Summary :

Cinta itu buta. Tidak memandang sifat, derajat, atau apapun. Cinta juga racun. Bisa membuat sakit hati dan bahagia secara bersamaan. Namun, cinta begitu memabukkan. Selalu ada alasan untuk mengulanginya.

.

.

Di dalam sebuah bangunan, terdapat dua orang berkebangsaan Inggris yang menaungi salah satu ruangan. Pakaian tentara berwarna hijau melekat di tubuh masing-masing. Tak lupa dengan beberapa lencana yang terpajang di bagian dadanya—membuktikan seberapa hebat kemampuan mereka berlaga di medan perang.

Yang sedang duduk di kursi sambil bertopang dagu itu adalah Arthur Kirkland.

Sedangkan yang berdiri di hadapannya adalah atasannya—salah satu pemimpin utama pasukan tentara yang ia ketuai. Kini, mereka berdua tengah mengamati sebuah benda datar yang tergeletak di atas meja. Foto hitam putih yang bergambar sebuah keluarga.

"Kau tau siapa anak kecil yang ada di tengah foto ini?"

Arthur mengarahkan tatapannya ke lawan bicara. "Memangnya kenapa?"

"Dia sedang diincar oleh Neth. Kau tau Nethere van Jeyden, kan?"

"Hm." Ia kembali meneliti setiap mili wajah yang terlihat di gambar buram tersebut. "Apa untungnya mengincar rakyat Indonesia ini?"

"Dia adalah anak tunggal dari Presiden rakyat Indonesia. Sebelumnya, mereka sekeluarga diundang oleh Belanda untuk mengikuti sebuah konferensi perdamaian Belanda-Indonesia di Den Haag. Tapi nyatanya Belanda ingkar, dan malah membunuh semua petinggi-petinggi Indonesia yang berada di dalam kapal."

"Semua?"

Pria paruh baya tersebut mengangguk pelan. "Kejadian itu adalah rahasia negara Belanda. Karena awal undangan tadi bertujuan mendamaikan, rakyat Indonesia—yang tidak tau apa-apa—menerima tentara Belanda yang datang lagi ke negara mereka. Padahal niat asli negara licik itu adalah memperbudak Indonesia seperti ratusan tahun yang lalu."

"Belanda..." Arthur memejamkan kedua matanya saat ia menghembuskan nafas pasrah. "Masih tetap sama seperti biasa."

"Ya. Tapi dari insiden itu, ternyata ada pihak dari Indonesia yang selamat."

"Siapa?"

"Anak tunggalnya, putri pertama dari Presiden Indonesia. Dan baru-baru ini diketahui juga bahwa dia masih hidup."

"Sekarang gadis itu ada di mana?"

"Dia ditemukan di salah satu pulau terpencil di dekat Samudra Hindia—tempat buangan bagi orang Indonesia yang sering menentang Belanda."

"Lalu, apa tujuanmu memberitahu ini padaku?"

"Kaulah orang yang kupercaya, Arthur." Jelasnya sembari mengulas senyum. "Dapatkan dia dari Neth, dan biarkan gadis itu menyuruh rakyatnya menghabiskan kekayaan negara Indonesia untuk Inggris kita—bukan untuk Belanda."

Memang, tujuan Belanda dan Inggris dengan negara rempah-rempah itu sama.

Ingin memiliki harta negara mereka.

"Apa dia wanita yang dihormati se-Indonesia?"

"Ayahnya yang sangat dihormati, lebih tepatnya. Tapi kalau dia berhasil pulang ke Indonesia dan membenarkan segala kebohongan Belanda... skakmat. Indonesia tidak akan mau lagi menjadi bagian dari negara Belanda."

Arthur mendengus geli, lalu ia menyeringai. "Baiklah. Dia hanya seorang wanita, dan itu bukan hal sulit. Aku akan membuatnya bertekuk lutut padaku."

"Bagus."

"Siapa namanya?"

"Srivenesia Puteri. Nesia."

.

.

.

INTOXICATED

Sanpacchi's Fanfiction 2011

Hetalia Axis Powers by Himaruya Hidekazu | BritainFemNesiaNethere | Fanfiction-net

Genre : Romance, Drama, Hurt/Comfort. | Warning : AU, OOC, OC, Typos, Gender Bender, Mature Themes, etc. | A/N : Lagi-lagi aku buat fict baru #sigh. Mohon diterima, ya? Btw, rekor. Fict-ku yang langsung selesai dalam sehari. Wew. | Jika ada kesamaan ide harap dimaklumi.

-Britain (Arthur Kirkland) Netherlands (Nethere van Jeyden) Indonesia (Srivenesia Puteri)-

MATURE CONTENT—YOU HAVE BEEN WARNED!

.

.

Intoxicated no I. Tiga Negara

.

.

Di lain pulau yang cukup terpencil, terletaklah sebuah pemukiman warga. Sawah-sawah yang subur dan teratur terbentang luas memenuhi lahan yang ada di samping jalan. Dan di sanalah seorang gadis berwajah ayu berada. Namanya Nesia.

Ia menghela nafas, lalu mengelap keningnya yang berlumur keringat. Setelah itu, barulah ia melepaskan caping kerucut rajutan bambunya—yang sudah dia pakai sewaktu menanam padi selama berjam-jam.

Dilihatnya pendopo yang terletak di ujung sawah. Seingatnya, baru minggu lalu tempat itu selesai dibangun susah payah oleh penduduk sekitar dengan cara bergotong-royong. Nesia pun tersenyum, lalu dia datang dan menduduki pendopo itu dalam diam. Sepertinya beristirahat di sini bukanlah pilihan yang buruk.

Kedua matanya ia pejamkan. Sambil menggoyangkan kedua kakinya yang tergantung—karena tidak mencapai tanah—ia mengadah, merasakan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa kulit wajahnya.

Begitu tentram dan menenangkan.

Namun, lama kelamaan ia membuka mata, memperlihatkan tatapan matanya yang sendu.

.

"Papa! Negara kita akan damai dengan Belanda, kan?"

"Iya, sayang."

"Benarkah? Hebat! Aku ingin sekali melihat semua negara yang sempat berperang menjadi berdamai! Enak ya kalau begitu~?"

"Tentu saja..."

.

Gerakan kakinya terhenti.

Lagi-lagi ia harus kembali mengingat pembicaraan terakhirnya dengan sang ayah. Kadang, ia merasa bersyukur masih bisa mengingat jelas wajah maupun suara ayahnya yang sangat ia cintai itu. Tapi, sering pula ia menyesal. Karena tepat di hari itu juga, ada sesuatu yang membuatnya membenci memori ingatannya yang sering muncul secara tiba-tiba.

Masalahnya, setelah mereka berdua selesai berbicara, sebuah tragedi mengenaskan terjadi.

Mendadak keadaan kapal yang dia tumpangi bersama keluarganya menjadi kacau. Banyak suara pistol yang terdengar di mana-mana. Dan waktu itu, ia sempat mengingat ada salah satu tentara Belanda—yang sebelumnya terlihat sangat baik menyambut mereka—menyodokkan secara paksa senapan ke dalam mulut kedua orang tuanya. Dan... bunyi dentuman terdengar keras. Semua menyisakan pandangannya yang juga menggelap. Tampaknya, waktu itu ia pingsan. Tapi, Nesia tetap mengetahui apa yang terjadi kepadanya.

Orang tuanya sudah tiada.

Ia menghirup udara banyak-banyak, menahan sebentar, lalu menghembuskannya perlahan.

Sekarang usianya dua puluh empat tahun—tidak terasa sudah hampir satu dasawarsa ia tinggal di pulau tak bernama ini. Karena sewaktu ia ditenggelamkan pada peristiwa 10 tahun yang lalu, ia yang hanyut segera ditemukan oleh penghuni pulau ini. Mereka merawat Nesia dengan baik, sampai akhirnya ia masih dapat hidup sampai sekarang.

Tapi, satu pun ingatan tentang negaranya—Indonesia-nya—sama sekali tidak pernah dilupakannya barang sedikit pun.

"Aku rindu rumahku. Aku rindu rakyat indonesia..." Bisiknya lirih. "Kapan aku bisa kembali?"

Namun tanpa ia ketahui, sudah ada seseorang berbadan tegap yang mendengar gumamannya itu.

"Selamat siang, Indisch."

Suara berat tadi membuatnya menoleh ke belakang dengan keterkejutan.

"Tampaknya kau tidak akan bisa mendapatkan keinginanmu."

Tubuh Nesia bergetar ketakutan, matanya terbelalak. Sontak ia berdiri dan berjalan mundur.

Sungguh, ia tidak menyangka bahwa di hari inilah belasan tentara Belanda menemukannya.

"Be-Belanda! K-Kenapa kalian bisa ada di sini!?"

"Belanda, ya? Itu memang negaraku, tapi bukan sebuah nama panggilan yang pas." Tegur yang warna pakaiannya berbeda sendiri—yang secara tak langsung menunjukkan bahwa dialah pemimpinnya. "Nethere. Nethere van Jayden... yang mulai sekarang akan menjadi tuanmu."

Tanpa ingin berlama-lama mendengarkan mereka, Nesia langsung berlari ke sembarang arah yang berujung ke hutan, meninggalkan para tentara Belanda yang sama sekali belum bergerak. Setelah jarak yang tercipta sudah lumayan jauh, barulah pria bersyal biru bergaris putih itu menaikkan salah satu sudut bibirnya.

"Cih, jangan mencoba lari dariku."

.

.

: intoxicated | sanpacchi :

.

.

Di saat ini, Nesia masih saja melangkahkan kedua kakinya yang telanjang—tanpa alas sendal maupun sepatu—menabrak tanah dan juga bebatuan yang ada di rerumputan. Memang agak sakit, tapi itu semua ia tahan karena harus menghindar dari tentara Belanda yang mendadak datang untuk menangkapnya.

Ia harus menghindar—terutama dari orang yang bernama Nethere itu.

Tidak tau kenapa, ia dapat merasakan pria itu akan membawa sesuatu yang buruk kepadanya.

Usai berlari sampai bermenit-menit, Nesia kelelahan—tentu saja, ia tetaplah gadis normal. Menemani engahannya yang sulit ia redakan, keringat asin terus keluar dari pori-pori tubuhnya. Merasa sudah tidak sanggup, dengan dada kembang kempis ia menyenderkan punggungnya ke salah satu pohon yang cukup besar untuk bersembunyi.

Setelah mengumpulkan tenaga selama beberapa saat, stamina Nesia kembali terkumpul dan ia siap untuk berlari lagi. Namun saat ia akan beranjak, seseorang—yang mengenakan sarung tangan hitam—sudah membekap mulutnya dari belakang.

"—!"

Nesia memberontak, kepalan tangan kecilnya memukul dan mencakar seseorang yang membungkam mulutnya. Tapi nyatanya ada tangan lain yang langsung melingkari perut Nesia agar bisa menyeretnya ke arah semak-semak.

Setelah sampai, kedua tangan itu terlepas begitu saja. Dan ketika Nesia akan meminta pertolongan dengan cara berteriak, sebuah telunjuk langsung menahan gerak bibirnya.

"Sstt..." Orang itu berusaha menenangkan Nesia yang diliputi oleh kepanikan. "Jangan berisik dan tenanglah... aku ada di pihakmu."

Nesia berusaha lebih teliti mengamati seseorang yang ada di depannya. Rambut pirang yang agak cepak, mata hijau, dan alis yang tebal—namun itu tidak menganggu ke tampanannya. Dan juga... ada sebuah kuda tepat di sebelah pria tersebut. "K-Kau siapa?"

"Ikut aku."

"Tu-Tunggu! Katakan dulu kau siapa!"

Ia menghela nafas malas. "Arthur Kirkland, tentara Inggris."

"I-Inggris?" Wajah Nesia seketika memucat. Gerak tubuh yang awalnya mau-mau saja mengikut arah tarikan Arthur langsung ia tahan sebisa mungkin.

Menyadari perubahan Nesia, Arthur mengernyit. Ia tatap Nesia yang kini memandangnya dengan wajah ketakutan. "Kenapa—?"

Set!

Tarikan kencang dari Nesia membuat kedua tangan mereka yang sebelumnya bergenggaman terpisah.

"Tidak...! Aku tidak mau!" Ia menggeleng dengan histeris. "Kau pasti sekutu Belanda!"

"Ini tidak ada hubungannya dengan Belanda." Ucapnya, berusaha meyakinkan.

"Tidak, aku tidak percaya!"

"Dengar, aku mau menolongmu. Jadi lebih baik kau mengecilkan suaramu."

Nesia menelan ludahnya. "Me-Menolong?"

"Percayalah padaku..." Lagi-lagi Arthur tersenyum, membuat onyx redup milik Nesia kembali menatapnya.

Diawali oleh perasaan ragu, ia meyakinkan dirinya sendiri untuk mengangguk pelan. Ia raih tangan Arthur yang terulur kepadanya, dan membalas dengan senyuman kikuk.

"Ka-Kalau begitu, aku percaya..."

Setelah mendapatkan tangan Nesia, perencanaan Arthur kembali matang. Hanya tinggal membawa Nesia ke pulau bagian belakang, di mana kapal besar milik Inggris menunggunya membawa kabur sang tuan puteri—karena kapal milik Belanda berada di bagian depan pulau.

Ia bantu terlebih dulu Nesia untuk berdiri, dan sedikit menggendongnya agar bisa menduduki kuda berbulu putih itu. Setelah siap, barulah ia menyusul untuk duduk tepat di belakangnya.

"Pegangan..."

Bisikan Arthur mengalun lembut tepat di tengkuknya. Hal itu sontak membuat ia—gadis pemilik rambut panjang dan poni miring tersebut—harus menahan rona merah yang menjalar ke pipinya. Apa lagi saat tangan albino milik Arthur seakan memeluknya dari belakang karena ia harus menggenggam tali untuk menjalankan kuda.

Dan saat kuda mulai berlari, Arthur semakin mengeratkan dekapannya kepada Nesia, berusaha agar gadis itu tidak terjatuh. Dan hal tadi membuat tangan mungil Nesia meremas baju tentara si Inggris untuk berpegangan.

Ia bingung. Jantungnya berdegup kencang tak berirama. Apa itu dikarenakan oleh dirinya yang tidak terbiasa mengendarai kuda... atau karena kehangatan yang dipancarkan Arthur?

Nesia menggigit permukaan bibirnya. Sepertinya ada sebuah di dalam dadanya—yang baru pertama kali ia rasakan.

Ya, baru sekali.

Namun semua kebahagiaan yang Nesia rasakan tidak bertahan lama, karena saat mereka akan berbelok, muncul seseorang berbadan tegap yang sudah mengibaskan kapaknya sehingga menyabet permukaan kulit kuda yang ditaiki.

Kuda yang kaget segera mengikik dan berdiri selayaknya marah. Kemudian, setelah membuat kedua penumpangnya terjatuh dengan posisi Arthur yang memeluk Nesia, hewan itu pun berlari sebentar dan terjatuh. Sang kuda yang tadinya gagah kini tampak memprihatinkan dengan luka merah basah yang membentang menghiasi bulu putihnya.

Masih belum sadar bahwa posisi mereka sedang diambang bahaya, Nesia sudah keburu merasakan seseorang dari negara Belanda yang secara kasar menariknya agar ia menjauhi Arthur. Tidak peduli pada Arthur yang kepalanya sedikit terbentur batu sedang meringis dan terduduk di tanah.

"Arthur?"

Suara itu membuat yang dipanggil mengadah.

"Lama tak berjumpa, kawan lama."

Tau suara tadi berasal dari Neth, cepat-cepat Arthur melempar pandangannya ke Nesia, melihat apakah ia sempat mendengar kalimat yang dikeluarkan oleh Neth.

Mengetahui apa maksud si tentara Inggris menatap Nesia, Neth semakin memperlebar senyuman mengintimidasinya. "Senang bisa bertemu denganmu di saat-saat seperti ini. Ah, atau kau yang memang sengaja menangkapnya untukku?"

Neth tertawa menghina.

"Sekutu yang baik."

Sekarang Arthur membeku di tempat. Ketiga kata yang ditekan itu mempunyai arti lain di baliknya.

Ya, mereka memang pernah menjadi sekutu. Tapi tidak untuk sekarang! Ia sama sekali tidak pernah kepikiran untuk membantu Belanda. Ini semua hanya kebetulan.

Tapi ia tidak akan menjelaskan, karena ia sendiri sudah tidak sanggup lagi melihat Nesia—yang berada di genggaman tangan Neth—sedang menahan mati-matian dirinya agar tidak menumpahkan air mata.

"Dan satu lagi sebelum aku pergi, ini wajib kau perhatikan." Neth menyeringai. "Mulai sekarang Indisch adalah milikku."

Nesia hanya bisa menunduk setelah kalimat seenaknya tadi diutarakan. Neth menyuruh beberapa tentaranya untuk membopong Nesia ke dalam kapal milik Belanda. Tubuh Nesia yang terasa lemas hanya pasrah saat dirinya digendong dan dibawa pergi. Ingin rasanya menangis, tapi tidak sanggup. Lagipula, kenapa ia bisa sebodoh ini?

Seandainya saja... ia tidak mempercayai Arthur, mungkin saja ia masih bisa bebas.

Tapi, kenapa dengan mudahnya ia percaya pria itu?

Dalam sekejab, pria itu memang membuat dirinya nyaman.

Tapi dalam sekejab pula, pria itu menghancurkannya.

Seharusnya ia sadar, bahwa semua negara asing itu jahat.

Mereka adalah para muka dua yang tidak pantas ia percaya.

Setelah Nesia pergi, Arthur berdecak sekaligus mengubah raut wajahnya.

Ia mendengus meremehkan—kembali ke sifat asli. "Apa yang tadi kau bilang?" Katanya. "Milikmu, eh? Apa aku tidak salah dengar?" Ia berdiri lalu menepuk celananya yang telah terkotori oleh tanah.

Tatapan yang sekarang ditunjukkan Arthur benar-benar berbeda dari beberapa saat yang lalu ia tunjukan kepada Nesia. "Dia akan kurebut darimu, Neth. Lihat saja nanti."

Neth tersenyum, tanda menerima tantangan Arthur.

.

.

: intoxicated | sanpacchi :

.

.

Setelah Nesia sampai ke dalam mansion ala barat milik Neth, suasana yang ada di sana terasa berat. Bangunan itu memang dibuat berbeda, tidak terlalu megah dan juga tidak telalu minim. Seolah-olah itu adalah mansion yang pas bila hanya dihuni...

Hanya mereka berdua.

Ya, tapi hal tersebut benar. Di rumah itu, penghuninya nanti adalah Neth dan Nesia seorang, tidak akan ada yang lain lagi. Nesia pun langsung mendapatkan penjelasan tersebut dari bibir Neth sendiri.

Tanpa bersuara, Neth menariknya memasuki mansion. Setelah Neth membuka salah satu pintu yang terletak di lantai dua, Nesia sudah terlebih dulu dilempar olehnya sehingga ia terjatuh di lantai kramik kamar.

Blam!

Suara itu mewakili pintu yang tertutup kencang.

Merasa di dalam kamar tersebut hanya ada mereka berdua, Nesia berusaha membuat dirinya menjadi terduduk. Dan saat pria yang di keningnya terdapat bekas luka itu mendekat, ia menyeret tubuhnya ke belakang

Tapi nyatanya Neth tidak sedang menghampirinya karena ia langsung mendudukkan diri di salah satu bangku dekat pintu.

"Di dalam mansion ini, kau harus tau kedudukanmu." Ia berkata dan Nesia—yang masih khawatir—mendengarkan. "Kau hanyalah bawahanku, mengerti?"

"Dan juga demi kedatanganmu ini, aku rela memecat semua maid yang sebelumnya berkerja di sini. Karena itu, kau bisa mengerjakkan semuanya untukku, bukan?"

Tidak ada suara dari Nesia.

"Kau dengar, tidak!? Jawab yang benar!"

Buru-buru ia menunduk, menyembunyikan wajahnya. "I-Iya..."

Neth mendengus meremehkan. "Baguslah kalau begitu."

"Sekarang... ganti bajumu." Ia lemparkan sebuah baju maid hitam putih ke Nesia. Barulah setelah Nesia melengkapi pakaian yang dilempar ke pelukan tangannya, pria berbadan besar itu berdesis tajam. "Bahkan baju yang kau kenakan sekarang lebih buruk dari gorden yang terpasang di sini."

Pria itu menghina batik—pakaian tradisionalnya. Tapi Nesia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.

Suasana kembali hening. Tak ada perintah selanjutnya, dan ia bingung harus melakukan apa.

Dengan takut-takut Nesia mencoba berdiri dan menatap mata Neth yang sedang duduk agak jauh darinya.

Pria itu baru saja menyulut cerutu dengan pemantiknya. Setelah menyelipkan ke bibir, tatapan Neth kembali padanya. "Kau bodoh atau apa? Ganti bajumu sekarang juga!" Gertaknya dibarengi lemparan pemantik ke arah di mana Nesia berdiri—dan tentu saja menimbulkan suara keras yang membuat mata gadis itu sontak terpejam rapat.

Ia tidak akan pernah lagi berani untuk menatap langsung mata Neth. Ia takut.

Nesia melangkahkan kakinya dengan gerak pelan, dan berniat berbalik badan, mencari ruangan yang memungkinkannya untuk berganti baju. Namun, sebelumnya suara Neth kembali terdengar. "Siapa bilang kau bisa berganti baju di sana?"

Mata Nesia terbelalak. "L-Lalu ganti baju... d-di mana?"

"Di depanku, manis."

Nesia meringis sembari membenarkan posisi agar kembali menghadap Neth yang kali ini memunculkan seringainya. Mau tidak mau ia harus pasrah. Nesia tidak mau tau bahaya apa yang akan terjadi apabila ia menolak permintaan si Belanda.

Ditemani oleh detak jantung yang mulai melewati batas normal, ia pilih pakaian teraman yang dapat dikenakan. Mungkin rok hitam yang agak mengembang itu bisa didahulukan. Pertamanya ia dobel, kemudian ia sedikit membungkuk untuk melepaskan rok tenunan batik yang ia pakai. Membiarkan rok sebatas lutut itu memperlihatkan betis mulusnya.

Pakaian terakhir—selain apron—adalah kemeja berlengan panjang. Setelah membuka semua kancing kemeja yang nanti akan dipakai, secara perlahan dia tarik kaus kebesaran yang masih menempel di kulitnya itu. Di saat perutnya mulai merasakan hawa dingin ruangan, dia sedikit panik. Cepat-cepat ia biarkan punggungnya menjadi polos, agar bagian dada ke bawah tetap bisa tertutup oleh pakaian yang sudah ia lepaskan. Tentu saja itu dia lakukan karena tidak ada dalaman lain yang ia kenakan selain celana dalam.

Selesainya memasukkan satu persatu tangannya ke dalam lubang pakaian, barulah ia menjatuhkan kausnya ke lantai. Dia mulai mengancing dari bawah agar tubuhnya kembali tertutup.

Namun yang tidak terduga, setelah menaruh putung rokok di asbak, pria berdarah Belanda itu berdiri dari tempatnya. Dan hal itu sontak membuat Nesia gugup seketika. Semakin Neth mendekat, Nesia semakin tidak dapat mengingat bagaimana caranya memasukkan bulatan kancing ke lubang.

Tep.

Tep.

Langkahnya memang pelan, dan jarak mereka masih terpaut jauh. Namun, hal tersebut sudah membuat tubuhnya tidak bisa rileks. Apalagi masih ada empat kancing yang masih terbuka dan memamerkan sedikit belahan dadanya yang putih langsat.

Tep.

Tep.

Oh, Tuhan. Kenapa tangannya gemetaran di saat-saat seperti ini?

Dan saat ia akan membenarkan kancing yang ketiga dari atas—

Set.

kedua tangan Nesia sudah terlebih dulu tertahan olehnya.

Nesia menunduk lagi, ia hanya sanggup melihat sepatu pantofel Neth. Jadi, ketika ia merasakan ada hembusan nafas di sekitar lehernya, refleks ia mengangkat wajah. Jelas sekali kalau detak jantung Nesia meliar dengan sendirinya.

Sembari memasang seringai, Neth membenamkan wajahnya ke pemukaan leher Nesia yang sensitif. Nesia merasa tubuhnya lemas sewaktu ia merasakan bibir pria itu mengenai lipatan lehernya.

Memang tidak ada kecupan atau jilatan. Namun semua sentuhan Neth sudah membuat Nesia ingin menjauh darinya. Tentu saja sebelum ada hal buruk yang terjadi padanya.

Bibir Neth bergerak, menelusuri lekuk lehernya. Naik ke atas, lalu berhenti cuping telinganya untuk berbisik.

"Badanmu memang tidak bagus."

Ia menaikkan salah satu sudut bibirnya membentuk senyum mengejek.

"Tapi wajahmu lumayan. Setidaknya, kau bisa dijadikan pekerja seks komersial."

Mendengar hal tersebut, hampir saja satu isakan keluar dari bibir Nesia.

"Banyak orang Belanda yang menderita lollicon." Lalu ia terkekeh sebentar. "Kau tau? Itu sebutan untuk mereka yang suka dengan anak ingusan sepertimu."

"Tapi tenang saja, kau tidak akan kuperkerjakan menjadi PSK." Kali ini Neth baru melepaskan kedua tangan mungil milik Nesia. Sesudahnya, barulah ia kembali melanjutkan. "Want je bent van mij, Indie. Tidak boleh ada orang lain yang menyentuhmu selain aku."

"Dan tidak juga untuk Arthur sekali pun."

Tidak tau kenapa... nama itu ikut terbawa.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Sansan's Note :

Halo. Aku Sansan, salam kenal. Ini AU, jadi semoga aja ngga ada yang kesinggung lagi tentang personifikasi negara yang dibuat di sini. Dan soal apa-apa yang kutulis di alur cerita, itu semua ngasal. Karena itu jangan ditanyain kebenarannya atau malah repot-repot meralat segala :)

Lagian aku fict ini ku-publish karena ada dua maksud tersendiri kok. Pertama, untuk seseorang. Kedua, karena ngebaca 'sms terakhir' yang berisi sesuatu yang bikin aku mewek #okeguecurcol.

Jadi, walopun fict ini ngga ditanggepin/tungguin/review juga ngga apa. Maaf udah nyampah fict di sini. Kalo banyak yang minta delete bakal akudelete ASAP kok. Terjamin.

Nb untuk "seseorang": Aku nangis berkali-kali pas kamu bilang mau keluar dari FFn. Walopun cuma bisa berdiskusi sebentar, aku udah seneng banget. Mungkin bagi kamu aku SKSD, tapi ngga apa-apa deh (inner: DERITAMU UDAH BIKIN AKU KECANTOL ABIS-ABISAN SAMA SETIAP TULISANMU!). Tapi, semoga kamu tetep bisa balik ke dunia FFn secepetnya.

Fict ini kuperuntukkan untukmu, senpai. Aku memang publish ini ngga bilang-bilang, tapi kalau senpai baca... maaf ya banyak kekurangan. Tapi aku akan tetep belajar biar bisa jadi kayak senpai kok. Karena senpai adalah inspirasiku :')

.

.

Next Chapter :

"Lumayan, sudah lama aku tidak dilayani oleh orang Asia."

"Jangan pernah berani-beraninya kau melawanku."

"Aku tidak akan berbuat nakal sebelum minta izin kepada yang punya—"

"Sampai jumpa lagi, Merah Putih..."

.

.

I'll be pleased if you enter your comment

Mind to Review?

.

.

SANSANKYU