempatan waktu untukmu." Mata ini basah, melembab perih karenanya. "Maaf untuk segala keegoisan yang kuperbuat bersamamu." Matt, kau bodoh.

"Matt…" Ku tarik lengan bajunya, meminta dia menatapku kembali. "Aku tahu, kau cemburu pada Near. Aku tahu! Aku tahu! Dan karena alasan itu aku menghindar dari kamu!" Aku kembali teteskan air mataku.

"Matt!"

Dia diam menatapku bisu. Segalanya begitu gelap, menghitam dan menyesatkan. Aku terjebak dalam sebuah perangkap ilusi cinta. Tertarik akan segala emosi yang meraup batinku perlahan namun menyakitkan.

Matt, aku begitu sulit menceritakan ini padamu, seakan lidah ini membentuk simpul mati saat aku hendak bicara denganmu. Keraguan ini sirna saat bersama denganmu! Segala darimu cukup untuk membutakan hatiku! Membrutalkan pikiran dan nurani milikku!

Tapi Matt… perasaan ini tak bisa kutolak.

"Aku mencintai Near!"

Kata haram itu keluar dari mulutku, Matt membulatkan matanya tidak percaya.

.

.

.

Aku akan terus berlari kepadamu!

Segala air mata ini berderai sakit. Aku tatap matanya, air mata yang sama mengendap di bawah matanya. Begitu perih, begitu ngilu. Ada rasa tidak percaya dalam buliran air matanya, ada batin yang tergores disana. Begitu sakit.

"Mello."

Dia mengalunkan namaku, membuatku diam namun masih berderai air mata. "Na-nani…?" Kami berdua mengatupkan mulut kami, aku hanya memandangnya. Aku tatap wajahnya, begitu sendu dan ternodai oleh kata-kataku.

Satu hal yang tak mampu aku percaya, dia tersenyum lembut dalam tangisannya.

"Tidak apa-apa..." Dia menarikku kedalam pelukannya. Jingga itu sejenak menjadi kelabu, meski matahari itu belum setengahnya terhisap dalam ufuk Hanya kelabu pilu yang tercampur perasaan dari nuraniku.

Tapi…

Helai rambut Matt justru lebih indah. Seindah senyumnya meski teriringi buliran air mata itu. Setiap helainya terhembus angin, warna merahnya menyala serasi dengan matahari yang sekarat. Akankah rambutnya bisa lebih indah dari ini?

"Aku masih sanggup, hidup tanpa perasaanmu untukku." Dia tersenyum perih.

"Tapi, biarkan aku mencintaimu hingga nyawa ini mampu berpisah denganmu."

"Kenapa?"

"Karena mencintaimu merupakan syarat dalam hidupku."

Pelukannya begitu erat hingga terasa sampai jantungku. Aku begitu menyesal, kenapa aku mencintainya? Kenapa aku PERNAH mencintainya? Dan kenapa aku lupakan cintanya? Kenapa justru aku mencintai orang yang salah! Mencintai albino sialan itu!

"Matt… Maafkan aku." Dia mengangguk dalam namun tegap dan tegas. Seakan rela membiarkanku pergi, dia mengusap air mataku. Goresan tangannya begitu halus menghapus segala sakitku. Rela membiarkan aku mencintainya. Apa itu tidak sakit Matt?

Bukankah kau sendiri yang bilang? Kau tidak terima?

Bukankah kamu yang bilang? Kau tidak sanggup?

Bukankah kamu yang bilang? Kau tidak mampu?

Kenapa kau relakan aku dengan Near? Kenapa?

"Aku hanya tak sanggup kehilangan senyummu." Aku diam, masih dipeluknya. "Senyum itu sudah lama sekali tak terlihat, Mello." Mataku kembali mendung. "Jika dia bisa mengembalikan senyummu. Saat itulah aku mampu keluar dari permainan ini." Dia tersenyum dengan air matanya yang menetes di rambutku. Matt, kumohon.

Aku menghindar darinya, karena rasa itu telah musnah, dan terganti begitu saja. Aku tahu dia masih mencintaiku, karenanya aku berusaha membuatnya dia membenciku. Tapi kenapa justru aku yang semakin mencintainya?

Matt, kau bodoh.

.

.

.

Menyusulmu, hingga saat itu tiba.

Dia melepaskan pelukannya, melepaskanku. Dengan senyum dan tangisannya. "Hanya berjanjilah, untuk tetap hidup hingga kematianku." Aku tidak bersuara. Diam dan terus diam.

"Sudahlah." Dia menatapku lagi.

Dia tersenyum tulus dan berkata, "Aku mencintaimu."

Hanya kalimat itu yang enggan aku dengar dari mulutnya.

Matt, kenapa kau mencintaiku?

Matahari itu hampir tenggelam seluruhnya. Beberapa bintang mulai berani memarkan sinarnya.

Namun satu bintang ini redup, namun cahayanya begitu jelas meski tak seterang bintang lainnya. Matt, salah satu bintang yang redup. Di tengah keajaiban senja saat itu.

Aku mencintaimu.

-Senja sunyi dengan deraian air matamu-

.

.

~End~

.

.

.

NP: aih, entah kenapa seluruh hati saya ada disini. Sumpah, saya curahkan semua disini -_-"

Saya sendiri kok berkaca-kaca waktu baca ulang ini ?- (idiot)

Mohon kritik dan saran! Makasih hehe ^_^v

-Megumi