.

A fanfiction by quillie

.

I'm Nesia, I'm from Indonesia

Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya

Warnings : OCfem!Indonesia, Gakuen AU, abal, typo, bahasa gak baku, OOC, don't like? Please don't read

Here we go!


Spain yang butuh waktu lebih untuk membaca situasi dan kondisi terpaksa harus menjadi background scene horor antara sang Frenchman dan Englishman. Mereka saling adu death glare. Spain memilih untuk diam saja agar nggak memperparah keadaan (walaupun alasan sebenarnya adalah dia nggak tahu apa yang sedang terjadi).

"Hei, Kodok! Jawab!" seru England mulai naik pitam. "Dendam kesumat yang mana lagi ini, hm?"

Sang laki-laki Perancis terkekeh. "Ne~ Ne~ Arthur~ Bukankah sudah jelas aku benci kau segenap jiwa dan ragaku? ...kok hampir mirip pernyataan cinta, ya? Terserah lah. Yang jelas aku benci padamu~"

Yang England tahu sejauh ini, France masih tetap saja France. Tapi, ia merasa ada yang ganjil dengan kekehan France.

Tiba-tiba England mencubit kedua pipi France sekeras yang ia bisa. "KODOK GOBLOK SIALAN! DASAR TENGIK!"

"WADAAWW! SAKIT!" teriak France kesakitan. Nggak mau kalah, France menjambak rambut pirang England. England balas mencubit pipi France lebih keras. Nggak mau rugi pipinya kempot, France menarik—mencabut, lebih sesuai—rambut England lebih keras. Kesakitan, England bermaksud mengeraskan cubitannya hingga setidaknya France juga bisa merasakan rasa sakit di kepalanya. Begitu seterusnya sampai salah satu dari mereka botak atau kisut pipinya.

"Hentikan! Kalian berdua!" seru Germany, segera menjauhkan Spain dari tempat perkara kejadian. Tapi tampaknya mereka terlalu menikmati momen itu. Seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua sampai-sampai mereka nggak sadar mereka sudah menarik perhatian. Oh, cinta dan benci memang beda tipis, kawan.

"Arrêtez! Stop it!" Germany kali ini berteriak lebih keras dalam bahasa ibu kedua bocah itu. "BERHENTI SEKARANG ATAU ZWINGLI BERTINDAK!"

Benar saja, sang personifikasi Switzerland sudah bersedekap di belakang mereka, tetap konsisten dengan muka sangarnya. Dan setelah nama Zwingli disebut, barulah keduanya mau diam (sudah menjadi rahasia umum jika Vash Zwingli—Switzerland adalah ancaman terampuh bagi mereka yang berulah. Beberapa murid yang takut menyebut nama Vash Zwingli atau Switzerland menyebutnya dengan dia-yang-namanya-paling-seram). Pipi France sudah memerah bengkak dan ada sejumlah helaian pirang di sela-sela jarinya. England sendiri juga nggak kalah morat-marit penampilannya, kalau kau penasaran.

"Je vous déteste," desis France.

"Sama di sini. Aku juga benci kau," balas England sengit.

"Cukup! Kubilang, CUKUP!" seru Germany sebelum mereka mulai berdebat lagi. "Kau, Bonnefoy, dewasalah sedikit! Apa sih, pekerjaanmu selain cari gara-gara?" ucapnya menasehati.

"Ngintipin cewek lah," siul England.

"Aku nggak butuh jawabanmu, Kirkland. Bahkan sampai detik ini aku masih nggak percaya kalau bocah ngambekan macam kau bisa jadi ketua OSIS. Kau ingin seisi sekolah ikut ngambekan sepertimu? Demi wurst yang gosong, Kirkland, kau ini ketua OSIS! Jaga kelakuanmu!" dengus Germany.

Hening sebentar. England melirik ujung sepatunya sementara France mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Berada di dekat France membuat England susah menjaga image gentleman-nya. Entah kenapa ia selalu ingin mengunyah France dan segala kemesumannya itu. France juga begitu. Melihat alis annoying milik England selalu membuatnya ingin menyepaknya tepat di pantat. Lagipula ada satu alasan lain yang membuat France patut membenci England.

Kali ini Switzerland mengambil alih. "Ribut sekali lagi, aku nggak akan segan-segan menyuruh kalian berdua jadi petugas kantin selama seminggu penuh dengan pakaian maid."

Seisi kelas memerah wajahnya karena menahan tawa. Beberapa juga ada yang mimisan dengan sangat nggak elit.

.

Bel tanda istirahat berbunyi panjang, membangunkan Nesia dari tidur colongannya. Kuncir ekor kudanya berantakan. Ia tidur selama pelajarannya Bu Ancient Greece. Dan dilihat dari "pulau" yang dibuatnya di buku catatannya, sepertinya dia nggak ketahuan. Ia memang tidur larut malam gara-gara mengerjakan PR dari Pak Germania yang menggunung dan beberapa tugas kenegaraan. Tapi tetap saja, itu bukan alasan yang kuat untuk memprotes atas pengurangan poinnya.

Nesia segera membereskan buku-bukunya, merapikan rambutnya sedikit, dan berjalan ke kantin. Ia benar-benar lapar. Mungkin sepiring nasi goreng super pedas bisa membuatnya kenyang sekaligus melek nantinya.

"Nesia?" panggil seseorang.

Nesia menoleh dan memaksakan sebuah senyum ramah untuk laki-laki Inggris yang menyapanya. Akan sangat nggak sopan jika mengabaikan senior, bukan? Walaupun sebenarnya Nesia dongkol sedongkol-dongkolnya ketika bocah itu masih berani menunjukan batang hidungnya dan menyapanya. Apa semua orang Inggris itu nggak tahu malu sepertinya? Nesia lebih memilih untuk nggak menjawabnya.

"Hell-o, Ketos," balas Nesia, sengaja menekankan kata hell.

"Aku... minta maaf soal tempo hari," ucap England menundukkan kepalanya. "Nggak seharusnya aku menuduhmu tanpa bukti. Aku juga sudah membentakmu. Maaf."

"Oh," komentar Nesia. Singkat, padat, dan jelas. "Itu saja, kan? Aku buru-buru. Aku lapar banget."

England cepat-cepat menghalangi jalan Nesia dengan berdiri di depannya. Nesia mengerutkan alis, bergeser ke kiri untuk menghindari England, tapi England juga bergeser ke kiri. Nesia bergeser ke kanan, begitu pula dengan England. Nesia berusaha berkelit, tapi England juga pandai berkelit. Begitu terus sampai Nesia muak.

Nesia mengerang malas. "Lucu banget, Ketos. Kau mau kutonjok? Kemarikan wajahmu!"

"Aku nggak akan membiarkanmu pergi sebelum kau mau menerima permintaan maafku," ucap England tetap nggak peduli.

"Then, do something to please me, Fuzzybrow!" teriak Nesia kemudian mendorong England dengan kasar, membuat England mundur beberapa langkah. Ia langsung menggunakan kesempatan itu untuk lari ke kantin.

Didorong oleh jiwa gentleman (cuih), England berlari mengejar Nesia. "Indonesia! Jangan lari kau!"

Sadar itu suara England dan merasa ia sedang dikejar, Nesia mempercepat larinya. Tujuannya sekarang bukan ke kantin lagi, tapi sembunyi dan menghindari Ketua OSIS yang alisnya sangat nggak santai itu. Ke mana pun, sembunyi di mana saja asal dia nggak harus melihat wajah dengan dahi penuh alis yang memuakkan itu. Oke, itu memang mengandung sedikit penghinaan. Tapi, setidaknya itulah yang sedang dipikirkan Nesia sekarang.

"Berhenti, Nesia! Ini perintah!" seru England sambil ia mengejar Nesia yang makin cepat larinya.

"Nggak mauuuu!" jawab Nesia, meloncati bangku taman sekolah yang rendah. Ia menoleh ke belakang untuk melihat jaraknya dengan England. Lumayan jauh. Nesia tertawa penuh kemenangan ketika melihat England mulai kelelahan. Ternyata ada gunanya juga ia membantu para petugas suaka margasatwa tiap hari Minggu mengejar orangutan yang melarikan diri.

BRUK!

"Aduh!" pekik Nesia kesakitan. Kakinya terantuk akar pohon yang menyembul dan jatuh tersungkur. Ia berusaha memutar posisi badannya dan melihat luka baru di kedua lututnya. Nesia meringis kesakitan ketika ia menyingkirkan beberapa kerikil yang menempel di lututnya. "Bagus. Bagus banget."

"Indonesia! Kau nggak apa-apa?" tanya England akhirnya berhasil menyusul Nesia yang sedang duduk mengumpat-umpati luka di lututnya. Ia berjongkok dan melihat dua luka di masing-masing lutut Nesia.

"Menurutmu?" tanya Nesia sinis.

"Biar kugendong kau ke klinik," kata England, bersiap menggendong Nesia.

"Nggak mau!" tolak Nesia, lalu mendorong England walaupun nggak sekeras tadi. "Aku bisa jalan sendiri. Luka seupil juga."

"Kalau begitu biar kubantu berdiri," tukas England mengulurkan tangannya. Tapi Nesia bahkan nggak melirik uluran tangan itu. Ia berusaha berdiri sendiri sambil berpegangan batang pohon di dekatnya. Setelah bisa berdiri, ia menepuk-nepukkan tangannya ke seragamnya untuk membersihkan kotoran yang menempel sebisanya. Ia menatap England dengan pandangan kesal, muak, dan benci. Mirip sekali dengan tatapan tokoh antagonis sinetron di negaranya.

"Lihat? Sekarang kau puas? Ini semua salahmu!" sembur Nesia kesal.

"Yang lari-lari kan, kau. Yang nggak lihat jalan kan, kau. Kenapa aku yang salah? Aku bahkan sudah mau berbaik hati untuk menolongmu," tanya England nggak terima.

"Kalau kau nggak ngotot untuk minta maaf dan mengejarku, aku nggak bakal lari-lari kayak orang sinting begini!" balas Nesia sengit. "Kalau sudah begini, mana mau aku memaafkanmu."

Tanpa meminta persetujuan, England menggendong Nesia bridal style dan membawanya ke klinik sekolah. Nesia makin mengamuk, ia memukul dada England dan berharap tulang rusuk England segera remuk. "Turunin! Aku bisa jalan sendiri, Alis!"

"Sebenarnya, Indonesia, ini semua salahmu. Kalau kau mau memaafkanku saat itu juga, pasti nggak akan begini jadinya. Tapi apa boleh buat. Ini peraturan pertama seroang gentleman; help ladies who need a help," jawab England yang entah kenapa terdengar "dangdut" sekali di telinga Nesia.

"Kuberitahu kau satu hal, kau lebih mirip penyanyi dangdut daripada jentelmen! Turunin sekarang, Ketos! Ini perintah! Kalau kau membangkang, aku nggak akan pernah memaafkanmu!" jerit Nesia nyaris desperate. Beberapa siswa yang kebetulan lewat menatap mereka dengan tatapan aneh. Siswi-siswi yang mengidolakan England juga tampak iri. Tamat sudah kalau mereka berniat mem-bully Nesia nanti.

"Percuma. Minta maaf sampai mulutku berbusa juga kayaknya kau nggak mau memaafkanku—diamlah! Kalau kau jatuh malah repot!" balas England, sedikit kerepotan dengan polah sang gadis Indonesia. Kalau Nesia benar-benar jatuh, England sudah nggak mau tanggung jawab lagi.

"Makanya, turunin! Malu dilihat orang! Kayak bayi aja!" seru Nesia, sedikit panik ketika melihat Vietnam yang kebetulan lewat mengangkat satu alisnya saat melihatnya digendong Ketua OSIS dengan gengsi selangit ini.

England menghela napas dan menurunkan Nesia di depan klinik sekolah. Ia menggosok-gosok kupingnya yang terasa berdenging setelah mendengarkan semua omelan sang personifikasi Indonesia. "Sana, obati lukamu. Aku mau makan."

Nesia mengumpat keras. Perkataan England mengingatkannya. Bukannya makan nasi goreng ekstra pedas dengan tenang di kantin, ia malah harus berurusan dengan Ketua OSIS dan bonus luka di lututnya. Belum lagi perutnya sudah berdemo minta diisi. Semuanya berjalan dengan sangat baik.

.

"Yo, Nesia! Lama nggak ketemu!" sapa sang personifikasi negara adidaya dengan satu rambut mencuat. "Kau pasti kangen dengan hero. Ya, kan? Ahahahaha!"

"Oi, Al, sedang apa kau di sini? Ini kan, sudah bel," tanya Nesia mengabaikan basa-basi America barusan. Ia baru saja selesai mengobati lukanya dan sedang buru-buru ke kelasnya. Melihat America yang super santai begini membuatnya ingin menepuk jidat sendiri—kalau bisa sih, menepuk jidat America.

"Aku barusan izin ke toilet. Yah, sebenarnya aku masih lapar, jadi aku ke kantin dengan alibi ke toilet, muehehe~," jawab America cengar-cengir.

Melihat seonggok burger di tangan America membuat perut Nesia bergetar hebat. Ia memegangi perutnya, berharap ia masih bisa tahan sampai pulang nanti. Gara-gara Ketua OSIS sok gentleman itu dia kelaparan parah. Kalau sampai dia kena maag, lengkap sudah alasannya untuk membenci pria Inggris itu.

"Kau lapar, Nesia?" tanya America melihat gelagat Nesia. Ia mengeluarkan sebungkus burger dari saku jaketnya. "Nih, ada beef burger. Ambil saja."

"Eh? Nggak apa-apa nih?" tanya Nesia ragu-ragu, kelihatan jelas ia menginginkan beef burger itu. America mengangguk singkat. "Makasih, ya, Alfred!"

"Oke~," jawab America nyengir. "Lagipula ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Eh? Soal apa? Kontrak Freeport? Nanti saja dengan Boss," sahut Nesia sembari mengekor America yang duduk di bangku koridor yang kosong. Ia membuka kertas pembungkus burger-nya dan melahapnya dengan antusias.

"Bukan. Tadi aku lihat Iggy menggendongmu sampai ke klinik. Apa... kalian pacaran?" tanya America sedikit memelankan suaranya. Nesia sendiri heran, tumben-tumbennya personifikasi negara paling berisik ini bisa membaca keadaan. Sedikit banyak, Nesia bersyukur soal itu.

Nesia menyeringai setelah ia menelan burger-nya. "Ketos, maksudmu? Kau cemburu uke-mu menggendong cewek lain?" tanya Nesia menggodanya. Tapi sebelum America bisa menyanggah, ia memotongnya. "Nggak. Aku nggak pacaran. Huah, amit-amit pacaran sama Ketos nyebelin itu."

"Aku nggak cemburu woy! Aku cuma bingung kenapa Iggy menjauhiku. Di kelas, dia tukar bangku dengan Gilbert—tahu kan? Yang albino itu, lho," ucap America. Nesia mengangguk. Personifikasi yang nggak jauh beda dengan America itu, kan? Jika America narsis dengan kata hero-nya, cowok Prussia itu punya tagline khas tersendiri; awesome. "Karena sepertinya kau dekat dengan Iggy akhir-akhir ini, apa kau tahu kenapa dia menjauhiku?"

Nesia berhenti memakan burger-nya. "Err... itu... ya, aku tahu. Tapi, masa kau nggak tahu, Al?"

Nesia langsung menyimpulkan America nggak tahu saat ia melihat America tetap memasang tampang bodohnya. "Dia cemburu padamu," ucap Nesia, kemudian menggigit burger-nya lagi.

"Heh? Cemburu?" ulang America, menatap sang gadis heran.

"Pacarnya pernah menciummu kan, di perpustakaan? Itulah kenapa," jelas Nesia. "Hanya itu sih, yang aku tahu."

America terdiam sebentar. "Oh, perkara Seychelles. Tapi, aku nggak menyukainya, kok!"

"Itu sih, urusanmu dengan Ketos dan mbak Sey—siapa? Yah, si itu lah pokoknya," sahut Nesia cuek. "Mending kau jelasin aja ke Ketos apa yang sebenarnya terjadi, terus minta maaf. Mungkin dia bisa mengerti. Dia belum membuang foto-fotomu kok, di rumahnya."

Nesia meremas kertas pembungkus burger setelah burger-nya habis dan melemparkannya ke tong sampah dari kejauhan. Bola kertas itu mendarat dengan mulus ke tempat sampah. "Katanya hero, disuruh minta maaf aja keok," cibir Nesia bermaksud menyemangati.

"Nggak dong! Hero! Ahahahaha!" tawa America menunjuk dirinya sendiri dengan jempolnya. "Iya, deh. Nanti aku minta maaf. Makasih ya, Nesia, infonya."

"Mm-hm! Makasih juga burger-nya," senyum Nesia hingga matanya menyipit drastis.

America melihat jam tangannya sekilas. "Aku ke kelas dulu. Bye!"

Nesia mengangguk. Mereka pun berjalan ke kelas masing-masing.

To be Continued


A/N: Maaf lama update! TO mulai menggerayangi saya. Semoga fic ini selesai sebelum UNAS. Dan maaf belum bisa balas semua review. Saya biarkan anda sekalian berspekulasi sesuka anda :D Soal chapter kemarin... pada nggak suka intermezzo ya, hiks. Jujur saja, saya sendiri bosen kalau harus full romance—walaupun belum romance-romance banget, sih #plak. Gimana dengan chapter ini? Yang ini udah lama update, pendek lagi -_- Apa saya gagal lagi bikin romance UKNes-nya? Trus, ada yang tahu satu alasan lagi kenapa France benci England? Honhonhon~ (?)

Soal nama panggilan, saya juga jadi rada bingung. Semoga reader nggak, ya. Jadi, kalau mereka sudah akrab, manggilnya pake nama kecil manusia mereka (atau kadang panggilan sayang kayak Iggy, Kodok dll XD), kalau mereka kenal tapi gak terlalu deket, manggilnya pake nama belakang manusia mereka (Zwingli, Kirkland dll), atau kalau mau lebih formal dan sopan, pake nama negara si personifikasi (Indonesia, America dll). Di deskripsi, saya pake nama negara saja, ya? Kecuali Nesia, Aussie, Lay, Lily, Ice, dan Viet karena udah terlanjur (bilang aja males ngedit -_-). Dan anggap juga itu nama manusia mereka.

Tolong jangan bunuh authoress kebanyakan mau ini. m(_ _)m

Untuk nana-san, chapter 1 yang super abal itu (ini juga sih) sudah saya revisi sebisa saya. Jujur, saya nggak memperhitungkan itu waktu awal bikin fic ini. Maafkan author yang begonya nggak ketulungan ini. m(_ _)m Dan terima kasih banyak atas kritikannya yang membangun. #bungkukbadan