Minna-san~ ^0^

Aira kembali hadir dengan fic abal nan gaje seperti biasanya. Hohoho...

Sekalian Aira mau mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang telah berkenan untuk mereview fic Aira yang sebelumnya.

Doumo Arigatou Gozaimasu. ^^

Okelah, tak perlu banyak omong deh.

Langsung saja.

Disclaimer : Bleach itu bukan punya saya, kalau punya saya pasti udah ancur deh sekarang. Oke, Bleach selamanya tetap punya Om Tite Kubo. Saya cuma pinjam characternya aja (tanpa bayar uang sewa) *dilempar kompor gas*.

Pairing : Masih tetap Ichigo K. & Rukia K.

Warning : OOC, AU, Typo (kayaknya), Gaje, Abal, Alur gak karuan, dll, dsb, dst, etc, lan liya-liyane (?)

Don't Like, Don't Read.

-Silver Ring-

.

.

_Chapter 1_

.

.

Butiran putih lembut terus turun membuat udara di kota Karakura semakin dingin. Bulan Januari, dimana musim dingin datang membawa butiran salju yang mambuat semua yang dijatuhinya berwarna putih bagai terselimuti kapas yang lembut. Suasana di taman Karakura masih ramai karena memang masih belum terlalu malam.

Disebuah kursi taman yang tempatnya cukup sepi, terlihat seorang wanita berambut hitam sebahu sedang duduk sendirian. Rukia Kuchiki, wanita itu masih memandangi salju yang turun dengan tatapan yang begitu sendu. Musim dingin seakan membuka kambali kenangan lalu darinya.

Pandangannya lalu beralih pada jari manisnya. Sebuah cincin perak dengan permata putih yang berkilau ditengahnya melingkar indah disana.

Rukia tidak pernah bisa melupakan bagaimana dia mendapatkan cincin itu. Sebuah cincin dari seseorang yang begitu dicintainya hingga sekarang. Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu. Tanpa terasa air mata mulai menetes dari iris violetnya yang indah.

"Ichigo... Maafkan aku."

Flash back

"Aku menyukaimu, Rukia," kata seorang pemuda berambut orange kepada gadis yang berdiri di depannya.

"I-Ichigo?" Rukia masih tampak terkejut dengan pengakuan Ichigo padanya. Ia memandang Ichigo dengan tatapan tidak percaya.

Tentu saja Rukia terkejut, karena selama ini dia tidak pernah berpikir kalau pemuda itu akan menyatakan perasaan kepadanya. Bukannya Rukia tidak menyukai Ichigo, sebenarnya gadis itu juga telah lama memendam perasaan pada pemuda berambut jeruk itu. Hanya saja dia tidak pernah mengatakannya sampai sekarang. Dan tiba-tiba saja Ichigo mengatakan kalau dia suka padanya? Rukia pasti bermimpi.

Ichigo masih menatap Rukia dengan lembut, membuat hati Rukia semakin berdebar tidak karuan.

"Bagaimana, Rukia? Apa kau mau menjadi pacarku?"

DEG.

Kalimat Ichigo barusan hampir saja membuat Rukia jatuh pingsan. Gadis itu tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia benar-benar bahagia karena ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Ya, Ichigo. Aku juga menyukaimu, aku mau menjadi pacarmu," jawab Rukia yang matanya mulai berkaca-kaca.

Ichigo tersenyum lebar begitu mendengar jawaban dari Rukia. Dia langsung memeluk Rukia dengan senangnya. Sedangkan Rukia semakin tidak bisa menahan air matanya. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.

Perlahan Ichigo melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Rukia dengan kedua ibu jarinya. Ichigo semakin mendekatkan wajahnya dengan Rukia, lalu ia mencium lembut bibir Rukia. Membuat semburat merah muncul di wajah Rukia.

Rukia tidak menolak saat lidah Ichigo mulai memasuki rongga mulutnya, bahkan Rukia turut mengikuti permainan lidah Ichigo.

Setelah beberapa saat, Ichigo melepaskan ciumannya dan menatap wajah Rukia yang memerah.

"Aku mencintaimu, Rukia," kata Ichigo membelai pipi Rukia.

"Ya, Ichigo. Aku pun mencintaimu."

Lalu bibir mereka kembali bersentuhan, saling merasakan satu sama lain.

Salju yang turun seakan menjadi saksi akan dimulainya cinta mereka. Kisah cinta yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

.

.

xXxXxXx

.

.

Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, dan sekarang Rukia sedang memasukkan buku-buku pelajarannya kedalam tas.

"Hai, Rukia," sapa seseorang yang telah berdiri disamping bangkunya.

Rukia menoleh dan mendapati sosok yang begitu disukainya sedang memandangnya sambil tersenyum.

"Ichigo." Rukia tidak bisa menahan senyumnya yang mengembang.

Ichigo lantas sedikit menunduk dan memberikan kecupan singkat di bibir Rukia.

"Pulang sekarang?" tanya Ichigo yang langsunng mendapat anggukan dari Rukia.

Ya, Ichigo dan Rukia adalah siswa dari SMA Karakura. Sudah dua minggu berlalu sejak mereka mengetahui perasaan masing-masing. Sejak itu pula mereka selalu terlihat bersama, entah itu saat di sekolah atau ketika pulang sekolah seperti sekarang ini.

Hal itu sering membuat para siswi SMA Karakura merasa iri pada Rukia, karena memang Ichigo adalah siswa terpopuler di sekolah dan begitu digilai oleh para murid perempuan.

Rukia sendiri tidak tahu bagaimana Ichigo bisa menyukainya. Yang jelas dia benar-benar merasa bahagia bersama Ichigo yang begitu baik dan pengertian padanya.

"Ichigo, kau tahu kan kalau akan ada festival perayaan tahun baru nanti?" tanya Rukia ditengah perjalanan pulang bersama Ichigo.

"Hn, ya aku tahu. Memang ada apa, Rukia?" kata Ichigo melihat Rukia yang masih berjalan disebelahnya.

"Ah, tidak ada apa-apa. Tadi Hinamori bilang kalau akan ada perayaan kembang api juga, pasti indah sekali," jawab Rukia sambil tersenyum.

"Oh, kau mau pergi kesana? Kita bisa pergi bardua kan."

Rukia menghentikan langkahnya dan menatap mata Ichigo, "Benarkah? Kau mau pergi bersamaku?"

"Jangan bertanya begitu. Tentu saja aku mau, kemana pun asal bersamamu aku takkan keberatan."

"Ah, terima kasih, Ichigo."

Ichigo hanya mengacak pelan rambut Rukia dan kembali melanjutkan langkahnya. Rukia memandang punggung tegap Ichigo yang telah mendahuluinya. Rukia benar-benar tidak bisa menepis perasaannya yang begitu besar pada pemuda itu.

"Hei, kenapa lagi? Ayo jalan," ajak Ichigo karena Rukia tak kunjung melangkahkan kakinya.

"Ah, iya, maaf," kata Rukia yang segera menyusul Ichigo.

.

.

xXxXxXx

.

.

"Tadaima."

"Okaeri, Ichi-nii."

Seorang gadis manis dengan rambut berwarna coklat karamel menyambut Ichigo dengan riang.

"Tumben Ichi-nii sudah pulang?" tanya gadis itu menghampiri Ichigo.

"Aku lelah, Yuzu. Aku ke kamar dulu," jawab Ichigo singkat pada adiknya dan segera berjalan ke kamarnya.

'Tidak biasanya Ichi-nii begitu. Kenapa ya?' pikir Yuzu heran sambil terus memandangi kakaknya.

"Ichi-nii tidak apa-apa?" tanya Yuzu pada Ichigo yang mulai menaiki anak tangga.

Ichigo berhenti sejenak lalu memandang Yuzu sambil tersenyum.

"Aku tidak apa-apa, Yuzu," jawab Ichigo kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

Yuzu masih terdiam memandang Ichigo hingga memasuki kamarnya. Walaupun Ichigo tersenyum, tapi Yuzu merasa kalau itu adalah senyum yang dipaksakan.

"Hhh..." Yuzu menghela nafas berat.

'Mungkin Ichi-nii sedang ada masalah,' batin Yuzu yang kemudian segera berjalan ke dapur untuk melanjutkan acara memasaknya.

.

.

Ichigo langsung menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur begitu memasuki kamarnya. Entah kenapa hari ini kondisinya tidak seperti biasanya. Sejak tadi ia merasakan sakit di kepalanya. Akhir-akhir ini Ichigo memang sering sakit kepala, namun tidak pernah sampai sesakit ini.

"Aarrgghh...," erang Ichigo memegangi kepalanya yang seakan mau pecah.

Ichigo mencoba untuk bangun, tapi sedikit saja dia menggerakkan kepalanya membuatnya kembali mengerang kesakitan.

"Aaarrgghhh... Kenapa sesakit ini?"

"Ichi-nii, makan siangnya sudah siap," ujar dari depan pintu kamar Ichigo.

Ichigo tidak menjawab, dia hanya berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Namun sekali lagi rasa sakitnya kembali membuatnya duduk di tepi ranjang.

Karena tidak ada jawaban, akhirnya Yuzu membuka pintu kamar Ichigo.

"Ichi-nii, ayo makan. Semuanya sudah me- Ichi-nii?" Yuzu sedikit terkejut saat melihat kakaknya yang masih duduk di tepi ranjang dengan wajah kesakitan.

"Ichi-ni tidak apa-apa?" tanya Yuzu khawatir dan berjalan mendekati Ichigo.

Ichigo yang melihat Yuzu menghampirinya berusaha menyembunyikan rasa sakitnya lalu tersenyum kearah adiknya itu.

"Aku baik-baik saja, Yuzu. Jangan khawatir," kata Ichigo pelan sambil berusaha bersikap biasa.

"Apa benar? Tapi Ichi-nii pucat sekali."

"Ya, aku baik-baik saja. Sekarang ayo kita makan," ajak Ichigo pada Yuzu yang masih memandangnya dengan khawatir.

"Ya, baiklah," jawab Yuzu sambil mengangguk pelan.

Perlahan Ichigo mencoba untuk berdiri, namun sakit di kepalanya kembali menghilangkan keseimbangannya dan membuatnya terjatuh ke lantai.

"Aarrgghhh, sial."

"Ichi-nii!" pekik Yuzu yang langsung menghampiri kakaknya, ekspresi khawatir terlihat jelas dari wajah gadis itu.

"Ichi-nii kena-" perkataan Yuzu terhenti begitu melihat darah yang mengalir dari hidung Ichigo.

"Yu-Yuzu... Uugghhh..." Rasa sakit di kepalanya benar-benar membuat Ichigo tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Perlahan pandangannya mulai kabur, samar-samar Ichigo masih mendengar suara Yuzu yang memanggil-manggilnya dengan khawatir sebelum akhirnya ia kehilangan kesadarannya.

"Ichi-nii!" panggil Yuzu sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ichigo, air matanya sudah menetes terus sejak tadi.

"Ayah! Tolong! Tolong Ichi-nii!"

.

.

xXxXxXx

.

.

Ichigo membuka matanya perlahan. Dia berada di sebuah ruangan yang dipenuhi nuansa putih. Ah, dia tahu kalau ini bukan kamarnya. Ichigo mengerjapkan matanya, masih belum terbiasa dengan cahaya yang memasuki matanya. Kepalanya masih terasa pusing, tapi dia berusaha mengabaikannya.

"Ichigo, kau sudah sadar?" Seorang wanita berambut coklat panjang semakin mendekatkan dirinya dengan Ichigo yang masih terbaring diatas ranjang.

"Ibu, i-ni dimana?" tanya Ichigo pada ibunya yang masih memandangnya dengan khawatir.

"Kau ada di rumah sakit, Ichigo," jawab Masaki, ibu Ichigo sambil menggenggam tangan putranya tersebut.

"Kau benar-benar membuat kami khawatir, Ichigo. Bagaimana persaanmu sekarang?" tanya seorang laki-laki yang berdiri disamping Masaki. Kurosaki Isshin.

"Entah, Ayah. Aku-"

Ichigo tidak melanjutkan kata-katanya saat mendengar pintu ruangan terbuka. Terlihat seorang dokter wanita berparas cantik memasuki kamar tersebut.

"Selamat sore," sapa wanita itu dengan senyum di wajahnya.

"Maaf, Tuan dan Nyonya Kurosaki. Bisa saya bicara sebentar?"

"Tentu, Unohana-sensei," jawab Isshin tenang pada dokter tersebut. Unohana Retsu.

"Kalau begitu mari ke ruangan saya," kata Unohana yang kemudian berjalan menuju ruangannya diikuti oleh Isshin dibelakangnya.

"Sebentar ya, Ichigo," kata Masaki lembut kemudian segera menyusul suaminya memasuki ruangan Unohana.

Ichigo menghela nafas panjang lalu mencoba duduk dari posisinya semula. Perlahan ia turun dari ranjang dan berjalan pelan mendekati ruangan Unohana.

"Tidak, tidak mungkin. Itu tidak benar kan, sensei?" Samar-samar Ichigo mendengar suara ibunya dari dalam ruangan. Membuat Ichigo semakin penasaran dan lebih mendekati ruangan tersebut.

"Maaf sebelumnya. Tapi hasil pemeriksaannya menyatakan kalau putra anda mengidap kanker otak, dan telah sampai pada stadium lanjut."

DEG.

Sebuah tombak seakan menancap tepat di jantung Ichigo begitu mendengar kata-kata dari Unohana barusan. Tidak. Ini tidak mungkin. Pikiran Ichigo terus mencoba meyakinkan kalau yang didengarnya tadi tidak benar.

"Apa tidak ada cara untuk mengobatinya, Sensei?"

Pertanyaan Isshin barusan kembali membawa Ichigo pada realitas.

"Maafkan saya karena mengatakan ini, tapi dilihat dari kondisinya saat ini, harapannya masih sangat tipis. Disamping itu kankernya sudah mencapai tingkat yang sangat berbahaya. Yang saya khawatirkan adalah kalau dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

"Tidak. Hiks... Ini tidak mungkin..." Suara isakan tangis semakin terdengar dari mulut Masaki.

"Kalau memang begitu, berapa lama lagi dia bisa bertahan?" tanya Isshin yang membuat isakan tangis Masaki semakin menjadi.

"Saya tidak bisa memastikan mengenai hal itu. Tapi jika dilihat dari penyebaran sel kankernya, saya khawatir dia tidak bisa bertahan lebih dari satu bulan."

Sudah cukup. Ichigo tidak sanggup lagi mendengarnya. Tubuhnya langsung merosot terduduk dilantai ketika menyandarkan punggung pada dinding ruangan.

Kata-kata Unohana barusan terus terngiang dalam ingatannya. Satu bulan, benarkah hidupnya hanya akan sampai pada saat itu? Kanapa semua ini harus terjadi padanya? Apakah benar dalam sebulan lagi hidupnya akan berakhir?

"Tidak, tidak mungkin. Aku tidak mau seperti ini," gumam Ichigo terus menundukkan kepalanya. Dia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya yang menetes.

.

.

Pintu ruangan Unohana terbuka. Isshin keluar bersama Masaki yang masih terus terisak menahan tangis. Dibelakangnya terlihat dokter Unohana yang mengikuti mereka.

"Ayah, Ibu," panggil Ichigo yang kini duduk di atas ranjangnya. Dia menatap datar pada ketiga orang tersebut.

Masaki segera menyeka air matanya dan berusaha untuk menunjukkan sebuah senyuman pada Ichigo seakan tidak terjadi apa-apa. Namun Ichigo tahu kalau senyuman ibunya adalah senyuman yang dipaksakan.

"Ya, ada apa Ichigo?"

"Apa aku akan mati?" tanya Ichigo masih menatap datar ke arah tiga orang tersebut.

Pertanyaan Ichigo barusan sukses membuat tiga orang yang mendengarnya terkejut.

"Kenapa kau bertanya begitu, Ichigo?" tanya Isshin tanpa menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya.

"Aku sudah dengar semuanya," jawab Ichigo singkat.

"Ichigo..." Masaki sudah tidak bisa menahannya lagi. Wanita itu segera berhambur memeluk putranya dan tangisnya pecah seketika.

"Tidak, Ichigo. Kau jangan berkata begitu," ujar Masaki yang terus menangis dalam pelukan Ichigo.

"Ibumu benar, Ichigo. Kami akan terus berusaha agar kau sembuh. Benar kan, Sensei," kata Isshin memandang Unohana penuh harap.

Unohana yang dipandang seperti itu hanya bisa menghela nafas dan memejamkan matanya sejenak.

"Itu benar, kami semua akan mengusahakan yang terbaik yang kami bisa." Unohana memandang Ichigo dengan senyuman seperti biasanya.

Hening. Beberapa menit mereka hanya terdiam tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Semua masih tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Walaupun Unohana berkata seperti itu, namun semua seakan sudah bisa mengetahui bagaimana akhirnya nanti.

"Boleh aku minta tolong satu hal?" tanya Ichigo kembali memecah keheningan yang menyelimuti mereka sejak beberapa menit lalu.

Masaki melepaskan pelukannya dan menatap Ichigo lekat-lekat.

"Tolong jangan beritahu Rukia tentang ini."

Sesaat tidak ada jawaban dari dari sepasang suami istri tersebut. Mereka saling melempar pandangan, bingung dengan permintaan putra mereka itu.

Namun kemudian Isshin menganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Kami tidak akan memberitahu Rukia-chan tentang ini."

"Terima kasih, Ayah."

.

.

xXxXxXx

.

.

Jam 8 malam. Hiasan lampu terlihat disana-sini. Benar, malam ini adalah malam diadakannya festival tahun baru. Suasana terlihat sudah cukup ramai, ada banyak tempat yang menyediakan berbagai makanan, hiburan, dan juga terdapat beberapa stand permainan.

Seorang gadis manis bertubuh mungil terlihat begitu bersemangat menghampiri stand-stand permainan yang menarik perhatiannya.

"Rukia, apakah kau akan mencoba semua permainan yang ada disini?" keluh seorang pemuda berambut jingga kepada kekasihnya yang masih terlihat bersemangat mencoba satu-persatu permainan yang disediakan.

"Memang kenapa, Ichigo?"

"Tidak, ah, tunggu sebentar. Aku segera kembali," kata Ichigo singkat. Tanpa mempedulikan protes dari kekasihnya itu, Ichigo segera pergi meninggalkan Rukia yang keheranan.

Setelah beberapa lama Ichigo kembali dan menghampiri Rukia yang menunggunya di depan sebuah stand permainan menembak.

"Kau dari mana saja sih, Ichigo?" kesal Rukia saat Ichigo sudah ada didepannya.

"Hehe... Maaf." Ichigo hanya nyengir seperti biasa lalu dia menyerahkan sebuah boneka Chappy yang dari tadi ia sembunyikan dibalik punggungnya. "Aku hanya mencarikan ini," lanjutnya.

"Ichigo? Ini untukku?" tanya Rukia bingung.

"Tentu saja, Midget. Memangnya untuk siapa lagi?"

"Yeeyy... Terima kasih, Ichigo," seru Rukia girang dan langsung memeluk Ichigo membuat wajah Ichigo sedikit memerah.

"Ru-Rukia, bisa tolong lepaskan? Disini banyak orang," kata Ichigo sedikit kikuk. Rukia segera melepaskan pelukannya, dan benar saja. Memang sudah ada banyak orang yang memperhatikan mereka.

"Ups, hehehe, gomen, habisnya aku senang sih," kata Rukia sambil tersenyum, membuat jantung Ichigo berdebar.

"Terima kasih, Ichigo," bisik Rukia pelan ditelinga Ichigo kemudian mengecup pipi kekasihnya itu.

Ichigo tersenyum menatap gadis dihadapannya lalu mencium bibir Rukia. Mengabaikan orang-orang yang mungkin saja memperhatikan mereka.

.

.

-To be Continue-

.

.

Bagaimanakah? Gaje ya?

Hohoho, ya baiklah. Aira ucapkan terima kasih bagi yang telah berkenan untuk membaca. Dan seperti biasanya, Aira mohon REVIEW dari para reader sekalian. ^_^

Yap. Review? Kritik? Saran? Flame?

Saya terima... ^_^

Karena Aira sadar kalau fic ini masih banyak kekurangannya.

~Aira Yuzuriha~