Disclaimer :
Naruto © Masashi Kishimoto
The Sixth Sense © Mikky-sama
Genre :
Fantasy / adventure / romance
Rated :
T
Warning :
AU, maybe OOC (hanya persiapan).
_xXx_
_The Sixth Sense_
_xXx_
Setiap anak yang lahir pasti punya kelebihan. Entah kelebihan dibidang akademik maupun dibidang nonakademik.
Di dunia ini ada banyak hal yang tak diketahui oleh manusia biasa. Apakah kalian pernah berpikir teman dekatmu adalah alien? Makhluk asing dari planet asing? Apakah kalian pernah berpikir jika orang tua kita adalah alien? Atau apakah pernah berpikir jika guru yang mengajarimu di sekolah adalah seorang alien? Yang pasti, kita adalah alien bagi makhluk asing planet lain.
Sayangnya, yang kita jadikan tokoh utama di sini bukan seorang alien. Tema dari cerita ini pun bukan alien. Tidak ada hubungan dengan alien sama sekali. Itu tadi... hanya basa-basi.
Kita bicara tentang potensi seseorang. Ada anak yang diberi kelebihan oleh Yang Maha Kuasa. Ada yang bisa mahir bermain musik tanpa guru, ada yang pintar dalam hal logika, menonjol dalam hal bahasa, olahraga, dan lainnya. Pernahkah kalian berpikir tentang kelebihan lainnya? Pernahkah kalian mempercayai kelebihan yang kalian pikirkan itu?
Sekarang, aku ingin kalian memikirkan ini. Memikirkan dengan benar. Dan yang penting, ini bukan sebuah... basa-basi.
Apakah di sini ada yang bisa membaca pikiranku?
Apakah pertanyaan itu pernah muncul di suatu tempatmu berada? Mungkin saat kalian memikirkan hal kotor dan takut seseorang mengetahui pikiran kotormu.
Apakah pikiranku dibaca oleh seseorang di sini?
Pernahkah kalian melontarkan pertanyaan itu? Atau pertanyaan yang tak jauh dari situ?
Aku percaya, bahwa ada seseorang yang mampu membaca pikiran, melihat masa depan, melihat hantu, melihat masa lalu saat menyentuh benda, jiwamu tidak menempati ragamu, memindahkan benda tanpa menyentuhnya, diri yang berpindah tempat dan masih banyak yang lainnya.
Kenapa aku mempercayainya? Karena aku pernah bertemu dengan mereka yang mempunyai kelebihan itu.
Menurutku salah jika kelebihan itu dinamakan sixth sense karena sebenarnya itu adalah salah satu kelebihan dari lima indra yang dimiliki manusia. Seperti melihat masa depan adalah kelebihan pada indra penglihat. Membaca pikiran adalah kelebihan pada indra pendengar—jangan tanya kenapa diberi nama membaca pikiran. Melihat masa lalu saat menyentuh benda adalah kelebihan pada indra peraba. Menggerakkan benda tanpa menyentuh dan diri yang bertransport ke wilayah lain itu adalah kelebihan pada kekuatan otakmu.
Kenapa kita membahas ini terlalu panjang? Karena tokoh utama kita bisa membaca pikiran dan transportasi ke tempat lain. Orang itu adalah aku. Hyuuga Hinata. Jangan tanya kenapa aku bisa melakukannya. Karena aku juga tak tahu.
Orang tuaku tahu kekuatanku saat aku masih bayi. Entah kenapa aku yang tidur nyenyak di kamar jadi berpindah tempat di wastafel dapur. Oh, aku yang malang.
Aku pun dilatih oleh ayahku untuk mengendalikan kekuatanku. Tapi, sampai saat itu aku tak bisa mengendalikan kelebihanku yang bisa transport ke tempat lain. Kalian tak menyadari aku bilang 'saat itu'? Ya, aku tak bisa mengendalikan kekuatanku sampai seorang bernama Uchiha Sasuke menjadi teman sekelasku di SMA sekaligus pacarku datang dalam hidupku.
_The Sixth Sense_
Bulan April, awal tahun pelajaran baru dimulai. Seperti tahun sebelumnya, aku harus upacara untuk pembukaan tahun pelajaran baru. Harus berdiri untuk beberapa waktu yang membuat kakiku pegal. Ingin rasanya duduk. Ah, kenapa aku banyak mengeluh?
Aku ingin bertemu dengan Naruto. Apakah aku dengan Naruto berada di satu kelas? Ah, pidato... cepetan selesai. Bosen, nih. Ah, ngikutin caranya Naruto aja deh. Baca pikiran orang.
Aku mencari–cari pikiran konyol yang cocok untuk ditertawai. Tapi tetap melihat si penceramah di depan.
'Aduh, kurang berapa hari lagi, sih? Aku kebelet nih.'
'Ah, nyesel deh. Kenapa baju kemaren gak aku ambil aja ya? Padahal lagi discount.'
'Badanku bau, gak, ya? Gara-gara bangun telat jadi gak sempet mandi.'
'Sebentar lagi pidatonya selesai. Lima, empat, tiga, dua...'
"Sekian dari saya, selamat pagi," akhir pidato.
"Lho, kok tau?" tanyaku pada diri sendiri. Aku pun mencari sumber pikiran tadi.
'Hati-hati kepeleset,' kata pikiran tadi yang kudengar.
Gyuuut...
Si pemberi ceramah tadi hampir jatuh terpeleset karena tanah yang basah akibat hujan tadi malam. Entah kenapa aku sangat yakin dia bisa berpikiran seperti itu. Apakah dia bisa mengendalikan orang lain? Atau, apakah dia bisa melihat masa depan?
'Hinata, Hinata!' seseorang memanggilku dengan pikirannya. Aku mencari pikiran itu. Dan aku mendapati sepupuku—Neji—sedang memanggilku dalam pikirannya.
'Ada apa?' kataku dengan bahasa isyarat dengan menggerakkan tanganku.
'Tetap buka pikiranmu. Ini misi kita yang pertama,' katanya dalam pikirannya.
'Oke,' kataku dengan membentuk huruf O dengan menyatukan ibu jariku dengan telunjukku.
Oke, ini menyusakan. Aku harus menggerakkan tanganku tanpa menarik pandangan orang. Menggunakan bahasa isyarat yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan seorang tunarungu. Sedangkan Neji hanya bicara dalam pikirannya saja.
'Aku ada di kelas X-3,' kata pikiran tadi.
'Dan aku duduk dengan seorang gadis bernama... Hyuuga Hinata? Baiklah, aku mengerti,' kata pikiran itu lagi. Dan kali ini dia menyebut namaku.
"Di mana anak itu?" kataku pada diri sendiri seraya mencari anak itu.
"Ah, aku lapar," ucapku pada diri sendiri.
Beginilah jika aku menggunakan kekuatanku. Jadi mudah lapar. Dan jika aku tak cepat makan, aku langsung jatuh tidur. Tapi, sebenarnya itu tak berlaku saat aku membaca pikiran. Itu berlaku saat aku menggunakan teleport-ku. Sebentar, hari ini aku belum menggunakan teleport-ku. Bagaimana aku lapar?
Oh, ya! Aku lupa satu hal. Aku belum sarapan.
Ah, aku harus cari makanan dulu agar aku tidak jatuh tidur di kelas pertama di jam pertama. Sepertinya aku memang harus duduk di sebelah anak itu. Aku harus cari makanan dulu.
Untung upacara sudah selesai. Aku bisa mencari Neji untuk meminta beberapa roti darinya. Aku lupa membawa makanan yang biasa aku bawa. Neji juga sepertiku, mudah lapar jika menggunakan kekuatannya. Tapi dia tidak jatuh tidur saat sudah sangat lapar. Aku berpikir, kenapa semuanya menyusahkanku?
"Neji!" panggilku kepada sepupuku. Aku berjalan mengikutinya. Dia masih berjalan, sepertinya dia tidak mendengarkanku. "Neji!" panggilku lagi.
"Ya?" Neji pun menoleh ke belakang.
"Aku butuh makanan," kataku. "Aku belum sarapan," sambungku.
"Kau tidak membawa kue coklatmu?" tanya Neji padaku.
"Aku lupa," kataku pada Neji seraya tersenyum kepadanya.
"Baiklah, ikuti aku. Tasku ada di kelas," kata Neji.
Aku dan Neji berjalan beriringan di koridor. Kami berjalan menuju kelas Neji yang berada di sebelah deretan kelas satu. Ya, Neji adalah kakak kelasku di sekolah ini. Tapi Neji menyuruhku memanggilnya Neji, tanpa embel-embel. Oke, aku mengerti.
Neji masuk ke dalam kelasnya dan aku menunggu di depan pintu kelasnya dan tak lama kemudian dia keluar.
"Maaf, Hinata. Aku juga tidak bawa rotiku," kata Neji.
"O-oke. Aku mengerti. Mungkin aku harus tidur di kelas," kataku.
"Jika kau lelah, ke UKS-lah," kata Neji.
Aku pun menautkan ibu jariku dengan telunjuk. Aku berjalan menjauhi Neji. Aku sudah mulai pusing sekarang. Aku harus segera ke kelas X-3.
Aku membuka pintu kelas yang tertera X-3 setelah aku mengetuk pintu. "Sumimasen," kataku sambil membungkuk. Aku mencari tempat yang kosong. Dan aku duduk di deretan paling belakang di pojok. Dan sebelahku ada seorang anak laki-laki dengan rambut yang sedikit acak-acakan.
"Kau mau ini?" tanya anak laki-laki itu. Dia menyodorkan roti berukuran sedang kepadaku. Aku menatap mata hitamnya.
"Terimakasih," kataku padanya. Aku mengambil makanan yang dia berikan kepadaku.
Oke, tidak ada racun. Aku baru saja membaca pikirannya.
Aku langsung membuka mulutku dan memakannya sebelum seorang guru datang dan melarangnya makan dalam kelas. Dan juga sebelum aku jatuh tidur dan guru memukulku.
"Kenapa kau harus terburu?" tanya anak itu padaku.
Aku mengunyah roti itu dahulu sebelum aku bicara. Aku akan mati konyol jika aku mati gara-gara tersedak. "Aku belum sarapan," kataku.
"Tapi kau bisa memakannya saat istirahat," katanya.
"Aku bisa jatuh tertidur jika aku tidak makan," balasku.
"Eh?"
"Lupakan," kataku yang masih memakan roti itu.
Aku masih tetap memakan roti yang diberikannya kepadaku. Tiba-tiba sebuah jari menyentuh pipiku. Telunjuknya menyentuh pipiku.
"Hyuuga Hinata, dapat membaca pikiran dan berteleportasi. Dan satu lagi," katanya dan sontak saja aku menoleh kepadanya.
"Dan apa?" tanyaku.
"Dan namaku Sasuke," katanya.
"Oh, ya. Salam kenal, Sasuke," kataku yang kemudian meneruskan makannya.
"Bagaimana punya kelebihan?" tanyanya.
"Maksudmu membaca pikiran dan berteleportasi? Semacam itu?" tanyaku kembali.
"Ya."
"Bagaimana rasanya? Bukankah kau sendiri bisa melihat masa depan?" tanyaku.
"Tidak enak. Semua yang sudah kau ketahui akan terjadi, tak ada kejutan. Dan aku harus berpura-pura terkejut jika seseorang akan memberiku kejutan," katanya seraya melihat depan. "Lalu bagaimana denganmu, Nona Hyuuga?" tanyanya seraya menatapku.
"Tidak enak," kataku yang kemudian memakan rotiku kembali.
"Tidak enak? Apanya yang tidak enak?" tanyanya.
"Tidak enak saja," kataku. "Tunggu, namamu Sasuke?" tanyaku dan dia mengangguk.
"Kau terkenal juga di sekolah ini," kataku kemudian. Aku memang sedang membaca pikiran anak di kelas ini dan saat aku upacara, kalau tidak salah aku juga mendengar nama Sasuke disebut-sebut.
"Benarkah? Seberapa tenar?" tanyanya.
"Kau ingin aku memberitahu?"
"Ya," jawabnya.
"Setenar entahlah. Aku bingung membandingkan dengan siapa," kataku.
"Apa yang mereka pikirkan tentangku?" tanya.
"Kau bisa meramal?" tanyaku seraya membalikkan tubuhku.
"Ya," jawabnya.
"Baiklah. Bagaimana jika aku menjawab pertanyaanmu dan ramal aku?" kataku membuat perjanjian.
"Kau yakin ingin mengetahuinya?" tanyanya padaku dengan alis sedikit bertautan.
"Ya, meski sebenarnya aku tidak terlalu percaya ramalan," kataku.
"Baiklah. Jawab dulu pertanyaanku tadi," katanya.
"Mereka memikirkan kau itu keren dan menyebutmu sebagai hal yang memuakkan bagiku. Beberapa bilang mereka mau menjauhkanmu dariku karena menurut mereka kita terlalu dekat. Dan satu orang berpikiran mau membunuhmu. Entah itu gurauan atau apa," kataku.
"Siapa yang mau membunuhku?" tanyanya.
"Hanya berlaku satu pertanyaan," kataku seraya mengangkat jari telunjukku.
'Apa mereka mau menangkapku?' pikir Sasuke saat itu.
"Menangkapmu? Apa maksudmu?" tanyaku. Dia menutup mulutku yang setengah penuh dengan roti.
'Sstt... Telinga mereka tajam. Bahkan jika dia didekatmu, mereka bisa membaca pikiranmu,' pikirnya.
'Mereka siapa?' pikirku seraya membulatkan mata. Ah, bodohnya aku. Aku tahu dia tidak bisa membaca pikiranku.
'Maaf, aku harus menutup pikiranku,' katanya dan dia melepaskan tangannya yang menutupi mulutku. Dia pun kembali ke posisi semula. Duduk menghadap papan tulis.
"Hey, Sasuke, bicaralah. Setidaknya keluarkan satu dua kata," kataku.
"Nanti kujelaskan," katanya yang masih diam menghadap papan tulis.
'...'
Apa?
Pikiran apa barusan? Aku dalam bahaya. Apakah ada pemangsa di kelas ini?
Aku mencari seseorang yang pikirannya barusan terlitas dalam telingaku. Tapi tidak ada seseorang yang mencurigakan di kelas ini.
Jadi, siapa tadi?
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sasuke.
"Ada pikiran aneh yang terlintas," kataku.
'Tutup pikiranmu. Kita dalam zona berbahaya,' kata Sasuke melalui pikirannya.
Baiklah, aku mengerti, Tuan Pengatur.
Pikiran di sekitarku lama-lama mulai menjauh dan akhirnya aku hanya mendengar suara anak yang berbincang-bincang.
Aku berulang kali menguap karena guru belum datang juga. Ini sangat membosankan. Tidak bisa membaca pikiran anak. Aku pun tidak bisa bicara dengan teman yang lainnya. Ini sangat membosankan.
'Hahaha, sepertinya kau bosan.'
Suara apa itu?
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seperti hendak mau menyebrang jalan. Mencari orang yang bicara dalam pikiranku.
Otakku masih milikku, kan?
Aku meremas-remas kepalaku sendiri. Menutup mataku untuk beberapa saat dan membuka mata.
Tidak, tidak. Aku harus menenangkan pikiranku. Itu hanya khayalan. Bagaimana bisa sebuah suara menyusup ke dalam otakku? Aku harus tenang.
Aku memijat-mijat kecil kepalaku.
'Kau bingung, ya? Datanglah padaku,' suara itu datang lagi ke dalam otakku. Apa otakku sedang bermasalah? Tidak. Pergi, pergi.
Aku meggeleg-gelengkan kepalaku.
"Ah, siapa kau?" kataku seraya berdiri dari tempatku. Aku tidak menghiraukan belasan pasang mata yang menatapku. Aku berjalan dan lari keluar.
'Di mana dirimu?' kataku dalam pikiran. Aku tetap berlari menyusuri setiap koridor.
'Temukan aku jika kau bisa,' kata suara itu. Suara itu terlihat lebih berat sekarang.
'Siapa kau sebenarnya?' tanyaku pada suara itu.
'Temukan aku dan kau akan tahu siapa aku,' suara itu bicara dalam otakku.
'Hinata, sadar.'
'Temukan aku dan aku akan memakanmu.'
'Huahahahaha...' suara itu tertawa dalam anganku. Tertawa yang mengerikan. Tawa seorang setan. Setannya setan. Bukan. Iblisnya iblis.
Aku terhenti. Kepalaku terasa sakit. Tiba-tiba mataku gelap. Dan aku merasa takut. Aku takut. Aku sangat takut.
_The Sixth Sense_
"Hinata, bangun! Hey, bangun," seseorang memanggilku dan mengguncangkan tubuhku. Setitik cahaya yang kulihat semakin membesar. Aku membuka mataku dan melihat seseorang yang kukenal berada di depanku.
Aku bangun dari tidurku dan mulai bernafas lega. Aku berada di tempat tak kukenal. Tempat yang asing bagiku. Aku berada di bawah pohon sakura yang besar dan di sampingku ada Sasuke.
"Kenapa kita di sini?" tanyaku pada Sasuke.
"Aku yang seharusnya bertanya padamu. Kita membolos gara-gara teleportasimu," kata Sasuke dengan nada menjengkelkan.
"Jangan salahkan aku. Aku tak tahu apa-apa," kataku protes padanya. Aku membersihkan rumput kering yang menempel padaku.
"Kau terus kupanggil sepangjang koridor dan sebelum kau keluar dari kelas," katanya. Dia membenarkan posisinya dan memandang ke depan.
"Aku tak tahu, apa yang merasuki otakku tadi," kataku. Aku melipat kakiku, aku pun duduk bersila.
"Itu tadi makhluk berbahaya. Jiwa anak yang mempunyi kelebihan seperti kita adalah makanannya. Dia adalah predator. Dia lebih dari seorang pemangsa. Pemangsa hanya mengambil kelebihan kita, jika predator mengambil nyawa kita," jelas Sasuke.
"Lalu, kenapa dia bisa masuk pikiranku saat aku menutup pikiranku?" tanyaku.
"Karena kau sedang lahir," katanya yang pasti aku tak mengerti maksudnya. Mungkin dia seorang penyair sehingga menggunakan bahasa yang begitu rumit bagiku.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Kekuatan ketigamu sedang lahir. Maka dari itu kau merasa sangat lemah," katanya.
Ah, aku baru menyadari itu. Aku tidak menggunakan teleportasiku tapi aku merasa lapar. Dan juga, konsentrasiku hari ini kacau. Tak bisa mencari Sasuke saat upacara tadi. Biasanya mataku langsung menangkap orang yang sedang melontarkan pikirannya dalam otakku. Dan juga aku tidak tahu orang yang berpikiran untuk membunuh Sasuke. Itu sebabnya aku tak menjawab pertanyaannya.
"Dan juga, kau belum bisa mengendalikan teleportasimu. Itu mempermudah mereka untuk mengacaukanmu," sambungnya.
"Kau, dari mana kau tahu semua ini?" tanyaku.
"Ayahku, dia adalah ketua perkemahan musim panas di Osaka. Perkemahan untuk manusia seperti kita," jelasnya.
"Ayahmu adalah Uchiha Fugaku?"
"Ya, kau dapat undangan untuk ke sana?"
"Ya, bagaimana mereka tahu jika aku dan sepupuku bisa?" tanyaku.
"Ayah menyebarkan orang untuk mencari manusia seperti kita di seluruh pelosok negeri," jawabnya.
"Dan kenapa manusia sepertiku dicari?" tanyaku. "Dan lagi, apa kekuatan ketigaku? Apakah itu bagus?" tanyaku lagi. Aku mengalihkan pandanganku kepada Sasuke yang duduk dengan menekuk kakinya dan menumpukan tangannya di atas lututnya
"Kekuatan ketigamu... sangat istimewa... aku iri," katanya. Dia menatapku dengan mata tajamnya.
"Apa itu?"
"Yang datang kepadamu tidak hanya satu tapi dua," katanya lagi.
"Jangan berbelit-belit. Cepat katakan," kataku.
"Kau bisa... mengendalikan benda dan... kau bisa... menghilang."
^ Bersambung... ^
Mikky : gaje ah... *ngacir*
Choco : Reviewnya...