Disclaimer:

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Inspired by さくらん

Setting: Alternate Universe—Edo period (Tokugawa jidai)

Rated: M for mature themes, violence, and language

.

.

.

~* O I R A N *~

.

.

.

Untuk kesekian kalinya Hinata merasa kehilangan.

Ia masih menjadi kamuro, ketika oiran pertama yang dilayaninya sekaligus pembimbingnya harus meninggalkannya karena dinikahi oleh salah seorang anggota klan Uchiha. Saat itu, ia mendengar bahwa calon daimyou itu harus menanggalkan takhtanya tidak lama setelah menikah. Ia jadi beranggapan bahwa tidak semua klan besar menerima oiran sebagai bagian dari anggota keluarga.

Padahal untuk menjadi seorang oiran, wanita harus mengorbankan banyak hal—selain perjuangan dan persaingan. Tentu saja oiran tidak hanya mesti cantik, tetapi juga berpendidikan dan berbudaya. Yang tidak kalah penting, wanita tidak layak menjadi oiran tanpa nyali atau keberanian.

Namun, ia yakin wanita yang menjadi kakak baginya tersebut sudah hidup bahagia bersama pria yang rela mengorbankan segalanya demi pasangannya.

Kali ini, teman seperjuangan Hinata yang harus meninggalkan rumah karena seorang saudagar kaya membayar mahal untuk menikahinya. Namun ia tidak akan bersedih, malah sebaliknya, ia turut bahagia melihat kawannya keluar dari lingkungan tertutup ini. Mimpinya, juga mimpi sebagian besar wanita yang tinggal satu atap dengannya, adalah melihat dunia luar. Ia ingin melihat dunia di balik gerbang tinggi Yoshiwara yang seolah memenjarakannya.

Dulu, ia mendapatkan hukuman saat kedapatan mencoba mengintip kehidupan di luar sana melalui celah gerbang Yoshiwara. Semenjak itu, ia belum pernah melakukannya lagi.

.

.

.

Langit menggelap, dan sebagian besar wanita penghibur rumah bordil Sarutobi sudah duduk manis di ruang pemajangan. Itulah yang mereka lakukan setiap malam setelah bersolek dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jika mereka beruntung, para pejalan kaki—khususnya lelaki—akan membayar mahal untuk mereka.

Tarif yang dikenakan pada pengunjung juga tergantung pada kepopuleran penghibur itu sendiri, selain karena luasnya ruangan yang mereka pesan. Mereka tidak mungkin sanggup membayar lebih untuk nyanyian atau permainan musik salah seorang dari para wanita penghibur itu jika hanya mampu memesan kamar yang hanya dibatasi partisi dengan kamar lainnya—yang sama-sama hanya bisa digunakan untuk menggelar satu futon.

Berbeda dengan penghibur lainnya, Hinata selalu dipesan oleh pria yang sama setiap malamnya. Setelah keributan waktu itu, Uchiha Sasuke kembali datang beberapa hari berikutnya. Pria itu membayar lebih daripada sepatutnya agar Hinata tidak diserahkan kepada pelanggan lain. Meski begitu, Hinata memang belum pernah membiarkan dirinya disentuh oleh laki-laki selain Naruto. Ia selalu punya akal untuk menolak berhubungan badan, termasuk kepada seorang samurai seperti Sasuke. Ia pun selalu menggunakan cara yang sama setiap malamnya, dan entah mengapa ia makin dikagumi pelanggan. Pria Uchiha itu pun belum menyerah untuk menaklukkannya.

"Malam ini pun, Anda belum berhasil," kata Hinata seraya menyeringai kecil.

Sasuke menampik shougiban di hadapannya hingga semua buah catur itu berserakan di tatami. Padahal ia datang hampir setiap malam. Namun belum sekali pun ia menang dalam permainan shougi mereka. Ia mulai kehilangan sifat tenangnya. Hinata pun terus menguji kesabarannya. Tanpa peringatan, ia mendorong tubuh Hinata dan menindihnya. Ia menyingkap kimono biru tua itu dan menjamah bagian tubuh Hinata sesuai instingnya.

Hinata masih tampak tenang meski jantungnya bertalu-talu gaduh. Tatapan kosongnya terpaku pada langit-langit kamar yang terbias cahaya lentera berpadu dengan sinar rembulan yang masuk melalui jendela. Dan ia terus menutup mulutnya, bahkan di saat yang seharusnya sanggup membuat wanita lain mendesahkan nama Sasuke dalam setiap embusan napas.

"Ternyata Anda tak lebih dari seorang pecundang," bisiknya di telinga Sasuke.

"Sialan," desis Sasuke yang seketika menghentikan rentetan kecupannya di leher Hinata, juga perjalanan telapak tangan dan jemarinya.

"Saya baru tahu kalau seorang bangsawan lebih bermulut kotor daripada rakyat jelata," imbuh Hinata tatkala Sasuke bangkit dari atas tubuhnya. Perlahan ia kembali duduk, lalu merapikan kimononya serta membenahi ikatan obi pada bagian depan perutnya yang nyaris ditarik oleh Sasuke. Ia pun menyadari kalau selama itu, Sasuke—yang tengah menenggak sake—terus memandangnya dengan tatapan lapar.

"Kau memang menarik." Sasuke meracau tanpa mengalihkan perhatian dari tanda yang ia buat di leher putih Hinata, "Terang-terangan kau menolakku—semakin membuatku penasaran. Tapi, mengatai orang lain pecundang tidak akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik. Tidakkah kau ingat kalau laki-laki yang kau kasihi hanyalah seorang pengecut yang mencampakkanmu…?"

Agaknya Sasuke mulai mabuk. Pria itu bahkan terkekeh-kekeh sendiri setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Lantas, seorang pria terhormat seperti Anda akan menikahi saya?"

"Mengapa tidak?"

Hinata tersenyum miring. "Saya tidak yakin Anda berani mengambil risiko dengan menikahi seorang wanita penghibur yang bahkan belum menjadi oiran—sebagaimana saya yang tidak ingin hidup menderita karena segala aturan kebangsawanan. Saya juga yakin Anda belum siap menerima lirikan mata tidak menyenangkan dan kata-kata menyakitkan yang akan dibisikkan orang-orang di belakang Anda."

Sasuke terkekeh pelan melihat ekspresi datar yang selalu ditunjukkan oleh Hinata, selain karena rangkaian kata yang disampaikan kepadanya.

"Jadi, kau akan mengatakan kalau aku tak cukup bernyali seperti kakakku?"

"Tujuan Anda mendatangi tempat ini pun sudah salah."

"Kedengarannya kau menantangku, dan tampaknya kau juga akan menolak segala bentuk perhatian." Sasuke kembali menuangkan sake ke cawannya. "Aku jadi ingin tahu—apa kau bisa setangguh ajisai…?"

Sasuke menjadikan pangkuan Hinata sebagai alas tidur setelah ia menenggak sake terakhirnya. Tak lama pria itu sudah mendengkur halus.

Hinata mengalihkan pandangan pada rembulan yang malam ini seperti membangkitkan berbagai perasaan. Harapan untuk bertemu dengan Naruto kembali muncul. Padahal hatinya mulai membeku semenjak Naruto meninggalkannya dan berhenti menemuinya. Rasanya begitu hampa saat Naruto—yang ia yakini adalah kekasih takdirnya—meninggalkannya terombang-ambing dalam kebimbangan rasa.

Ikatan manusia memang sungguh tak terduga—merupakan sesuatu yang sudah digariskan sejak zaman dahulu. Di saat seharusnya bertemu, pasti ia akan bertemu kembali dengan Naruto. Ia selalu menjaga keyakinan itu, bersama sebentuk rasa yang belum pernah terucap—meski terpisah seperti apapun, sejauh apapun, atau harus melewati waktu seperti apapun.

Wahai rembulan, jika perasaan Hinata bisa diwakili oleh bunga, ia berharap agar angin mengirimkannya kepada seseorang yang seharusnya.

.

.

.

Naruto baru selesai berlatih teknik pedang dengan Jiraiya saat angin menerbangkan kelopak bunga biru melewatinya. Baru kali ini ia menemukan ajisai sejak ia dilarikan ke gunung itu. Ia menengadahkan kepalanya dan menghirup udara fajar dalam-dalam. Ketika ia membuka mata, sinar mentari menerpa tubuhnya melalui celah pepohonan tinggi di sekitarnya.

Ia berjalan menuju sumber air dengan pedang di pinggang. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya untuk mengambil minum, lalu membasuh wajahnya yang tampak penat. Menemukan teratai yang menguncup di atas lumpur tepian sungai, ia jadi teringat akan Hinata. Baginya, bunga teratai melambangkan kebersihan—layaknya Hinata yang terus berusaha menjaga kesuciannya di tengah kehidupan kotor Yoshiwara.

Ia menjatuhkan pedang panjangnya di tanah, menyusul tubuhnya sendiri.

Ia ingin segera menjemput Hinata. Sayangnya ia masih dilarang turun dari gunung. Ia bahkan belum diperbolehkan untuk kembali ke Edo hanya untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang saudagar teh. Penyebabnya adalah pertemuannya dengan seorang pria Uchiha di Yoshiwara. Ia sedikit lengah, hingga ia terlupa bahwa samurai seperti mereka kerap mendatangi rumah hiburan.

Seharusnya ia tidak boleh ditemukan oleh klan Uchiha atau pengikut klannya akan turut mendapatkan imbas. Selama ini pengikut klannya yang setia sudah hidup tenteram di gunung ini. Mereka makan dari hasil berkebun tanpa merasa kekurangan suatu apapun. Ia pun tidak ingin mengancam keselamatan ayah angkatnya yang tengah mengabdikan diri di tengah klan Uchiha demi memperlancar rencana klannya.

Kini ayahnya sudah mendapatkan posisi yang cukup aman; bendaharawan kelas rendah di kantor gudang domain kekuasaan daimyou Uchiha. Sebagai samurai berpangkat rendah klan Uchiha, ayahnya mesti menemuinya secara diam-diam sejak ia bisa mengingatnya. Sementara ia dititipkan pada Jiraiya yang mengajarinya teknik beladiri dan pedang. Setelah menginjak usia remaja, ia mengerti mengapa ayahnya selalu melarangnya untuk turut serta menghamba pada klan Uchiha.

Saat kecil, ia pernah masuk sekolah seperti anak-anak samurai yang lain dan sempat mempelajari sedikit sastra Cina klasik. Saat itu, derajatnya sebagai anak samurai kelas rendah membuatnya dilecehkan di luar kelas. Ketika bermain dengan teman sekelas, ia menjadi sasaran kesombongan anak-anak samurai dari kelas sosial yang lebih tinggi. Apalagi saat itu ia dianggap ganjil karena terus mengenakan penutup kepala. Semenjak itu, ia sudah merasakan kebencian pada masyarakat feodal yang tidak memungkinkan orang untuk berpindah kelas. Padahal, baginya semua manusia dilahirkan dengan harkat yang sama tingginya.

Di luar sekolah, ia mendapatkan latihan khusus sebagai seorang ninja dari Jiraiya. Itu sebabnya ia pernah berpikir membawa Hinata keluar dari Yoshiwara menggunakan teknik hipnotis atau ilusi untuk memperlancar usahanya. Namun, ia lebih senang memenangkan Hinata secara terang-terangan, bukan menyusup layaknya perampok.

Ia meningkatkan kewaspadaannya saat mendengar derap kaki kuda yang makin mendekat. Dirasanya tak ada yang membahayakan ia tetap tenang di tempatnya duduk.

"Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"

"Semua pesanan sudah dikirim, Waka-danna," jawab lelaki berambut cokelat itu. Ia mengikat kudanya di pohon terdekat sebelum mengambil tempat duduk di sebelah Naruto.

"Saat saya mengirimkan teh ke gudang makanan klan Hyuuga, saya menemukan pemandangan yang teramat indah."

Naruto tertarik sehingga ia menoleh pada lawan bicaranya, "Apa itu, Kiba?"

"Putri bangsawan Hyuuga sangat menawan." Kiba menjawab dengan entengnya, tanpa memedulikan raut wajah tuannya yang belum berubah.

"Bagaimana bisa kau melihat rupanya?" Naruto bertanya tanpa antusias.

"Saya tak sengaja melihatnya saat ia mengintip keadaan di luar kamarnya melalui celah shouji yang dibukanya sedikit." Kiba bercerita dengan penuh semangat. Wajahnya tampak berseri dengan senyum yang merekah, hingga tarikan bibir itu menghilang menemani tatapan sendunya. "Saya dengar ia akan segera diboyong ke Istana karena Kaisar menginginkannya," lirihnya. "Sepertinya ia sudah lebih dari enam belas tahun, dan kebanyakan Putri lain yang sebayanya memang sudah menikah. Tapi…."

"Memangnya apa yang kau harapkan?" sahut Naruto karena Kiba tak kunjung melanjutkan ceritanya. "Bagi seorang perempuan, tak ada yang lebih membahagiakan dari diinginkan oleh seorang Kaisar."

"—Tapi … yang saya tangkap, ia tidak bahagia…."

Naruto terkekeh geli. "Kau jatuh cinta padanya?"

Sontak Kiba keluar dari lamunan dan wajahnya bersemu dalam waktu singkat. "Tidak—ah, entahlah…."

"Jangan malu, itu manusiawi."

Merasa tidak bisa membalas, Kiba mengalihkan pembicaraan, "—Bagaimana dengan kekasih Waka-danna?"

Naruto tersenyum miris tanpa mengalihkan pandangan dari riak sungai. "Saat ini aku berharap ia masih bisa memercayaiku…."

.

.

.

Di tengah kegiatannya belajar sastra Cina klasik, tiba-tiba Sasuke terdiam. Ia mengarahkan pandangan pada pria di hadapannya yang kemudian balas menatapnya.

"Ada apa, Waka-danna?" tanya pria itu sembari menundukkan pandangan.

"Apa benar hanya klan Namikaze yang berambut kuning dan bermata biru?" tanya Sasuke.

"Benar, Tuan."

"Kau pernah bilang kalau Minato adalah Namikaze terakhir."

"Tidak salah lagi, Tuan."

"Kau juga bilang kalau Namikaze Minato sudah tewas karena seppuku."

"Bahkan ayah Anda juga menjadi saksi ritual tersebut."

Sasuke terkekeh dan menutup bukunya dengan cepat.

.

.

.

"Sebagai ahli waris klan Namikaze, seharusnya Anda lebih tegas, Waka-danna…."

Naruto mengerti bahwa para pengikut klannya ingin membalas dendam untuk memperjuangkan keadilan. Beberapa tahun silam ayah kandungnya, Namikaze Minato, harus menjalani ritual seppuku karena suatu tuduhan yang tidak dilakukan.

Menurut penuturan Jiraiya, ayahnya terlibat keributan yang dibuat oleh klan Uchiha. Ayahnya terbawa suasana hingga melakukan penyerangan pada daimyou Uchiha yang memerintah saat itu. Hanya mengacungkan senjata di dalam Istana Shogun sudah dianggap sebagai kejahatan besar. Terlebih Minato menyerang orang di Istana yang dapat diartikan dengan menggali kubur sendiri. Alhasil, hukuman yang dijatuhkan padanya setelah itu sangatlah berat.

Shogun yang mengetahui keributan itu kemudian mengamankan Minato. Karena tidak mampu membela diri, Minato dianggap telah menghina perintah Shogun. Padahal Minato hanya tidak ingin makin memperkeruh keadaan. Tidak ada banyak pilihan bagi Minato untuk lolos dari hukuman. Minato pun dijatuhi hukuman mati atas perbuatannya. Sebagai samurai sejati, Minato melakukan ritual seppuku. Akhirnya setelah menulis surat untuk keluarganya, Minato mengakhiri hidupnya dengan sebuah tusukan pisau ke perutnya.

Berita itu kemudian disampaikan salah seorang pengikut Minato kepada Jiraiya dan keluarga Namikaze. Pada waktu itu Jiraiya merupakan pemimpin samurai dan juga penasihat yang bekerja di istana Minato. Saat itu berlaku hukum bahwa jika seorang daimyou tewas karena seppuku, maka seluruh harta benda berikut istananya akan dikembalikan pada Shogun. Selain itu keluarganya akan kehilangan hak waris dan seluruh samurai yang menjadi pengikutnya akan dibubarkan—yang secara otomatis menjadi rounin.

Para pengikut Minato tetap setia dan mereka memutuskan untuk bermukim di gunung. Mereka mendirikan rumah, juga mulai berkebun. Mereka pun terus meningkatkan kemampuan teknik pedang mereka, di samping mempelajari ninjutsu dan teknik ninja lainnya. Mereka menilai bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai aksi balas dendam mereka—di saat klan Uchiha yang kolot menyia-nyiakan samurai secakap Itachi yang seharusnya menjadi daimyou berikutnya.

"Aku mengerti keinginan kalian," sambung Naruto yang menduduki zabuton di salah satu ujung lingkaran yang mereka buat. "Dengan balas dendam, berarti kita mengikuti kode bushido sebagaimana mestinya. Tapi dalam waktu yang sama kita bisa dianggap menentang Shogun, dan kalian sangat paham hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kita."

.

.

.

~* T B C *~

.

.

.

Note:
- Masa oiran adalah sebelum geisha muncul
- Kamuro: gadis kecil yang dipekerjakan di rumah bordil, calon oiran
- Hikkomi kamuro: julukan yang diberikan pada kamuro yang berumur empat belas atau lima belas tahun, jika sudah melalui tahap hikkomi maka seorang kamuro wajib menjadi pelacur
- Waka-danna: tuan muda
- Juga terinspirasi dari kisah para rounin

Arigatou gozaimashita, Minna-san….

Animea Lover Ya-ha, suka snsd, Yamanaka Emo, semuttt, namikazeallem, Na Fourthok'og, Zocchan, L, Chappy Siegrain Fernandes 09, Kanozo Egao, dyRR, OraRi HinaRa, sherry-chan akitagawa, Nakazawa Ayumu, SorValend, naruto lover, Natsu Hiru Chan, Nolarious, Dn, Kuro Tenma, sh-lovers, Ryuu, Fuuchi, el corona, mayraa, yessy, Hyuna toki, Guest

Sunday, September 23, 2012