Aikharyunara Presents

Disclaimer © Masashi Kishimoto

Tea and Flower

Chapter I

GENRE : Romance, Drama, Family (bisa berubah)

PAIRING : MinaKushi

RATE : T

SUMMARY : Ini hanyalah sebuah kisah tentang pemuda yang bertemu dengan seorang gadis berambut merah yang selalu ia temui di dalam hutan. Gadis itu menarik perhatiannya dan membuatnya penasaran. Rasa penasaran selalu bisa menimbulkan rasa suka dan mungkin cinta? Tapi, apakah gadis itu merasakan hal itu juga?

OC : Yoichiro Uzumaki (Ayah Kushina) & Yui Uzumaki (Ibu Kushina)


Minato Namikaze meraih jaket olahraganya yang digantung di balik pintu. Ia segera mengenakan jaketnya dan menutup resleting jaketnya. Ia menghadap cermin sebentar dan mengambil sepatu running-nya yang berada di rak sepatu dekat pintu. Ia melirik jam dinding sejenak. Jarum jam masih berada di angka enam. Setelah mengenakan pakaian lengkap dengan sepatu, pemuda dua puluh lima tahun itu segera keluar dari apartemennya untuk jogging ke hutan. Rutinitas yang selalu dilakukannya setiap pagi.

Pemuda bersurai kuning itu berlari santai melewati jalan setapak menuju hutan yang berada tak jauh dari apartemennya. Tempat yang biasa ia lewati untuk jogging. Ia menyusuri jalan setapak yang berada di dalam hutan itu dan menghirup udara pagi yang sejuk tanpa polusi dan jauh dari kebisingan orang-orang. Tak lama setelah ia memasuki hutan, ia sudah sampai di sebuah taman bunga mawar yang biasa ia lewati. Taman itu selalu berhasil membuatnya tersenyum dan bernapas lega. Pemandangan di sana begitu indah – tidak hanya itu, di sana, di ladang bunga mawar itu, selalu ada seorang gadis berambut merah yang memetik bunga mawar dengan keranjang rotannya. Gadis itulah alasan kedua yang membuat Minato merasa senang melewati tempat itu.

Pagi itu, sama seperti pagi-pagi biasanya, ia melihat gadis itu. Minato menghentikkan larinya dan memberanikan diri untuk menyapa gadis itu. Ia penasaran dan ingin tahu siapa gadis bersurai merah yang selalu berada di sana setiap pagi.

"Ohayou!" Sapa Minato pada gadis yang sedang berjongkok membawa gunting kecil – sedang memotong tangkai bunga mawar. Gadis itu menoleh dan menyelipkan surainya ke belakang telinga untuk melihat lebih jelas.

"Ohayou – oh! Bukankah anda yang selalu berolahraga lewat sini?" balas Kushina ramah. Gadis itu pun berdiri. Minato mendekatinya.

"Iya, kau benar. Dan aku selalu melihatmu di tempat ini juga. Aku Minato Namikaze," kata Minato kemudian tersenyum dan dibalas dengan senyuman juga oleh gadis itu.

"Boleh aku tahu siapa namamu?" lanjut Minato. Gadis itu tertawa pelan, "Kushina Uzumaki," jawabnya.

Minato memandangi hamparan bunga mawar di hadapannya kemudian beralih pada sebuah keranjang rotan yang terisi penuh dengan bunga mawar yang telah dipetik.

"Sepertinya kau sangat menyukai bunga, Uzumaki – san?" tebak Minato. Gadis itu membungkuk dan mengambil keranjang rotannya.

"Iya, terutama mawar merah ini. Sangat indah, bukan?" kata Kushina sambil mengacungkan setangkai mawar.

"Oh! Awas durinya!" seru Minato menunjuk tangkai berduri itu dan membuat Kushina terkekeh.

"Tapi memang cocok dengan rambut merahmu, Uzumaki – san," puji Minato Namikaze yang berhasil membuat wajah Kushina merona.

"Terima kasih. Ahh.. sebaiknya aku segera pergi. Sampai jumpa Namikaze-san," pamit Kushina tanpa menunggu balasan Minato dan segera melenggang meninggalkan pemuda itu.

"Tunggu – ah.. Ya sudahlah.." eluh Minato pasrah. Ia tersenyum. Gadis itu entah kenapa berhasil membuatnya tertarik. Begitu lembut dan ramah. Minato terus saja tersenyum sampai ia tak menyadari waktu yang terlewat begitu saja hingga jam tangannya berbunyi.

"Astaga, sudah pukul tujuh! Paman akan membunuhku!" rutuk Minato setelah melihat jam tangannya dan segera berlari kembali ke apartemennya.

. . . . .

Minato berjalan menuju sebuah kantor di di tengah perkebunan teh. Minato bekerja di sebuah pabrik teh milik Jiraiya, pamannya. Ia bekerja sebagai kepala pabrik di sana setelah dipercayai oleh Jiraiya karena kerjanya yang baik di bidang bisnis. Minato tentu saja senang dengan pekerjaannya sekarang. Bagaimana tidak? Ia bekerja di tengah hamparan daun teh dan pepohonan yang menyejukkan dan membuatnya rileks setiap saat. Pekerjaan yang sama menyenangkannya dengan pemandangannya.

"Ohayou, Paman!" sapanya pada seorang pria paruh baya bersurai putih. Jiraiya berbalik.

"Kau hampir terlambat, anak muda! Apa ini karena gadis itu?" tebak Jiraiya sambil melempar senyum jahilnya. Minato menatap pamannya dengan malas. Ia memang sering bercerita mengenai gadis berambut merah itu dan ia barusaja mengetahui namanya hari ini – setelah sekian lama.

"Paman ini bisa saja. Kenapa kau langsung paham kalau masalah begini?" balas Minato. Jiraiya tergelak.

"Omong-omong, hari ini daun teh akan dibawa ke pabrik. Bantu aku untuk mengurus ini, Minato," kata Jiraiya.

"Oke," balas Minato yang kemudian mengekor di belakang Jiraiya menuju pabrik. Kedua pimpinan itu berjalan menuju pabrik yang terletak sekitar beberapa ratus meter dari kantor. Di sepanjang jalan, para pemetik daun dan pekerja menyapa mereka dengan hormat. Minato dan Jiraiya menanggapi dengan ramah, bahkan Jiraiya sesekali bergurai dengan mereka yang berujung dengan tertawa bersama. Begitulah keseharian mereka dalam mengurusi pabrik ini.

. . . . .

Senja mulai menampakan diri. Semburat-semburat jingga kemerahan mulai menyebar di antara gumpalan awan yang berarak perlahan. Mentari hampir menghilang di balik garis horizon ufuk barat.

Pabrik teh milik Jiraiya sudah mulai lengang pasalnya para pekerja pabrik telah usai menjalankan tugasnya hari ini – atau lebih tepatnya jam waktu pulang. Mungkin hanya tinggal beberapa orang saja yang masih mengecek atau mematikan mesin – mesin pengolahan.

Minato Namikaze berjalan keluar dari pabrik bersama Jiraiya. Mereka terlihat asik berbincang-bincang sementara Jiraiya terlihat begitu ekspresif dan Minato menanggapinya dengan santai.

"Kau tidak mampir ke rumah dulu, Minato?" tawar Jiraiya pada keponakannya. Minato menggeleng.

"Tidak, Paman. Aku akan langsung pulang – atau mampir ke kedai ramen dulu," jawabnya. Jiraiya tersenyum miring.

"Tsunade kelihatannya merindukanmu karena kau jarang sekali mampir," kata Jiraiya. Minato tergelak.

"Hahaha.. Lain kali aku akan mampir, Paman!"

"Jangan lupa kenalkan pacarmu kalau mampir hahahaha," goda Jiraiya yang sontak saja membuat Minato menyipitkan kedua matanya.

"Aku – belum – punya – pacar," tandas Minato yang entah kenapa terdengar miris di telinga Jiraiya. Pria paruh baya itu pun melambaikan tangan dan berjalan pergi menuju sebuah rumah yang berada tak jauh dari pabrik.

"Cari saja kalau begitu!" seru Jiraiya sambil berjalan menjauh dan membuat Minato menghela napas pendek.

Jiraiya menghampiri seorang wanita berambut pirang pucat yang sedang berdiri di beranda rumah menyambutnya.

"Loh, Minato tidak mampir?" tanya wanita itu yang memerhatikan pemuda bersurai pirang berjalan menjauh. Jiraiya tertawa pelan.

"Mungkin dia ingin menemui kekasihnya," celetuk Jiraiya asal. Tsunade berkacak pinggang dan menatap suaminya dengan heran. Kekasih? Mengapa ia tak tahu kalau Minato sudah memiliki kekasih? Apa pemuda itu sengaja menyembunyikannya?

"Tau darimana kau ini, ha?" selidik Tsunade penasaran. Jiraiya justru tertawa terbahak-bahak dan membuat Tsunade makin bingung.

"Astaga, suami dan keponakanku tidak ada yang benar! Yang satunya mirip pria hidung belang, satu lagi tak kunjung punya kekasih. Aishh!" eluh Tsunade meratapi kehidupan dua laki-laki yang dekat dengannya itu.

"Tapi anak itu anak yang baik. Kenapa dia masih belum memiliki pacar, Jiraiya?" tanya Tsunade pada hanya tersenyum miring dan mengedikkan bahu kemudian berjalan masuk ke rumah.

. . . . .

Daerah pertokoan Konoha jauh dari kata lengang. Saat senja begini justru adalah saat yang ramai. Orang-orang berlalu lalang mencari barang, mencari makan atau anak-anak yang baru pulang sekolah.

Minato berjalan melewati toko-toko yang terlihat ramai itu dan sesekali mengamati apa yang terjadi di sana. Ia berencana mampir ke kedai ramen langganannya untuk mengisi perut. Ia melewati sebuah toko bunga bertuliskan 'Uzuchi Florist' yang terlihat tengah tutup. Seorang wanita yang tak asing baginya menutup pintu toko itu.

Minato menghentikan langkahnya dan sedikit mendekat.

"Uzumaki – san?" panggilnya dan membuat gadis bersurai merah itu menoleh sesusai mengunci pintu.

"Oh – Namikaze –san, ya? Selamat sore," balasnya ramah. Minato mengangguk. Ia memerhatikan toko bunga itu lagi dan beralih pada Kushina.

"Jadi kau bekerja di sini?" tanya Minato yang dibalas anggukan kecil oleh Kushina.

"Begitulah. Namikaze-san darimana?"

"Aku dari perkebunan teh."

"Perkebunan milik Jiraiya-sama?"

Minato mengangguk dan membuat Kushina membulatkan mulutnya seperti huruf 'o'.

"Mau ikut ke kedai ramen?" ajak Minato tanpa basa-basi. Sepertinya pemuda ini sudah mulai berani mendekati gadis Uzumaki itu.

"Kebetulan aku juga ingin makan di sana," ujar Kushina. Senyuman Minato terkembang karena ajakannya disambut baik. Ia harus berterima kasih kepada kebetulan kali ini.

"Kebetulan sekali! Kalau begitu ayo?" ajak Minato yang menandakan bahwa mereka mungkin akan berjalan ke sana bersama.

"I-iya.." Kushina menerima ajakan Minato. Wajahnya terlihat agak malu-malu. Mereka pun berjalan menuju satu-satunya kedai ramen yang ada di sana, Ichiraku.

Sepanjang perjalanan menuju kedai ramen, mereka mengobrol sedikit dan – yah Minato bertanya-tanya sedikit pada Kushina untuk mengobati rasa penasarannya.

"Apa kau sudah lama bekerja di sana, Uzumaki-san?" tanya Minato.

"Iya. Itu juga karena – "

" – kau suka bunga, kan?" sela Minato sebelum Kushina menyelesaikan kata-katanya.

"Hahaha.. memang sih," ujar Kushina mengiyakan perkataan Minato. Pemuda bersurai pirang itu terus mengajak Kushina mengobrol ringan dan berusaha membuat gadis itu tak merasa terganggu dengannya hingga tak terasa mereka sudah berada di depan kedai ramen Ichiraku. Mereka pun masuk.

"Pak Teuchi, ramen miso satu!" seru Minato sambil menyibakkan kain pendek penutup kedai itu disusul dengan Kushina di belakangnya.

"Umm.. aku ramen pedas!" sambung Kushina. Pria bernama Teuchi itu berbalik setelah mendengar pesanan dua orang pelanggannya.

"Hohoho.. ternyata dua pelanggan setiaku. Duduklah kalian berdua," ujar Teuchi mempersilahkan Minato dan Kushina duduk di hadapnnya.

"Lho, anda mengenal Kushina?" tanya Minato pada pemilik sekaligus koki kedai ramen itu. Kushina? Apa Minato barusaja memanggil Kushina dengan nama depannya?

"Kau pikir pelangganku hanya kau, Minato? Dia ini pelanggan setiaku tiap sore, kau tahu?" jelas Teuchi sambil memasak ramen dengan sumpit besarnya.

"O-oh..begitu ya. Ternyata kau suka ramen juga, Uzumaki-san?" kata Minato yang beralih pada gadis di sebelahnya.

"Tunggulah sebentar. Beberapa menit lagi ramen kalian akan siap!" seru pria pemilik Ichiraku itu.

Beberapa menit kemudian, Pak Teuchi mengangkat dua mangkuk berisi ramen dan menyuguhkannya ke hadapan Minato dan Kushina yang sontak membuat senyum mereka terkembang.

"Sudah siap!" seru Teuchi sambil meletakkan dua mangkuk ramen pada Kushina dan Minato. Tanpa diberi aba-aba, gadis bersurai merah itu langsung menyikat ramen pedas di hadapannya. Berbeda dengan Minato yang cenderung santai. Mungkin rasa lapar Kushina sudah tak bisa ditahan lagi.

"Uwah! Kau makan ramen cepat sekali," ujar Minato yang melihat mangkuk Kushina bersih tanpa noda dalam lima menit sedangkan isi mangkuknya masih seperempat.

Kushina terkikik mendengar ucapan Minato. Segera saja pemuda bersurai pirang itu menghabiskan ramennya.

"Ini Teuchi-san – " ujar Kushina menyerahkan beberapa koin yang kemudian tangannya diseka oleh Minato.

" – biar aku saja," cegah Minato. Kushina seakan mau menolak dan Minato berkata, "tidak ada salahnya, kan?". Kushina pun mengangguk.

"Terima kasih! Datang lagi, ya?!" seru Teuchi. Kushina dan Minato pun keluar dari kedai ramen itu.

"Terima kasih, Namikaze-san," kata Kushina yang dibalas anggukan dengan Minato.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa!" pamit Kushina kemudian berjalan pergi meninggalkan Minato yang masih memperhatikannya hingga Kushina menghilang di belokan.

"Lagi-lagi terburu-buru, ya?"

. . . . .

Kushina berjalan riang menuju rumahnya. Gadis itu tersenyum ketika mengingat pemuda Namikaze itu.

"Aku tidak menyangka masih ada orang sebaik dia," katanya. Kushina terus melangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang ia tinggali bersama kedua orang tuanya. Ketika ia tengah berada di ambang pintu dan membuka pintu rumahnya, ia mendengar suara isakan ibunya. Tanpa pikir panjang gadis itu langsung melesat masuk.

"Kaa-san, ada apa?" tanya Kushina pada ibunya yang duduk di atas kursi ditemani sang ayah.

"Dia..dia datang lagi, Nak..," ujar Yui, ibu Kushina.

Kushina terkesiap. "Dia? Orochimaru itu?!" seru Kushina. Terdengar dari nada suaranya ia sangat tidak menyukai orang bernama Orochimaru itu. Yoichiro mengangguk.

"Dia bilang.. jika besok tidak bisa membayar, dia akan mengusir kita dari rumah," jelas Yui terisak-isak sementara Yoichiro terus membelai punggung Yui untuk menenangkannya.

"Kalau begitu besok akan kuambil dulu gajiku bulan ini untuk membayarnya. Kalian tidak perlu khawatir, ya?" kata Kushina sambil tersenyum menenangkan kedua malaikatnya itu.

"Tapi Kushina, kau tidak perlu sampai seperti itu. Biar ayah yang urus itu, sayang," tolak Yoichiro dengan halus. Kushina menggeleng pelan.

"Tidak masalah, Tou-san, Kaa-san. Meskipun sedikit biar kuusahakan," jawab Kushina lembut dan membuat kedua orang tuanya saling berpandangan kemudian tersenyum padanya. Yui Uzumaki membelai surai merah Kushina dengan lembut.

"Kau memang anak yang baik, Kushina," kata ibunya. Kushina membalas sang ibu dengan senyuman, "kalian tidak perlu khawatir. Bagiku bersama kalian sudah cukup membuatku senang. Oh! Sebaiknya Kaa-san dan Tou-san istirahat," tutur Kushina.

"Kau juga beristirahatlah, sayang," balas Yoichiro yang kemudian membawa Yui untuk memasuki kamar mereka dan meninggalkan Kushina di ruang tamu.

. . . . .

Cicitan burung terdegar merdu dari dalam hutan. Hembusan angin pagi menyambut dengan kesejukan yang menenangkan. Sementara ayam-ayam berkokok turut menciptakan suasana.

Minato Namikaze masih terlelap meskipun di luar sudah ramai dengan suara-suara hewan pagi. Langit masih terlihat biru belum tercampur dengan semburat kuning matahari. Sepertinya masih belum waktunya Minato untuk bangung.

KRIIIIIIIIIIIING. Jam beker di laci dekat ranjang Minato berdering keras. Sepertinya sudah saatnya pemuda itu untuk bangun.

Pemuda bersurai pirang itu menggerakkan badan kemudian tangannya meraih tombol di atas jam bekernya dengan asal dan mematikan benda itu. Ia kemudian berusaha duduk dan mengerjap-erjapkan kedua matanya dan melihat jarum jam. Pukul 05.30. Waktunya untuk melakukan rutinitas paginya – jogging pagi. Entah mengapa hari ini kakinya terasa begitu ringan dan dengan cepatnya ia telah sampai di ladang bunga mawar, tempat gadis Uzumaki itu berada.

Minato Namikaze terlalu berharap. Setelah sampai di ladang bunga mawar, ia sama sekali tidak melihat gadis itu. Gadis bersurai merah semerah mawar. Ini merupakan kali pertama gadis itu tidak berada di sana sepanjang Minato jogging.

Minato mengernyitkan dahinya dan menghela napas kecewa.

"Kenapa gadis itu tidak ada?" eluhnya. Kemudian tanpa pikir panjang, pemuda bersurai kuning itu melanjutkan olahraga paginya.

. . . . .

Pabrik teh milik Jiraiya terlihat masih lengang. Para pekerja pabrik dan pegawai belum semuanya datang. Tentu saja karena ini masih pukul tujuh pagi sedangkan para pekerja masuk pukul delapan. Sedangkan di kebun teh, para pemetik daun teh sudah ada di sana sejak pukul setengah enam untuk memetik pucuk-pucuk daun teh itu.

Jiraiya berjalan santai melewati perkebunan tehnya menuju pabrik dan mendapati Minato berjalan ke arahnya.

"Kau tidak terlambat hari ini, eh? Tidak menemui gadis itu?" ujar Jiraiya mulai menggoda keponakannya itu. Minato memutar bola matanya dengan malas. Ini masih pagi dan pamannya sudah mengoceh soal wanita saja.

"Lebih baik kau urusi saja tumpukan kertas di mejamu yang semakin menggunung itu, Paman," balas Minato yang dijawab dengan tawa oleh Jiraiya.

"Minato, pergilah ke pabrik hari ini. Aku akan ke kantor mengurusi beberapa hal, oke?" pinta Jiraiya seraya melambaikan tangan kanannya. Tanpa protes pemuda bersurai pirang itu berjalan menuju pabrik milik pamannya.

Segera saja setelah ia memasuki pabrik, seorang pria dengan kacamata hitam kecil bertengger di hidung menghampirinya.

"Selamat pagi, Minato-sama," sapanya. Minato mengangguk dan membalas,

"selamat pagi, Ebisu-san."

"Bagaimana perkembangan kemarin?" tanya Minato pada pria yang membawa sebuah papan dada dengan lembaran-lembaran kertas di atasnya.

"Semuanya berjalan baik dan penjualan mengalami peningkatan kemarin. Untuk laporan detilnya sudah saya taruh di meja anda barusan," jelas Ebisu singkat. Minato mengangguk-angguk dan tersenyum. Ia mengedarkan pandangnnya ke seluruh sudut tempat di pabrik itu. Waktu menunjukkan pukul delapan dan semua pekerja pabrik tengah mengoperasikan mesin-mesin di sana. Sepertinya semua berjalan dengan baik.

"Baiklah. Lanjutkan pekerjaanmu, Ebisu-san," kata Minato sambil berlalu. Ebisu membungkuk sedikit memberi hormat. Meskipun Minato berusia lebih muda dari Ebisu, pemuda itu dihormati oleh seluruh pegawai, pekerja pabrik bahkan para pemetik daun karena kebaikannya dalam memimpin. Walaupun pemimpin utamanya adalah Jiraiya, tapi pria itu lebih sering menyerahkan segalanya pada Minato.

. . . . .

BRAKKKK

Seorang pria berambut oranye berbadan tinggi besar menendang kursi hingga terbalik.

"Mengapa tak bisa sekarang?! Mana janjimu, wanita tua?!" hardiknya pada seorang wanita yang terduduk di lantai dengan wajah ketakutan.

"Ta—tapi kami belum—" kata-kata wanita itu disela oleh pria bersurai oranye dengan bentakan yang lain.

"Alasan!" selanya sambil mengacungkan tangan siap menampar wanita di hadapannya. Kemudian tangan kekar itu diseka oleh tangan seorang pria lain yang berkulit pucat dengan rambut hitam panjang.

"Tunggu. Aku punya penawaran yang lebih baik," ujarnya dingin.

BRAKK

Lagi-lagi terdengar suara keras. Kali ini sudara berasal dari pintu yang barusaja dibanting tak lain oleh Kushina. Gadis itu segera saja menerobos masuk dan memberikan sebuah amplop coklat dengan kasar pada pria berkulit pucat itu.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Kushina begitu mendapati ibunya terduduk di lantai dan menangis.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku barusaja akan memberi kalian penawaran—"

"Ini! Kubayar sewa kontrakkan selama tiga bulan! Sebaiknya kalian cepat pergi atau aku akan memanggil polisi!" sela Kushina dengan nada mengancam. Ia berdiri di depan ibunya. Mata gadis itu sama sekali tidak memancarkan rasa takut. Dengan begitu beraninya ia membuat dua pria di depannya terdiam.

"Cih! Baiklah. Kali ini kalian bebas. Selamat tinggal," kata pria berkulit pucat itu dan berbalik menghadap pintu sementara pria berbadan tinggi besar mengikuti di belakangnya.

Kalian beruntung kali ini. Setelah ini aku pasti mendapatkan apa yang kuinginkan.

Kedua pria itu meninggalkan rumah Kushina yang berantakan. Kursi sudah tak jelas lagi posisinya. Begitu juga dengan meja yang taplaknya sudah jatuh ke lantai dan terlihat kotor. Dan yang paling buruk adalah, Yui yang terduduk di lantai sambil menangis.

Kushina berjongk dan memegang pundak ibunya dengan lembut.

"Kaa-san tidak apa-apa?" tanya Kushina penuh perhatian. Ia membantu ibunya berdiri dan mendudukannya di kursi lain yang posisinya masih normal. Yui Uzumaki mengangguk. Ia masih terisak. Bagaimana tidak? Hal pertama yang dialaminya siang hari adalah sebuah hardikan dan bentakan.

"Te—terima kasih, Kushina..." kata ibunya sambil membelai surai merah Kushina. Gadis bersurai merah itu membalas ibunya dengan senyuman manis yang menenangkan. Tak terlihat kelemahan di sana. Ia berusaha membuat ibunya kembali tenang.

"Apa Tou-san belum pulang?" tanya Kushina. Yui menggeleng pelan.

"Belum, Nak.. Mungkin sebentar lagi."

. . . . .

Minato menghirup aroma teh yang menyeruak di dekat mesin pengolahan. Aroma teh yang wangi itu membuatnya tenang.

"Satu hal yang kusuka saat berada di dalam sini adalah aroma wangi ini," ujar Minato sambil tersenyum. Jiraiya yang berada di sebelahnya pun tertawa.

"Tentu saja! Bubuk teh produksi kita ini adalah yang terbaik!" serunya sambil menepuk dada dengan bangga.

Memang benar. Hasil produksi dari pabrik milik Jiraiya ini sangat laku di pasaran lantaran aromanya yang khas dan rasanya yang enak. Bahkan produk-produk yang dikirim ke agen sering kali ludes. Selain itu jika dilihat di beberapa toko atau swalayan terutama di Konoha, produk teh milik Jiraiya pasti ada di sana.

"Omong-omong, bagaimana kau bisa menemukan lahan seluas ini di Konoha yang sekarang?" tanya Minato. Jiraiya mengernyitkan dahi.

"Tidak mungkin rasanya di zaman sekarang bisa menemukan lahan seluas ini. Lahan ini adalah pemberian dari ayah angkatku atau lebih tepatnya guruku," jawabnya.

"Maksudmu Hiruzen Sarutobi-san?" tanya Minato lagi. Jiraiya mengangguk. "Hiruzen-sensei memiliki lahan yang luas. Tidak hanya lahan yang kubuat pabrik dan kebun teh ini saja. Tapi juga lahan yang berada di balik bukit yang biasa kau lihat," jelas Jiraiya.

"Lalu? Dia mengapa dia membaginya menjadi dua?" tanya Minato antusias. Rasa penasaran Minato memang terkadang membuatnya banyak bertanya terutama pada pamannya.

"Karena tidak hanya aku yang diberi lahan. Ada satu orang lagi."

"Siapa?"

. . . . .

"Wanita tua itu beruntung aku belum menghajarnya. Coba saja gadis sial itu tidak datang. Mungkin sudah habis wanita itu," eluh pria berbadan tinggi besar berambut oranye.

"Kau selalu mendahulukan otot daripada otakmu, Juugo. Sekali-sekali pakailah otak di kepalamu itu," ujar seorang pemuda berambut putih berkacamata dengan nada mengejek.

"Diam kau, Mata Empat!" bantahnya.

"Kalian tak perlu bertengkar. Aku pasti akan membuat Kushina jatuh dalam genggamanku bagaimanapun caranya. Kalian tak perlu khawatir," sela Orochimaru.

"Orochimaru-sama, bagaimana rencana anda setelah ini?" tanya pemuda berambut putih berkacamata. Pemuda itu terlihat pintar, namun raut kelicikan tersirat samar di wajahnya.

"Aku punya satu rencana sebelum kita mengambil Kushina. Kabuto, kau coba melamar pekerjaan di pabrik milik Jiraiya. Aku juga akan memulai rencana itu," perintah Orochimaru pada pemuda bersurai putih itu. Kabuto pun mengangguk dan membungkuk memberi hormat.

"Baik, Orochimaru-sama."

To Be Continue


Hai minna-san. Lama (sangat lama) nggak ketemu yaa... maafkan Aikha yang hiatus selama kurang lebih 3 tahun dan meninggalkan fic ini dan satunya terbengkalai hehe. Gomenasai karena banyak hal yang terjadi jadinya fic' dan akun ini tidak keurus. Yah akhirnya setelah sekian lama Aikha me republish fic' ini. semoga hasilnya jadi lebih baik. Terima kasih buat kalian yang sudah membaca~ review yaaa

-Aikharyunara-