Sudah satu minggu lebih Hinata menyadari tidak ada lagi orang-orang yang mengganggunya di kampus. Mungkin Sasuke sudah menepati janjinya untuk mengurusi orang-orang tersebut. Senyuman kecil terkembang di bibirnya. Hinata tidak pernah menyangkan bahwa hubungannya dengan Sasuke sudah berubah sedrastis ini, dalam artian yang lebih baik. Hal ini cukup mengejutkannya karena dia terlalu menikmati hubungannya dengan Sasuke. Hal ini membuat perasaan bersalahnya pada Sasori semakin memuncak.

Seharusnya dia tidak menikmati hubungannya dengan Sasuke, bukankah dia sudah mengatakan bahwa lelaki yang dicintainya itu Sasori. Namun semakin kedekatannya dengan Sasuke tak terkontrol, dia tidak bisa lagi mengatakan bahwa hatinya hanya dimiliki oleh Sasori saja. Hembusan napas berat keluar dari mulutnya. Dia benar-benar seorang wanita yang jahat.

"Seseorang sepertinya sedang memiliki masalah."

"T-Tenten-san!"

"Ada apa Hinata, wajahmu resah sekali bahkan kau tidak mendengarku menyapamu tadi."

"B-Benarkah? M-Maaf." Hinata memainkan jari-jemarinya. "U-Ujian Akhir Semester sebentar lagi tiba. A-Aku berharap kita semua mendapatkan nilai yang baik."

"Apa kau serius sedang memikirkan Ujian Akhir? Kukira seseorang yang pandai sepertimu tidak akan kesulitan mendapatkan nilai A."

Hinata tertawa garing. "I-Itu tidak benar."

Tenten memang benar, dia tidak begitu memiliki kesulitan mendapatkan nilai tersebut. Tapi hanya itu yang bisa dipikirkannya. Seorang Hyuuga Hinata yang culun menceritakan masalah tentang laki-laki rasanya akan sangat bertolak belakang dengan peran yang sedang dimainkannya.

"Hmm, kau tidak perlu terlalu memikirkan masalah nilai. Aku tahu itu penting, tapi kadang selama kita sudah berusaha sebaik mungkin sebaiknya kita membiarkan hal tersebut mengalir," ungkapnya dengan senyuman yang manis sekali.

Hinata membalas senyumannya itu. Tenten seorang gadis yang sangat baik. Dia tidak menilai seseorang dari penampilannya. Dia tidak pernah malu berdekatan dengan seseorang yang culun sepertinya. Hinata mengagumi cara Tenten menjalankan hidupnya itu, simple dan tanpa kebohongan, sesuatu yang sebenarnya Hinata harapkan.


The Truth Behinds the Mask

By

Hiname Titania

Disclaimer

Naruto always belongs to Masashi Kishimoto

Warnings

No Plagiarism

AU, OOC, miss(typo)s, etc.

.

.

Chapter Twelfth

Huge Chaos

.

.


Sasori, Sasuke, Sasori, Sasuke, Sasori, Sasuke, Sasori...

Hatinya terus berkomat-kamit memanggil dua nama laki-laki tersebut bersamaan dengan kelopak-kelopak bunga yang Hinata lepas dari tangkainya. Dia seperti seorang remaja di sinetron-sinetron mencoba memastikan hatinya dengan membuang kelopak-kelopak bunga satu persatu. Tanpa menyelesaikan kegiatannya itu dia membuang bunga yang masih tersisa beberapa kelopaknya lagi dengan cepat. Saat itulah dia melihat seorang pria asing di sampingnya, duduk sekitar satu meter darinya. Mata hijau pucatnya memandangnya aneh, tapi dia kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada jalanan dengan headphone yang menempel di rambut merah darahnya.

Dia seorang lelaki yang karismatik, ada aura bad boy yang menguar kuat darinya. Hinata berani bertaruh banyak gadis yang menaksirnya. Apalagi dengan penampilan rockstar-nya dengan tato merah bertuliskan "Ai" dalam kanji di dahinya memperkuat aura bad boy-nya itu. Mungkin dia juga pernah mengalami kegalauan yang dirasakannya.

Entah keberanian darimana, tapi Hinata berjalan mendekat untuk kemudian duduk di sampingnya. Lelaki berambut merah itu menatapnya dengan pandangan mengusir, jelas dia tidak ingin diganggu oleh orang asing sepertinya. Tapi entah kenapa Hinata merasa lelaki asing ini memiliki jawaban yang Hinata butuhkan.

"Hey," sapa Hinata.

Lelaki asing itu jelas tidak menjawab semakin menunjukkan ketidaksukaannya.

Hinata diam sejenak. Namun dengan tidak sopannya dia melepaskan headset yang dikenakan lelaki itu. Lelaki itu langsung menatapnya dengan pandangan melotot.

"Sorry," tutur Hinata. "Tapi bisakah kau mendengarku sebentar saja?"

Dia masih tidak menjawabnya.

"Apa kau tidak bisa berbicara?" tanya Hinata dengan polosnya, dia sama sekali tidak bermaksud menghina lelaki itu, dia hanya penasaran.

"Pergilah."

"Oh ternyata kau bisa bicara," seru Hinata takjub. Raut kekesalan semakin terlihat dari wajahnya. "Aku tidak bermaksud mengganggumu. Sungguh. Hanya saja... aku merasa kau bisa membantuku."

"Apa aku terlihat seperti lelaki yang dermawan?" tanyanya sakartis.

"Tidak," aku Hinata menyetujui.

"Lantas kenapa kau masih berani meminta bantuanku?"

"Entahlah, sebut aku gila tapi perasaanku mengatakan kau bisa membantuku. "

Dia tidak beragumen lagi, sudah nampak malas untuk melakukannya. Hinata melihat ini sebagai kesempatan.

"Apa kau pernah mencintai dua orang secara bersamaan?" Lelaki asing itu kembali bungkam. "Aku mungkin sedang mengalaminya," lanjut Hinata dengan raut sendu.

"Satu orang laki-laki sudah kucintai beberapa tahun lamanya, kurasa dia adalah cinta pertamaku. Sejak pertama kali aku melihatnya aku selalu mengangguminya, menurutku dia adalah lelaki yang luar biasa, aku selalu ingin bersamanya. Selama ini kukira hanya dia yang akan kucintai. Satu-satunya lelaki yang akan mengambil hatiku. Sebelumnya jika aku bertanya pada diri sendiri, "siapa yang aku cintai?" Tanpa ragu aku akan menyebut namanya. Akan tetapi sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Memaksaku berhubungan dengan lelaki lain yang sebelumnya tidak pernah kupikirkan. Awalnya aku membenci lelaki yang lain ini, menurutku dia adalah lelaki paling menjengkelkan yang pernah kutemui. Dia selalu melakukan sesuatu seenaknya, arogan dengan sekelilingnya. Selalu menunjukkan dirinya seperti seorang penguasa pada dunia, lalu sewaktu-waktu tanpa sengaja aku melihat sisi lemahnya. Untuk pertama kalinya aku melihat punggungnya yang biasanya berdiri tegak berubah menjadi layu. Aku melihatnya menangis."

Hinata berhenti sejenak, napasnya menjadi berat ketika dia mengingat kembali kejadian itu. Ketika ia melihat Sasuke menangis dipelukannya.

"Aku pikir... aku akan senang melihatnya menderita, tapi nyatanya aku merasakan nyeri yang tak terduga ketika melihatnya menangis. Aku tidak pernah berpikir akan mengatakan ini, tapi aku ingin melihatnya bahagia." Hinata terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan. "Mungkinkah aku hanya merasa kasihan padanya?"

"Itu cinta," jawabnya tiba-tiba. "Kau bilang kau membencinya, dia menjengkelkan. Tidak ada alasan untukmu mengasihaninya. Tapi kau merasakan sakit ketika melihatnya menderita dan kau ingin membuatnya bahagia. Aku tidak tahu itu apa jika bukan cinta."

"Tapi... bagaimana dengan lelaki yang sudah kucintai sejak lama?"

"Mungkin kau benar bahwa kau memang mencintai keduanya. Atau mungkin sebenarnya hatimu telah berubah. Kau harus mencari tahu jawabannya sendiri."

"Bagaimana caranya?"

"Aku tidak tahu." Hinata termenung, tetapi perkataannya selanjutnya menusuk langsung kehatinya. "Yang kusarankan hanya satu. Jangan egois dengan menginginkan keduanya. Hal itu tidak adil untuk mereka."

Setelah itu lelaki asing itu pergi menaiki bis yang sudah ditunggunya.

...


Hinata tiba di rumah Sasori. Dia memang sudah berjanji untuk bertemu dengannya sore ini. Mungkin ini juga adalah kesempatannya untuk memperjelas perasaannya. Lelaki asing itu benar, dia tidak bisa egois lagi, karena itu tidak adil untuk mereka.

"Hinata, masuklah," ucap Sasori begitu membuka pintunya.

Dia masuk ke dalam rumah Sasori yang sudah cukup familiar. Sasori nampak tampan seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang hilang.

"Bagaimana dengan tanganmu, apa kau sudah memeriksakannya kepada dokter?"

Sasori menunjukkan salah satu tangannya yang diperban. "Sudah mendingan."

"Syukurlah." Hinata tersenyum tulus.

"Apa kau ingin kopi?"

Hinata kembali tersenyum, Sasori memang selalu tahu apa yang dibutuhkannya. "Boleh."

"Sebentar," tutur Sasori seraya berjalan ke arah dapur. Namun Hinata mengikuti Sasori.

"Tunggu saja, aku akan membuatkanmu kopi."

"Apa kau pikir aku akan dengan tega membiarkan seseorang dengan luka di tangannya membuatkanku kopi? Sementara kedua tanganku yang sehat mampu melakukannya."

Sasori hanya tersenyum kecil, tapi membiarkan Hinata bergerak untuk membuat kopinya sendiri. Ada perasaan lega menguasai hatinya, ketika melihat Hinata di dapurnya bergerak cekatan mengambil barang-barangnya seolah dapur ini adalah dapurnya sendiri.

"Bagaimana dengan proyekmu? Apa atasanmu sudah memberikan persetujuannya?" tanya Hinata seraya menyeduh kopinya.

"Ya, tapi tetap saja dia tidak mau mengganti partnerku. Dia tetap memasangkanku dengan Deidara."

Sasori dan Deidara memang bekerja di perusahaan seni estetika yang sama. Namun sepertinya pandangan keindahan mereka akan seni cukup bertolak-belakang membuat mereka sering kali berargumen.

"Kurasa Deidara tidak akan suka jika mendengar ini, lagipula tidak ada salahnya kan bekerja sama dengan Deidara?"

"Hah, seperti kau tidak tahu saja. Bagaimana ide kreatifnya hanya tentang wanita bugil dan bugil," keluh Sasori dengan nada tak suka.

Mendengar itu Hinata tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak tertawa. Dia tertawa lepas sekali. Sementara Sasori menatapnya penuh arti.

"Kau sepertinya senang sekali melihatku menderita," tutur Sasori seraya menipiskan jaraknya dengan Hinata.

"Bu-bukan begitu," tutur Hinata di sela-sela tawanya.

Sasori segera memegang kedua pipi Hinata, membuat Hinata menghentikkan tawanya.

"I miss you," tutur Sasori sebelum kemudian mencium bibirnya. Kedua bola mata Hinata membelelak, jelas-jelas tidak mengira dengan ciuman dadakan tersebut. Namun perlahan-lahan dia menutup matanya, membiarkan Sasori menuntunnya dalam permainan lidah tersebut.

Hinata meresapi setiap kecupan Sasori itu. Mencoba rileks dan menikmatinya.

Akan tetapi dia tidak merasakan kupu-kupu yang biasanya bertebaran diperutnya tiap kali Sasori menciumnya. Tidak ada perasaan antusias seperti yang dirasakannya beberapa minggu yang lalu. Sasori bukanlah seorang pencium yang buruk, dia adalah lelaki yang memiliki daya tarik seksualitas yang tinggi. Tapi kenapa Hinata tidak merasakannya lagi?

Hanya satu hal yang dirasakannya sekarang, satu hal yang pasti yang membuat perutnya mulas bukan main. Hinata merasakan...

...jijik pada dirinya sendiri. Hinata segera mendorong Sasori menjauh.

"Hinata?" Sasori menatapnya bingung.

Jantung Hinata berdebar kencang, bukan karena ciuman dari Sasori, tapi kesadaran akan perasaannya sendiri. Kenyataan bahwa perasaannya untuk Sasori sudah tidak sama lagi karena yang pertama kali Hinata pikirkan ketika Sasori menciumnya adalah Sasuke.

"A-Aku lapar," dalihnya.

...


"Sasuke, akhir-akhir ini kulihat moodmu semakin baik?"

"Benarkah?"

"Apa ada kabar baik yang tidak kuketahui?"

"Tidak ada."

"Lantas mengapa sepertinya kau lebih manusiawi dari biasanya?" tanya Naruto tidak menyembunyikan rasa herannya.

Sasuke berdecak kecil.

"Apa aku selama ini seperti manusia tak berhati?"

"Ya, kau adalah lelaki paling berhati dingin yang pernah kutemui. Tapi beberapa minggu terakhir ini kau berubah. Aku tidak percaya saat kemarin aku melihatmu membantu nenek-nenek menyebrang jalan!"

Sasuke menatap Naruto aneh.

"It's common sense. Orang dengan pikiran logis jelas akan membantu nenek-nenek yang memang kesulitan menyebrang."

"Tapi hal itu sangat tidak sepertimu. Kau yang kukenal itu tidak berhati, kau yang kukenal itu tidak akan peduli dengan urusan orang lain apalagi sampai membantunya. Kau itu seseorang yang hanya memperdulikan dirimu sendiri."

"Benarkah?"

"YA!"

"Aku mungkin memang berubah."

"Kau jelas berubah, tapi yang membuatku penasaran adalah apa penyebab dari perubahan sikapmu yang sangat tidak manusiawi menjadi cukup manusiawi ini."

Sasuke tersenyum penuh arti.

"Dan sekarang kau sering tersenyum-tersenyum sendiri seperti ini!" seru Naruto ketakutan.

"Jawabannya mudah dobe," tuturnya dengan nada bangga dia melanjutkan. "Find youself the right girlfriend. Setelah itu hidupmu akan lebih baik."

"Hah jadi ini semua gara-gara pacarmu itu. Apa masih wanita yang sama yang aku lihat di rumahmu waktu itu?"

Sasuke mengangguk.

"Tak kusangka kau akan setia seperti ini. Apa yang membuatnya berbeda dari pacar-pacarmu sebelumnya?"

"Kau tidak bisa membandingkannya dengan yang lain. Dia yang terbaik."

"Sungguh?" tanya Naruto kali ini dengan nada meremehkan yang tidak Sasuke lewatkan. "Sepertinya pacar terbaikmu ini sedang menikmati makan malamnya dengan laki-laki lain, Sasuke."

Sasuke menghentikan langkahnya. Di sebrangnya dia melihat Hinata dan laki-laki berambut maroon yang cukup familiar sedang duduk dan berbicara serius di depan sebuah restoran cepat saji.

...


Hinata duduk dalam hening. Kepalanya tertunduk menatap pahanya yang terlapisi oleh rok bergaris-garis. Dia tidak tahu harus memulai darimana percakapannya dengan Sasori ini. Kepada Sasori, dia telah menjadi seorang wanita yang paling brengsek. Dia tidak bisa menjaga hatinya sendiri, sementara Sasori dengan sabar mau menjadi selingkuhannya. Rela hatinya tercabik-cabik demi bersamanya. Dan sekarang dia sendiri malah mencintai orang lain. Sungguh dia adalah wanita terburuk.

"Sasori," tutur Hinata akhirnya. Suaranya sangat pelan dan lemah.

"Ya, Hinata?" tuturnya, dia masih sabar menunggu Hinata melanjutkan perkataannya. Semenjak ciuman tadi, Sasori sadar ada yang aneh dari Hinata. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Jujur dia merasakan firasat buruk tentang ini.

"Maafkan aku," lirihnya.

Awal kata yang buruk pikir Sasori. Hatinya tidak bisa dipungkiri merasa resah dengan kemana jalan pembicaraan ini akan berlangsung.

"Aku... aku... w-wanita terburuk," lanjutnya.

"Kau bukan wanita-!"

Hinata segera memotong pembicaraannya. "Ya Sasori, aku ini wanita yang sangat b-buruk!"

Sasori terkesima begitu melihat aliran mata dari kedua bola mata indah Hinata. Jelas dia tidak menyangka bahwa Hinata akan menangis seperti ini.

"Aku... aku wanita terburuk k-karena aku tidak bisa m-menjaga hatiku sendiri Sasori," ungkap Hinata akhirnya. Raut penyelasan tampak begitu jelas dari wajahnya. "M-Maafkan a-aku."

Waktu mendadak terasa melambat. Sasori bisa mendengar debar jantungnya yang berdetak sangat cepat. Kepalanya berdengung-dengung. Dia bisa mendengar teriakan hatinya. Teriakan hatinya yang terus menyuruhnya untuk segera terbangun dari mimpi buruknya ini.

Tapi semua ini bukanlah mimpi, rasa perih dihatinya serta kepalan kuat tangannya membuktikan kenyataan yang sedang dihadapinya ini. Napas Sasori menjadi cepat. Dia tidak bisa berkata apa-apa.

"A-Aku tidak pantas untukmu lagi Sasori. Kau pantas mendapatkan gadis yang jauh lebih baik. Kau pantas bahagia."

Keheningan menjalar dua insan tersebut untuk beberapa saat.

"Kau tidak mencintaiku lagi, Hinata?" lirih Sasori kemudian.

Kedua bola mata indahnya melebar, air mata masih tidak berhenti mengalir dari kelopaknya itu. Hinata menggigit bibir bawahnya yang ranum itu. Dan dia kembali mengatakan kata-kata terkutuk itu lagi.

"M-Maafkan aku."

"Apa sekarang kau mencintainya?" tanya Sasori lagi tanpa emosi jiwa sementara hatinya sudah hancur berkeping-keping. Wanita yang sudah menjadi cinta di dalam hidupnya semenjak dia mengenal arti cinta itu sendiri, kini sudah tidak mencintainya lagi. Perasaan yang sedang dirasakannya sekarang ini tidak bisa dijelaskan. Sasori merasa dunianya yang sudah dibangung dengan hati-hati olehnya ini hancur bagai terserang kiamat hanya dengan perkataan dari gadis ini yang mengakui bahwa hatinya telah berpaling pada laki-laki lain. Cinta dihidupnya telah menghianatinya.

Dunia ini terlalu kejam.

"Hinata, apa lelaki ini yang membuatmu menangis?"

Tanpa disangka-sangka dalang dibalik kehancuran hidup asmaranya menunjukkan batang hidungnya. Sekarang bertingkah layaknya seorang pahlawan. Sasori menggeram.

"S-Sasuke?!" Sasori bisa melihat keterkejutan dari wajah Hinata. Rasa tidak suka begitu kuat muncul ketika Sasori melihat tangan Hinata dengan naturalnya menyentuh pergelangan pria brengsek ini. "S-Sasori tidak menyakitiku."

Sasuke segera menarik tangan Hinata pergi. Tangan Sasori dengan cepat menahan kepergian Hinata dengan menarik pergelangan tangannya yang lain.

Keheningan menggelenggar. Dia bisa merasakan tatapan-tatapan orang-orang ke arah mereka. Mereka bertiga sudah menjadi pusat perhatian pengunjung restoran.

"Lepaskan, tangannya," perintah Sasuke dengan nada mengancam. Mata tajamnya berkilat tajam ke arah Sasori.

Sasori balas menatap Sasuke tak kalah tajam. Tatapannya menantang. Dia sudah lelah menjadi orang yang terus mengalah, biar dia bertindak egois untuk kali ini.

"S-Sasori..." Hinata memanggilnya dengan sendu. Sasori tahu bahwa Hinata juga berharap dia melepaskan genggamannya di tangannya ini.

Tapi dia tidak bisa. Dia tidak bisa begitu saja melepasnya pergi.

"Dia milikku," ungkap Sasori. Keras dan jelas terarah pada Sasuke. Sudah berapa lama dia ingin mengatakan hal ini pada pria bernama Sasuke ini. Dia merasa di atas awang untuk sesaat.

Sasori bisa mendengar suara terkejut Hinata bersamaan dengan tonjokan yang melayang keras ke pipinya. Membuatnya terdorong menabrak meja di belakangnya. Menghancurkan makan malam pengunjung restauran itu. Dia bisa merasakan tulang pipinya yang remuk beserta dengan darah yang mengalir dari gusinya. Matanya berpandangan tajam dengan mata gelap yang berkilat marah ke arahnya. Tapi dia tidak akan diam, Sasori berdiri dan membalas pukulan Sasuke itu tak kalah kuat.

Yang terjadi berikutnya begitu cepat. Dua orang laki-laki bergerak saling memukul, saling melukai fisik masing-masing. Tidak peduli dengan rasa sakit, mereka terus baku hantam. Membuat para pengujung lain berteriak-teriak ketakutan dan meminta tolong. Merusak peralatan-peralatan restauran. Membuat Hinata menangis tersedu-sedu, teriakan-teriakan permohonannya mereka tak acuhkan.

"Hinata mencintaiku," tutur Sasori di sela-sela hantaman masing-masing. "Bukan kau! Cepat atau lambat dia akan meninggalkanmu! Membuangmu untuk bersamaku!"

Sasuke semakin menyerangnya membabi buta. Sasori tidak peduli dengan dusta yang terus ia katakan itu. Untuk sekarang dia hanya ingin bertindak egois, mengikuti fantasinya yang jauh lebih menyenangkan daripada realitas kehidupannya. Nyatanya dia telah kehilangan Hinata, kehilangan cinta hidupnya gara-gara pria bajingan ini.

Emosi kesakitan yang ditunjukan dua mata gelap itu cukup membuat Sasori puas sebelum semuanya menjadi gelap.

...


"SASUKE!" Hinata terus memanggilnya, tapi Sasuke mengabaikannya. Dia berjalan cepat menuju rumahnya. Masuk ke kamar Hinata kemudian menggunakan koper yang ada kemudian memasuk-masukkan barang-barang Hinata ke dalamnya.

"Sasuke apa yang sedang kau lakukan?!" teriak Hinata. "Lukamu harus segera diobati, bagaimana kalau kau infeksi?!"

"DIAMLAH!"

Hinata langsung terdiam. Sasuke terus bergerak cepat mengambil barang-barangnya dari lemari, dari meja rias.

"Sasuke," panggil Hinata kali ini lebih lembut. Dia benar-benar khawatir dengan luka di wajah serta tubuh Sasuke. Untung Sasori sudah di bawa ke rumah sakit. Tapi Sasuke bukannya ikut ditangani dia malah menariknya pergi dan membawanya ke rumahnya. "Obati luka-lukamu dulu, kumohon Sasuke."

Sasuke menghentikan kegiatannya, kemudian menatapnya dingin. "Apa pedulimu?"

Hinata tertegun. Tubuhnya langsung lemas.

Setelah selesai mengepak semua barang-barangnya. Sasuke langsung menarik tangannya kasar keluar dari rumahnya. Hinata terjatuh ke teras rumah ketika Sasuke mendorongnya keluar diikuti dengan koper-koper yang Sasuke lemparkan ke arahnya. Dua pasang oniksnya menatapnya dingin.

"Pergi dan jangan sekali-kali kau menunjukkan wajah menjijikanmu itu dihadapanku lagi." Setelah itu Sasuke langsung membanting pintu rumahnya di hadapannya.

Air mata kembali mengalir dari kedua kelopak matanya yang sudah sembab. Tubuhnya bergetar keras, rupanya tidak saja Sasori yang telah disakitinya, tapi dia juga telah menyakiti Sasuke. Dia benar-benar wanita terburuk.

"S-Sasuke..." gumamnya di sela-sela isak tangisnya.

Sementara di balik pintu rumah bagian dalam, Sasuke berdiri. Dia bisa mendengar isakan tangis Hinata dibalik kayu tersebut. Tak beberapa lama tubuhnya roboh ke lantai. Kepalanya menunduk.

Terulang lagi.

Cepat atau lembat dia akan meninggalkanmu! Membuangmu untuk bersamaku!

Kata-kata Sasori terus terngiang di otak Sasuke seperti sebuah kaset.

Tidak ibunya, tidak wanita yang dicintainya. Semuanya pada akhirnya akan membuangnya.

...

To be continued


A/N: Sumpah bikin chapter ini cape banget, saya males bikin chapter super drama kayak gini sebenernya. Jadi, tolong dimaklum kalau chapter ini keluarnya lama banget. Soalnya saya tahu bakalan seperti apa jalan ceritanya. Pesan dari saya sih, makannya jangan ngedua karena pada akhirnya akan saling menyakiti. Pokoknya intinya ketiga tokoh utama kita baik Hinata, Sasuke, dan Sasori semuanya kena imbasnya. Chapter ini semuanya menderita yeaaah *dikeroyok fans SasuHinaSaso*. Anyway siapa yang seneng liat Gaara jadi Cameo di chapter ini? lol Anyway terima kasih sudah membaca fanfic saya ini. Fanfic pertama saya ini mulanya cuman nyoba-nyoba doang, tapi saya tidak menyangka feedbacks yang kalian berikan untuk fanfic ini luar biasa. Terima kasih untuk semua dukungan-dukungannya, saya berharap chapter ini juga bisa menghibur kalian. Sampai jumpa lagi di chapter berikutnya! Love you all! ^^