.

.

.

To Claim My Love

Pairing : Grimmjow Jeagerjaquez & Kuchiki Rukia

By : Nakki Desinta

.

.

.

Summary : Ada sebuah ikatan yang tak terikrarkan di antara mereka, keduanya saling melengkapi, namun yang satu tidak menyadarinya, dan yang satu tidak ingin mengakuinya. Sesungguhnya yang mereka butuhkan hanya jujur pada diri sendiri.

.

.

Disclaimer : Bleach punya Tite Kubo Sensei

.

.

.


Grimmjow Jaegerjaquez adalah seorang pria berdarah bangsawan, bermata biru terang dengan warna rambut yang senada. Postur tubuhnya yang atletis sangat mendukung kariernya di dunia entertainment sebagai model, serta aktor dengan talenta yang diakui seluruh dunia. Dia profesional dengan segala arogansinya yang suka sembarangan menentukan pekerjaan yang akan ia ambil. Karena itu ia dikenal sebagai pribadi yang sulit dimengerti.

Seringainya yang lebar pun mendukung untuk menimbulkan kesan garang, tak tersentuh, juga tak bersahabat, dan hanya satu wanita yang pernah menyentuh hatinya hingga saat ini, satu-satunya sejak mereka lulus kuliah hingga menempuh karier masing-masing.

Wanita itu adalah Kuchiki Rukia, wanita dengan tubuh mungil itu seperti adik jika mereka berdiri berdampingan , namun Rukia yang selalu menutup telinganya dari cemoohan orang lain, tidak pernah menganggap semua ejekan dan sindiran itu sebagai sesuatu yang patut untuk ia pikirkan, masih banyak hal yang harus ia pikirkan sebagai seorang penulis.

Dua orang insan ini menjalani hubungan yang tidak bisa mereka bilang sebagai 'menjalin hubungan'.

Keduanya memang selalu saling membagi beban, namun tidak pernah ingin mengikat satu sama lain. Keduanya adalah jiwa bebas yang hanya bisa berbagi jika mereka memang ingin berbagi, namun mereka juga seperti matahari serta bulan. Memang dua karakter yang sangat berbeda, yang keduanya saling terkait dalam satu ikatan yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, bahkan mereka sendiri tidak ingin saling mengakuinya sekalipun itu sangat helas.

.

.

.

Grimmjow melihat layar ponselnya, schedulenya untuk hari ini sungguh tak bersahabat. Dari pagi hingga tengah malam ia harus menghadapi rentetan aktivitas, dari pagi harus pemotretan, siang harus wawancara dengan salah satu majalah fashion terkemuka, dan sore harus syuting film yang sedang ia geluti. Skenario menganggur di sisi jok mobil yang ia duduki, sementara manajernya, pria berwajah stoic dengan warna mata hijau sedang membaca tabloid yang menampilkan wajah Grimmjow, duduk dengan nyaman di sisi driver.

Sebuah ulasan menarik tentang profil Grimmjow sebagai pribadi yang bertolak belakang dengan aturan sebagai seorang bangsawan.

"Mereka pintar sekali mencari sisi buruk dirimu, Grimm!" kata Ulquiorra dengan dengus mencemooh samar, namun hal ini tidak lolos dari perhatian Grimmjow yang sudah mengenalnya lebih dari sepuluh tahun ini.

"Biar saja, seharusnya mereka tau aku ini memang pemberontak!" jawab Grimmjow yang meninggalkan ponsel dan beralih pada skenarionya.

Grimmjow masih sangat mengantuk, karena manajernya menggebraknya bangun jam lima pagi, sementara ia baru saja pulang jam tiga dini hari, karena itu Grimmjow merasakan tulangnya hampir remuk keseluruhan. Waktunya sangat sempit, bahkan perjalanan menuju tempat pemotretan pun dia gunakan untuk menghapal skenario.

"Aku jadi tertarik, bagaimana jika media tau kau berteman dengan Adik Kepala Kepolisian?" celetuk Ulquiorra sambil menutup tabloidnya, memikirkan kalimat yang tepat untuk mengklarifikasi semua berita yang diterbitkan tabloid gosip ini.

"Media juga tidak akan tau, aku dan Rukia hampir tidak pernah bertemu akhir-akhir ini, dan mereka tidak akan bisa menyentuh Rukia, atau mereka akan berurusan dengan Kuchiki Byakuya. Kepala Kepolisian itu benar-benar menyeramkan jika dia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, dan kau tau seberapa protektifnya dia pada Rukia."

"Kau memilih berteman dengan wanita yang sulit untuk ditaklukan!" jawab Ulquiorra.

"Kau terlalu banyak bicara!" sahut Grimmjow yang ingin menghentikan obrolan, karena tidak juga konsentrasi untuk membaca skenarionya.

Sebenarnya dia ingin bertemu Rukia, sangat ingin. Bukan semacam perasaan rindu yang ia rasakan sekarang, hanya lelah karena terus kabur dari kekangan status sebagai seorang penerus keluarga dengan segala tetek bengek aturan dan pantangan, serta keputusannya untuk menjadi seorang penggelut dunia entertainmen hanya untuk mengekspos dirinya sebagai pribadi yang bebas dan tak ingin diatur. Dan Rukia adalah satu-satunya tempat ia memuntahkan semua penat ini. Rukia hanya akan mendengarkan, tidak ada yang dilakukan wanita dengan pembawaan tenang seperti Rukia.

"Apa aku ada waktu luang akhir minggu ini, Ulqui?"

"Umm, akhir minggu kau harus menyelesaikan syuting filmmu di luar kota, kau lupa kalau premier sudah ditargetkan akhir bulan ini?"

"Arghh, aku ingin istirahat sebentar saja!"

"Terserah padamu. Kau ingin memberontak lagi atau ikut janji yang sudah kau buat sendiri," kata Ulquiorra dengan nada suara kalem, namun Grimmjow mengerti dengan baik dengan kalimatnya.

"Aku tidak akan menjilat ludahku sendiri, Stoic!" jawab Grimmjow kesal, dan Ulquiorra tertawa mendengarnya. Dia paling tau Grimmjow tidak akan menarik ucapan yang sudah ia ucapkan, atau harga dirinya akan hancur.

Bagi Grimmjow, harga diri harus dijunjung setinggi langit. Walau bagaimanapun pembangkangnya seorang Grimmjow, jiwa bangsawan masih melekat dalam dirinya.

Sisa perjalanan mereka lalui dalam ketenangan, dan Grimmjow mampu menghapal semua barisan kalimat dalam skenarionya dengan cepat. Otak cerdasnya sudah mengerti apa yang tuannya butuhkan.

.

.

.

Rukia melirik Kakaknya yang sedang menyantap sarapan, sangat khidmat tanpa satu kalimat atau obrolan sama sekali. Rukia sebenarnya ingin mengatakan kalimat yang sejak tadi menyumpal tenggorokannya, hingga sulit untuk menelan sarapannya sendiri.

"Ada yang ingin kau katakan, Rukia?" ucap Byakuya tanpa mengangkat pandangannya dari piring.

Rukia lega sekali, akhirnya kesempatan itu datang sendiri.

"Besok aku ada acara di luar kota. Mungkin tidak akan ada di rumah selama seminggu, ada acara perkenalan buku baruku," ucap Rukia agak ragu.

"Pergi dengan siapa?" suara Byakuya sarat dengan selidik, khas seorang kepala polisi.

"Dengan editorku, Isane."

"Siapa lagi?"

Rukia menghela napas, sepertinya memang harus jujur kalau bicara dengan Byakuya. Sepertinya apapun yang ia sembunyikan akan terlihat dengan jelas di mata tajam berwarna abu-abu milik Byakuya.

"Dengan pihak penerbit juga, kami berangkat dengan satu bis, jadi ada sekitar dua puluh orang dalam satu tim," jawab Rukia yang enggan menyebutkan satu persatu nama yang akan pergi bersamanya.

"Ada Kurosaki Ichigo?" tembak Byakuya tepat sasaran.

"Tentu saja, dia kan penerbit bukuku," jawab Rukia agak tidak suka, selalu saja Kakaknya membatasinya bergerak jika berada dalam jarak dekat dengan Kurosaki Ichigo, seolah Ichigo adalah hama wereng yang harus djauhi tanaman padi.

"Kalau begitu aku akan meminta Renji ikut bersamamu."

"Yang benar saja, Kak!" sembur Rukia sudah mencapai batas kesabarannya.

Untuk pertama kalinya Byakuya menatap Rukia, dan mata dinginnya menciutkan nyali Rukia yang sudah sempat membesar karena sikap overprotektif Byakuya.

"Kau mau aku ditertawakan karena wakilmu mengekorku kemanapun aku pergi? Aku menolak!"

Byakuya mengangkat sebelah alisnya, tampak tersinggung dengan sikap Rukia.

"Dengar, Rukia. Kau memang berusia 26 tahun, tapi kau bahkan tidak bisa ilmu bela diri, bagaimana jika ada pria yang ingin menyerangmu?"

"Ya Tuhan…" geram Rukia sudah habis batas kesabarannya. Sebenarnya siapa yang masih berpikir seperti anak-anak saat ini?

"Justru karena aku sudah 26 tahun, seharusnya kau bisa melepas tanggung jawabmu sebagai kakak yang terlalu overprotektif. Demi Tuhan aku bisa menjaga diriku sendiri. Bagaimana mungkin kau bisa membiarkanku melanjutkan sekolah di luar negeri jika kau sendiri sebegini takutnya melepasku pergi ke luar kota?"

Byakuya mengerutkan alisnya sangat dalam, terluka dengan sikap Rukia yang menolak semua perhatian yang ia berikan setelah bertahun-tahun mereka hanya hidup berdua. Dia pun sudah berjanji pada pusara kedua orang tuanya, bahkan pada pusara Hisana, seorang wanita yang seharusnya menjadikan keluarga ini untuh dengan keberadaan tiga orang anak, tapi Hisana meninggal dalam kecelakaan dengan pesan agar Byakuya menjaga Rukia.

Rukia langsung menyesal sudah bicara kasar pada Byakuya, dia meraih tangan Byakuya dan meremasnya perlahan.

"Jadi kau juga berpikir untuk menerima tawaran bea siswa kuliah di luar negeri itu?" gumam Byakuya lirih.

"Aku hanya sedang mempertimbangkannya," jawab Rukia. Sebenarnya dia tidak ingin meninggalkan Byakuya, Grimmjow, juga kariernya saat ini, tapi sepertinya topic ini cukup untuk meyakinkan Byakuya agar lebih rela untuk melepasnya pergi.

"Aku tau Kakak ingin melindungiku, tapi aku pun ingin berjalan tanpa terus diawasi. Aku sudah dewasa Kak, dan Hisana pun pasti mengerti," bisik Rukia penuh penyesalan.

Byakuya tetap diam, menatap mata berwarna biru gelap milik Rukia.

"Hisana adalah Kakak kembar yang sangat mengerti aku,dia tidak akan menyerahkan semua tanggung jawab untuk menjagaku di bahumu, Kak. Jadi kau tenang saja. Ok?" kata Rukia mengakhiri pembicaraannya.

"Aku hanya tidak ingin mengingkari janjiku pada Hisana, dan aku tidak akan memaafkan diriku jika sesuatu terjadi padamu," jawab Byakuya.

"Tenang saja, aku bisa jaga diri. Seharusnya kau malah memikirkan dirimu sendiri."

"Maksudmu?" Byakuya mengernyit samar.

"Cari seorang istri! Kau lupa umurmu sudah hampir 35 tahun! Jangan bangga dengan wajah tampanmu itu, sekalipun kau tampan, siapa yang mau dengan pria sedingin es balok sepertimu plus keriput yang menggunung nantinya," celetuk Rukia dengan senyum mengejek.

Byakuya tidak tampak tersinggung dengan ejekan adik satu-satunya ini, dan dia memilih tidak menjawab, malah melanjutkan sarapannya yang tertunda.

Rukia menganggap ini sebagai isyarat bahwa Byakuya tidak akan menghalangi rencananya untuk keluar kota.

.

.

.

Hari menjelang sore saat ia menyelesaikan proses wawancara yang membosankan, dia bahkan berkali-kali melirik Ulquiorra untuk memintanya menghentikan wawancara yang hanya mengarah pada satu pertanyaan. Wanita yang sekarang menjadi pasangannya. Siapa pacarnya, atau adakah wanita yang sedang memikat hatinya sekarang. Pertanyaan semacam itu selalu terselip berulang-ulang diantara penjelasan statusnya sebagai seorang anak dari keluarga bangsawan Jaegerjaquez.

Ulquiorra tertawa saat mereka keluar dari tempat wawancara menuju area parkir.

"Apa yang kau tertawakan?" geram Grimmjow yang masuk mobil setelah driver membukakan pintu mobil untuknya.

"Tidak, aku hanya membayangkan reaksimu jika sampai Nyonya Harribel menyodorkanmu pada seorang perempuan, maka perjodohan dengan pertumpahan darah akan terjadi," katanya dengan senyum tersungging di wajah stoicnya.

"Jangan harap aku akan mengikuti permainan Bibi Rambut Aneh itu!" celetuk Grimmjow kesal.

"Rambut aneh? Seperti warna rambutmu tidak aneh saja," sahut Ulquiorra santai.

"Setidaknya warna rambutku bukan kuning!" jawab Grimmjow sengit.

Ulquiorra mengerti dengan baik pribadi seorang Grimmjow setelah mereka bertemu sepuluh tahun lalu. Grimmjow tidak pernah awet dengan satu manajer, hingga Grimmjow datang memintanya untuk menjadi manajer dan mengatur semua schedulenya dengan tangan dingin, dan mengikat kata-kata Grimmjow sebagai seorang yang berkomitmen, namun tetap dengan privasi tingkat tinggi.

Grimmjow memang terlihat rumit, garang dan menyeramkan, dengan postur atletis dan seringai menyeramkannya, namun Ulqiuorra tau dengan pasti perasaan yang ia simpan hanya untuk orang ia hargai dengan seluruh hatinya.

Mereka sampai di lokasi syuting, setelah bergelut dengan perjalanan penuh berkecepatan 120km/jam.

"Ha! Akhirnya aktor kita sampai juga," seru Urahara, sutradara yang menangani film kali ini.

"Maaf kami terlambat," ucap Ulquiorra, mewakili Grimmjow yang justru melangkah langsung ke ruang ganti.

"Sepertinya suasana hatinya sedang buruk," kata Urahara sambil memerhatikan Grimmjow dengan ekor matanya sebelum ia menghilang masuk ke ruang ganti.

"Wawancara yang tidak tepat sasaran," jawab Ulquiorra singkat, dan itu cukup menjawab semua pertanyaan yang belum sempat Urahara lontarkan. Pria berambut pirang itu mengangguk dengan mulut membentuk 'o'.

Ulquiorra melirik lawan main Grimmjow yang sedang duduk di sisi kursi sutradara dengan skenario di tangannya. Seorang wanita dengan tubuh penuh, berlekuk indah, rambutnya yang berwarna orange bergerak pelan tertiup angin, dan seolah menyadari ada seseorang yang memerhatikannya, ia mengangkat wajah dan pandangannya bertemu dengan Ulquiorra. Wanita itu tersenyum ramah, sedangkan Ulquiorra hanya menjawabnya dengan satu anggukan penuh, lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Mencoba menghilangkan debaran jantung yang ia tidak pernah rasakan dengan wanita lain.

Sesungguhnya sudah sejak bertemu dia tidak pernah bisa meredakan hatinya sendiri jika melihat wanita berambut orange itu, yang notabene adalah lawan main Grimmjow.

"Hari ini akan ada sedikit action, Grimmjow akan melompat dari lantai dua untuk menyelamatkan Orihime," jelas Urahara tanpa diminta.

Ulquiorra melihat bagian dalam bangunan rumah yang sudah ditata sedemikian rupa hingga bagian atas terlihat seperti gudang tua tak terawat, padahal rumah ini terbilang mewah dengan segala perabotnya, namun dengan sentuhan Urahara, semua berubah dengan sangat apik.

"Tapi satu hal yang masih mengganjal," keluh Urahara sambil melirik Orihime dan beralih pada skenario yang ia gulung di tangan.

"Apa?" sahut Ulquiorra.

"Ekspresi Grimmjow masih sangat dingin. Aku tau ini pertama kalinya ia bermain dalam film drama action, ada akting percintaan yang sepertinya masih sangat asing untuknya. Tapi…"

Ulquiorra melihat sisi keraguan di wajah Urahara, namun juga terlihat kekecewaan yang jelas di sana.

"Lalu kenapa kau memilih Grimmjow?"

Ulquiorra sendiri tidak heran kenapa Grimmjow tidak pernah bisa berakting mencintai seseorang, karena hatinya tertutup untuk siapapun, bahkan Grimmjow sendiri tidak pernah bisa mengakui, bahkan mendefinisikan perasaan yang ia rasakan untuk Rukia. Dari sudut pandang Ulquiorra, Grimmjow hanya menganggap Rukia sebagai seorang sebagai tempat berbagi, bukan untuk berbagi kasih sayang.

"Aku hanya ingin melihat lebih banyak bagian dari diri seorang anak bangsawan," jawab Urahara sambil tertawa lebar, dan mengipaskan skenarionya ke wajah yang gerah.

"Tapi kau meresikokan filmu sendiri."

"Entah mengapa aku yakin dengan kemampuan Grimmjow. Yah, kita lihat saja nanti," gelak Urahara tetap dengan keriangan yang sama.

Grimmjow kembali dari ruang ganti, dengan jaket kulit berwarna hitam, celana jenas belel dan sepatu olahraga yang melengkapi perannya sebagai seorang berandal jalanan.

"Kau siap, Grimm?" seru Urahara dengan corong pengeras suara di tangannya.

Grimmjow mengangkat jempolnya ke udara, dan berjalan ke tangga untuk memulai aktingnya.

Ulquiorra memerhatikan setiap gerak dan bahasa tubuh Grimmjow yang tengah berakting dengan Orihime, wanita yang selalu menampakkan wajah cerah itu kini berakting menangis haru dengan apik karena kekasihnya datang untuk menyelamatkannya dari penyanderaan.

Grimmjow sangat baik dalam akting action, namun saat tiba dia harus berhadapan dengan Orihime, berbagi kasih sayang dan kelegaan karena telah melewati saat-saat mengerikan dalam hidup mereka, Grimmjow malah terlihat seperti seseorang asing yang menghadapi seorang wanita yang mencintainya sampai mati.

"Cut!" pekik Urahara untuk yang kesepuluh kalinya.

"Kenapa lagi?" jawab Grimmjow yang melepaskan pelukannya dari Orihime. Dia kesal karena sudah berkali-kali dipotong Urahara ditengah usahanya untuk melafalkan dialognya.

"Tunjukkan wajah seorang kekasih, Grimm! Bukan seperti sedang memeluk patung seperti itu! Ingat, Orihime itu kekasihmu!"

"Aku sudah maksimal, memangnya aku tidak terlihat seperti seorang kekasih yang sedang menyayangi?" sembur Grimmjow tidak terima kredibilitasnya sebagai seorang aktor diragukan oleh Urahara.

"Tapi tidak dari dalam hati!" tandas Urahara, menghentikan ucapan Grimmjow yang sudah mengumpul di ujung lidah.

Ulquiorra menangkat alis melihat Grimmjow yang mendadak diam. Dia mengerti benar mengapa aktor satu ini tidak pernah bisa berakting romantis dalam film yang pernah ia perankan, karena hatinya masih sebeku es setelah dididik sedemikian rupa oleh keluarganya.

"Baiklah, aku akan coba lagi." Grimmjow pun mengaku bahwa ia tidak bisa mengerahkan seluruh kemampuannya.

"Ingatlah seorang wanita yang kau sayangi, mungkin itu bisa sedikit membantu," tambah Urahara sebelum kembali mengarahkan para kru untuk mengambil gambar yang sama.

Grimmjow menarik napas dan menatap Orihime yang tampak sangat sabar menghadapi aktingnya yang terus-terusan dipotong Urahara, dan sekarang ia diminta membayangkan wanita yang ia sayangi.

Pikiran Grimmjow berjelaga,d an berakhir pada Rukia. Hanya Rukia memang, namun dia sendiri tidak bisa menggambarkan perasaan macam apa yang ia rasakan untuk Rukia, semua mengambang, tidak berada dalam satu sisipun.

"Action!" pekik Urahara, dan kali ini Grimmjow tak mengikuti skenario, dia memilih untuk berimprovisasi untuk meyakinkan actingnya pada Urahara. Dia memeluk Orihime dengan sangat erat, membayangkan rasa takut kehilangan dalam dirinya, dan berbisik di telinga Orihime.

"Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan aku lakukan jika aku kehilangan dirimu," bisik Grimmjow dengan suara purau penuh duka.

Orihime terbelalak kaget, kaget karena ini diluar skenario dan kaget juga karena suara Grimmjow terdengar sangat sungguh-sungguh, hingga Orihime hampir percaya bahwa Grimmjow mengatakannya memang dari hati terdalam.

"Terima kasih sudah datang menyelamatkanku," bisik Orihime purau.

Dari kursi sutradara, Urahara tersenyum puas, akhirnya bisa sedikit lebih baik, sekalipun masih jauh dari harapannya.

"Cut!" Kamera berhenti mengambil gambar, dan Grimmjow melepas pelukannya dari Orihime.

" Bagus sekali Grimm! Hanya perlu sedikit lagi perbaikan,dan aku tidak menghalangi adanya improvisasi. Ok, syuting hari ini sampai di sini saja. Ingat besok kita berangkat untuk syuting di luar kota!"

"Aku tau, semangat sekali sih kau!" sahut Grimmjow sengit.

"Apa yang dipikirkannya tadi?" desis Ulquiorra yang melihat wajah Grimmjow dari layar di hadapannya.

Bertanya-tanya apa yang membuat Grimmjow bisa memiliki wajah selembut itu?

.

.

.

Pagi hari pada keesokan harinya Rukia sudah sampai di tempat yang direncanakan. Sebuah hotel bernama Hueco Mundo, dia bersama Isane tinggal dalam satu kamar, bersebelahan dengan kamar para anggota yang lain, sementara Ichigo satu kamar dengan Keigo, wakilnya yang sangat setia, berada tepat di sebelah kamar Rukia.

Buku terbaru Rukia berjudul Song of Heaven, bercerita tentang kisah cinta seorang wanita keterbelakangan mental, buku yang menarik perhatian jutaan pembaca, selain karena penggambaran karakter wanita yang begitu kuat, ada sisi menarik dari alur kisah secara keseluruhan, yaitu karakter pria yang juga tidak memiliki kesempurnaan panca indra.

Rukia memiliki latar belakang pendidikan seorang psikolog, karena itu ia sangat mengerti bagaimana menjabarkan keadaan jiwa seseorang, sekalipun itu dalam sebuah kisah.

Bukunya baru diterbitkan sebulan lalu, tapi penjualan dan jumlah permintaan sungguh diluar dugaan. Kesuksesan yang ia peroleh adalah hasil kerja kerasnya untuk mengabaikan segala sindiran orang tentang dirinya.

"Rukia, aku ingin jalan ke pantai sebentar, kau mau ikut?"

"Aku akan menyusul," jawab Rukia yang masih sibuk mengetik di laptopnya.

"Baiklah," kata Isane seraya menghilang di balik pintu.

Rukia dan Isane adalah dua orang dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang. Isane pribadi yang ceria, sedangkan Rukia cenderung kalem. Yang paling mencolok sebenarnya adalah tinggi badan mereka. Isane terbilang jangkung untuk seorang wanita berumur 25 tahun, sementara Rukia tidak sampai sebahu Isane. Tinggi badan Rukia bukan masalah sebenarnya, tapi ada satu orang yang terus-terusan menertawakan tinggi badannya.

Produser paling tengil yang ia kenal, Kurosaki Ichigo. Pria itu sudah bertunangan dengan Senna, wanita mungil yang tinggi badannya tidak jauh beda dari Rukia, tapi Ichigo tetap berkeras bahwa Senna itu imut, sedangkan Rukia itu pendek. Lalu apa bedanya?

Rukia mengalihkan pandangannya saat ponselnya berdering, dan sebaris nomor ponsel Grimmjow tertera di sana, namun Rukia menyimpannya dengan sebutan Si Biru Menyebalkan.

"Ya?" jawab Rukia setelah menekan tombol ponselnya.

"Kau dimana sekarang?" ucap Grimmjow.

"Arogan sekali caramu bertanya!" sahut Rukia setengah sengit, padahal dia juga tau Grimmjow paling tidak bisa berbasa-basi dan selalu langsung pada tujuan.

"Jawab saja," kata Grimmjow malas.

"Kau kenapa terdengar kesal begitu?"

"Jawab dulu pertanyaanku!"

Rukia menghela napas.

"Kenapa memangnya?"

Grimmjow akhirnya menyerah, Rukia paling bisa mengalihkan perhatian, dan jika sudah berkeras mengorek keterangan maka dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang ia cari, khas seorang psikolog.

"Aku ingin bertemu," bisik Grimmjow pelan. Dia merasa seperti tengah merengek untuk diperhatikan, dan dia bersumpah hanya seperti ini pada Rukia.

"Ada apa sebenarnya?" jawab Rukia, merasa ada yang sedang menggaggu pikiran pria berambut biru ini.

"Tidak ada, hanya kesal harus akting mesra."

"Lalu kau mau jadikan aku 'tong sampah' lagi?" Sebutan Rukia untuk dirinya sendiri memang parah, karena Rukia merasa Grimmjow selalu mencari tempat untuk mengeluarkan semua unek-uneknya, dan Rukia akan menjadi penampung setianya.

"Dimana kau sebenarnya? Aku jemput!" tandas Grimmjow yang tidak suka bicara lama-lama di telepon, dia ingin segera bertemu Rukia.

"Aku sedang di luar kota, tidak mungkin kau bisa menjemputku. Kita bicara nanti saja, akhir minggu ini. Acara perkenalan buku baruku baru selesai akhir minggu ini. Bagaimana?" tawar Rukia.

Grimmjow merasakan hatinya kosong lagi, perasaan menggebu sebelum menelepon Rukia hilang begitu saja.

"Grimm," panggil Rukia pelan.

"Mmm?" sahut Grimmjow malas.

"Ada apa? Apa tidak bisa kau bicara di telepon? Aku juga mendengarmu sekalipun cuma lewat telepon," lanjut Rukia penuh simpati.

"Tidak usah, nanti kabari aku jika kau sudah kembali," jawab Grimmjow seraya mematikan sambungan telepon.

"Apa-apaan dia?" gerutu Rukia sambil menatap layar ponselnya.

Grimmjow selalu seperti itu, sulit dimengerti dan sering kali tidak terbaca apa yang ia inginkan. Seperti ingin mengatakan tapi tidak pernah terucap, sering kali marah tanpa alasan yang kuat.

Rukia kembali menatap layar laptopnya, hilang sudah moodnya untuk kembali menulis. Grimmjow selalu berhasil merusak semua momen baiknya. Grimmjow selalu menyebalkan seperti seringainya. Tapi Rukia tidak pernah sekalipun membenci Grimmjow, berada di sisi Grimmjow adalah satu keanehan sendiri untuk dirinya.

Dulu sewaktu mereka baru saling mengenal di kampus, mereka cenderung beradu mulut. Grimmjow yang selalu arogan dengan segala hal kebangsawanannya, dan Rukia yang selalu tegas dengan segala pendiriannya. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Ulquiorra-lah satu-satunya pihak yang paling mengerti apa yang berlangsung di antara mereka berdua.

Sekali lagi ikatan itu hadir di antara mereka.

.

.

.

"Grimmjow! Ayo berangkat, kau masih memikirkan apa lagi?" Tanya Ulquiorra saat mereka sudah tertinggal rombongan syuting yang sudah berangkat lima menit lalu.

"Tidak ada, ayo kita berangkat."

Grimmjow masuk ke mobil, mengambil tempat di samping driver, karena kali ini Ulquiorra sendiri yang membawa mobil. Matanya menerawang melihat ke luar jendela.

.

.

.

Rukia berdiri di jendela kamar hotelnya, pandangan yang langsung mengarah pada hamparan pantai luas dan indah. Dia melihat Isane sedang bermain di pantai bersama kru lain, mereka bahkan membakar ikan untuk makan malam mereka.

Hingga malam menjelang Rukia masih berdiri di kamarnya, tidak memenuhi janjinya pada Isane untuk menyusulnya ke pantai. Waktu seminggu ini akan mereka habiskan di kota bernama Karakura ini, susunan acara selama seminggu pun sudah ada di tangan Ichigo. Besok mereka akan memulai acara, sebagai langkah awal promosi, mereka akan melakukan acara bedah buku di hotel ini, lalu dilanjut dengan acara jumpa fans dan tanda tangan buku di beberapa toko buku terkemuka.

Rukia menghela napas, entah sudah berapa jam ia berdiri di sana, masih memikirkan hal apa yang sedang dipikirkan oleh Grimmjow hingga tidak ingin mengatakan hal yang sepertinya sangat penting itu.

Waktu makan malam sudah tiba, maka Rukia memilih untuk keluar kamar dan berjalan menuju lift hotel kelas atas itu. Kaki mungilnya hanya mengenakan sandal biasa, tubuhnya pun hanya terbalut baju terusan berwarna biru pastel dengan lengan pendek, menambah kesan imut pada dirinya.

"Adik kecil mau kemana?"

Rukia kenal betul suara meledek itu, dan dia tidak ingin repot-repot menoleh padanya.

"Makan malam," jawab Rukia datar.

"Kau mau makan sendirian, Pendek?"

"Kau sendiri kenapa tidak ikut dengan yang lain?" Tanya Rukia yang sekarang sedang menuggu pintu lift terbuka.

"Memangnya tidak boleh, Pendek?" jawab Ichigo sambil mengacak-acak rambut Rukia, dan Rukia hanya menoleh padanya, menatapnya dengan sorot penuh hawa membunuh, tapi pria tinggi berambut orange cepak itu hanya tersenyum lebar dan terus mengacak-acak rambut Rukia, menyukai lembutnya rambut wanita bermata biru gelap di sampingnya ini.

Suara 'ting' yang keras menandakan pintu lift akan terbuka, Rukia menoleh dengan cepat, namun pandangannya bertemu dengan sepasang mata biru cerah milik orang yang beberapa waktu lalu masih mengganggu pikirannya.

Namun pemilik mata biru cerah itu mengerutkan alis dalam-dalam, matanya melihat tangan Ichigo yang menyentuh kepala Rukia, bahkan mengacak-acaknya dengan leluasa.

"Rukia?"

Ulquiorra-lah yang pertama kali membuka suara, dia hanya sedikit mengangkat alisnya dan pandangannya langsung beralih pada Grimmjow yang menegang seketika, telapak tangannya mengepal kuat dengan mata yang tidak ingin lepas dari seorang pria yang berdiri di sebelah Rukia.

Rukia reflek menurunkan tangan Ichigo dari kepalanya, membuat Ichigo tertegun dan melihat seseorang yang ia kenal dari layar televisi itu.

"Jadi ini acara yang kau maksud?" ucap Grimmjow dengan gigi beradu keras, menahan amarah yang entah dari mana datangnya dan membakar hingga membuatnya sangat ingin menghajar tangan pria berambut orange di hadapannya.

Pandangan Grimmjow beralih pada baju yang Rukia kenakan, lalu turun ke sandal yang ia gunakan, lalu pindah pada pria berambut orange itu yang berpakaian sama santainya dengan Rukia.

"Kalian terlihat seperti sedang menikmati liburan, bukan pekerjaan!" celetuk Grimmjow lagi, dan matanya menyipit tajam, mengintimidasi Rukia.

Dia mulai lagi, pikir Rukia.

Rukia maju selangkah dan masuk ke lift, tidak menjawab pertanyaan Grimmjow dan memilih melaksanakan permintaan perutnya untuk diisi. Ichigo yang masih bingung dengan situasi ini hanya ikut saja.

"Kalian saling kenal?" celetuknya saat pintu lift kembali tertutup, membawa mereka turun.

Ulquiorra melirik Grimmjow yang berdiri tepat di belakang Rukia, matanya terpaku pada punggung Rukia yang kecil. Kemarahan tergambar jelas di wajah Grimmjow yang sudah sangar itu.

'Kami berada dalam situasi yang sulit', gumamnya dalam hati.

Rukia merasakan ketegangan yang kental dalam lift berisi empat orang ini, dan dia pun merasakan panas di punggungnya berasal dari pandangan Grimmjow yang tidak ada ujungnya jika dia tidak segera bicara. Tapi Rukia pun sedang berpikir bahwa ia tidak bisa bicara dengan kepala dingin jika Grimmjow dalam keadaan panas seperti ini. Lebih baik bicara setelah makan, itulah pendapatnya saat ini.

Ichigo sempat melirik Grimmjow yang berdiri di sebelahnya, dan tiba-tiba ia ingat satu hal.

"Kau Grimmjow Je.. Jae.. Je.. siapa ya…" Ichigo menggaruk kepalanya keras-keras, berusaha mengingat nama yang sepertinya sangat sulit untuk dilafalkan itu, dia terdiam sejenak, berusaha mengingat dengan baik.

"Oh ya, Jaegerjaquez!" sentaknya begitu berhasil mengingat.

Grimmjow mengalihkan pandangannya dari Rukia, melirik Ichigo setelah sekian lama, namun aura jijik di wajahnya menunjukkan sangat ketidakbersabahatan.

"Salam kenal, aku-"

Belum selesai kalimat Ichigo, pintu lift terbuka, dan Grimmjow langsung menyambar tangan Rukia, menyeretnya dengan langkah besar-besar hingga Rukia berkali-kali hampir jatuh untuk mengimbangi langkahnya.

"Oi, Grimm!" teriak Ulquiorra yang menyadari puluhan pasang mata di ruang lobby tengah memerhatikan mereka, bahkan di antaranya ada yang jelas-jelas mengambil gambar dengan ponsel mereka. Ulquiorra segera merebut ponsel orang itu.

"Maaf. Jangan mengganggu privasi Grimmjow!" kata si wajah kaku itu mengancam. Perempuan yang diperingatkan bukannya marah, malah tersenyum dan mengangguk karena terpesona dengan ketampanan Ulquiorra.

Ichigo terbengong melihat pemandangan yang sangat tiba-tiba di hadapannya itu. Dia pun memilih untuk memisahkan diri dari semua keadaan tegang ini, dan memutuskan restoran sebagai tempat istirahatnya.

Rukia tetap bungkam saat Grimmjow membawanya ke sebuah koridor kosong yang mengarah ke tangga darurat. Cekalan tangan Grimmjow sarat sekali dengan posesif, dan dia tidak ingin membuat Grimmjow lebih marah dengan memberontak. Rukia akan menjadi patung hingga amarah Grimmjow reda, baru setelah itu ia akan memborbardir Grimmjow, membalas dan mengembalikan semua kemarahan yang ia terima.

Grimmjow merasakan kemarahan yang ia tidak mengerti, namun ia ingin membawa Rukia menjauh dari pria berambut orange itu.

Dia berhenti dan berbalik, mencengkram bahu Rukia, memaksa Rukia agar membalas tatapan matanya.

"Sudah?" kata Rukia tenang.

Grimmjow mengerutkan alisnya dalam-dalam.

"Kalau belum, teruskan saja," lanjut Rukia.

Grimmjow tidak percaya dengan ucapan Rukia, mata biru cerahnya memerhatikan wanita berwajah cantik di hadapannya, rasa ingin melihat Rukia itu kembali menghantuinya, namun bukan kelegaan ia menderanya sekarang, tapi gelisah begitu mengingat telepon yang ia terima pagi ini.

"Sudahlah!" tandas Grimmjow setelah beberapa detik berpikir untuk membagi bebannya dengan Rukia, dan kembali mengurungkan niatnya setelah melihat Rukia sedang melewati masa-masa nyaman promosi bukunya.

Grimmjow berbalik hendak meninggalkan Rukia, tapi tangannya telah dicekal oleh Rukia.

"Jangan kabur lagi, Grimm. Kau tau aku sudah bingung seharian ini karena sikap anehmu," bisik Rukia yang lalu meraih tangan Grimmjow yang satu lagi, dan memeluk Grimmjow erat, melingkarkan tangan kecilnya di pinggang Grimmjow.

Rukia ingin mengingkari debur jantungnya saati ini, namun sebagai seorang psikolog ia pun merasa harus mengendalikan diri, sekalipun itu berurusan dengan pria yang selalu membuatnya cemas.

Grimmjow melepas jacketnya dan menutupi kepala Rukia, baru setelah itu ia berani membalas pelukan Rukia. Ia tidak ingin media menyebarkan kabar yang tidak-tidak mengenai mereka, karena ia tidak ingin satu-satunya tempat untuk ia berbagi rusak karena pengaruhnya sebagai seorang actor, juga statusnya sebagai seorang bangsawan.

Grimmjow mendorong Rukia hingga punggung ringkih Rukia menyentuh dinding.

Mereka saling berbagi dalam diam, Rukia menikmati wajahnya yang bersentuhan dengan bagian depan kemeja Grimmjow, menghirup wangi khas seorang Grimmjow.

"Bibi cerewet itu-"

Rukia mengerti benar siapa yang Grimmjow maksud.

"Dia memberi tahu bahwa orang tuaku akan kembali dari perjalanan keliling dunia mereka, dan memperkenalkan calon istri untukku. Semua seperti yang si Stoic katakan, orang tua dengan pola pikir kolot, masih saja berpikir aku harus meneruskan generasi bangsawan mereka," gumam Grimmjow seraya membelai kepala Rukia, merasakan beban itu terlepas sedikit, dan kemarahan itu menguar dengan cepat.

"Lalu kau tidak suka dengan calon istrimu?" Rukia mendongak untuk melihat wajah Grimmjow.

"Tentu saja! Kau kira aku suka diperlakukan seperti itu?" balas Grimmjow sengit.

"Sudah pernah melihatnya?"

Grimmjow menggeleng dengan polosnya.

"Dasar! Lihat dulu, baru kau bisa memutuskan! Mana bisa kau memutuskan padahal belum pernah melihatnya," jawab Rukia yang melepaskan pelukannya.

Grimmjow melepas Rukia, dan perasaannya jauh lebih lega setelah melihat raut wajah Rukia.

"Aku tidak akan menerima pertunangan bodoh itu!" tandasnya.

"Terserah kau, lalu kenapa kau bisa ada di kota ini?" Tanya Rukia seraya melepas jaket Grimmjow dan mengembalikannya pada Grimmjow.

"Syuting! Tapi sekarang aku lapar…" keluh Grimmjow manja, Rukia tersenyum, lalu menepuk bahu Grimmjow dan mengajaknya ke restoran.

Manja, adalah sikap yang tidak pernah Grimmjow tunjukkan kepada orang lain. Hanya pada Rukia, satu-satunya tempat untuknya melabuhkan semua beban.

Grimmjow melangkah beriringan bersama Rukia, ia tidak pernah memiliki beban lain jika berjalan bersama Rukia. Wanita yang ia kenal sebagai pribadi yang tegas dan tegar.

Semua kedekatan ini berawal dari hari kelam itu, hingga mereka bisa saling mengenal pribadi satu sama lain sebaik ini…

Grimmjow tengah mengamuk di kampus, menghajar siapapun yang berani menyapanya, suasana hatinya sangat tidak baik karena orang tuanya terus saja mendoktrinnya untuk bersikap layaknya seorang bangsawan. Muak! Itulah yang ia rasakan saat itu.

Hingga ia menemukan seseorang tengah duduk di bawah pohon yang merupakan tempat favoritnya untuk menyendiri. Siapa lagi kalau bukan perempuan pendek dengan mata dalam itu, Kuchiki Rukia yang selalu membentaknya setiap kali Grimmjow membentaknya.

"Minggir!" Grimmjow menendang kaki Rukia yang tengah terjulur di rerumputan.

"Ini bukan pohonmu, kan?" balas Rukia.

"Minggir, Kerdil!"

"Kalau kau sebut aku kerdil, lalu kau sebut apa dirimu?" Rukia mengembalikan kalimat Grimmjow.

"Berani menjawabku, Kerdil. Kau tidak tau aku ini-"

"Bangsawan?" kata Rukia meneruskan kalimat Grimmjow dengan nada menghina.

"Aku tidak peduli kau ini bangsawan atau bukan. Terserah kau ini bangsawan, artis, pejabat, bahkan presiden sekalipun. Bagiku kau hanya manusia biasa, memiliki darah yang sama, memiliki perasaan seorang manusia yang sama. Kecuali kau terbuat dari mesin, maka kau tidak akan punya hati untuk mengerti bahwa kau tidak bisa memaksakan kehendakmu pada orang lain."

Grimmjow terperangah mendengar kata-kata Rukia, tapi rupanya Rukia tidak selesai sampai di situ.

"Suarakan keinginanmu dengan cara yang santun dan benar, maka orang lain akan mengerti. Bukan menonjolkan arogansi statusmu, tidak akan ada penghargaan yang kau terima dari orang lain. Semua hanya akan menganggapmu sebagai pribadi kotor yang tak lebih dari pada seorang bangsawan tak berotak."

Rukia terdiam, menyesal telah mengucapkan kalimat yang sepertinya terlalu dalam untuk ia ucapkan pada seorang berotak kecil seperti Grimmjow Jaegerjaquez.

Grimmjow tidak menjawab perkataan Rukia, dia malah duduk di sebelah Rukia dan merebut buku yang sedang Rukia baca.

"Your White Wings?" ucap Grimmjow saat membaca bagian depan buku.

"Kembalikan! Kau tidak akan mengerti baca buku seperti ini," kata Rukia seraya menarik kembali buku miliknya.

Rukia kembali membaca bukunya dan membiarkan Grimmjow berada di sana, terdiam, dan menatap hamparan langit biru di hadapan mereka. Rukia heran dengan perubahan sikap Grimmjow, tapi tidak tertarik untuk menanyakannya.

Grimmjow memikirkan kembali kata-kata Rukia. Benar bahwa ia memang selalu memilih kekerasan dari pada kesopanan untuk mengekspresikan dirinya, tapi dia juga tidak tau bagaimana caranya bersikap santun dan benar dalam menyampaikan diri.

"Rukia," panggil Grimmjow, untuk pertama kalinya menyebut nama Rukia setelah sekian lama mereka saling adu mulut.

"Ehm?"

"Apa yang harus aku lakukan?" hanya sebaris kalimat itu yang mampu Grimmjow katakan saat itu, dan sejak saat itu juga Rukia sadar bahwa pria ini belum menemukan jalan yang seharusnya ia tempuh. Ia hanya menapaki jalan yang ditunjukkan orang lain, dia tidak pernah memilih takdirnya.

"Jadilah dirimu sendiri, buktikan pada mereka bahwa kau mampu, dengan atau tanpa mereka, sebagai bangsawan atau bukan bangsawan. Kau adalah kau," tutur Rukia sungguh-sungguh.

Itulah awal dari semuanya, dan mereka menjadi saling melengkapi sejak hari itu.

.

.

.

"Makan?" ucap Ichigo, menawarkan pria berwajah dingin di hadapannya.

"Aku minum kopi saja," jawab Ulquiorra yang tak ada hentinya melirik jam. Sudah hampir sepuluh menit mereka menghabiskan waktu di restoran, tapi Grimmjow tidak juga kembali bersama mereka.

"Sst, bukankah itu Grimmjow?"

Ulquiorra langsung menoleh ke arah datangnya bisikan, dan mendapati Rukia berjalan beriringan bersama Rukia, tampak biasa dan tenang, tidak lagi segeram saat mendapati Ichigo yang mengacak-acak rambut Rukia. Ulquiorra tidak tau saja, tadi Rukia sudah menjelaskan panjang lebar mengenai siapa Ichigo dan mengapa mereka bisa bersama, Grimmjow selalu seperti itu, bertanya hingga detail terakhir semua hal yang menyangkut Rukia.

Pria bermata hijau emerald itu sangat mengenal karakter Grimmjow yang tidak akan pernah bisa melepaskan Rukia, terlebih lagi marah berlama-lama. Grimmjow adalah pribadi yang sangat mudah dibaca dari pola lakunya, seperti tadi. Jelas sekali bahwa tadi itu adalah cemburu, dan buta bagi Rukia jika seorang psikolog sepertinya tidak mengerti perasaan itu.

"Lama sekali?" ucap Ulquiorra.

"Temanmu butuh banyak tempat sampah," jawab Rukia seraya duduk setelah Grimmjow menarik sebuah kursi untuknya, tepat di samping Ulquiorra.

Sikap gentle Grimmjow ini tidak luput dari perhatian orang sekitar, mereka sangat mengenal Grimmjow sebagai seorang artis dari kalangan bangsawan, namun melihat sikap Grimmjow yang sangat terang-terangan sepertinya hal yang sangat langka. Mereka pun mulai bertanya-tanya, siapa wanita yang berkehormatan untuk mendapatkan perlakuan baik dari Grimmjow?

"Tempat sampah?" celetuk Ichigo tidak mengerti.

"Begitulah hubungan mereka berdua. Sampah dan tempat sampah!" tandas Ulquiorra menyimpulkan, dan karena ucapannya ini dia mendapat tendangan dari Grimmjow, tepat mengenai tulang keringnya. Kontan ia meringis kesakitan.

"Hubungan yang aneh," celetuk Ichigo.

.

.

.

Urahara menatap layar dengan senyum mengembang, hasil syuting beberapa hari ini sungguh memuaskan. Beberapa hari ini mood Grimmjow sangat bagus, ekspresi wajahnya tampak hidup, bahkan saat tersenyum dia terlihat sangat sungguh-sungguh.

"Apa yang terjadi padanya?" gumam Urahara, memaksudkan pertanyaannya pada Ulquiorra yang menatap layar bersamanya.

"Tentu saja sedang bahagia," jawab Ulquiorra sederhana.

"Karena?"

"Tanya saja orangnya langsung," sahut Ulquiorra santai.

.

.

.

Grimmjow membaca scenario di tangannya, scenario revisi yang baru saja ia terima.

"Kenapa sekarang jadi ada scene ciuman begini?" protesnya pada Urahara.

"Karena aku melihat suasana hatimu sedang sangat baik, seperti sedang jatuh cinta saja. Ku kira ada baiknya berimprovisasi dengan skenarionya."

"Aku menolak!" teriak Grimmjow sambil membanting tumpukan kertas di tangannya.

"Kenapa?" Urahara bingung dengan perubahan mood Grimmjow yang sangat mendadak ini.

"Aku tidak akan mencium wanita yang tidak aku sukai," jawab Grimmjow tegas.

"Sikapmu seperti anak SMP saja, Grimm. Kau sudah berusia 28 tahun, kenapa masih harus berpikir sepolos itu?"

Grimmjow mengerutkan alis, dan tidak menjawab pertanyaan Urahara, karena baginya sangat jelas, ia tidak akan melakukan hal rendah dengan mencium sembarangan wanita, sekalipun itu tuntutan scenario.

"Kau tidak professional, Grimm!"

"Terserah kau saja!" jawab Grimm sambil lalu.

.

.

.

Rukia sedang duduk di restoran untuk menikmati sarapannya, dan perhatiannya tersita saat dua orang remaja yang duduk di seberang mejanya sedang membaca tabloid yang memasang wajah Grimmjow sebesar halaman utama.

"Iya, aku dengar dari kru syuting, mereka bilang Orihime dan Grimmjow akan ciuman di akhir scene."

"Argh tidak terima! Padahal bibir Grimmjow katanya belum pernah disentuh perempuan manapun, aku tidak rela," sahut seorang lagi.

"Aku sih terima saja. Karena mereka kan sepasang kekasih."

"Yang benar?"

Rukia menajamkan telinganya dan tak sadar mencondongkan tubuh untuk mendengar lebih jelas.

"Katanya mereka resmi pacaran dua hari lalu. Aku bahkan tidak sengaja melihat mereka sempat pelukan."

"Mereka?" teman bicara perempuan itu tampak tidak percaya.

"Iya, aku benar-benar melihatnya."

Rukia terdiam menatap cangkirnya yang berisi teh hijau, hany untuk meringankan gelombang di hatinya mengirim sakit yang ia ingin ingkari dengan seluruh eksistensinya.

Rukia menyentuh permukaan cangkir dengan ujung jari telunjuknya, dingin menyengat tangannya. Merasa sedikit pusing, Rukia beranjak dari restoran ke kamarnya. Langkahnya lambat menyusuri koridor yang sangat kosong.

Hingga ia tidak sengaja berhenti di depan kamar Grimmjow, hatinya sedikit gelisah saat mendengar suara seorang perempuan dari dalam kamar.

"Bagaimana jika kita gagal?" ucap suara si perempuan.

"Tenang saja, aku pasti bisa meyakinkan mereka," kali ini suara Grimmjow terdengar sangat bangga.

Rukia memberanikan diri untuk lebih mendekat pada pintu kamar Grimmjow, dan ternyata pintu kamar tidak tertutup rapat, ada celah yang membuatnya bisa melihat hingga ke bagian dalam kamar. Mata biru gelapnya langsung menangkap sosok Grimmjow dan seorang perempuan berambut orange, berdiri berhadapan, sangat dekat hingga Rukia bisa melihat betapa merahnya wajah perempuan itu karena terlalu dekat.

"Kita lakukan saja!" kata Grimmjow seraya memeluk Orihime.

"Kau yakin begini lebih baik?" bisik Orihime dengan suara penuh keraguan.

"Sudahlah," tandas Grimmjow yang semakin mempererat pelukannya, perlahan perempuan itu membalas pelukan Grimmjow.

Rukia berbalik dan meninggalkan kamar Grimmjow, tidak berlari, hanya melangkah dengan seluruh pengendalian diri yang ia miliki.

Langkahnya santai, namun bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan dalam hati saat ini.

Setelah sekian lama ia coba menghindar, akhirnya ia harus mengalami bahkan mengakui apa yang tidak pernah ingin ia akui sejak lama, sejak ia mengenal Grimmjow.

"Haruskah aku percaya dengan apa yang aku lihat, Grimm?" bisik Rukia saat melangkah masuk ke kamar hotelnya, menutup pintunya dengan perlahan dan bersandar pada daun pintu, matanya terpejam rapat, mencoba meredakan gemuruh yang tak juga reda sekalipun dia sudah menggunakan seluruh kemampuannya sebagai seorang psikolog.

"Ku beri kau satu kesempatan lagi. Buktikan bahwa kau memang sudah sepantasnya terlepas dari sisiku, Grimm. Bahwa kau tidak lagi membutuhkanku sebagai penampungan akhir," gumam Rukia seraya menarik napas panjang, membiarkan setetes air matanya mengalir di pipi pucatnya.

.

.

.

Rukia memijat tangannya yang terasa pegal setelah menandatangani ribuan buku hari ini, padahal target awal hanya dua ratus, tapi karena pihak toko buku sudah menjual ribuan exemplar, maka Ichigo menyetujui permintaan pemilik toko. Rukia hanya bisa mengikuti keputusan produser paling seenaknya itu.

"Argh.. pegal!" keluh Rukia seraya membanting dirinya di tempat tidur.

"Sampai selelah itu!"

Rukia menoleh dan mendapati Grimmjow berdiri di ambang pintu kamarnya, tidak menyadari bahwa ia tidak mengunci pintu, hingga pria ini bisa sembarangan masuk, bahkan ia sendiri tidak menyadari pintu kamarnya sudah terbuka.

Rukia tidak repot-repot beranjak dari tempat tidurnya, tetap tiduran dengan tangan kiri memijat-mijat pergelangan tangan yang rasanya mau copot.

Grimmjow melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya, menghampiri Rukia dan duduk di sebelahnya.

"Kau sedang kosong?" Tanya Rukia seraya menoleh ke kakan, tempat dimana Grimmjow duduk.

"Syuting selesai lebih cepat karena acting ku yang luar biasa hebat!" kata Grimmjow membanggakan diri.

"Baguslah, kau jadi tidak merepotkan orang lain," celetuk Rukia seraya memejamkan matanya, rasanya lelah sekali.

Namun matanya kembali terbuka saat merasakan tangan Grimmjow meraih tangan kanannya dan memijatnya pergelangannya perlahan, dengan sangat lembut.

"Terima kasih," bisik Rukia tulus.

"Tidak perlu, hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu, kan?" cengir Grimmjow, dan Rukia membalasnya dengan senyuman.

"Masih dua hari lagi, dan aku tidak bisa membayangkan harus menandatangani lebih banyak lagi. Hah.. andai aku punya tangan pengganti," bisik Rukia sambil menghela napas berat.

"Kau mau aku menggantikanmu?" canda Grimmjow.

"Lucu! Ngomong-ngomong bagaimana dengan Bibi Harribel?"

Grimmjow langsung cemberut mendengar subjek yang Rukia ajukan.

"Tidak tau, dan aku tidak peduli!" tandas Grimmjow.

"Ku dengar dia akan datang besok, khusus menjengukmu di lokasi syuting. Dia akan membawa calon istrimu bersamanya."

"Siapa yang bilang?" geram Grimmjow

"Ulqui," jawab Rukia langsung.

"Kenapa dia tidak bilang apa-apa padaku? Kapan dia bicara padamu?"

"Dia meneleponku tadi siang, dan sepertinya dia sengaja tidak memberitahumu agar kau tidak kabur. Dan aku sarankan kau untuk tidak kabur," bisik Rukia.

Grimmjow beralih pada telapak tangan halus milik Rukia, mulai memijat telapak tangan mungil itu dengan kedua tangannya, hingga tangan Rukia tertutup dengan telapak tangannya yang besar. Rukia menikmati sentuhan Grimmjow di atas kulitnya. Hangat dan menenangkan.

"Buktikan pada mereka," lanjut Rukia perlahan. Memperingatkan Grimmjow agar tidak lagi kabur dari permasalahan, justru menghadapinya dengan kepala terangkat.

Grimmjow meliriknya sesaat, namun kembali lagi memusatkan perhatian pada kesibukan tangannya.

"Aku tau, tapi bagaimana kalau ku bilang aku menyukai wanita lain?"

Rukia merasakan hatinya tertusuk mendengar ucapan Grimmjow, tapi ia dengan sangat lihai menyembunyikan perasaannya.

"Siapa orangnya?" Tanya Rukia dengan alis berkerut dalam untuk menahan sakit di hatinya.

"Umm, lihat saja besok. Aku akan pastikan kau tau saat aku bertemu dengan Bibi rambut aneh itu." Grimmjow menaikkan alisnya, menunjukkan bahwa ia tidak akan bicara lebih dari ini tentang wanita yang ia sukai.

" Aku harus menemui Ulquiorra, berterima kasih karena ia membuatku menyadari perasaan yang aku sendiri tidak pernah tau, plus memberikan bonus karena dia tidak memberitahuku informasi mengenai kedatangan Bibi. Ku pastikan tinjuku akan meninggalkan sedikit memar di pipinya," geram Grimmjow.

Grimmjow melepas tangan Rukia di atas tempat tidur, dan beranjak dari tempat tidur.

"Jangan terlalu keras pada Ulqui," kata Rukia mengingatkan, membuat langkah Grimmjow berhenti tepat di depan pintu, dia kembali dan merunduk di atas Rukia, hingga wajah mereka sejajar.

"Kau perhatian sekali padanya. Apa kau suka padanya?" Tanya Grimmjow dengan napas menerpa wajah Rukia yang tengah berbaring.

Rukia tidak langsung menjawab, dia malah memerhatikan kolam biru cerah di mata Grimmjow, melihat ada emosi, namun ia tidak ingin mendefinisikannya. Walau bagaimanapun ada seseorang yang mengisi emosi Grimmjow, karena itu Rukia sedikit bersyukur namun juga sedikit terluka.

"Aku juga perhatian padamu, apa kau juga bilang aku suka padamu?" ucap Rukia, mengembalikan pertanyaan Grimmjow.

"Kau memang pintar membalik keadaan, Psikolog!" kata Grimmjow seraya mencubit pipi Rukia, dan yang dicubit hanya meringis sekenanya.

"Aku mungkin bisa percaya kau suka padaku, karena kau sudah terjerat karisma dan ketampananku. Iya kan?" kata Grimmjow dengan senyum lebar.

"Terserah jika kau beranggapan seperti itu. Aku acungi jempol untuk rasa percaya dirimu," jawab Rukia datar, seolah dia tengah menutup seluruh perasaan dalam dirinya. Padahal berjarak sedekat ini saja sudah cukup untuk membuatnya kehilangan ritme normal jantungnya.

"Ya sudah, aku pergi. Sampai nanti," Grimmjow beranjak dari tempat tidur, tepat setelah meninggalkan satu kecupan hangat di dahi Rukia.

Rukia hanya diam bak patung, namun saat Grimmjow sudah kelaur dan menutup pintu kamarnya, tangan mungilnya kontan bergerak menyentuh dahinya yang baru saja dikecup Grimmjow. Gelenyar hangat itu masih tersisa di kulitnya.

"Kau sudah 28 tahun, Grimm. Kenapa kau tidak juga sadar bahwa aku ini paling peka dengan segala macam perasaan manusia. Sekarang kau mau membuatku salah paham, padahal ada wanita lain yang kau suka? Aku tidak berharap banyak Grimm. Aku dan kau adalah dua pribadi yang terlalu rumit, namun aku tau ada satu benang merah yang menghubungkan kau denganku, hingga kau merasa butuh aku untuk di sampingmu setiap kali kau membutuhkan 'tempat sampah'. Tapi sepertinya sekarang kau tidak memerlukannya lagi. Aku akan membunuh perasaanku untuk kebahagiaanmu."

Rukia menekap matanya yang terasa panas, mencegah air mata turun dari sudut kelopak matanya.

"Kita memang begitu dekat enam tahun ini, tapi tidak akan ada yang berubah. Aku dan kau adalah dua dunia yang saling bertolak belakang," gumam Rukia seraya bangkit dari tempat tidurnya dan mengunci diri di kamar mandi.

Menyadari bahwa kesempatannya untuk mempertahankan keyakinan dalam dirinya semakin menipis, setipis ikatan yang ia rasakan saat ini. Ikatannya dengan Grimmjow.

.

.

.

Ichigo melihat wajah Rukia yang tengah tersenyum pada para penggemar tulisannya yang mengantri untuk meminta tanda tangan. TIdak ada yang aneh, hanya saja wajah Rukia pucat, sekalipun memang selalu tampak pucat, tapi hari ini jauh lebih pucat dari biasanya. Senyum yang ia berikanpun setengah hati, Ichigo melihat dengan jelas keanehan dalam diri Rukia.

"Kau juga melihatnya?" Tanya Isane yang membaca gelagat Ichigo.

"Ehm, apa yang terjadi padanya?" kata Ichigo seraya mengusap wajahnya, merasakan lelah setelah lima hari terturut-turut mengatur jalannya acara.

"Aku juga tidak begitu jelas. Semalam saat aku kembali dari meeting evaluasi, dia sudah tidur, dan saat bangun sudah lesu seperti itu," jelas Isane.

"Kita adakan pesta kecil nanti, mungkin dia terlalu lelah menghadapi jadwal yang padat. Jujur saja aku tidak pernah melihat seorang penulis digemari hingga seperti ini oleh pembacanya," sahut Ichigo yang langsung meraih ponselnya untuk memesan tempat.

"Semoga dia bisa terhibur," sahut Isane.

.

.

.

Acara panjang dan melelahkan itu akhirnya selesai, tinggal satu hari lagi Rukia bisa mengambil libur panjang untuk mengistirahatkan tangan, otak juga hatinya. Semua menjadi kompilasi yang hebat untuk membuatnya kehilangan banyak energy. Belum lagi memikirkan ide Ichigo yang mengajaknya pergi ke club untuk membuat perayaan kesuksesan acara hari ini.

Rukia menarik napas panjang, memberikan jeda pada dirinya sendiri untuk istirahat.

Dia menatap wajahnya di cermin, garis kerutan dan lelah terlihat sangat jelas, tapi ini jauh lebih baik dari pada terbaring tak berdaya di ranjang, pikirnya.

Pintu toilet wanita terbuka, dan Rukia melihat seorang yang sangat ia kenal memasuki toilet, matanya terarah pada Rukia yang melihatnya lewat pantulan cermin.

"Rukia, kau ada di sini juga?" Tanya wanita berambut kuning terang itu.

"Selamat malam Bibi Harribel," sapa Rukia seraya berbalik dan memberikan pelukan hangat pada wanita berpostur penuh itu.

"Apa kabarmu? Lama sekali tidak melihatmu. Apa kau di sini untuk menemani Grimm?"

Rukia melepas pelukannya dan menggeleng dengan cepat.

"Aku ada acara perkenalan buku, dan kebetulan tempat kami sama," jawab Rukia tenang.

"Oh, tapi ku rasa lebih baik ada kau jika Grimm syuting, dia kadang sulit mengendalikan emosinya sendiri," bisik Harribel dengan senyum tulus.

Rukia dan Tia Harribel sudah mengenal seperti Rukia mengenal Grimmjow, karena itu wanita itu tidak pernah mempermasalahkan keberadaan Rukia yang selalu berkeliaran di sekitar Grimmjow, karena Rukia justru membantu, bukan menyusahkan seperti kebanyakan wanita yang berusaha mendekati Grimmjow.

Ilmu psikologis yang Rukia miliki dapat membantu Grimmjow, itulah yang ada di pikiran Tia Harribel.

"Di mana calon istri Grimmjow?" Tanya Rukia.

"Dia sedang melihat syuting, seperti dugaanku. Keponakanku yang paling berandal itu paling bisa merebut hati para wanita," kata Harribel membanggakan keponakan yang biasanya membantah itu.

"Bagaimana dengan kabar Paman Aizen dan Bibi Unohana?"

Rukia mengingat sosok kedua orang tua Grimmjow yang ia lihat beberapa tahun lalu, namun tidak pernah bertemu lagi karena kesibukan mereka berkeliling dunia. Sekarang mereka kembali untuk mengacaukan ketenangan Grimmjow. Rukia sudah mengira dia akan menjadi tong sampah lagi bagi Grimmjow.

"Mereka sudah tiba, hanya saja mereka menyerahkan proses perjodohan ini padaku, mereka tidak ingin menghadapi emosi Grimmjow lagi," jawab Harribel dengan senyum penuh kemenangan, ternyata hanya dirinya yang bisa mengendalikan Grimmjow, bahkan orang tuanya sendiri menyerah.

"Baiklah, saya permisi dulu."

"Kau tidak ikut denganku ke lokasi syuting? Ayolah Rukia, temani aku. Lagi pula sudah lama kita tidak bertemu," bujuk Harribel.

Rukia menimbang sejenak, tapi kemudian mengiyakan permintaan Harribel dengan satu anggukan dalam.

.

.

.

Grimmjow menatap seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, dan bertubuh kurus di hadapannya. Matanya berwarna ungu terang dan menatapnya penuh takjub.

"Berhentilah menatapku seperti itu, kau membuatku malu," kata perempuan itu dengan wajah tersipu.

"Dengar ya…" Grimmjow lupa nama perempuan yang tadi diperkenalkan Bibi Harribel padanya itu, dia sulit sekali mengingat nama seseorang dalam benaknya yang sudah penuh dengan skripsi.

"Sunsun," jawabnya tenang.

"Berapa usiamu?" Tanya Grimmjow lagi.

"Aku 21 tahun," jawab Sunsun lebih memerah lagi.

"Kau bahkan lebih pantas jadi adikku dari pada calon istri," gerutu Grimmjow.

"Aku tidak akan menerimamu sebagai calon istri, lebih baik sekarang kau pulang. Aku sudah memiliki seorang yang aku cintai," tutur Grimmjow terang-terangan, dan ini membuat Sunsun langsung meringis, mata cerahnya langsung basah dan meneteskan air mata banyak-banyak.

"Kau jahat, padahal aku sangat mengagumimu. Apakah ini karena kedekatanmu dengan penulis itu?" celetuk Sunsun di antara isak tangisnya.

"Penulis?"

"Iya, Kuchiki Rukia! Teman kuliahmu!"

Grimmjow langsung beralih pada Ulquiorra yang tengah melihat sekitar lokasi syuting, kalau-kalau ada penggemar atau wartawan yang menerobos masuk pertahanan keamanan yang sudah ia sewa sejak kemarin.

"Stoic! Ada yang kau sembunyikan lagi dariku?" tembak Grimmjow dengan tangan mencengkram kerah jas Ulquiorra yang super licin.

"Apa maksudmu?" jawab Ulquiorra dengan alis tertaut.

"Gosip!" geram pemilik mata biru terang itu tanpa melepas Ulquiorra.

Ulquiorra yang langsung mengerti kata kunci semuanya langsung bungkam seribu bahasa. Dia tampak ragu untuk mengatakannya.

"Beritanya baru heboh sore ini, sangaja aku menjaga kau dan Rukia tidak tau agar kalian konsentrasi pada pekerjaan masing-masing. Tapi media ya media, tidak ada yang bisa lolos dari incaran kamera," jawab Ulquiorra yang secara tidak langsung menyindir sikap sembarangan Grimm yang tidak pernah waspada dengan keberadaan para pemburu berita yang mencari sensasi macam apapun untuk menaikkan oplah penjualan terbitan mereka.

"Apa isinya?" kejar Grimm yang mulai memikirkan keberadaan Rukia saat ini.

"Mereka mendapati foto kau dan Rukia yang berpelukan, dan juga foto saat kau masuk serta keluar dari kamar Rukia."

"Mereka-" ancam Grimmjow dengan tangan mengepal kuat.

"Kau sudah ku peringatkan untuk tetap menjaga jarak dengan Rukia, tapi kau malah masuk ke kamar Rukia, sama saja kau mengantarkan kepalamu sendiri pada tukang jagal. Kenapa juga kau melakukannya saat aku sedang mengurus semua laporan rekeningmu, aku jadi tidak bisa menjadi pihak yang menengahi kau dengan Rukia kan? Dasar Gegabah!" tutur Ulquiorra yang tidak bisa memungkiri bahwa Grimmjow adalah pihak pertama yang bersalah dalam hal ini.

"Berarti Rukia…"

"Bisa jadi sudah habis diserang wartawan," gumam Ulquiorra enteng.

"Sial!" umpat Grimmjow.

"Grimm! Take 34, siap-siap!" pekik Urahara dengan semangat membara, karena hari ini adalah hari terakhir syuting mereka, dan jika berhasil dengan adegan ciuman yang selalu ia tuntut dari Grimmjow, maka film ini akan menjadi sukses tingkat atas.

"Simpan kemarahanmu hingga syuting selesai," gumam Ulquiorra mengingatkan Grimmjow untuk meredam emosi.

"Ok, aku akan bersabar. Jika mereka inginkan berita, maka aku akan memberikan berita untuk mereka," desis Grimmjow penuh dendam.

.

.

.

To Be Continue

.

.

.


A/N :

Tidak banyak kata, saya hanya ingin terus berkarya, untuk itu mohon dukungannya *bungkuk dalam-dalam*

Review please….

.

.

-Nakki-

10-11-2011