Warning: Shounen-ai, hard language, sangat OOC, AU, miss typing (maybe).

Disclaimer: Death Note belongs to the Amazing Takeshi O. and the Brilliant Tsugumi O. Thanks for make this such beautiful artwork of Anime, manga, and Novel to us! -Megumi

.

.

.

.

Tanda Tanya

.

.

.

Kenapa topik ini tak pernah bertepi?

Matt membatin perih.

Hanya saja jika Matt mampu berbicara, dan tidak lagi-lagi menelan bulat-bulat ide pahit dari Mello.

Matt bisa utarakan segalanya.

Kini dia hanya diam mendengarkan ceramah Mello pada se-antero anak-anak panti disana. Jujur, obrolan ini sudah tidak lazim masuk ke telinganya, sudah aneh untuk dicerna oleh otaknya.

Obrolan macam apa pula menyangkut nama-nama anak baru di Wammy yang disangka akan meruntuhkan kekuasaan Mello nantinya? Bicara macam apa ini? Matt sendiri benci untuk duduk disini.

Tapi Matt mau apa? Tapi Matt mau bagaimana? Tapi Matt harus seperti apa?

Dia tidak mampu melakukan apapun selain diam dan dengarkan. Tidak pedulilah mau masuk telinga kiri keluar telinga kanan juga tidak apa-apalah, wajarkan saja, halalkan saja asalkan Matt duduk diam manis seperti anjing-anjing terlatih.

Tapi kenapa Matt tidak mampu bicara?

Karena Matt tidak mau bicara.

Matt tidak mau, cukuplah dia diam tenang disana. Nikmati saja suara dia yang berbicara di depan tak usah mengelak, tak usah setuju. Cukup diam dan menerima.

.

.

.

Dan aku temukan sebuah jalan.

Matt duduk berdampingan dengan Mello jika kelas sudah dimulai. Matt selalu duduk dengan Mello.

Tidak ada yang boleh lagi duduk dengan Mello, Tidak ada yang Matt izinkan duduk dengan Mello.

Meski Matt tidak menyukai Mello dengan sikap mengguruinya itu, Matt sudah memasukan 'duduk di samping Mello' menjadi sebuah keharusan yang mutlak hukumnya.

Tapi meski Matt tergolong pintar, Matt tidak suka belajar. Matt lebih bahagia menekan-nekan tuts PSPnya dengan kepalanya yang tertunduk.

Tak usah ditanya, jangankan menengok pada guru yang menerangkan, menengok pada Mello saja dia tidak sanggup.

Padahal dulu Matt tidak begini, dulu Matt tidak sefreak ini. Matt kenapa?

Padahal waktu lampau Matt sering menebarkan senyum.

Matt berubah, setelah kedatangan Watari di hari pertama musim semi itu.

Matt kini hanya menatap layar PSP putih miliknya, Matt tidak bisa fokus dalam permainannya. Pikiran Matt serasa melambung dan kabur perlahan tersamarkan oleh bayangan remang-remang memenuhi pikirannya.

Matt menolak bayangan itu dan fokus pada permainannya.

Mello terdiam disampingnya dan mencatat tanpa memperdulikan raga disampingnya.

.

.

.

Mungkin aku butuh waktu untuk berjalan lurus.

Seperti Matt, Mello juga tidak peduli.

Seolah hanya angin yang ada disampingnya, tidak peduli. Matanya menangkap lanskap rumus berderet di depannya.

Lama itu tidak sebentar.

Tidak sebentar itu membuat orang tidak sabar.

Mello tidak tahan dengan ancaman Near.

Near baru 4 bulan disini, waktu sepercik api dia disini.

Tapi Mello gatal ingin menendangnya, lama sekali rasanya 4 bulan berada dalam ancaman Near.

Near duduk di bangku paling depan, paling kiri, dekat dengan pintu, sendirian.

Mello tidak biasa jadi nomor dua,

Mello tidak biasa diambigukan oleh L,

Mello tidak biasa terseret kekalahan.

Karenanya Mello benci musim semi,

Mello muak dengan kehadiran musim penuh cinta dan damai ini.

Karena pada musim ini,

Near baru saja menapakan kakinya pada keraguan Mello dan ancamannya.

Mello hanya mengangguk, mengiyakan dengan antusiasme yang membludak, "Hanya masalah waktu." Dengan dadanya yang membusung bukan main sombongnya pada anak-anak Wammy yang mulai diam karena tingkahnya.

Tapi 4 bulan saja sudah membuat Mello menelan rasa getir yang bergidik itu dengan mentahnya.

Waktu saja tak mampu melengserkan Near dari tahtanya,

Mungkin Mello masih perlu cadangan Waktu.

Mello diam memotret lanskap-lanskap rumus itu dengan setiap detilnya pada pupil hitamnya.

Matt masih tertunduk bisu disana.

.

.

.

Dan terus lurus.

Mello mencatatnya dalam sebuah buku dengan geramnya, tersadari oleh kehadiran anak malaikat itu yang mulai mengancamnya.

Mata sayu mengantuk itu cukup peduli dengan ulahnya.

Dadu-dadu yang dia susun diatas mejanya hancur lagi kesekian kalinya.

The Almighty Angel

Julukan yang terbilang pantas untuk Near.

Diam, lembut, sangat peduli, namun juga memiliki kartu as untuk setiap-setiap pelajaran.

Dan bekerja sendiri.

Namun bukan termasuk konflik baginya menerima rekan.

Near masih menyusun dadu-dadu itu kembali terkadang melirik pada bangku Mello yang berapi disana. Terbakar semangat dendam dan benci yang menjulur mencengkram satu kelas dengan rasa takut yang membuat ngilu.

Near menghela nafasnya, kebetulan dadunya berseliweran lagi.

Near benci pertikaian tersembunyi ini,

Near tidak suka ada kasus hide-and-seek disini. Cukuplah, Near mengerti Mello membencinya.

Tapi apa dengan kalahnya Near, Mello bisa tetap membuat kedua isyarat matanya stabil?

Near menoleh pada dadu-dadunya, memilin rambutnya.

.

.

.

Aku menemukan pertigaan disini.

Ah, jika musim semi tak pernah datang, aku tidak akan mungkin dikerubungin rasa malu.

Prihatin diriku pada aku sendiri membuatku tenggelam dalam rasa takut terhadap bulatan onyx itu.

Dia berhenti memandangku setelahnya, setelah musim semi lama berselang waktu itu.

Membuatku terjerat dalam suatu konflik yang macet di tengah jalan. Aku tertelan rasa bingung waktu itu,

tidak biasanya mata itu kosong tanpa bayang-bayangku yang terlukis disana.

Mungkin bukan kosong, tapi penuh dengan potret malaikat itu.

Membuatku terserempet dari pupil Mello.

4 bulan memang bukan waktu yang terbilang lama, tapi aku disini terlanjur terlupakan.

Ada yang hilang, ada sesuatu yang hilang.

Seluruh tanda tanya ini membutakanku, pertanyaan ini mengalir pada darahku yang kian mendidih dan kering nantinya.

Apa Mello mulai melupakanku? Aku bahkan tak sempat untuk menaruh rasa simpati pada kalimat itu.

Aku diam-diam menjaring sosok Mello dalam mataku.

Luka ini seperti ditetesi air garam ketika matanya tidak bisa membuatku bercermin disana.

Hanya ada malaikat itu disana, menatapnya penuh dengan rasa geram.

"Che…" Desisku yang tidak diinginkan keluar begitu saja, membuat Mello menatapku sesaat.

Aku kembali menunduk seolah tidak acuh pada tatapannya. Dia masih juga menatapku dengan mimik penasaran yang membuatku tidak tahan menekan tuts pause diPSPku.

Mello masih juga menatapku, apa desisku tadi begitu menarik perhatiannya?

Dia menghembuskan nafasnya sesaat dan mulai bicara, "Aku benci Near." Topik ini kembali muncul. Bisakah kita bicarakan yang lain? Aku mulai bosan dengan segala celotehnya, "Mungkin aku juga."

Mello terperangah mendegar jawabku, "Mungkin tidak perlu aku jelaskan kau sudah tahu pula alasanku, tapi kau?" Ujarnya sebari bel istirahat berdentang.

Aku masih sibuk untuk menjawabnya, tanganku kini membereskan bukuku ke tas dan hanya meninggalkan PSPku di atas meja dan aku meraihnya. Aku tak mampu menengok padanya, aku bisa tenggelam.

Aku hanya malas-malasan menjawabnya (meski hatiku benar-benar kelewat riang saat mengobrol dengannya), "Dengar, aku bukan tuan-maha-tahu seperti halnya kamu dan Near." Ujarku lagi. Wajahnya menciut dengan ekspresi tak sedap dipandang.

Mello mendengus penuh dengan kekesalan, "Bahkan jika kamu seperti itupun aku masih merasa ragu kamu bisa tau alasan aku." Aku terkekeh geli mendengarnya, jawaban yang sungguh diluar akal, "Sudahlah, cerita ini tidak akan bertepi jika kamu hanya bisa menjawabnya seperti itu, aku keburu kering jika menunggu topik ini benar-benar selesai."

Mello hanya diam, kelas mulai sepi.

"Aku benci kamu."

Bisiknya melalui angin, aku terperangah dalam batin.

.

.

.

Sekarang ke Kiri atau Kanan?

Dan sungguh, derita hatiku semakin menderu ketika perkataannya tadi terus memekik di telingaku.

Kenapa dia tiba-tiba jadi sensitif seperti ini? Ini hal yang langka padanya.

Padahal aku menjawabnya dengan ringan, tidak menimbulkan provokasi apapun tapi kenapa dia jadi sensi begitu?

"Hah?" Mulutku terbuka lebar sebagai reaksiku atas aksi yang dibuat Mello secara tidak terduga. Warna jelaga mengisi hatiku begitu saja hanya dengan perkataannya tadi. Aku dibuat nelangsa olehnya.

Dia sendiri tidak berani menatapku.

Atau mungkin tidak sudi lagi untuk menatapku?

Atau kenapa?

Dia mendelikku dengan sesaat, menatapku benci dan berlalu.

Aku merindukannya.

Ya! Mata onyx itu yang berkilat-kilat setiap kali tersentuh cahaya, pupil kelam itu yang memantulkan bayangku, tatapan yang terbiasa melekat pada tubuhku!

Aku begitu merindukannya!

Aku bahkan tidak sempat peduli jenis tatapan apa yang dia berikan, aku hanya rindu.

Dia berlalu seiring angin meniup rambutku perlahan, menenangkan hatiku yang tengah bimbang terombang-ambing lautan emosi yang tidak tenang tertiup badai.

Aku bahkan tidak bisa deskripsikan bagaimana aku saat itu.

Haruskah aku kecewa atas kalimatnya?

Atau, Haruskah aku bahagia karena tatapannya?

.

.

.

Ah, sudahlah jalan manapun aku rela memilihnya.

Dan kembali lagilah aku pada rutinitas sekolah ini. Melewati satu jalur koridor tanpa menatap jalan. Hanya PSPku yang rela kuberikan tatapanku.

Tanpa aku melihat sekelilingku, aku juga sudah bisa merasakan bagaimana koridor ini. Beberapa adik kelas berlarian riang kesana kemari, senior lainnya membuka file-file di Ipadnya untuk pelajaran berikutnya, beberapa hanya mengobrol atau sekedar menerawang ke luar jendela.

Begitulah, selalu seperti ini kondisi koridor utama Wammy setiap istirahat berlangsung.

Tapi kenapa aku kini tidak pada rutinitasku? Kenapa tidak seperti gedung tua ini? Yang selalu mengikuti rutinitasnya.

Dan kenapa aku tidak pada rutinitasku hari ini?

Yang terbayang hanya dia! Mello yang tadi membenciku.

Mungkin sampai sekarang dia masih juga membenciku.

Aku diam di satu taman belakang Wammy. Mematikan benda bising yang sedari tadi mengajakku untuk berbicara.

Membayangkan Mello seorang menatapku.

Kenapa hanya bagian dari matanya yang aku inginkan?

Aku hanyut dalam tatapan itu! Aku terbuai dalam godaan gelapnya mata itu.

Mello, relakah kamu berikan aku satu torehan manis dari matamu di tubuhku lagi?

.

.

.

Oh…. Well… Dimana?

Sebenarnya, apa yang aku tunggu?

Keinginan, apa yang aku inginkan?

Tidak, aku tidak mau apa-apa! Aku hanya menginginkan aku kembali, kembali becermin pada matanya!

Pohon-pohon menggesekan dedaunannya dipacu oleh angin musim panas yang berhembus lembut. Aku hanya menghela nafasku, memandang langit biru yang jemu, sejenuh hatiku yang pilu.

Awan-awan dengan beringasnya menutupi matahari, berusaha dengan pasti membuat suasana menjadi sejuk sesaat. Namun tidak pada hawa hatiku yang terlanjur retak-retak karena panasnya batinku yang mengalir sinkron dengan darahku.

Sukma ini terlanjur sumbang karena kehabisan lagu indah pada hari-hariku.

Dan kenapa aku menjadi seperti ini?

Padahal hanya 4 bulan.

Ya, hanya 4 bulan tanpa aku dimatamu.

Sukses membuat ruh ku ini kehilangan teori hidupnya.

.

.

.

Ada yang bisa menolongku? Aku tersesat!

Aku disini masih bisu dengan lautan ceritaku yang pelan-pelan menghisapku masuk kedalam pusarannya.

Namun tidak lama waktu berdetak, seorang wanita mungil membawa gitarnya dan memetiknya perlahan. Bibirnya hanya mengatup-ngatup tidak jelas, malu-malu mengeluarkan suaranya.

Hanya memetiknya lembut, membuat tenang suasana.

Aku menoleh padanya, siapa dia?

Siapa yang berkucir dua, menggunakan jaket jumper berwarna krem kemerahan? Linda namanya. Dia yang suka seni melebihi apapun, dia yang riang dan paling aktif di kelasku.

Ganjil melihatnya sendiri.

Dia menyadari aku yang memperhatikannya, tersenyum ikhlas padaku.

Duduk disampingku dan memainkan gitarnya. Dia mengerti aku yang berkecil hati sedari tadi, mungkin dia bermaksud menghiburku. Menarik kedua sudut kanan-kiri bibirku untuk tersenyum.

Dia masih memetik gitarnya, masih mencari kesalahan yang dia buat dengan memandang tangannya. Dengan lembut aku dengar suaranya, "Loversnosyndrome." Aku setengah terkekeh mendengarnya menggunakan kata tidak masuk akal itu. Dia hanya tersenyum.

"Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tercekik diantara ratusan perasaan bukan?" Ratusan? Tidak, hanya satu. Satu yang membuat hatiku melebur perih seperti ini, Linda.

Aku berhenti terkekeh dan tersenyum pada langit. Kami berdua tidak melihat satu sama lain. "Aku tahu, mencintai seseorang itu tidak mudah. Terlebih mencintai seseorang yang satu jenis denganmu." Senyumanku seketika menciut masam mendengarnya.

"Tidak perlu menolak kenyataan, Matt. Kamu cinta sama Mello." Aku hanya diam dan merenung, berusaha yakin pada kalimat Linda barusan.

Linda masih memetik gitarnya, berdehem dengan satu nada yang mengalun menjarah udara, "Jangan jadikan hal seperti itu masih tabu untuk kamu sendiri. Cinta bukan sesuatu yang dipaksakan. Dia hanya menuruti. Tidak peduli pada siapa." Aku mencintai Mello? Satu lelucon yang lucu bahkan untuk dipikirkan.

"Aku pernah mencintai satu orang." Masih dengan gitarnya yang bernyanyi riang memenuhi kekosongan taman ini. "Dia mencintai orang lain. Dan aku peduli padanya, asal dia bisa tersenyum meski bukan untukku, aku relakan dia. Tapi disini, Mello tidak tersenyum." Dia tersenyum manis sekali.

Aku memandangnya lagi dengan seksama, "Linda, aku tidak mencinta-" ; "Iya kamu begitu, haha. Aku tidak sebodoh itu untuk menilai wajahmu selama 2 tahun disini bersamamu. Kejarlah, Near bukan dinding yang kokoh." Ucapnya dengan hampa. Dia tahu tentang Near?

Petikan demi petikan terus terdengar halus, "Sejak Near kemari, Mello berubah kamu juga. Bagaimana aku tidak mencurigainya?" Dia tertawa kecil, menjadikan kalimatnya perangsang tawa. "Kejarlah. Dia milikmu." Ucapnya seiring petikan gitar itu berhenti menemani obrolan kami.

.

.

Aku tersenyum padanya, mata kami berpandangan satu sama lain. Mata hazel yang tenang itu.

Aku mencium pipinya, membiarkan dia terperangah karena ulahku, "Dia temanku, Linda." Aku berlalu meninggalkan dia yang menatapku kosong dengan tangan kanannya yang menyentuh pipi kanannya yang barusan disentuh bibirku.

Terima kasih, Linda.

.

.

.

Tapi…

Sayapnya patah satu. Air matanya mengalir sebari terus memegangi pipi kanannya.

Yang baru saja disentuh oleh bibir orang yang dicintainya.

Dia tersenyum tapi tetesan itu masih mengalun pasrah di pipinya.

Linda, baru saja merasakan kecupan orang yang dia cintai selama 2 tahun ini.

Kecupan selamat tinggal-terima kasih dari Matt yang berlalu dari pupil Linda.

.

.

.

Aku masih berjalan!

Aku meninggalkan Linda disana, terlihat ada satu yang berkilau dari wajahnya.

Seperti air mata. Tapi kenapa dia menangis?

Aku masih saja berjalan lurus menyusul Mello yang ada disana. Biar Linda nanti ku tanyai setelah ini.

Aku melewati koridor lagi, aku masih hafal dimana dia saat jam seperti ini.

Dia kutemukan di perpustakaan. Perpustakaan sejarah yang hampir tidak pernah terinjak selain Mello. Aku mendekatinya, namun dia masih tidak acuh padaku. Aku hanya diam di sampingnya.

"Masih sudi kamu datang?" Ujarnya dengan menantang, membuatku tersenyum geli karena dia.

Dia menghela nafasnya.

Dia ambil satu buku di tangannya dan membacanya di satu meja. Aku mengikutinya dan duduk bersebrangan dengannya. Dia tidak mau memandangku, tidak rela memberikan tempat di matanya untuk aku bersarang di dalamnya.

"Mello, lihat aku."

Dia masih hening. Tidak mau menurutiku, aku ulang kalimatku hingga 2 kali dia tidak mau mengindahkannya sama sekali. Hingga aku tarik buku itu ke tanganku membuat dia murka di tempat dan menatapku keji.

Teruslah begitu!

.

.

.

Ini jalan yang benar, aku hampir sampai.

Dia masih menjajah mataku dengan amarah yang membayang disana.

"Apa yang kamu mau?"

Aku berdecak pelan dan tersenyum melecehkan, "Kamu tidak dengar? Aku minta kamu perhatikan aku. Tidak ada yang lain." Dia menekuk alisnya, aku cukup membuatnya murka.

"You got me…" Ujarnya membuatku tersenyum kemenangan, dia memperhatikan aku dan menatapku kecut.

Mello, kenapa ada satu tanda yang mengelilingiku?

Satu, dua, puluhan, ribuan tanda itu mengitari hatiku. Berputar-putar diatas kepalaku.

Seperti Bimasakti yang membuatku merasa ciut!

Tanda tanya Mello, tanda yang membuatku mati bergidik karena penasaran kenapa tanda itu yang harus muncul saat kita bersemuka?

Kenapa rasanya aku tenggelam dalam tanda-tanda itu! Tanda yang selalu membuatku ingin tahu namun aku tidak punya petunjuk!

Mello, buai aku dengan tatapanmu itu. Goda aku dengan ratusan tanda tanya yang membuat sukma ini keruh!

"Mello, aku membencimu."

"Matt, aku membencimu."

Kalimat berbalasan, sebari bayanganku disana menekuk nyaman di mata Mello.

"Kenapa kamu singkirkan aku dari matamu?"

"Kenapa kamu berubah?"

Tanya diganti dengan tanya, teruslah seperti itu. Kau menggodaku.

.

.

.

Aku sampai disini!

"Kenapa kamu tidak melihatku lagi seperti 4 bulan yang lalu?"

"Kenapa kamu tidak bicara lagi padaku seperti 4 bulan yang lalu?"

Kami masih bertatapan bersebrangan.

"Karena aku cemburu pada Near."

"Karena aku tahu kamu cemburu pada Near."

Kami diam disana, terperangah pada satu kalimat yang baru saja kami lontarkan.

.

.

.

Di jurang yang tidak bertepi

Aku masih penasaran dengan tanda tanya yang ada di pupilmu.

.

.

.

.

~End~

Mohon kritik dan saran! Makasih! ^_^v

-Megumi