Warning! Disclaimer!

Vocaloid bukan punya saya, saya cuma punya cerita ini, dan kalau ada kesamaan cerita, alur, dan tokoh cerita, mohon maaf, saya juga manusia tidak luput dari kesalahan.

Btw btw ini cerita request-an temen sekelas author, yang beberapa hari lalu ngereview story.

Enjoy this tomodachi!


"Gadis psycho! Sebelumnya aku belum pernah semarah ini! Matilah kau! Kau benar-benar tidak pantas hidup! Kau sungguh….. membuatku muak! Kau harus lenyap dari dunia ini!"

Pria berambut kuning kepirangan itu menusukkan pisaunya berkali-kali tepat kebagian dada seorang gadis yang sebenarnya sudah terkulai lemas dilantai akibat tindakannya yang benar-benar keji.

Percikan darah sudah tidak terhitung. Darah-darah segar itu mengalir dari tubuh gadis itu.

Namun seakan puas akan kegiatannya, pria itu tersenyum senang melihat keadaan gadis itu sudah tidak bernyawa.

"Ini… untuk Miku…," ucap pria itu lirih.

-You even don't know anything about-

Bau anyir menyeruak dari sebuah ruangan di sebuah rumah yang berukuran medium. Suasana di lorong menuju setiap kamarnya sangat gelap dan tergolong pengap. Semua orang yang mungkin akan masuk ke dalam sana harus berpikir dua kali sebelum masuk ke dalamnya. Dari sisi luar memang tampak rumah berukuran medium ini sudah terlihat sangat suram. Cat dinding yang mulai mengelupas, pagar hitam dengan cat yang nyaris mengelupas pula. Pohon-pohon sedang yang sudah tidak terawatt menghiasi halaman rumah yang minimalis itu. Orang yang lewat pun sepertinya enggan melirik rumah tersebut. Dan mereka pun mungkin tidak tahu bahwa rumah itu masih berpenghuni.

Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa penghuni rumah itu adalah seorang gadis. Tidak pernah.

Gadis penghuni rumah itu duduk di sebuah ruangan dengan furniture alakadarnya. Sebuah meja dan sebuah kursi di hadapan sebuah kaca yang berukuran large. Nyaris menyerupai sebuah lukisan besar.

Gadis itu tersenyum melihat refleksi dari dirinya. Ia menyisir rambut panjangnya. Kuning pirang terurai panjang sepinggang. Memiliki sepasang mata aquamarine. Kulit pucatnya sangat serasi dengan lipstick merah yang kini menghiasi bibir kecilnya.

"Aku cantik….," gumamnya pelan.

-You even don't know anything about-

"Len!" panggil seorang pria berambut biru kegelapan. Kaito.

Seorang yang dimaksud Kaito menoleh. Ia berambut kuning pirang mengenakan kemeja dan rompi bermotif kotak-kotak yang dipadukan dengan celana cokelat muda.

"Ini, aku ditugaskan memberikan job sheet untukmu," ucap Kaito sambil memberikan beberapa lembar kertas yang berisi tulisan yang membingungkan.

"Baiklah, terima kasih, baka," ucap Len.

"Oh iya, aku turut prihatin kau mendapat tugas ini, bos bilang tugas ini cukup sulit," ucap Kaito menepuk bahu Len lalu berlalu pergi.

Len memandangi kertas-kertas di tangannya.

"Eh…. Ini…..," gumamnya pelan.

'Korban Hilang'

Haku

Teto

Kamui

Luka

Akita

"Kau yakin tidak butuh bantuanku?" tanya Meiko. Wanita berambut merah kecokelatan bergaya seperti laki-laki dengan postur tubuh wanita yang cukup ideal.

"Hm…. Aku akan mencobanya dulu," ucap Len sambil menyeruput secangkir kopi di mejanya.

"Baiklah kalau begitu, tapi kalau aku lihat-lihat….," Meiko mengamati foto-foto korban hilang pada kertas yang diberikan Kaito pada Len.

"Mereka termasuk wanita dengan rambut panjang," ucap Meiko lagi. Ia menopang dagunya dengan tangan kanannya.

"Kau berpikir sama denganku?" tanya Len.

"Ini sepertinya sudah direncanakan," ucap Meiko.

Len mengangguk. Ia mengamati keluar jendela café. Hilir mudik pejalan kaki berjalan di tepi jalanan. Mereka seperti memiliki urusannya masing-masing.

"Hm, Meiko-san, sepertinya aku harus pergi, jaa ne!" ucap Len bergegas mengambil mantel dan jobsheet nya yang baru saja Meiko genggam.

Dari dalam café Meiko melambaikan tangan pada Len yang berjalan keluar.

-You even don't know anything about-

Cuaca panas yang menjelma menjadi hawa dingin pada malam hari membuat suasana jalanan ini semakin sepi. Hembusan angin malam yang cukup membuat merinding begitu sering terasa.

Seorang wanita berjalan dengan melipat tangannya dan menyembunyikan sepasang tangan itu diatas perutnya dengan lengan mantel. Ia berjalan sedikit menunduk. Kemilau rambut yang disinari lampu jalanan sangat mencolok terlihat.

Len mengamati kertas yang tadi siang Kaito berikan padanya. Ia masih sedikit bimbang dengan pemikirannya kini. Ia harus menduga beberapa dugaan yang sebenarnya bisa saja terjadi.

"Hmm, menarik…,"

Tiba-tiba ponsel Len berbunyi. Tanda pesan masuk.

From : Hatsune Miku

Ini malam minggu, bisa aku mampir?

Len tersenyum memandangi pesan dari kekasihnya itu.

Ia buru-buru menekan tombol yes untuk mengirim kata 'Iya'.

15 menit setelah pesan itu diterima, bel rumah Len berbunyi.

"Konbanwa!" sapa seorang gadis dengan gaya rambut pigtail berwarna hijau terang dengan mata biru kehijauan yang cukup bersinar terang.

Len memberi ciuman selamat datang pada gadis itu lalu mempersilahkan ia masuk.

"Aku menganggu tidak?" tanya Miku sambil duduk di sebuah sofa.

"Tentu saja tidak, mau kubuatkan minum?" tanya Len.

Miku menggeleng lalu bangkit setelah melepas mantelnya. "Aku bisa membuatnya sendiri kok…,"

Len tersenyum. Ia meletakkan mantel Miku di sebuah gantungan disamping pintu masuk.

"Bagaimana dengan tugas barumu?" tanya Miku lalu menenggak segelas air mineral yang baru ia tuangkan dari botol di dalam lemari pendingin.

"Kali ini mungkin cukup sulit," jawab Len sambil duduk bersandar di meja kerjanya.

"Apa iya? Boleh aku lihat?" Miku menghampiri Len dan mengambil lembaran kerja Len.

Setelah membaca lembar kerja di meja Len.

"Ini hipotesis pertamamu?" tanya Miku sambil menunjuk kalimat di bagian paling bawah kertas.

Len tertawa kecil. "Kenapa? Kau takut?" tanya Len sambil merangkul bahu Miku.

"Hm… tidak," jawab Miku sok berani.

Len tersenyum. "Kau bisa bermalam disini, diluar sudah gelap," ucap Len pelan.

Wajah Miku sedikit memerah. "Ah, kau ini, aku bisa pulang sendiri kok nanti," ucap Miku.

Len mengecup bagian kepala Miku dan menyandarkan kepalanya di atas kepala Miku.

-You even don't know anything about-

Cuaca pagi ini cerah. Terik matahari menembus masuk ke dalam sebuah kamar. Membuat penghuni kamar itu merasa silau dan terbangun dari tidurnya.

"Ssssst, bangun….," bisik Len pada Miku yang tertidur disampingnya.

Miku sedikit menggeliat.

"Hm, aku ketiduran ya," ucap Miku pelan.

Len tertawa kecil. "Ya,"

Miku bergegas bangkit dari tidurnya. Ia melihat sekeliling.

"Sekarang jam berapa?"

Len melirik ke sebuah weker di meja samping ranjangnya.

"08.30," ucapnya sambil beranjak berdiri.

"Ah, aku terlambat," ucap Miku.

Len tersenyum. "Sudahlah, itu bukan masalah, lebih baik kau mandi dan sarapan," ia mencium dahi Miku lalu beranjak keluar kamar. Sementara Miku menyusul di belakangnya.

Miku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, ia mengenakan beberapa pakaian yang sengaja ia tinggal di rumah Len agar lebih mudah saat ia menginap seperti ini.

Sementara Len memutuskan untuk membuat sarapan sambil menunggu giliran mandi nya.

"Hari ini kita kemana?" tanya Miku.

Len berpikir sejenak. "Mungkin kau harus menemaniku mencari beberapa dugaan lagi," ucapnya.

Miku menghela napas. "Baiklah,"

"Tidak apa-apa kan?" tanya Len sambil mengangkat kedua alisnya.

Miku tersenyum. "Tentu saja,"

Seakan larut dalam suasana pagi, mereka tidak tahu bagaimana perubahan besar akan mengubah segalanya.

Len mengenakan mantel dan mengambil lembar-lembar kertas di meja kerjanya.

Setelah siap, mereka memutuskan untuk pergi ke café dekat tempat kerja Len.

Setelah memutuskan tempat duduk mana yang mereka tempati di café itu, mereka memesan minuman-minuman ringan.

"Apa Meiko-sama tidak kesini?" tanya Miku sambil menoleh ke sekeliling.

Len menggeleng sambil mengamati job sheetnya.

"Kau benar-benar penasaran ya," ucap Miku sambil tersenyum datar dan mengangkat alisnya.

Len menatap ke arah Miku. "Kenapa? Kau merasa di nomor duakan?"

Miku tersentak. "Tidak, Len, aku hanya merasa bahwa hal ini, hmmm maksudku, aku mengganggu pekerjaanmu saat ini," ucap Miku.

Len tersenyum lalu menggeleng. "Sudah 3 tahun kita bersama seperti ini, kau masih saja tidak berubah," ucap Len.

Miku bernapas lega.

BRUK!

PRANG!

Sebuah suara dari suatu keributan menarik perhatian Miku dan Len.

Seorang gadis tidak sengaja tersandung dan menjatuhkan nampan berisi paket sarapannya.

Len bergegas membantu gadis itu. Miku mengikutinya dari belakang. Sementara Len membantu mengangkat nampan yang jatuh dan membereskan segalanya, Miku membantu gadis itu berdiri.

"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Miku sambil tersenyum. Matanya bertemu sepasang mata indah berwarna aquamarine.

Miku terdiam. Ia mengamati wajah gadis itu, sedikit familiar dengan rambut gadis itu.

"Ah- aku tidak apa- ng- terima kasih," ucap gadis itu sambil membersihkan beberapa noda di pakaiannya yang sebenarnya tidak bisa dibersihkan tanpa sabun.

"Aduh, jangan repot-repot Len," ucap seorang pria berseragam pelayan membantu Len membersihkan beberapa makanan yang gadis itu jatuhkan.

"Sudahlah, tidak apa-apa," ucap Len yang lumayan dikenal ramah dan dekat dengan siapapun.

Gadis yang tersandung tadi terpaku melihat sosok Len. Miku mengamatinya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Miku lagi.

Gadis itu diam.

Miku melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu.

"Eh, iya, tidak apa," jawab gadis itu singkat.

Len menoleh ke arah gadis itu lalu tersenyum. "Lain kali kau harus hati-ha…," kalimatnya terputus melihat wajah sang gadis.

Gadis itu buru-buru pergi dari café itu. Ia tidak memperdulikan ganti rugi yang pelayan sudah siapkan untuknya.

Miku berdiri di sebelah Len.

"Kenapa rasanya aku sudah pernah melihat gadis itu ya, Len?" tanya Miku.

Len mengangguk pelan.

-You even don't know anything about-

Len mengamati foto gadis di job sheet nya yang menyerupai gadis tadi. Rambut kuning kepirangan.

Akita Neru.

"Dia korban terakhir ya….," gumam Miku pelan.

"Hm," Len berdehem.

Miku bangkit dari sofa. "Aku melihatnya mengamati mu tadi," ucapnya.

Len menoleh. "Eh?"

Miku mengangguk pelan. "Sepertinya dia juga merasa mengenalmu lebih dekat, tapi entahlah….,"

Len bangkit dan memeluk gadis di sebelahnya.

"Kau cemburu?" tanya Len.

Miku tertawa kecil. "Aku? Cemburu? Tidak kok," ucapnya.

Len mempererat pelukannya yang ia mulai dari balik badan Miku. Lalu meletakkan dagunya di pundak Miku.

"Jangan membohongiku, aku ini detektif hebat," ucap Len.

"Ya, tapi kau sudah mengulur waktu dan menunda job sheet mu," ucap Miku.

Len terdiam. "Hahaha iya iya ini semua kan aku lakukan demi kau, Miku," ucap Len.

Miku tertawa kecil namun terdengar dingin. "Ya, tapi banyak nyawa yang dipertanyakan di luar sana, tidak seharusnya aku meng-" Miku diam melihat aksi cium Len yang membungkam mulutnya.

Setelah beberapa menit terjebak dalam kegiatan yang cukup intim itu.

"Berhenti menyalahkan kehadiranmu dalam kehidupanku, ya?" tanya Len.

Miku tersenyum lalu mengangguk.

Nyanyian burung di malam hari menemani suasana yang berada di sekeliling rumah di jalanan sepi. Lampu-lampu jalan yang cukup redup yang bertengger disana sesekali mati nyala.

Sebuah suara senandung perlahan memecah keheningan dirumah itu.

"Hmm…. Aku sudah menemukan pangeranku," ucapnya pada sesosok tubuh wanita yang bersandar di tembok dan terduduk dilantai.

Gadis bermata aquamarine itu tersenyum sinis pada tubuh itu. Bercak darah menghiasi wajah gadis yang bersandar ditembok itu. Matanya melotot mengerikan. Ekspresi kaget lah yang terbelesit dipikiran orang yang melihatnya. Namun sayang sekali, tidak ada orang yang akan atau melihatnya saat itu.

"Aku ini cantik, aku pantas mendapatkannya…," ucap gadis bermata aquamarine itu lagi.

Ia mengusap-usap kepala gadis dihadapannya yang terlihat seperti seusai melakukan kegiatan potong rambut paksa. Potongan rambutnya benar-benar acak-acakan. Dan dapat diterka bahwa gadis yang bersandar itu terbujur kaku. Mati.

"Aku harus mencoba menemuinya suatu hari nanti…,"ucap gadis bermata aquamarine itu lagi.

"Mungkin aku akan berhenti melakukan hal-hal yang cukup mengerikan ini," ucapnya.

Iya tertawa pelan. Sehingga hanya malam lah yang mendengar tawa kecilnya yang berarti cukup banyak dugaan.

"Selamat malam Barbie-barbie ku….," ucap Rin sambil berlalu dari ruangan yang berisi sekitar 5 tubuh tak dikenal dengan keadaan yang cukup mengerikan. Bau anyir seketika tercium dari ruangan itu.

-You even don't know anything about-

Keesokan harinya, saat matahari mulai merambat ke atas. Jam menunjukkan pukul 10.00 am. Len duduk di meja kerjanya. Masih memandangi lembar kerjanya yang sampai kini belum terpecahkan.

"Hey! Bisa aku masuk?" tanya suara Meiko dari luar pintu ruangan Len.

"Masuk saja," sahut Len.

Meiko sedikit mendorong knop pintu dan membuka pintu ruangan Len. Lalu menghampiri pria itu.

"Heh, bagaimana kalau kita ke café sebelah?" tanya Meiko sambil duduk di kursi yang disediakan berhadapan dengan kursi Len.

Len melirik Meiko.

"Kau ini, " namun Len tetap saja mengikuti ajakan Meiko untuk pergi ke café sebelah dan bersantai.

Meiko dan Len berjalan di lorong ruangan tempat kerja mereka.

"Heh! Kalian mau kemana?" teriak satu suara yang berasal dari belakang Meiko dan Len.

"We killed…..," ucap Meiko sambil berhenti sedikit mematung. Len menoleh ke belakang. Sosok pria berambut ungu panjang menghampiri mereka.

"Ga-gakupo-sama..," ucap Meiko sambil membungkuk lalu kembali ke postur kagetnya.

"Kalian mau pergi kemana?" tanya Gakupo.

"Ng, kami mau mampir sebentar, membeli kopi, tapi kami janji sebentar saja sudah kembali," ucap Meiko.

Gakupo menggeleng. "Kalian ini…,"

"Kami mau bersantai di sebelah, kalau kau mau ikut silahkan," ucap Len. Meiko meliriknya dengan tatapan 'Bangke, itu sama aja bunuh diri,'

"Kenapa? Bagus kan? Gakupo-sama ikut membantu kita…," ucap Len membalas tatapan Meiko yang sebenarnya udah setengah hidup.

"Eh, i-i-ya juga sih," Meiko menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Gugup.

Gakupo memasang tampang berpikir. Ia tersenyum. "Baiklah, aku ikut," ucapnya dengan pnuh energi.

Len tertawa. Sementara Meiko sweatdrop melihat tingkah bos nya.

Di sebuah tempat duduk seperti biasa. Mereka memesan makanan ringan selera masing-masing. Suasana café saat itu cukup sepi, karena masih cukup pagi dan café baru saja dibuka. Pelayan-pelayan yang bekerja baru akan menyiapkan makanan-makanan yang nantinya akan bertahan sampai café tutup. Ada pula pelayan yang sesekali mengelap beberapa meja yang terlihat sedikit berdebu.

"Kasusmu itu belum terpecahkan ya?" tanya Gakupo sambil meneguk secangkir kopi yang ia pesan.

Len mengangguk sambil mengunyah crepes yang ia pesan.

"Aku sengaja memberikan tugas itu padamu karena kau terlalu santai selama ini," Gakupo tersenyum miring namun senyumnya hilang dan menjadi tatapan 'Ampun' setelah melihat ekspresi Len menjadi sedikit kesal melihatnya mengatakan itu.

Tiba-tiba pandangannya terarah pada seorang gadis yang baru saja memasuki café tersebut. Gadis yang kemarin menjatuhkan sebuah nampan berisi makanan untuk sarapannya.

"Hey, lihat itu, siapa dia? Pakaiannya cukup lusuh," ucap Meiko sambil mengarahkan dagunya ke arah gadis yang kemarin Len lihat.

Gakupo ikut menoleh ke arah gadis yang Meiko maksud.

Ya, memang sejak kemarin penampilannya seperti itu sejak Len pertama bertemu dengannya.

"Tapi dia cukup mencurigakan, rambutnya sedikit menyerupai gadis terakhir yang menjadi korban kasusmu," ucap Meiko.

Len mengamati gadis itu lebih teliti.

"Tapi rambut itu seperti rambut sambungan, warnanya tidak begitu mirip dengan bagian atas rambutnya," ucap Meiko sambil menunjuk gadis itu sehingga gadis yang ditunjuk pun menoleh ke arahnya.

"Ssssst, dia menoleh, apa yang harus kita la….," kalimat Gakupo terhenti setelah gadis itu tersenyum ke arah mereka.

Len membalas senyum nya lebih dulu, Meiko dan Gakupo hanya tersenyum paksa dan penuh keheranan.

"Gadis ini mencurigakan," bisik Meiko pelan.

Len bangkit dari kursinya lalu menghampiri gadis itu.

Gadis itu terlihat sedikit gugup dan mempererat pelukan kedua tangannya.

"Ohayou!" sapa Len sambil tersenyum.

Gadis itu tersenyum kecil dan wajahnya memperlihatkan semburat-semburat merah yang muncul di pipinya dengan manis. Ya, manis tapi misterius.

"Bagaimana keadaanmu setelah kejadian kemarin?" tanya Len, matanya memandangi rambutnya yang terlihat cukup aneh.

"Ng, ba-baik sa-saja kok," ucapnya gugup.

Len tersenyum. "Baguslah, aku ikut senang, ng, oh iya, namamu siapa?" tanya Len.

Gadis itu tersentak. Matanya sedikit terbelalak.

"Rin," jawabnya singkat.

"Oh, baiklah Rin, aku Len, salam kenal," ucap Len sambil tersenyum lebar. Senyum yang cukup ramah.

"Kau mau gabung dengan kami?" tawar Len.

Rin menunduk. Ia sedikit mendongak ke arah Len setelah Len mengatakan itu.

"Ng, bagaimana ya….," Rin terlihat sedikit berpikir.

"Baiklah, ayo!" Len mengajak Rin duduk di tempat nya bersama teman-temannya.

Meiko dan Gakupo tersenyum sedikit datar menyambut kehadiran Rin.

Gadis itu duduk di sebelah Len, sementara Meiko berpindah menjadi di sebelah Gakupo.

"Kenalkan, ini teman-temanku," ucap Len.

"Halo, aku Gakupo, aku bekerja sebagai de..," Gakupo berhenti setelah Len memberikan sedikit aba-aba mengedipkan matanya untuk berbohong.

"Aku seorang dokter hewan di klinik dekat sini," ucap Gakupo tersenyum.

"Aku Meiko, aku bekerja sebagai perawat di klinik tempat Gakupo bekerja," ucap Meiko.

Len tersenyum dan sedikit menahan tawa melihat tingkah teman-temannya.

"Ah, aku Rin, aku….. aku hanya seorang gadis yang tinggal sendiri…," ucap Rin.

Meiko dan Gakupo tertawa.

"Kau ini lucu ya… aku dan Gakupo juga tinggal sendiri," ucap Meiko.

Rin ikut tertawa kecil. Namun tertawanya sedikit terlihat dipaksakan. Setelah itu ia menoleh ke arah Len untuk mengetahui 'dengan siapa Len tinggal?'

"Hmm, kalau aku tinggal sendiri juga, tapi kadang seseorang menemaniku dirumah," ucapnya sambil sedikit cengengesan.

Mendengar jawaban Len, Rin sedikit menampilkan ekspresi penasaran dan sedikit kesal.

"Kau kenapa?" tanya Meiko.

Rin menggeleng.

"Baiklah, pesanlah sesuatu, aku akan membayarnya untukmu, anggaplah ini sebagai perayaan hari pertama aku bertemu denganmu," ucap Len.

Rin sedikit menunduk malu dan tersenyum. Namun dalam hatinya telah siap beberapa rencana khusus yang Len, Meiko, bahkan Gakupo tidak mengetahuinya.

-You even don't know anything about-

Percikan api dari sebuah perapian terlihat sangat jelas dari sebuah ruangan. Sedikit desahan panjang milik seseorang terdengar. Sepasang bayangan yang terlihat sedang bertautan satu sama lain terlihat dari luar jendela ruangan tersebut. Terangnya lampu dan percikan api membuat bayangan itu terlihat jelas.

"Nghh," Miku mecengkram keras bantalan sofa. Tidak kuat menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh kegiatan yang dilakukan Len. Sementara Len masih terus melakukan 'aksi' nya. Melupakan sejenak segala tugas misinya.

Jemari Miku menjelajahi bahu lalu ke punggung Len, ia merangkul keras tubuh Len yang berada tepat diatasnya. Len sedikit menekan tubuhnya ke arah Miku.

"I…ini.. sa..kiit…," ucap Miku sedikit lirih.

Nafas Len terasa sekali tepat diwajahnya. Keringat keluar dari tubuh mereka.

Setelah tersada Len bangkit dari posisinya dan mengambil posisi duduk di sofa sambil membantu Miku bangkit dari posisinya.

"Hhhhh maaf ya, sepertinya aku berlebihan..," ucap Len merangkul Miku bersandar dibahunya.

Miku menggenggam erat jari tangan kanan Len.

"Sudah lama kau tidak melakukan ini…," tawa kecil Miku sedikit mencairkan suasana menjadi seperti biasa.

Len menatap Miku sementara Miku heran melihat raut wajah pasangannya.

"Lho? Memang benar kan? Selama ini kau sibuk…," ucap Miku.

"Hm maaf…," ucap Len lalu mencium bibir Miku.

Setelah melepas ciumannya.

"Hei, mau kubuatkan minuman?" tanya Len sambil mengenakan kemeja nya dan mengancing nya satu persatu.

"Apa ada jus leeks?" ucap Miku lalu sedikit mengeluarkan tawa kecilnya.

Len tersenyum dan mencium pipi Miku.

"Kau tahu? Tawa kecil mu lah yang membuatku ingin melakukan hal tadi padamu," balas Len.

Miku tersenyum dan terkikik.

"Sudah sana, aku mau teh," ucap Miku sambil mendorong Len sedikit menjauh. Dorongan itu mampu membuat Len bangkit dari duduknya dan beranjak ke dapur membuatkan minum untuk mereka.

Miku mengambil pakaiannya yang tersebar di lantai berserakan akibat ulah Len yang mendadak menjadi brutal.

"Tadi aku bertemu gadis yang kemarin," ucap Len.

"Ia sepertinya kesepian dan membutuhkan teman, lain kali kau harus bertemu dengannya," ucapnya lagi.

"Bagaimana aku bisa menemuinya?" tanya Miku berjalan menuju Len sambil menggulung rambutnya keatas.

"Kau datang saja ke café sebelah kantorku, mungkin dia kesana setiap harinya," ucap Len.

Miku tersenyum lalu mengangguk. "Baiklah, aku juga bisa bertemu denganmu,"

Len menoleh. Ia menarik Miku ke rangkulannya.

"Tapi aku sedikit mencurigainya," ucap Len.

Miku melirik Len. "Kenapa?"

Len melepas rangkulan tangannya di pinggul Miku.

"Rambutnya, seperti rambut sambungan dan… tingkah lakunya…," ucap Len sambil memasang tampang berpikirnya.

"Mungkin itu hanya bagian luarnya, sudahlah, kau hanya curiga, kan?" Miku memeluk Len dari belakang sambil menyandarkan kepalanya di punggung Len.

"Hm, tapi kau juga perlu hati-hati bila bertemu dengannya," tubuh Len terasa bergetar di kepala Miku.

"Hu'um…," Miku melepas pelukannya dan membantu Len menyiapkan dua cangkir teh itu.

Setelah siap, mereka menyeruput teh nya masing-masing sambil memandangi tungku perapian.

"Miku, tidak terasa ya kita seperti ini sudah 3 tahun," ucap Len di sela-sela acara minum teh mereka.

Miku tersenyum dan meletakkan cangkir teh nya di meja.

"Ternyata sudah lama juga ya, aku juga tidak menyangka,"ucapnya.

"Aku berharap….kita bisa melanjutkannya ke hubungan yang lebih serius," ucap Len.

Miku tertawa kecil. "Apa kau yakin?" tanyanya.

Len langsung berlutut di hadapan Miku sambil mencium tangannya.

"Sekarang tatap mataku," ucap Len.

Miku menuruti perkataan Len sambil menahan tawanya.

"Kau mau kan menikah denganku?" tanya Len sambil merubah raut wajahnya menjadi serius.

Tawa Miku meledak. Len justru heran.

Miku meremas bahu Len dan mendekatkan wajahnya ke wajah Len. Nafas mereka sama-sama terasa.

"Kau tahu? Aku tidak punya alasan untuk menolak ini semua," jawab Miku sambil tersenyum manis. Senyum yang membuat Len pada akhirnya bisa memilikinya selama ini. Ciuman yang ke sekian kalinya Len berikan pada Miku untuk malam ini. Mereka saling merasakan suasana hangat yang benar-benar membuat hati mereka nyaman. Mereka semakin larut dalam suasana ini untuk kedua kalinya. Len sedikit mendorong pelan tubuh Miku hingga tersandar di bagian sandaran sofa. Ia semakin memainkan lidahnya.

Miku mendorong pelan tubuh Len. Napasnya yang tersengal-sengal terasa oleh Len. Len memeluk erat Miku. Suasana malam yang semakin larut membuat mata mereka sedikit terkantuk sampai akhirnya memutuskan untuk menenggelamkan diri dalam mimpi-mimpi yang nantinya mereka alami.

-You even don't know anything about-

Sesuai saran Len, Miku berjalan menuju café di samping kantor Len. Ia mencoba mencari gadis yang Len maksud. Miku merasa perkataan Len tentang kehidupan gadis itu yang terasa sepi benar. Miku memberanikan diri menunggu gadis itu muncul di café tempat Len biasa duduk dan memecahkan kasusnya saat santai.

Dan ternyata benar saja, setelah berulang kali tidak menemui sosok gadis itu, tiba-tiba Miku mendapati sosok yang ia cari dan tunggu selama 2 jam itu.

"Ohayou!" sapa Miku sambil tersenyum dan menepuk bahunya. Gadis itu sedikit terkejut dengan perilaku Miku.

"Eh, maaf ya, aku mengagetkanmu," ucap Miku.

Gadis itu tersenyum heran. "Ng, ka-kau siapa?"

Miku membalas senyum gadis itu. Raut wajah gadis itu berubah kagum, senyum Miku benar-benar indah dan membuat ia terasa melihat seorang bidadari.

"Aku Miku, kau kenal Len?" tanya Miku.

Gadis itu, Rin, mengangguk ragu.

"Ah, bagus lah, aku kira aku salah orang, kalau begitu ayo duduk bersamaku, kau mau sarapan?" tanya Miku.

Gadis itu mengangguk.

"Bagus lah, ngomong-ngomong siapa namamu?" tanya Miku.

"Rin, panggil aku Rin," ucap gadis itu. Rin.

"Wah, nama yang manis," Miku tersenyum. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim sebuah pesan ke Len.

BRAKK!

Kaito menggebrak meja kerja Len.

"Heh, apa-apaan kau ini!" Len mengomel.

"Jadi kapan kalian menikah?" tanya Kaito.

"Mungkin secepatnya," ucap Len sambil tersenyum-senyum tidak jelas.

"Hah! Dasar kau! Kapan ya aku akan menyusulmu," Kaito terduduk di bangku hadapan Len.

"Aku do'akan secepatnya," ucap Len.

Tiba-tiba ponsel Len berbunyi. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya.

From : Hatsune Miku

Hei, sebaiknya kau ke café, aku bersama dia ^_^

Len bergegas menutup ponselnya dan menyusul Miku.

"Heh, kau mau kemana? Seenaknya meninggalkanku dengan kisahmu yang menggantung," ucap Kaito.

"Aku mau beli cappuccino sebentar, daaaah!" Len sedikit berlari dan tersenyum.

Kaito hanya geleng-geleng kepala. Namun melihat teman kerjanya senang ia jadi ikut tertawa.

Len membuka pintu masuk café sambil menyari sosok yang ia maksud.

"Gotcha!" ucap Len sambil berjalan menuju Miku.

Miku tersenyum setelah mendapati Len datang ke arahnya. Rin menoleh ke belakang. Sosok Len sudah berdiri di sampingnya. Len duduk di sebelah Rin.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Len sambil terengah-engah setelah sedikit terburu-buru berjalan menuju café. Lebih tepatnya berlari.

"Tentu saja, Rin ini sedikit pendiam," ucap Miku.

Rin menunduk tersenyum malu. Ia gugup duduk di sebelah Len.

"Sudah pesan makanan?" tanya Len.

Rin masih menunduk malu. Sementara Miku mengangguk.

"Aku sudah menghabiskan lebih dari 5 gelas mariyuana eskrim," ucap Miku.

Len terbelalak.

Spontan tawa kecil Rin terlontar melihat ekspresi Len.

Miku melihat raut wajah Rin. Ada sesuatu yang ia rasa sudah menyelimuti diri Rin. Miku tersenyum.

"Kau tidak tertarik memulai pembicaraan?" tanya Len sambil menyikut siku Rin pelan.

Rin semakin menundukkan kepalanya. Takut kedua orang di dekatnya tahu bahwa wajahnya sudah memanas dan merah.

"Hei, jangan kasar begitu, dasar," Miku kembali tersenyum ke arah Rin.

Len tertawa kecil. "Oh iya Miku, semalam beberapa laporan tertulismu tertinggal dirumahku," ucap Len. Ucapan itu sedikit menarik perhatian Rin.

"Ah, apa benar? Baiklah aku akan mengambilnya nanti," ucap Miku.

"Hm, secepatnya," ucap Len sambil sedikit tertawa.

"Oh iya, kau tinggal dimana?" tanya Miku.

Rin tersentak. "DI dekat sini, hmmmm tidak jauh," ucap Rin sedikit gugup.

"Kalau begitu, aku bisa main kerumahmu sewaktu-waktu," ucap Miku.

Rin bertambah gugup setelah Miku mengucapkan hal itu.

Len melirik jam tangannya. "Astaga! Pasti aku akan kena omelan Gakupo, aku pamit ya!" Len bergegas. Ia berdiri dan membungkuk pada Miku dan Rin.

"Aku kembali ke tempat kerjaku ya," ucap Len. Ia mengecup dahi Miku.

Rin terbelalak. Ia merasa sedikit sesak. Pengap. Jantungnya seperti di remas sesuatu yang cukup kuat.

"Hati-hati ya!" ucap Miku.

Len tersenyum melambaikan tangannya pada Miku dan Rin.

Setelah sosok Len sudah tidak terlihat dari pandangan mereka.

"Kalian pacaran?" tanya Rin.

Miku menoleh sambil tersenyum.

"Hm," Miku mengangguk pelan.

Rin memaksakan senyumnya. Niatnya untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakiti banyak orang kembali muncul. Ia benar-benar merasa harus melakukan hal-hal yang sebelumnya pernah ia lakukan. Ya. Harus.

"Rin, kau tidak apa?" tanya Miku.

Rin menggeleng cepat.

"Aku harus pergi, Miku, mungkin lain kali kau bisa mampir ke rumahku….jaa ne!" Rin bergegas pergi dan mempercepat langkahnya setelah merasa Miku nyaris mengejarnya.

Miku heran melihat tingkah Rin.

"Sepertinya benar," gumamnya pelan.

"Kau bercanda? Tidak mungkin!" ucap Len sambil tertawa.

Miku yang tadinya sedang membereskan laporannya yang berserakan di meja kamar Len berhenti melakukan kegiatannya itu.

"Tapi Len, ini benar, aku bisa merasakan itu, kami sama-sama wanita," ucap Miku sambil duduk di sebelah Len.

Len menurunkan kaki kirinya yang semula ia angkat ke atas pahanya. Pose duduk seorang laki-laki. Kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Miku.

"Kau yakin?" tanya Len.

Miku mengangguk cepat.

"Kau benar-benar yakin?"

Miku mengangguk lagi.

"Kenapa aku tidak merasakannya?"

Miku menggeleng. "Mungkin itu karena kau laki-laki yang tidak peka, contohnya saja saat itu…. Tapi pada akhirnya kau juga yang menghampiriku terlebih dulu," ucap Miku.

Len kembali pada posisinya. Ia sedikit menyandarkan kepalanya di bagian sandaran sofa kamarnya.

Meletakkan tangannya di belakang tubuh Miku.

"Saat itu ya, tunggu sebentar, akan ku bayangkan saat itu," ucap Len sambil tertawa pelan.

Flashback

"Kau tahu tidak? Miku! Gadis berambut hijau itu menyukaimu! Kau sangat peduli padanya!" ucap salah seorang teman Len.

Len terdiam. Ia tertawa. "Memang kenapa? Bukannya hal bagus jika aku peduli pada setiap orang?" tanya Len.

Teman Len benar-benar tidak kuat menanggapi sikap Len yang cukup dingin dan stay cool meski di hujami pernyataan yang seharusnya membuat orang-orang mawas diri.

"Ah! Sudahlah! Intinya kau tidak boleh menyakiti perasaan Miku! Aku mau pergi," ucap teman Len sambil berlalu

Pulang sekolah, setelah latihan sepakbola, Len menghampiri Miku yang sedang memasukkan beberapa buku ke lokernya. Kebetulan loker-loker murid terletak tepat di dekat mesin minuman.

Suara langkah kaki Len yang mendekat membuat Miku menoleh.

"Hai," sapa Len sambil bersandar di sebelah loker Miku.

Miku tersentak. Ia tersenyum sambil menutup pintu lokernya.

"Hai," ucapnya menyapa balik Len.

Len tersenyum.

"Kau belum pulang?" tanya Len sambil mengamati wajah Miku.

Miku sedikit salah tingkah. "Ng, kebetulan aku tadi mengerjakan tugas susulan, saat itu aku sedang sakit," ucap Miku.

Len mengangguk.

"Oh iya, kau sudah dengar gosip itu?"tanya Len.

"Gosip apa?" Miku memasang tampang heran.

"Tentang kita," ucap Len lagi.

Miku semakin heran. Raut wajahnya polos dan memang terlihat benar-benar tidak tahu apa yang Len bicarakan.

Len tersenyum. "Tentang kita yang katanya menjalin hubungan diam-diam," celetuknya.

Miku terdiam. "Apa iya? Aku tidak pernah mendengar gosip itu," ucap Miku sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Namun tetap dalam keadaan sedikit gugup.

Len tertawa kecil. "Itu kan cuma gosip, mereka benar-benar tidak mengetahui yang sebenarnya, kan?" tanya Len.

Miku tersenyum. "Ah iya, kau benar, maaf ya, ini semua kan karena kau selalu membantuku saat aku menghadapi beberapa anak jahil," ucap Miku.

"Lagipula kalau itu benar, aku juga tidak keberatan," ucap Len. Ia bangkit dari posisi bersandarnya.

Miku bingung.

"Kau tidak mengerti ya?" tanya Len.

"Eh… memang apa?" tanya Miku.

Len tertawa. Ia mengusap kepala Miku. Mengacak-acak rambutnya.

"Kau ini! Hahahahaha aku berharap kau tidak sepolos ini, kau seharusnya mengerti apa yang aku bicarakan," ucap Len.

Miku tersenyum. Senyum yang membuat Len diam dan kembali pada kenyataan. Kenyataan bahwa Len ingin sekali memiliki Miku. Ia melangkah ke hadapan Miku.

"Kau mau kan menjadi pacarku?" tanya Len.

Miku mematung. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.

"Mau tidak?" tanya Len.

Miku tersenyum. Tiba-tiba Len menciumnya tanpa alasan yang belum jelas.

Miku membelalakkan matanya. Ia sedikit gugup, takut aka nada orang yang kebetulan lewat dan melihat mereka. Namun ia juga merasa sedikit senang.

"Mmmh, maaf Miku," ucap Len melepas ciuman pertama nya pada Miku.

Miku menunduk.

"Aku harap kau tidak berkata tidak," ucap Len sambil menggaruk kepalanya.

"Siapa yang mau bilang tidak?" celetuk Miku tiba-tiba. Ia tertawa.

"Eh? Jadi?"

Miku mengangguk cepat.

Len mengepalkan tangannya dan meninju nya ke udara. Ia sedikit meloncat.

"Baiklah,kalau begitu hari ini adalah hari keberuntunganku," ucap Len.

Miku tertawa.

"Sekarang kau sudah jadib wanna be…," ucap Len.

Miku terbelalak. "Hah? Cepat sekali!" ucap Miku.

Kini Len yang justru tertawa melihat ekspresi Miku.

Sore itu benar-benar membuat Miku dan Len merasa senang dan bahagia.

End Of Flashback

Miku tertawa.

"Hey, kenapa? Kau juga membayangkan itu?" tanya Len.

Miku mengangguk.

"Aku benar-benar tidak menyangka," ucapnya lagi sambil tersenyum. Ia meremas roknya. Menahan sedikit tangis.

"Aku benar-benar tidak mau jauh darimu," ucap Miku sambil tersenyum. Namun air matanya tetap terpercik dari mata dan membuat Len terperangah.

Len tersenyum hangat. Ia memeluk Miku dengan erat.

"Don't you know? I really love you until the end of time, forever, I really want to having you until the last time, I won't forgive someone who try to makes us being apart, aku sungguh mencintaimu Miku, karena takdir memang berkata begitu," ucap Len. Ia sedikit berbisik di telinga Miku.

Miku tersenyum dan membalas pelukan Len.

"Aku benar-benar tidak menyangka! Ternyata gadis itu! Miku! Arrrghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!" Rin memegangi kepalanya. Ia geram menarik taplak meja di ruangan pribadinya.

"Ia harus menjadi salah satu dari kalian! Harus! Secepatnya!" ucap Rin sambil menunjuk sosok-sosok tubuh yang membujur kaku, penuh bercak darah merah, bahkan sebagian tubuhnya sudah terpisah. Ya, orang-orang itu adalah orang yang sebenarnya sedang di cari Len.

"Aku benci disaat harus hidup seperti ini! Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang…yang…..!" Rin menjambak bagian bawah rambutnya. Mencopot rambut sambungan itu. Rambut milik sosok mayat yang terbujur kaku di salah satu sudut ruangan itu.

"Ini semua tidak berguna! Aku harus dapatkan Miku! Singkirkan dia! Dan bisa hidup bersama Len!" ucap Rin geram. Ia tertawa licik.

Rin berjalan menuju sesosok tubuh di sudut lainnya. Mengeluarkan pisau dari sakunya.

"Hari ini aku akan melampiaskan ini padamu selama aku belum bisa mendapatkan Miku," ucap Rin. Ia menyayat bagian dada seorang gadis berambut merah muda. Ia tertawa sambil melakukan kegiatan gila itu. Rin tersenyum. Ia menjilati bagian yang ia sayat sendiri. Seperti sedang menikmati sebuah makanan yang begitu menggiurkan. Meski sudah kaku. Ia tetap tidak menyadari itu.

"Huh! Kau sudah tidak mengeluarkan cairan menggiurkan kesukaanku, tidak berguna!" Rin menusukkan pisaunya berkali-kali di bagian dada sosok tubuh itu.

Setelah puas, Rin membiarkan pisau yang ia pakai tadi tertancap di dada kiri sosok tubuh itu.

"Aku bersumpah, tidak akan membiarkan Miku dengan rambut panjangnya itu hidup tenang mulai saat ini…," ucap Rin.

-You even don't know anything about-

To Be Continued