Cinta, ya…

Menurutnya sih, getaran-getaran itu sudah mulai menerobos masuk ke dalam pertahanannya. Menghancurkan pertahanan yang seperti benteng raksasa itu menjadi sebuah lempengan-lempengan kecil yang useless. Tidak berguna lagi. Yang ada hanya kupu-kupu cantik yang tak pernah berhenti menggelitik perutnya jenaka. Setidaknya sejak ia sadar bahwa ia juga merasakannya.

Benci?

Benci bukannya singkatan dari Benar-benar Cinta, ya? Salah? Terserah apalah itu. Tapi, keduanya―benci dan cinta―bukannya hanya dibatasi oleh sehelai benang yang sangat tipis?

Dan tak menutup kemungkinan―bahkan kemungkinan besar, bahwa benci bisa berubah jadi cinta, dan cinta pun bisa berubah jadi benci. Sesederhana itu. Semudah itu.

Any problem?

.

.

.

Naruto Masashi Kishimoto

Rated: T

Pairing: Sasuke x Sakura (always)

.

Uchiha Michiko-chan 'Elf, COMEBACK!

.

.

.

.

Because An Accident [ENDING]

.

.

.

.

Rumah Sakit Umum Konoha, kamar rawat nomor dua puluh tiga di lantai tiga.

Ke sanalah kaki jenjang wanita muda yang tengah hamil ini melangkah. Koridor demi koridor rumah sakit ia lalui. Bertemu dengan para pasien, penjenguk, perawat, dan dokter. Komplit. Namun, berapa pun orang yang ia temui hari ini, sepertinya tidak akan mengalahkan keinginan besarnya yang ingin selalu bertemu dengan seseorang yang berada di dalam kamar nomor dua belas itu.

Bukannya sudah bertemu dari semalam lelaki itu dibawa ke sini? Ah, simple saja. Mungkin ia ingin terus berada di samping suaminya itu, sampai benar-benar pulih. Ya, 'kan?

Jangan tanya kenapa ia ingin seperti itu, karena ia juga tidak tahu. Sulit untuk mendapatkan alasan yang benar-benar jelas dan nyata. Namun, mungkin kupu-kupu yang hobi menggelitik itu bisa menjawabnya? Tanyakan saja.

Dress putih khusus ibu hamil yang dipakainya tak jarang bergoyang bagian bawahnya karena terkena angin pagi yang cukup sepoi-sepoi. Rambut softpink yang sengaja dirias rapi dalam satu ikatan berwarna merah cantik dengan sedikit hiasan khas istri-istri bangsawan. Ditangannya tampak sebuah tas berukuran sedang.

Dan tanpa terasa, ia sudah sampai di depan pintu kamar rawat bertuliskan nomor delapan belas dan segera memasukinya. Ditutupnya kembali pintu itu dengan pelan, dan kembali berjalan masuk menghampiri meja berukuran sedang di samping ranjang rawat yang di atasnya ada seorang lelaki yang belum juga terbangun, meletakkan tas yang tadi dibawanya. Mengambil kursi dan memposisikannya di samping ranjang suaminya, kemudian ia mendudukkan dirinya pelan.

Ditatapnya sayu wajah pucat itu. Perasaan khawatir hebat yang sedari tadi malam dirasakannya belum juga hilang. Melihat luka dibahu bagian kiri Sasuke, hatinya tiba-tiba mencelos. Merasa bersalah. Siapapun tahu kalau luka itu hadir karenanya. Karena ia memasuki kehidupan lelaki itu―tanpa diundang namun karena sebuah kecelakaan yang merupakan kesalahan besar yang fatal. Ia tahu itu.

"Ini salahku," gumamnya sambil meraih tangan kanan Sasuke dan digenggamnya dengan kedua tangannya. Tangan itu dingin dan semoga dengan genggamannya itu bisa sedikit mengalirkan kehangatan kepada suaminya. "Kehadiranku membuat Shion seperti itu. Posisiku yang sebenarnya adalah posisi kepunyaan Shion."

Sakura tersenyum miris. Menghirup aroma tangan khas Sasuke. "Aku membuat Shion marah. Tapi malah kau yang kena. Tidak adil, 'kan?" ucapnya.

Tangan lentik putihnya menyibakkan poni yang menutupi sebagian wajah rupawan itu. Menangkup pipi kirinya sambil sedikit mengelusnya pelan. Lagi-lagi tersenyum miris.

"Cepatlah siuman, Sasuke. Banyak yang ingin kuberitahu padamu."

.

.

.

Cahaya putih yang sangat terang menyilaukan penglihatan lelaki bermata obsidian ini. Ia tak tahu di mana ia berada sekarang. Ruangan putih tak bersisi dan tak bersudut. Begitu membingungkan dan membuatnya sedikit pusing dengan cahayanya. Dan yang membuatnya semakin bingung adalah ia memakai tuxedo putih yang dulu dipakainya dalam acara pernikahannya dengan Uchiha Sakura.

Sebenarnya, ada apa ini?

Perlahan tapi pasti, cahaya itu melembut dan Sasuke dapat melihat di mana ia berada sekarang.

Ruangan bercat putih yang begitu mewah dengan segala perkakasnya. Ia berjalan pelan mengamati sekitarnya, menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Nihil. Tetap saja ia tidak tahu di mana ia berada sekarang. Tapi, terbesit dibenaknya sebuah pemikiran bahwa ini adalah salah satu ruangan di surga. Surga? Berarti ia mengartikan bahwa dirinya sudah mati?

Tatapannya yang semula datar kini berubah lembut, sedikit miris dan hambar. Pemikiran yang tadi sedikit mendukung. Di luar sana hanya ada cahaya dan cahaya. Tidak ada sesuatu yang menyerupai benda padat dan sebagainya dan tidak ada orang lain selain dirinya di ruangan ini. Benarkah ini surga?

Tapi jika memang iya, bolehkah Sasuke meminta untuk dibawakan seorang bidadari agar menemaninya di sini? Bidadari cantik berambut merah muda itu…

"Ijinkan aku memakai mesin waktu untuk membawanya ke sini, bersamaku," gumamnya miris. Ia mendudukkan dirinya di atas sofa putih yang empuk. Menundukkan kepalanya dan menikmati penyesalannya. "Aku ingin dia duduk di sini."

Tak apa air bening yang bisa menjatuhkan harga diri seorang Uchiha itu menetes, asalkan wanita itu berada di sampingnya sekarang. Tak apa ia menangis sejadi-jadinya, menunjukkan kelemahannya pada wanita itu. Bahwa memang sejujurnya, kelemahannya adalah wanita itu sendiri.

"Sakura…"

Dan sekarang ia menangis dalam kesendiriannya.

Ia ingin jujur, tapi sudah terlambat, 'kan?

"Benar, semuanya sudah terlambat. Sial."

"Siapa bilang sudah terlambat?"

"E-eh?" mendengar sahutan itu, Sasuke cepat-cepat berdiri tegap dan menghapus jejak air matanya. Mendapati seorang wanita paruh baya yang memakai gaun putih mewah mempesona. "Ibu?"

"Kemarilah," wanita itu melebarkan tangannya, menyambut anak bungsunya dengan pelukan hangatnya. Tak butuh waktu lama, tubuh kekar itu pun menubruk keras ibunya dan memeluknya seerat yang ia bisa, tak ingin melepaskannya. "Kau tidak usah menangisi istrimu yang di sana, anakku."

"Aku kehilangannya. Dia terlepas dari genggamanku. Aku ingin dia juga tersesat di sini."

"Tidak, nak. Kau tidak tersesat. Kau tidak kehilangannya. Kau hanya butuh mematangkan pikiranmu dan kau sudah melakukannya." Ucapnya sambil mengusap kepala anak bungsunya sayang. "Sekarang, waktunya kau pulang."

"Aku merindukanmu, ibu." Bukannya melepaskan pelukan itu, Sasuke malah mempereratnya. Siapapun tahu, berpisah dengan ibu tercinta itu sangat menyakitkan. Dan sekalinya bertemu, siapa yang ingin melepaskan kecuali terpaksa dilepaskan. "Biarkan lebih lama lagi di sini."

"Lho? Kau tidak kasihan melihat istrimu menangisimu di sana? Pulanglah," perintahnya pelan. "Ibu pesan, jagalah kehormatan istrimu dan keluargamu. Ibu yakin anak ibu yang tampan ini pasti bisa melaluinya. Masalah awal yang berat sudah kau lalui dengan baik, nak."

"Masalah awal?" Sasuke tersentak dengan tiba-tiba melepas pelukan itu, menatap penuh tanya pada sang ibu. "Tentang kecelakaan… maksudku kebodohanku, Ibu tahu?"

"Tidak ada yang tidak ibu ketahui, sayang." Ucapnya sambil membingkai kedua sisi wajah tampan itu sembari tersenyum. Senyum beliau adalah yang terbaik bagi Sasuke.

"Maafkan aku, bu."

"Kau tetap anak ibu yang hebat. Lakukan sebaik-baiknya dan benahi apa yang harus kau benahi. Selamat tinggal, Sasuke. Ibu akan selalu di sampingmu."

"Terima kasih, ibu."

Sebelum semuanya berlalu, ia dengan cepat memeluk sang ibu―begitu erat. Tetesan air bening mengalir dari pelupuk matanya yang tertutup sangat rapat seolah-olah tidak ingin melihat kenyataan yang ada bahwa ibunya akan benar-benar pergi. Lambat laun ia melihat bayangan Mikoto menghilang, semakin memudar dan benar-benar menghilang dari hadapannya. Akan tetapi senyum itu, senyum sang ibu yang takkan pernah ia lupakan. Dan tentunya pesan itu, akan selalu ia jaga.

'Aku berjanji…'

.

.

.

Masih menggenggam tangan itu erat, sambil terus berharap agar lelaki itu sadar secepatnya. Ah, tapi sudah menjelang siang ini suaminya belum sadar juga. Dan bagaimana pun juga, ia lapar. Hei, seharusnya ada Shizune yang menemaninya di sini? Ya, 'kan? Ke mana kepala pelayan itu?

"Ah, aku lapar. Dan seharusnya aku juga membeli makanan untuknya nanti," gumam Sakura sembari berdiri dari kursi berwarna biru gelap itu. Ia melepaskan genggamannya dan beranjak dari tempatnya. Meraih tas berukuran sedang yang dibawanya tadi. "Aku akan kembali."

Setelah mengusap kepala biru dongker itu, Sakura beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar rawat suaminya.

.

.

.

Tiiiit tiiiit tiiiii

"Halo, Sakura-sama?" sahut Shizune dalam telepon setelah beberapa saat lalu bergetar dengan heboh di dalam tas kecilnya, menampakkan nama penelpon yang merupakan majikannya.

"Aku sedang keluar sebentar. Bisa kau datang cepat ke rumah sakit?" tanyanya di seberang sana dengan suara yang lemah lembut bak seorang ratu di sebuah kerajaan.

"Sekarang ini saya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, Sakura-sama. Memangnya ada apa?" ucap Shizune. Saat ini ia berada dalam perjalanan menuju rumah sakit, dibawa oleh salah satu supir yang bekerja di mansion Uchiha itu. "Adakah sesuatu yang terjadi dengan Sasuke-sama?!"

Mendengar keterkejutan Shizune yang mendadak itu, membuat wanita bersurai merah muda itu cekikikan manis walau pelan. Dapat Shizune dengar, majikannya itu benar-benar menertawakannya di seberang sana. "Sasuke baik-baik saja, kok, Shizune. Kau khawatir, aku lebih khawatir."

Kepala pelayan itu menutupi mulutnya dengan tangan kanannya, merutuki dirinya yang terlalu khawatir sesingga melontarkan keterkejutannya secara tiba-tiba―sampai-sampai ditertawakan seperti itu oleh majikannya. "Maaf, Sakura-sama. Siapa yang tidak khawatir, luka tembakan itu cukup parah. Ya, 'kan?" ujarnya dengan raut kesedihan.

Menjadi kepala pelayan di mansion Uchiha yang kurang lebih sudah sepuluh tahun bekerja, berada di samping keluarga Uchiha selama itu juga, tentunya Shizune sudah merasakan ada hubungan yang kuat dan rasa sayang terhadap majikannya itu. Tentu Shizune khawatir, apalagi jika mengingat hanya Sasuke-lah yang tersisa dalam keluarga Uchiha. Fugaku sudah tua, dan tentu saja yang mewarisi semua harta dari Uchiha adalah Sasuke.

Semua kendali keluarga Uchiha ada ditangannya.

"Lalu, kenapa Sakura-sama menyuruhku cepat-cepat? Bukannya tadi saya disuruh berangkatnya jam segini?" tanya Shizune bingung.

"Ah, kebetulan aku sedang keluar sebentar. Kau bawa makanan, kan?"

"Iya, makannya sudah siap!"

"Baiklah, aku hanya perlu membeli pelengkap yang sangat dibutuhkannya saja."

"Um, Sakura-sama hati-hati, ya!"

"Tentu. Ya, kau cepatlah sampai di sana," biar dia tidak sendirian di kamar rawat itu.

"Iya, iya. Tapi, kenapa harus cep―"

Tuut tuut

Sambungan telepon terputus secara sepihak tentunya diputuskan oleh Sakura. Hal itu membuat Shizune menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela nafas.

.

.

.

Ruangan itu sunyi. Hanya suara desahan angin yang terdengar. Menemani lelaki yang belum sadar itu. Hanya goyangan tirai jendela, yang seperti berusaha menghibur keadaan yang sunyi itu. Tak jarang terdengar ciutan burung-burung yang saling bersahutan di luar sana, saling berkomunikasi antara satu dengan lainnya.

Mengobrolkan lelaki itu dan mendoakan agar cepat sadar, mungkin? Ah, lucu sekali.

"Engh…"

Samar terdengar sebuah lenguhan singkat. Tampak lelaki itu―Sasuke―mulai bergerak walau pelan. Matanya terbuka pelan tapi pasti, menampakkan sedikit demi sedikit mata hitam memabukkannya itu. Menelusuri keberadaannya. Menatap lemah sekelilingnya.

Ruangan yang sunyi. Berbau obat-obatan. Tak ada siapa-siapa selain dirinya di sini.

Ia berusaha bangun dari posisi tidurnya, berniat mencari seseorang yang sangat ingin dilihatnya. Tapi―

"Akh!"

Rintihya tertahan. Baru saja ia memakai kedua tangannya untuk menumpu badannya, dan langsung saja ia merasakan keram dan sakit dibagian bahu kirinya. "Sial." Umpatnya dengan suara pelan dan menghela nafas setelahnya.

Salahkan dirinya yang benar-benar lupa bahwa ia terluka. Ia lupa bahwa ia telah terkena tembakan―kalau dipikir-pikir kembali itu sungguh mengerikan. Tapi toh itu juga sudah berlalu. Apa mungkin ia lupa karena ia hanya memikirkan satu hal saja? "A-akh…" ia kembali meringis sakit. Mau tidak mau, ia harus kembali tidur lagi. Tidak ada yang bisa membantunya untuk bangkit dari posisinya. Kemana orang-orang itu?

―kemana wanitanya itu?

"Sakura," ia bergumam dengan suara paraunya. Hampir tidak terdengar. Ya, jika ia bisa berdiri saat ini juga, ia ingin mencari sosok itu dan sesegera mungkin memeluknya. Tapi, ia tidak bisa. Kau tahu itu.

Menghela nafas dan kembali menutup matanya. Menunggu. Hanya itu yang bisa―

Krieeet.

'Sakura!' pikirannya tersentak dan tiba-tiba membuka kelopak matanya secepat kilat, memfokuskan penglihatannya pada pintu ruang rawat yang baru saja berdecit pertanda ada orang yang akan muncul di sana.

Tapi nihil. Tidak ada wanitanya di sana. Hanya ada… Shizune.

"Sasuke-sama, anda sudah sadar!" pekik Shizune yang baru saja memasuki ruangan itu. meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja dan dengan cepat menghampiri Sasuke setelahnya. "Syukurlah…"

Wajah Shizune terlihat sumringah dan lega, melihat tuannya sudah siuman. "Saya panggilkan dokter dulu!"

Setelah melontarkan kalimat itu, Shizune pun keluar dan cepat-cepat menuju ruang sang dokter.

.

.

.

Sasuke daritadi terdiam―dengan pikiran yang dipenuhi pertanyaan. Tentu saja menyangkut wanita itu. Ingin menanyakannya pada Shizune tapi tak bisa, ada sesuatu yang meng―

"Oh iya, tuan," sahut Shizune sambil membuka tempat makanan itu, beserta air minumnya. "Sakura-sama… Ia sedang keluar, tapi tak tahu ke mana."

Mendengar nama Sakura disebut, segera Sasuke mempertajam pendengarannya.

"Ia menyuruhku cepat-cepat datang ke sini," lanjutnya. Ia duduk di samping Sasuke sambil memegang kotak makanan berisi bubur dan beberapa lauknya. "Katanya ia ada keperluan sebentar."

Sasuke masih terdiam, tak tahu harus menanggapi kalimat Shizune dengan kalimat apa.

"Ne, mau makan sekarang?"

"Tidak. Aku haus." Ucap Sasuke dengan suara rendahnya. Ia tidak ingin makan, kecuali kalau wanitanya datang menyuapinya.

"Baiklah. Ini minumnya."

.

.

.

"Baiklah, saya pergi dulu, tuan. Sakura-sama pasti datang, kok! Permisi," pamit Shizune kepada Sasuke yang sudah dalam posisi duduknya. Sesuai perintah Sasuke tadi, Shizune akan pulang mengambilkan pakaian untuknya. Dan kembali pintu itu tertutup rapat bersamaan dengan menghilangnya Shizune dari penglihatannya.

Sendiri lagi. Begitulah yang terjadi.

Tapi apapun yang terjadi, apapun yang tersedia untuknya sekarang, ia tidak peduli. Ia hanya butuh wanita itu dihadapannya―sekarang. Ia ingin menatapnya dalam, terlepas dari apakah wanita itu juga ingin menatapnya. Ya, ia merindukannya. Sangat merindukannya.

Sasuke menghela nafasnya keras. Ini menyakitkan. Seharusnya sewaktu ia siuman tadi, semuanya ada di sampingnya. Menyambut siumannya dengan senyum bahagia, setidaknya mereka tidak kehilangan sosok tampan Sasuke. Tapi, ternyata mereka mempunyai kesibukan masing-masing yang, yah, pastilah lebih penting dari pada dirinya.

Buktinya? Mereka tidak di sini.

Sakura tidak di sampingnya.

Sasuke mendecih sambil membuang muka. "Jangan bilang ia sedang berduaan dengan Sasori."

Bingo. Mungkin karena itu ia tidak di sini.

Lagi-lagi Sasuke menghela nafas. Kali ini menyesali kebodohannya. Buat apa menunggu wanita itu datang, buat apa menunggu sesuatu yang tidak jelas. Melihat Sakura tersenyum lembut kepadanya pun masih sangat jarang. Bahkan, tidak pernah ia melihat Sakura berlari ke arahnya dan segera memeluknya erat. Benar-benar tidak terpikirkan.

Ia lupa kalau mereka terikat karena sebuah kecelakaan dan kesalahan besar yang fatal. Ia lupa kalau Sakura tak pernah melontarkan kalimat lembut layaknya suami dan istri yang saling mencintai. Ia bahkan lupa kalau hampir setiap harinya selalu ada perselisihan yang tidak jelas dan sepele.

Ia lupa kalau… Sakura membencinya.

Jadi kesimpulannya, ia hanya berharap terlalu besar. Salahkan perasaannya yang bahkan mengombang-ambing tuannya sendiri.

Dan sekarang, ia sendiri yang merasakan sakitnya. Ia pikir, ketika ia sadarkan diri, semua yang menangisinya akan tersenyum bahagia sambil menghapus air mata. Ia pikir, semuanya akan berakhir bahagia. Sekarang? Tak ada satu pun orang yang menangisinya. Dan bahkan, mungkin tidak ada satu pun orang yang menghawatirkannya.

Wanita itu…

"Akh," sekali lagi, ia merintih tertahan. Menggerakkan tangan kanannya untuk sekedar memegang bahu kirinya, yang baru saja berdenyut sakit.

Sepertinya, kesakitannya lengkap sudah. Dan ini membuatnya bingung. Tak tahu harus mengikuti logikanya atau perasaannya…

Ceklek.

Sasuke mendongakkan kepalanya, melihat siapa lagi yang datang kali ini. Lagi-lagi ia mulai berharap. Ia berharap wanita itu yang muncul dibalik pintu. Tapi mendadak ia ukir senyum tipis dibibirnya, sulit diartikan. Langsung saja ia membuang muka.

"―ia sedang berduaan dengan Sasori. Tidak mungkin di sini," gumamnya disertai tawa kecil nan pelan yang terdengar lemah. Mungkin lebih baik, ia mengikuti logikanya saja dan berhenti berharap.

Tapi, apa salahnya melihat siapa yang datang?

Krieeet.

Lagi-lagi Sasuke mengangkat kepalanya, pintu itu terbuka dan…

Matanya terpaku pada satu sosok yang sedang berjalan masuk. Lidahnya kelu tak bisa berkata-kata. Wanitanya datang?

Lupakan tentang perasaan itu. Sasuke tetap harus jaga image, dong.

Ya, Sakura datang dan memasuki ruangan setelah menutup kembali pintu yang tadi dilewatinya. Menenteng sebuah kantongan berukuran sedang dan berjalan melewati Sasuke yang tak bergeming. Menaruh kantongannya di atas meja, tak lupa tasnya juga ditaruh di atas meja.

Namun, ia terpaku di tempat itu. Raut wajahnya berubah bingung tak tahu harus melakukan apa. Tapi, kalau boleh jujur, ia senang melihat lelaki itu sudah siuman.

"Syukurlah, kau sudah siuman," sahut Sakura sambil membuka kantongan itu. Anggap saja ini sekedar basa-basi. Tapi, ia tidak bisa begini saja. Masih ingat kalau ia benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu?

Sakura menghela nafas kemudian berbalik, menghampiri lelaki itu yang tengah terdiam. Berdiri di samping Sasuke dan menatapnya dalam-dalam.

"Aku benci mengakui ini kepadamu, tapi…"

Mendengar kalimat itu terhenti, Sasuke menolehkan kepalanya. Dan mata mereka bersiborok. Ah, membuat Sasuke semakin lemah saja.

Tangan Sakura bergerak menyusup melalui kedua lengan Sasuke dan tanpa diduga sebelumnya, ia memeluk Sasuke dengan lembut―tanpa ada beban dan paksaan diraut wajah manisnya.

"―aku benar-benar khawatir."

Demi Tuhan, Sasuke tidak pernah menyangka kalimat itu yang akan diutarakan istrinya. Senyum tipis yang sangat berarti pun terukir dibibirnya, walau tetap saja sulit diartikan. Alangkah manisnya kalau setiap hari wanitanya melakukan ini padanya. Ah.

"Aku tak apa."

"Kau bodoh… Bodoh sekali."

"Ini karenamu."

"Maksudmu?"

Tangan kanan Sasuke bergerak naik, berniat membalas pelukan itu. "Kau sadar tidak? Pelukanmu erat sekali."

Wajah Sakura bersemu merah dan akibat kalimat Sasuke barusan, pelukan itu mengendor membuat Sasuke sedikit tidak rela. Salahkan bibir seksinya yang berkata seperti itu.

"Kalau tidak mau dipeluk, bilang!"

Hampir saja Sakura melepaskan pelukannya namun ditahan oleh tangan kanan Sasuke yang melingkarinya.

"Jangan. Biarkan seperti ini."

Biarkan logika dan perasaan itu bergerak sendiri. Sasuke butuh ketenangan. Dan ketenangan itu sudah ia dapatkan sambil meresapi aroma khas wanitanya.

.

.

.

"Aku lapar."

Suara Sasuke membuyarkan lamunan Sakura. Segera ia menoleh dan didapatinya lelaki itu tengah memandanginya. Tatapan datar yang sulit diartikan. "A-apa?"

"Adakah yang bisa kumakan?" tanya Sasuke sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Oke, itu pertanyaan bodoh. Padahal jelas-jelas ia bisa melihat bubur hangat yang terletak di atas meja di samping ranjang rawatnya. "Maksudku―"

"Kau mau bubur itu?" tanya Sakura sambil mendekat. Mendudukkan dirinya di samping ranjang bersprei putih itu, lalu meraih semangkuk bubur lengkap dengan lauknya. "Hem?"

"Hn."

Dengan pelan ia menyuapi Sasuke. Tanpa ada sahutan, bahkan tak ada ejekan yang biasannya terlontar begitu saja dari mulutnya. Kali ini, Sakura lebih pendiam dan seperti memikirkan sesuatu. Matanya selalu menatap lurus ke arah sesuatu yang tidak jelas.

Ada sesuatu yang menjanggal pikirannya mungkin.

Suapan yang entah keberapa kali, masih sama seperti beberapa menit lalu. Tatapannya bahkan bisa dibilang kosong. Dan itu membuat Sasuke leluasa memandangi Sakura lebih lama dan lebih dekat. Itu sebelum Sakura menoleh tiba-tiba ke arahnya―

"Uhuk!" ―dan membuatnya sedikit terkejut sehingga dengan reflek terbatuk. Jangan salahkan bubur yang ia makan itu, ya. Bubur itu tidak bersalah dan tidak bertulang.

"Makanya kalau makan yang pelan, tersedak bubur kan tidak lucu," ujar Sakura sambil memberi minum Sasuke. "Sudah?"

"Aa."

Sakura meletakkan gelas yang isinya sudah tandas setengah di atas meja, kemudian kembali duduk. Menghela nafasnya dan lagi-lagi melamunkan sesuatu yang sedari tadi membuat Sasuke bertanya-tanya.

"Ada apa?" tanya Sasuke sembari memandangi wajah cantik itu lekat-lekat. "Seperti ada yang menjanggal pikiranmu."

"Aa, tidak. Aku tidak memikirkan apa-apa." jawab Sakura, gesturnya seperti menghindari pertanyaan itu.

"Jangan menyembunyikan apapun dariku, terlebih lagi kalau itu ada hubungannya denganmu dan kandunganmu."

"Maaf." Sakura menundukkan kepalanya. "Aku hanya merasa bersalah. Setelah semua ini terjadi dan kau seperti ini. Ini semua salahku. Aku yang membuat Shion seperti itu, dan membuatmu terluka―"

"Kau tidak perlu merasa bersalah. Dan tidak ada lagi yang perlu kau pikirkan, semua hal tentang kejadian itu cukup kau lupakan saja."

"Ini sama saja dengan aku yang melukaimu―" mendongakkan kepalanya cepat dan menatap nanar ke arah Sasuke. "―secara tidak langsung."

"Sebaliknya jika kau yang terkena tembakan itu, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri."

"Tapi, bukan aku yang―"

"Makanya, biar aku saja menanggungnya. Karena memang harus aku."

"..."

"Lupakan tentang itu. Istirahatlah."

"T-tapi aku…"

"Jangan membuatku khawatir, Sakura."

"Baiklah."

.

.

.

"Benar-benar kurang ajar Shion itu! Beraninya ya, melakukan itu pada kalian! Dia yang bukan siapa-siapa mengganggu hubungan kalian? Cih, dia memang harus diberi pelajaran. Ini kan sama saja dengan pembunuhan! Dasar psikopat sialan!" umpat Naruto sambil mondar-mandir dihadapan beberapa rekan-rekannya. Ekspresi wajahnya yang disertai keringat dikedua sisi pipinya membuat dirinya menyerupai para buruh yang lagi demo minta kenaikan gaji.

Bila melihat ekspresi yang lain, mereka terlihat bosan. Hey, Naruto sudah daritadi mengumpat tidak jelas. Sejak ia tiba tadi sudah mulai seperti itu. Mau dikata orasi juga bukan. Ha, memang seorang sahabat yang tidak rela melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu. Bahkan sampai seperti ini.

"Teme!" ia tiba-tiba berhenti bermondar-mandir dan langsung menunjuk Sasuke yang sedang duduk di atas ranjang rawatnya. "Kau harus lebih kuat lagi! Masa kau mau dikalahkan oleh perempuan yang seupil begitu―"

"Berisik kau Naruto!"

BLETAK!

"Aww!" Naruto meringis kesakitan sambil mengelus kepala kuningnya yang baru saja terkena lemparan batu salak oleh Shikamaru. Sedang yang lain hanya tertawa melihat teman yang selalu heboh itu.

"N-Naruto-kun…"

"Tidak, Hinata. Aku tak apa. Tidak seperti Teme itu. Lemah sekali―"

BLETAK.

"Dobe."

"Iya! Iya! Aku hanya bercanda, kok! Soalnya aku sangat senang melihat Shion diprores dipengadilan! Iya kan, Sakura-chan? Haha!"

"Hum."

"Benar! Mungkin lebih baik ia mati saja. Enak sekali dia, memperlakukan Sakura seperti itu!" Ino angkat bicara dengan raut wajah ogah-ogahan mengingat bagaimana seorang Shion itu.

"Kau betul, Ino! Lebih baik dia mati saja! Haha!" decak Naruto membenarkan.

Dan ruangan itu masih berlangsung dengan hebohnya. Naruto benar-benar heboh. Sampai-sampai tak ada yang bisa menyadari bahwa, Sasuke hanya ingin berdua menikmati angin malam rumah sakit itu bersama―

―Sakura.

.

.

.

"Ternyata menginap di rumah sakit melelahkan juga," gumam Sakura yang baru saja keluar dari kamar mandi kamarnya. Ia baru saja membersihkan dirinya dan sekarang memakai jubah mandi berwarna biru muda. Masih terlihat butir-butiran air yang sebelumnya membasahi tubuhnya.

Ia berjalan menuju meja rias dan duduk di sana. "Ah, acara selanjutnya adalah… tidur."

Setelah melihat keadaan kulit wajahnya yang baik-baik saja, Sakura pun menghampiri lemari. Membuka pintu lemari itu dan memilah-milah baju yang pas dengan mood-nya sekarang. Setelah itu memakainya satu persatu.

"Saatnya tidur," gumamnya sambil berjalan agak bungkuk saking lelahnya mendekati tempat tidur. Merebahkan tubuhnya dengan sangat pelan. Ingat, kalau ia tengah mengandung seorang bayi titipan Tuhan di dalam perutnya? Ingat, 'kan? Bagus.

Pelan tapi pasti, mata emerald itu tertutup. Tanda bahwa Sakura sudah nyaman dengan posisinya. Beberapa menit berlalu dan ia benar-benar menikmati hangatnya tempat tidur itu. Tapi... matanya tiba-tiba terbuka lagi ketika ia mengingat sesuatu.

"…apa ia tidak apa-apa tidur sendirian di kamarnya?" tanyanya pada dirinya sendiri sambil mengerucutkan bibirnya. "Apa harus ku temani?"

Krik

"…bagaiamana kalau terjadi sesuatu padanya?"

Sakura menggaruk kepalanya seperti orang bodoh. "Haruskah? Aargh―"

"Tidak perlu. Aku sudah di sini."

"Huwaaa!" Sakura terkejut bukan main mendengar suara yang cukup rendah itu. Ia tiba-tiba bangun dan menoleh ke arah samping yang ia belakangi tadi. Tangannya memegangi dadanya, berusaha meminimalisir keterkejutannya tadi. "Eh! Kau?"

Sosok itu adalah suaminya sendiri, dikiranya Dracula atau bahkan Vampir. Dracula dan Vampir beda, 'kan? Iya, beda.

"Boleh?" tanyanya mencoba membuat persetujuan.

"Kau membuatku kaget, bodoh!" Sakura menyipitkan matanya menatap Sasuke dengan garang. "Hem? Tidak boleh!"

"Kau mengandung anakku dan aku harus melindunginya."

"E-eh?... I-itu… Aku bisa jaga diriku sendiri, kok!" Sakura masih tetap pada pendiriannya. Memajukan bibirnya dan menatap ke arah lain dengan angkuh. Layaknya seorang boss.

"Benar begitu?"

"Yup." Ah, arogan sekali gayanya. Melipat kedua tangan di depan dada dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi.

"Tapi―Akh! T-tanganku… tanganku keram, s-sakit sekali," erang Sasuke sambil menjatuhkan dirinya di atas kasur di samping Sakura. Merintih kesakitan sejadi-jadinya yang ia bisa.

"E-eh! Jangan bercanda! Di sini tidak ada dokter!" Yang benar saja, Sakura panik dan memegangi bahu kiri Sasuke. "Kalau memang masih sakit kenapa harus pulang! Merepotkan―"

"A-akh…"

"Aduh, apa yang harus ku lakukan!"

"Aakh. Tanganku…"

"S-Sasuke… Aku mohon bertahanlah!"

"Aaaakh…"

Sasuke yang sudah duduk di atas ranjang berukuran king size itu hanya dapat merintih kesakitan sambil melihat ekspresi panik Sakura. Tangan Sakura pun memegangi tangan kekar itu, berusaha sedikit meredamkan rasa sakitnya. Posisi mereka yang cukup dekat membuat Sasuke bisa menghirup aroma segar dari tubuh istrinya itu. Menurutnya, wajah panik Sakura terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Dan seringai mematikan pun terukir dibibir seksi Sasuke. Merupakan hal yang sangat lucu apabila ia bisa sukses mengelabui wanita yang berpendirian keras di hadapannya. Melihat wajah panik yang akut itu, Sasuke tertawa kecil sambil mengacak pelan rambut bubble gum itu.

"Kena kau."

Cup.

"E-eh?!"

"Selamat tidur, istriku."

Sasuke merebahkan punggungnya dan mengambil posisi tidur senyaman mungkin―tentu saja dengan wajah yang tidak berdosa itu, sementara Sakura masih kaget akibat ciuman singkat dipipinya itu, dan kalimat itu? Ah, benar-benar bisa membuat wajah cantik itu memerah sempurna.

"J-jadi tanganmu tidak sakit?"

"Menurutmu?"

"Err, tidak?"

"Aa."

"Ugh. Sial!"

"Tidurlah, Sakura―"

"Aku tidak bisa tidur!"

"Benarkah?"

"Ketika kau datang dan mengganggu kenyamanan di sini. Mataku tidak bisa tertutup!"

Tangan Sasuke menarik lembut tangan Sakura, menuntun wanita itu agar tidur di sampingnya. Dan sukses. Lagi-lagi mereka dalam posisi yang sangat dekat. "Aku hanya berusaha melakukannya dengan baik."

"Terserah kau saja."

"Marah?"

"Menurutmu?"

"Kau pasti marah. Lagaknya begitu."

"Sudah tahu, kenapa bertanya?"

"Karena aku ingin tahu lebih jelas."

"Butuh penjelasan apa lagi, tuan yang menyebalkan?"

"Aku harap agar sekarang kau diam dan tidur, nyonya yang cerewet."

"Kau diam, aku pun akan diam! Mengalahlah, tuan!"

"Hn, baiklah istriku."

"Aku membencimu, suamiku."

"Benar begitu, istriku?"

"Yap, benar sekali. Karena kau…"

"Kau apa?"

"…Ah, lupakan." Sakura menghela nafas dan mulai terdiam. Menikmati hangatnya selimut dan kehadiran suami yang katanya menyebalkan itu di sampingnya. Suasana yang cukup menyebalkan tapi bisa menimbulkan sesuatu yang hangat. Mata itu mulai tertutup dan sekarang tahap-tahap untuk tertidur dengan nyenyak, damai, dan―

"Aku tidak pernah bisa tahu apa yang ada dalam pikiranmu."

"…Aku pun begitu," sahut Sakura dengan mata yang masih tertutup. "Dan aku membencimu."

"Masih belum bisa menerima takdir ini?"

"Kau berpikir bahwa ini sudah ditakdirkan? Aku dan kau. Kau berpikir kita adalah takdir? Ha. Pemikiran yang sangat lucu." Sakura mendengus pelan menahan tawa, membuat Sasuke yang mendengarnya menghela nafas. Ia memandangi wajah Sakura lekat-lekat dari samping.

"Kau memang belum bisa menerima semua ini."

"Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan. Dan mengikuti pendirianku adalah satu-satunya jalan untuk tetap di sini." Ucap Sakura membuka matanya. "Pendirianku adalah mengikuti ke mana perasaanku mengalir."

"Hn?"

"Setidaknya setelah semua ini terjadi. Ah, semuanya seperti bercampur aduk. Sulit diartikan."

"Apapun itu, kau tetap terikat denganku."

"Pembicaraanmu selalu berbelok-belok, Pantat Ayam! Apa lagi yang kau maksud itu?"

"Bagaimanapun perasaanmu itu, siapapun orang yang kau cintai, setidaknya kau tetap milikku―maksudku, kau istriku. Jadi, tentu saja tidak mudah bagimu bebas dariku. Ada tali yang―"

"Hah? Kau seperti mengikatku, suamiku."

"Memang kenyataannya begitu."

"LALU KAPAN AKU BISA TIDUR NYENYAK?! DASAR CEREWET!" nada suara Sakura agak meninggi. Menatap sangar kedua bola mata onyx dihadapannya. "Kau sendiri yang menyuruhku tidur, tapi secara tidak langsung melarangku dengan mengajakku mengobrol. Bodoh seka―EH?"

"Baiklah, ayo tidur," bisik Sasuke pelan. Perlakuan Sasuke sukses membuat wajah Sakura kembali memerah. Ia mendekap wanitanya dalam kehangatan walaupun itu secara mendadak dan reflek. Namun, biarkan seperti itu. Toh, Sakura juga tidak menepisnya. Ia mulai menutup matanya dan membiarkan hal itu.

Hangat sekali, asal kau tahu.

.

.

.

.

.

.

.

Sinar mentari mulai memasuki kamar melalui jendela yang tirainya sudah disibakkan oleh pemilik kamar. Burung-burung pun terdengar bernyanyi di luar sana. Desiran angin pagi tak lupa melengkapi moment indah dipagi hari yang cerah. Setidaknya bagi mereka yang berbahagia.

Tak bisa dipungkiri, wajah damai wanita bersurai merah muda itu terpampang jelas. Kedua tangannya yang bergerak menguncir rambutnya di belakang dengan rapi. Tampak ia sudah terlihat segar, dengan dress putihnya ia terlihat cantik. Kelihatan sangat dewasa. Dengan langkah santai, ia menghampiri meja riasnya dan duduk di sana.

Sekilas melirik seseorang yang masih bergumul di bawah selimut di atas ranjang melalui cermin pada meja riasnya. Dan reflek membuatnya menggigit bibirnya sendiri ketika melihat tubuh itu bergerak menggeliat. Sesuatu sempat terbesit dipikirannya. Yah, ia bahkan belum bisa menyangka kehidupannya akan sampai seperti ini. Tapi, ini tidak terlalu buruk juga.

"Terkadang indah di saat tertentu. Tapi, dia menyebalkan," gumam Sakura sembari meraih sebuah kotak bedak. Memolesi pelan kulit wajahnya dengan bedak putih yang selalu dipakainya. Kemudian setelah itu, ia kembali memperhatikan penampilannya. "Padahal kalau dilihat-lihat, aku tidak begitu cantik. Tapi―"

Sembari melirik lagi. Ia melanjutkan kalimatnya dengan suara yang agak dipelankan. "―dia tetap mengindahkanku. Semacam ini semua dimulai dengan semestinya. Padahal kenyataannya tidak. Tapi―"

Bibir mungil itu mengukir sebuah senyum tipis. "―menjalani ini, apa salahnya? Aku mulai merasa nyaman sepertinya."

Sedikit menyelami pikiran mengenai hal yang saat ini dijalaninya. Setidaknya ia sempat berpikir juga bahwa, ini akan berlalu lebih baik apabila ia menjalaninya dengan baik pula. Jadi intinya mudah saja, cukup menjalaninya sesuai dengan apa yang terjadi. Sesuai dengan apa yang lelaki itu inginkan, selama itu masih bisa dicerna oleh otak kerasnya, selama itu masih bisa dipenuhinya.

"…Engh…"

Sakura terdiam ketika mendengar lenguhan Sasuke di atas ranjang sana. Menggeliat dengan pelan hingga ia tersadar dari tidurnya. Membuka matanya pelan, sehingga ia bisa terjaga dari tidurnya. Melihat itu, Sakura berdiri dan berjalan pelan menghampiri jendela kamar. Tirai jendela yang sedari tadi sudah disibakkan membuatnya langsung bisa melihat keluar melalui kaca jendela. Sudah siang rupanya.

"Hanya orang pemalas yang bangun jam segini." Ucap Sakura. "Teman-temanmu sedari tadi berkokok di luar sana, membangunkanmu, tapi kau tidak bangun-bangun juga." Cibirnya sembari melipat kedua lengannya di depan dada. Sedikit melirik ke arah lelaki itu yang mulai bangkit dari posisi tidurnya dan seketika terdiam saat mendengar kalimat cibiran itu, sembari menolehkan kepalanya ke arah Sakura. Menatapnya dengan sayu dengan salah satu tangan menggaruk kepala bagian belakangnya.

"Aku baru tahu ada ayam yang pemalas begini."

Ucapnya lagi dan itu sukses membuat Sasuke menajamkan tatapannya. Menggerakkan otot-otot kakinya untuk sekedar berjalan menghampiri Sakura yang sibuk mencibirnya itu. Menyadari Sasuke bergerak, Sakura pun menoleh dengan angkuh menatapnya.

"Rupanya ayam pemalas sudah bangun," ujar Sakura dengan nada yang dibuat-buat. Entah karena hal apa ia melakukan ini, dengan spontan ia tidak berhenti menyeletuk suaminya yang baru saja terbangun itu. Mata onyx yang menatapnya tajam seakan berusaha melahapnya hidup-hidup. Dan jarak yang memisahkan mereka tadi sudah diminimalisirkan oleh Sasuke yang kini berada sangat dekat dihadapannya.

Bertatapan dan saling menantang dalam tatapan diam itu. Dan lagi-lagi dengan angkuhnya, Sakura mengangkat dagunya tinggi-tinggi, berlagak seperti boss lagi. Tidak ingin dikalahkan oleh makhluk tampan dihadapannya ini, ya, ia tidak bisa memungkiri walau baru saja bangun tidur pun lelaki itu tetap terlihat tampan dan mempesona. Apalah itu namanya, Sakura tetap tidak ingin meleleh tiba-tiba karena hal itu. Karena tetap saja, ia wanita keras kepala.

Entah hal apa yang saat ini menyentuh kulit lehernya. Mengusapnya dengan lembut dan… erotis?

"E-eh…"

Sakura terpaku dalam keterkejutannya dan tiba-tiba merasa gugup ketika tersadar bahwa sesuatu itu adalah tangan suaminya sendiri. Ia tak tahu sejak kapan ia menjadi lemah dengan hal seperti ini. Padahal tadinya, ia masih ingin menantanginya. Lagi-lagi Sasuke mengurangi jarak diantara mereka. Dan entah sejak kapan tatapannya melembut seperti itu?

"A-apa yang akan kau―"

Cup.

Kecupan singkat itu menginterupsi kalimatnya. Kecupan pagi yang hangat dikening lebarnya.

"Selamat pagi," bisik Sasuke sembari tersenyum tipis namun terlihat memabukkan. Ia menarik tangannya kembali dan mulai beranjak dari sana, meninggalkan Sakura yang lagi ngambang. Dengan senyum yang masih terpampang diwajah tanpa dosa itu, ia berjalan keluar dari kamar Sakura. Meninggalkan Sakura dengan beberapa pertanyaan yang berputar-putar diotaknya.

.

.

.

Drrrt drrrrt drrrrt.

Terdengar sebuah ponsel berdering. Namun terabaikan karena sang pemilik ponsel sedang sibuk memilah-milah dress cantik disebuah butik mewah. Tangannya menyentuh dengan pelan berbagai bentuk dress cantik nan indah di tempat khusus dress mahal dan berkualitas tinggi dalam butik itu. Sedangkan tangan kirinya hanya bertengger di dalam saku celananya.

Tangannya berhenti pada sebuah dress indah berwarna merah marun pendek dan mengkilau pada bagian dadanya. Bentuk bagian atas yang terbuka, akan memperlihatkan bahu wanita yang memakainya. Hanya ada tali kecil yang nanti akan bertengger dikedua bahunya. Kain dress yang diambil bahan berkualitas itu tampak berkelap-kelip. Bagian pinggir bawah tampak berenda sederhana namun malah membuat dress itu tambah terlihat cantik. Sungguh indah dan menawan, namun akan lebih indah lagi jika dress itu sudah terpasang pada tubuh istrinya tentunya.

Sejujurnya, ia sudah merencanakan ini dari kemarin-kemarin. Mengunjungi kota yang bernama Aomori dengan berbagai resort pariwisata yang indah dan eksotis. Entah ini masih bisa disebut berbulan madu atau tidak, yang terpenting, ia bisa membawa wanitanya ke tempat yang romantis dan indah―tempat mereka hanya berdua saja di sana. Tempat di mana mereka akan menyatukan cinta mereka dengan nuansa bulan purnama yang menawan dan, aah, terlalu indah untuk dibayangkan. Lebih baik secepatnya ia membayar dress ini dan pulang. Mempersiapkan segalanya untuk bulan madu itu.

Sudut bibirnya terangkat saat membayangkan terlihat bagaimanakah Sakura saat memakainya. Pasti sangat cantik dan sek―

Drrtt drrrrrttt

Seperti ada balon yang pecah yang sukses menghancurkan khayalan tingkat tingginya, ah menyebalkan sekali orang yang menghubunginya sampai berkali-kali itu. Sasuke sudah mulai risih dengan handphone-nya sendiri. Segera ia membunuh, maksudnya mematikan alat komunikasi canggih itu, dan kembali dihempaskannya ke dalam kantung celana. 'Sesekali bolos kerja, tak apalah.' Pikirnya dengan wajah yang super duper tak merasa berdosa.

.

.

.

.

"Aaah~ kenyang seka―EEEEEEEHHH? Sejak kapan kau di situ?!" ucap Sakura diakhiri nada yang meninggi ketika ia melihat Sasuke berada tetap dihadapannya. Ceritanya tadi Sakura baru saja mau masuk kamar dan membuka pintu, namun tiba-tiba saja muncul penampakan laki-laki ganteng dihadapannya ketika ia membuka pintu. Sakura terkesiap. "Sudah pulang, eh? Kapan? Kau tidak bilang."

"Tadaima, Sakura-chan," sahut Sasuke pelan sembari mengacak nakal surai merah muda lembut dihadapannya. Senyum lembut dan sangat bermakna itu terpampang dibibirnya.

"A-apa-apaan kau―"

"Jangan hancurkan mood-ku yang sangat bagus hari ini, istriku," ucap Sasuke menarik kembali tangannya, bukannya dimasukkan ke dalam saku celana seperti biasa, tangan itu malah meraih tangan Sakura dan menariknya pelan―berjalan memasuki kamar. Sementara yang punya tangan hanya bisa bersungut tidak jelas dengan bibir mengerucut. "Kau harus siap-siap," ucap Sasuke lagi.

"Hah? Siap-siap untuk apa? Dasar aneh," Sakura mengerucutkan bibirnya jenaka. Sepintas ia menatap penampilan suaminya yang cukup rapi malam ini. Entah bagaimana, lelaki itu sudah tampak segar dan rapi sekali. Tatanan rambutnya yang disisir dengan rapi, kulit putih agak pucat dan bibir yang seksi seperti menambah kesan vampir ganteng pada dirinya, juga kaos biru gelap dan jeans hitam bermerek melekat ditubuhnya. "Kau baru pulang dari kantor, 'kan? Mau keluar lagi, huh?"

"Dalam waktu setengah jam, kau harus siap. Gunakan semua barang yang sudah kusiapkan dalam tas itu," ucapnya dengan wajah tak berdosa, belum menjawab pertanyaan Sakura. Kepalanya bergoyang menunjukkan tas yang ia sebut tadi sambil mengerling. "Ku tunggu di depan." Kalimat terakhir itu meluncur dengan tegas dibibir Sasuke, membuat Sakura semakin mengerutkan keningnya bingung. Mulutnya terkatup ingin memprotes karena beberapa pertanyaannya tadi sama sekali belum dijawab―dan apa itu wajah sok tampan? Walaupun memang benar sih, dia memang tampan. Namun langkah gagah sang suami yang mulai beranjak keluar dari kamar membuatnya terdiam. Setelahnya, hanya ada sahutan 'menyebalkan' dan tatapan mematikan khas Sakura.

'Pantat Ayam bodoh!'

.

.

.

.

BLETAK!

"Woy, udah siap nih!" teriak Sakura di samping telinga Sasuke setelah sukses memukul kepala berambut ravennya. Sang empunya kepala hanya meringis kecil sambil menoleh ke arah sang istri yang katanya sudah siap. Sakura memasang pose berdiri kuda dengan wajah yang cukup malas dengan keadaan. Sikapnya entah bagaimana bisa berubah menjadi cewek tomboy begitu. Dan bahkan ia menguyah permen karet yang menambah kesan tomboynya. Padahal penampilannya sudah sangat cantik dan feminin sekali. Ditubuhnya melekat semua isi tas tadi, tanpa kurang satu pun. Dan itu sangat menyempurkan kecantikannya. Tapi… kesan seksinya mana?

Melihat sakura, Sasuke menaikkan sudut bibirnya. Tapi, beberapa detik kemudian senyum tipis itu hilang digantikan dengan perahu terbalik, alhasil wajahnya seperti orang malas melebihi ekspresi malas yang ditampilkan Sakura tadi. Tubuh tegapnya tak lagi setegap awalnya. Tatapannya sudah tak secerah tadi, seperti ada awan hitam yang bertengger dikepalanya. 'Kenapa jadi tomboy begitu?!' histerisnya dalam hati.

"Apa?" tanya Sakura sambil melototkan matanya. "Ada yang salah?"

'Ya, ini sangat salah sayang.'

"Woi, ada apa sih? Kalau mau jalan, langsung aja cabut. Nanti keburu hujan, bego."

'Tidak sayang. Tunggu.'

Tatapan Sasuke yang seperti menginterogasi Sakura membuat Sakura memelankan kunyahan permen karetnya. Ia mulai goyah terhadap sikap aneh Sasuke yang menatapnya lekat dalam diam. Padahal ia sendiri yang bersikap aneh. Buat apa coba ia sok tomboy padahal tidak tomboy sama sekali. Kalau lihat kecoa, nangis juga. "A-apa?" suaranya meninggi ketika Sasuke melangkah mendekatinya. Memegang kedua bahu Sakura agar tidak pergi dan tetap dihadapannya. Semakin aneh.

Sakura berhenti menguyah permen karet itu. Tatapan ala orang tomboynya menghilang begitu saja ketika ia merasakan tangan Sasuke sudah berada di kedua sisi wajahnya―digantikan dengan ekspresi wajah anak kecil imut yang lagi kehilangan ibunya. Tangan itu menahan kepalanya. Perlahan tapi pasti Sasuke menarik pelan kepala Sakura, dan mendekatkan bibirnya ke bibir merah muda sakura. "Tolonglah." Desis Sasuke sesaat sebelum memusnahkan jarak yang sebelumnya memisahkan mereka.

Sakura terkejut dengan perlakuan Sasuke yang tak pernah begini. Ciuman dari Sasuke yang lebih agresif dari biasanya―yang memang baru sekali menciumnya. Tangan Sakura mencengkram kaos biru suaminya ketika dirasakan bibirnya digigit. Membuatnya mendesah pelan dan sedikit membuka mulutnya. Langsung saja lidah nakal Sasuke menerobos masuk dan menemukan benda menyebalkan yang dari tadi bertengger dalam mulut Sakura. Tak ingin berlama-lama, langsung saja ia membawa keluar benda durhaka yang sedari tadi bertengger di dalam mulut Sakura, memindahkannya dulu ke mulutnya sendiri. Setelah kedua bibir mereka berpisah, langsung saja dengan sebal Sasuke membuang permen karet itu ke tanah. Kembali menatap ke arah Sakura yang sudah mundur selangkah dengan wajah imut seperti anak kecil yang sedang ketakutan. Tatapan Sasuke menegas, ia menghela nafas pelan sesaat sebelum membuang tatapannya ke arah lain.

"Kali ini aku serius. Tolong mengertilah sedikit," ucapnya dengan nada datar seperti biasa.

Mendengar itu membuat Sakura terkesiap. Hei, kenapa ia tiba-tiba sangat merasa bersalah? Melihat pergerakan Sasuke yang tak seceria tadi membuktikan bahwa mood-nya benar-benar sudah hilang. "B-baiklah…"

Sakura kembali beranjak menuju kamar. Entah untuk apa, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Sementara Sasuke yang masih ditempat hanya bisa tersenyum lembut menatapi punggung mulus sang istri. "Kebobolan, hn?" setelahnya hanya terdengar cekikikan kecil darinya.

'Aku serius tidak menyukai ada benda lain bercumbu dalam mulutmu selain aku."

.

.

.

.

.

.

"Jadi kita ke mana?" tanya Sakura membuka pembicaraan, walaupun tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. Ia sibuk menatapi jalan malam yang ramai dan penuh lampu berwarna-warni. Melihat jalan yang sudah tidak dikenalinya lagi, ia berinisiatif bertanya kembali. "Ini jalan ke mana?"

"Memangnya kau tidak tahu?" sahut Sasuke malah balik bertanya. Salah satu alisnya naik.

"Kalau aku tahu, aku pasti tak akan membuang-buang suaraku untuk sekedar bertanya padamu."

"Seperti orang luar saja." Celetuk Sasuke sambil tersenyum miring.

"Kau lupa kalau aku dari Suna, eh?"

Toenggg

"Hn, bukan begitu―"

Belum Sasuke melanjutkan kalimatnya, Sakura secepat kilat menyemburnya dengan, "Halah, tidak usah jaga imej (baca: image), tampang bodohmu itu menunjukkan bahwa kau benar-benar lupa," ia melipat ke dua tangan putih mulusnya di depan dada. Merasa menang mungkin? Dan jika kau belum tahu apa yang menyebabkan Sasuke tidak fokus dengan pembicaraan yang tadi adalah karena ia memikirkan sebuah rencana atau strategi atau siasat atau apalah itu terserah.

"…"

"Baka."

"…"

"Bego."

"…"

"Pantat ayam bego sok ganteng padahal pelupa ju―"

"MASALAH GITHUU BUAT LOEHHH?" sembur Sasuke cepat menginterupsi kalimat Sakura yang berhasil terdiam terpaku terhenyak ter―apalah whatever―intinya Sakura super duper kaget mendengar yang baru saja dikatakan Sasuke. Ngomong-ngomong, tak ada angin-tak ada hujan-tak ada gumpalan asap-tak ada nenek sihir, Sasuke tiba-tiba fasih berbicara menyerupai anak alay yang alaynya sudah tidak bisa ditolong lagi―seperti penyakit yang sudah akut. Siapa saja taulah, orang alay itu ngomong kayak mau muntah geethow (no typo) trus trus kayaq tenggorokannya tuh ada gangguan gheto (no typo). Whatever-lah, intinya Sakura terheran-heran melihat apa yang baru saja Sasuke lakukan. Oke, dia benar-benar tidak menjaga imej lagi.

Dan yang lebih inti lagi, SEJAK KAPAN SASUKE BISA BERBICARA LAYAKNYA ORANG ALAY GAK KETULUNGAN YANG ALAYNYA SUDAH STADIUM AKHIR?!

Okay, lupakan soal itu. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, Sasuke menghela nafas karena wanitanya sudah tidak mengeluarkan sepatah kata lagi, kan tenang. Sembari melirik ke arah Sakura yang ekspresinya seperti orang yang seakan-akan tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Sudut bibir Sasuke terangkat membentuk seringaian nakal yang menghanyutkan―sayangnya Sakura tidak melihatnya jadi tidak ada yang akan hanyut.

'Bilang saja kalau kau tidak terima melihat suamimu yang paling ganteng sedunia ini menjadi orang alay. Hoek. Gue juga ga terima kalee kalo gue jadi orang kamfungan kayak gitu! Ga mungkinlah Sasuke Uchiha yang ganteng imut tapi ga kayak marmut ini jadi orang alay ga ketulungan. Hellooow~ loe ngaca Sasuke, loe tuh guanteng banget. Jadi orang alay kek gitu bakalan jatuhin imej loe. Iyyyuuuwh.'

Krik. Krik.

EH? LALU INNER YANG BARUSAN BICARA ITU SIAPA?!

Toenggg!

.

.

.

"Kita menginap di sini," ucap Sasuke sembari meletakkan sebuah tas yang cukup besar yang berisikan pakaian dan lain-lain. Kemudian ia menoleh ke arah Sakura yang sibuk memanjakan matanya―melihat-lihat sekeliling villa dan pemandangan sekitar yang begitu indah. Villa yang sekarang ditempatinya sudah menjadi milik Uchiha Corp sejak dua tahun lalu dan kebetulan sudah lama Sasuke tidak berjalan-jalan ke tempat itu. Bangunan villa itu menyerupai bangungan-bangunan ala Eropa, arsitektur yang khas. Pepohonan yang rindang dan halaman yang cukup luas serta dipenuh bunga-bunga cantik mengitari villa itu. Jika kita ke lantai dua dan berdiri di terasnya maka akan terlihat pemandangan kota Aomori dan gunung-gunung tinggi. Yang pernah Sakura dengar, kota Aomori itu memang indah dan ada satu gunung berapi yang masih aktif entah di daerah bagian mana. Ternyata semua keindahan-keindahan kota Aomori yang pernah ia dengar bukan hanya bualan, semua itu benar dan Sakura sudah bisa menyaksikannya sekarang.

"Hei," panggil Sasuke beberapa meter di belakangnya.

"Uhm! Ya?" agak sedikit kaget Sakura menoleh dan berlari kecil menghampiri suaminya itu. "Apa?"

"Kalau malam, udara di sini akan turun beberapa derajat. Masuklah," ucapnya dengan wajah dan nada khasnya seperti biasa.

Ia meraih tangan istrinya itu dan membawanya masuk ke dalam villa―tepatnya disebuah ruangan yang entah entah apa namanya itu. Ruangan itu tidak memiliki pencahayaan terang seperti ruangan lain, cahayanya remang-remang. Walaupun tidak luas, ruangan itu tetap terlihat elegan dengan perabot yang mewah―yah walaupun perabotnya hanya meja makan beserta kursinya. Juga yang memperindah ruangan itu adalah bunga-bunga cantik di masing-masing sudut ruangan dilengkapi lilin-lilin kecil.

Keduanya menghampiri meja yang berbentuk lingkaran itu dengan bunga dan lilin di tengahnya. Entah kenapa, sejak tadi tatapan Sasuke sudah melembut. Ia menatap Sakura yang wajahnya menampakkan ekspresi bingung penuh tanya. Ya, itu wajar. Sakura tak tahu apa maksud dan tujuan Sasuke membawanya ke tempat ini.

"Duduklah," kata Sasuke sembari menarik salah satu kursi untuk Sakura duduki. Tak menunggu lama, Sakura pun duduk dengan manis dikursi itu―masih dengan wajah bingung penuh tanyanya yang imut, sungguh imut. Membuat Sasuke ingin menggigit dan menelannya.

"Ehm." Terdengar deheman dari Sasuke setelah Sasuke duduk dengan posisi yang berhadapan dengan Sakura.

"Hum?" Sakura menyahut bingung seakan bertanya kepada Sasuke. Namun suaminya itu hanya diam sambil menatapinya dengan tatapan lembut.

"Permisi Sasuke-sama dan Sakura-sama," sebuah suara orang lain terdengar, tentunya dengan refleks sakura menolehkan kepalanya ke sumber suara itu, tidak dengan Sasuke yang tetap stay cool menatapi Sakura. Yang Sakura lihat, ada lima orang yang berdiri di sana. Memakai pakaian putih-putih. Ehm. Jangan berpikiran aneh dulu. Mereka bukan pocong ataupun kuntilanak, tapi mereka hantu―maaf, bukan itu juga, tapi mereka adalah pelayan di villa ini dan mereka datang karena mendengar deheman tuannya tadi. Excellent!

Setelah melihat tuannya menggangguk, barulah ke lima pelayan itu berjalan masuk. Masing-masing pelayan membawa sesuatu ditangannya dan menatanya di atas meja. Sakura dapat menghirup aroma dari sesuatu itu yang ternyata adalah… MAKANAN! Oh tenang. Baru menghisap aromanya saja Sakura sudah ketagihan, apalagi nanti kalau sudah dimakan?

"Permisi tuan," ucap ketua pelayan setelah menyelesaikan tugasnya. Kemudian ia berjalan keluar diikuti empat anggotanya. Dengan senyum bahagia Sakura menatapi punggung para pelayan itu, mungkin ia sangat berterima kasih karena ia dibawakan makanan pada saat lapar begini. Setelah pelayan-pelayan itu menghilang dari balik pintu, Sakura kembali mengalihkan tatapannya ke makanan enak di atas meja dihadapannya. Oh, ada salad!

"Sakura," panggil Sasuke dengan suara bassnya yang memabukkan.

"Hm? Apa?" sahut Sakura membalas tatapan suaminya. Ia tiba-tiba terhenyak melihat seorang Sasuke yang saat ini dihadapannya. Entah bagaimana ia bisa merasakan aura nyaman dan hangat dari Sasuke. Ketika ia melihat ke mata hitamnya, ia seperti terhisap ke dalam sana. Memabukkan. Baru kali ini Sakura merasa terhipnotis jika melihat mata itu. Menghanyutkan tapi entah kenapa begitu menenangkannya. Oh, bahkan tangannya sekarang sudah terasa hangat sekali. Seperti ada dua buah tangan yang menggenggamnya erat.

Dan ternyata memang ada bua buah tangan yang menggenggamnya.

"Aku telah banyak membuat kesalahan. Kau jadi banyak beban."

"Maksudmu?"

"Aku minta maaf." Ucap Sasuke lembut, ia mempererat genggaman tangannya.

"Aa. Uhm. Yaa… Bukannya bagaimana sih, tapi mau bagaimana lagi. Kita sudah sejauh ini. Y-ya…"

WATEPAK! Sakura salting.

"Tetaplah bersamaku."

"Ya, jika itu maumu."

"Aku―"

"Kau tidak lupa kan kalau dalam diriku ada diri lain?" ucap Sakura dengan wajah imutnya, membuat Sasuke tersenyum kecil. Menurutnya itu lucu.

"Kalau saja aku lupa, bunuh saja aku."

"Wah, itu pasti!" celetuk Sakura sambil tersenyum bangga, menanggapi serius kalimat Sasuke barusan. Namun setelah itu ia malah mengukir senyum lembut dibibir manisnya. "Tapi mungkin aku akan mencoba menyadarkanmu terlebih dahulu sebelum membunuhmu."

"Sakura."

"Ya?"

"Kau tahu kan suami istri itu bagaimana?"

"Tentunya mereka saling mencintai," ujar Sakura.

"Tepat. Mungkinkah kita bisa termasuk ke dalamnya?"

Sakura terhenyak. Pertanyaan Sasuke barusan sangat pahit―entah bagaimana rasanya tapi Sakura benar-benar tak tahu harus menjawabnya dengan apa. Ia berlipat-lipat kali bingung. Ia tersenyum kikuk. "A-aku tidak tahu. Maaf."

"Begitupun denganku. Tapi aku sudah merasakannya. Aku―"

"Hm?"

"Sakura, aku―"

"Hei, makanan ini semuanya untuk dimakan, kan?" tanya Sakura mengalihkan pembacaraan, membuat Sasuke menghentikan kalimatnya yang entah apa lanjutannya. Tampak Sasuke memasang wajah kecewa yang tidak begitu jelas sehingga Sakura tidak menyadarinya. Hei, siapa yang tidak kecewa jika kita sedang berbicara serius lalu tiba-tiba saja dialihkan? Ah, nyesek kali.

"Ah, ya. Ayo makan."

"Baiklah. Selamat makan~" dengan wajah bahagia Sakura melahap sedikit demi sedikit makanan dihadapannya. Menimbulkan senyum kecil dibibir Sasuke. "Hei, Pantat Ayam, sebenarnya dari tadi aku ingin makan salad, lho~"―tapi aku tidak meminta karena aku takut mengganggumu.

.

.

.

.

.

Sekarang menunjukkan pukul 9 tepat. Dan benar sekali, suhu pun turun beberapa derajat. Meskipun AC sudah dinyalakan tapi tetap saja suhu dinginnya masih terasa. Uh, mengerikan sekali jika Sakura harus tinggal di sini―Sakura tidak suka kedinginan. Ya, bahkan sekarang ia sudah mengambil posisi yang pas di atas tempat tidur empuk dengan selimut tebal menghangatkannya. Baru juga jam segini, ia sudah K.O duluan, ia lelah. Taulah, wanita yang sedang hamil kan memang cepat lelah. "Hhh, kenapa dingin sekali…" gumamnya dengan suara yang agak parau. Jangan sampai ia terkena flu hanya karena ini.

Matanya yang tadi tertutup kini terbuka menampakkan bola mata emerald-nya yang indah. Ia membalikkan badannya dan memusatkan penglihatannya pada pintu kamar mandi dalam kamar itu. 'Aah, ayolah jangan berpikiran yang tidak-tidak. Ini bukan bulan madu, Sakura,' ucapnya dalam hati. Ia mengerucutkan bibirnya. Betapa hampa terasa jika tidak ada yang terjadi pada malam ini. Eits. Sekali lagi jangan berpikiran yang tidak-tidak. Maksudnya, masa sih liburan seperti ini dilalui dengan biasa saja?

Bingo.Rupanya kau menginginkan yang lebih, Sakura.

"Bodoh, bodoh, bodoh! Sakura, kau kan sudah bunting-ting-ting!" ucap Sakura histeris namun dengan suara yang pelan. Ia menggigit dasar selimut kemudian mencengkramnya lagi. "Oh tidak, bukan begitu. Kenapa malah berpikiran ke sana, siiih?"

Mau melakukannya lagi, eh?

Dengar suara percikan air dalam kamar mandi itu, dengar bunyi air yang sedang mengalir keluar dari shower. Bayangkan orang yang sedang berada di bawah shower itu. "Itu suamiku." Ya, benar. Jadi kau bebas melakukan apapun dengannya, bodoh!

Oke, ini bukan saatnya berdebat dengan sisi lainmu, Sakura. Hentikan.

"Dia memang suamiku, tapi…" suara percikan air sudah tak terdengar lagi. "Tapi apakah kami saling mencintai?" tanyanya entah kepada siapa, ingin bertanya kepada rumput yang bergoyang tak mungkin juga. Sakura tidak mungkin bela-belain keluar bertemu dengan rumput-rumput itu dalam keadaan dingin seperti ini. Tidak mungkin. "Apakah aku mencintainya?"

Ceklek.

Oh, dia keluar pada waktu yang tidak tepat. Ya, disaat Sakura masih menatap ke langit-langit kamar dan menggigit selimut. Seharusnnya beberapa detik sebelumnya ia sudah cepat membalikkan badan ke arah lain agar tidak melihat Sasuke. Tapi sudah terlanjur. Ia dengan reflek menoleh ke arah Sasuke dan menatapnya dengan tatapan bodoh. Sebaliknya, Sasuke juga menatapnya dengan tatapan bingung. Oh, lihat dia. Basah, dada bidangnya basah, rambutnya basah, ia hanya memakai handuk.

"…" Sasuke terdiam menatap Sakura beberapa saat setelah itu melangkahkan kakinya menghampiri lemari. Dikiranya tadi Sakura sudah tidur, tapi ternyata belum.

'Yang harus kulakukan sekarang adalah balik badan dan menutup mata.' Ucap Sakura dalam hati, kemudian dengan pelan tapi pasti ia berbalik dan cepat-cepat menutup mata. Pikirannya bercampur aduk. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Tadi wajahnya terlihat memerah, lho. Dan Sasuke menyadarinya.

Beberapa menit berlalu Sakura dalam posisi itu. Ia memang lelah tapi kenapa tiba-tiba tidak bisa tidur? Sebenarnya apa yang memenuhi pikirannya itu? 'Kenapa aku sangat memikirkannya?' Haruskah aku bermain dulu sekarang, tidurnya nanti.

Eh, kau bukan anak-anak.

Kriet.

Decitan tempat tidur kini jelas terdengar ditelinga Sakura. Membuatnya mempererat cengkramannya pada selimut. Siapa lagi kalau bukan suaminya yang menyebabkan itu. Tubuh Sasuke rasanya sudah berada dibelakangnya, bergabung dengannya di bawah selimut. Tidak pernah seperti ini, biasanya kan mereka tidur di kamar yang berbeda. Juga, sepertinya ini biasa saja, tapi kenapa rasanya luar biasa?

Sret.

Nafas Sakura tiba-tiba tertahan ketika merasakan sesuatu melingkari perutnya, mengusapnya lembut. Ia juga bisa merasakannya dada bidang itu menyentuh punggungnya. Kenapa sedekat ini? Sakura tidak bisa memungkiri bahwa ini sangat nyaman dan menghangatkannya, itu sungguh benar. Ini sangat nyaman. Bahkan sekarang ia bisa merasakan hembusan nafas Sasuke ditengkuknya. Sakura menggigit bibirnya. Kenapa tiba-tiba ia ingin menangis?

"Sudah tidur, hn?" tanya Sasuke dengan nada yang begitu lembut. Sesekali ia mengecup surai merah muda milik istrinya. "Kau dingin? Anak kita di dalam sini bagaimana?"

"…" Sakura hanya terdiam, tak bisa berkata-kata. Tak usah, mungkin Sasuke mengiranya benar-benar sudah tidur.

"Asal kau tahu, aku ingin setiap malam seperti ini," akunya. "Memelukmu, bersamamu."

"…"

"Terima kasih sudah menemaniku sampai di sini."

"…"

"Aku ingin kau selalu bersamaku," dekapan itu semakin erat, hidungnya menyesap lamat-lamat aroma khas surai merah muda itu. Rasanya semakin panas, darah Sakura mungkin sudah semuanya mengalir ke wajahnya. "Aku―"

"…" dalam diam Sakura menelan salivanya, jangan sampai Sasuke mendengar degup jantungnya yang begitu cepat ini. Tolong jangan. Tapi yang benar saja, Sakura bisa merasakan degup jantung Sasuke yang tak kalah cepat dari degup jantungnya. Ada apa dengan―

"Aku mencintaimu, Sakura."

DEG!

Apa itu barusan? Sakura tidak salah dengar, kan? Sungguh ia tidak menyangka Sasuke mengatakan itu padanya. Kalimat itu terdengar begitu lembut dan tulus, tak ada kebohongan dalam nadanya. Sakura semakin memperkuat cengkramannya pada selimut, ia terkejut dengan itu. Tapi juga menimbulkan senyum terharu dibibirnya. Jujur saja, ia tidak munafik, ia bahagia mendengarnya. Namun, rasanya tiba-tiba hampa setelah dirasakannya dekapan itu merenggang. Tangan Sasuke bergerak menjauhi perutnya.

Jangan lepaskan, tolong.

Sret.

Dengan cepat Sakura menarik tangan itu kembali ke posisinya, menggenggamnya erat dan menahannya untuk tetap mendekapnya dan mengusap perutnya. Sasuke terkejut dengan gerakan Sakura. 'Bukannya sudah tidur?' tanyanya dalam hati.

Sakura mempererat genggamannya dan Sasuke bisa merasakan itu. Sakura tidak ingin kehilangan kehangatan yang Sasuke berikan, ia ingin tetap dalam posisi tadi.

"A-aku juga mencintaimu. Tetaplah disampingku, Sasuke," ucap Sakura dengan suara paraunya. Ia menggigit bibirnya berusaha tidak mengeluarkan air mata. Entah apa yang membuatnya ingin menangis, intinya ia bahagia. "Aku mencitaimu…."

Mendengar ucapan Sakura, sudut bibir Sasuke terangkat membuat sebuah senyuman lembut. Ia kembali mempererat dekapannya, kembali menyesap dan mengecup surai merah muda itu. Ia sangat bahagia mendengarnya, ia lega sudah bisa mengetahui dan mengungkapkan isi hatinya bahwa ia sungguh mencintai wanitanya itu. Ia tidak ingin kehilangannya. Sungguh.

"Terima kasih. Aku sungguh mencintaimu."

Dan malam yang dingin itu seakan berubah menjadi malam yang berlipat-lipat kali lebih hangat bagi Sasuke dan Sakura. Terkadang dalam suatu masalah dalam kehidupan kita, kita harus bersabar dan tetap menajalaninya. Mengalah untuk bahagia.

.

.

'Kau istriku yang sangat ku cintai.'

.

.

.

.

.

.

TAMAT-MAT-MAT-MAMAT!

Konnichiwa, minna! Akhirnya BAA tamat jugaaa~ Sebelumnya, maaf kalau chapter 11 kelamaan apdet. Saya minta maaf sebesar-besarnya telah membuat minna-san menunggu. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya bagi yang menunggu chapter terakhir ini. Dan sekali lagi maaf /apa sih/ jika chapter ini tidak memuaskan minna. Entah bagaimana, saya sudah tidak terlalu lancar ngetik ficnya. Ah, kali ini duduk di depan leppie untuk seribu word itu ngehabisin waktu tiga kali lipat dari biasanya. Bayangin coba '-'a

Dan sekali lagi saya minta maaf /ribet/ kalau chapter ini kepanjangan, soalnya mau cepet-cepet ditamatin. Takutnya kalau dipotong lagi bakalan ga sesuai rencana lagi. Intinya, chapter ini banyak kekurangan, tolong minna maklumin yah dan jangan lupa kasih review-nya (mau marah, mau ngomel, mau tereak, mau nyembur, mau komen apa terserah, semuanya diterima dikotak review! Saya tunggu! :D)

Maaf dan terima kasih banyak untuk semuanya~ Salam Jidat Ayam!